Cerita Horor +

Cerita Horor + Terkadang dalam postingan terdapat konten dewasa, jadi manusia yang bijak ya. Koleksi komik lumayan lengkap

Bagian 3: Nama yang TerhapusPagi itu, Anisa terbangun lebih awal. Peringatan dalam secarik kertas tadi malam masih terba...
11/03/2025

Bagian 3: Nama yang Terhapus

Pagi itu, Anisa terbangun lebih awal. Peringatan dalam secarik kertas tadi malam masih terbayang di benaknya. "Jangan percaya siapa pun." Apa maksudnya? Dan siapa yang menggedor pintunya?

Ia mencoba mengabaikan rasa takut yang perlahan merayap dan bergegas bersiap. Hari ini, ia berencana mengunjungi kantor polisi untuk mencari informasi tentang kematian Bagas. Jika ada yang menyembunyikan sesuatu, mungkin jawabannya ada di sana.

Kantor polisi Kota Senja masih sama seperti dulu—bangunan tua berlantai dua dengan cat krem yang mulai pudar. Begitu masuk, Anisa mendekati meja resepsionis, tempat seorang petugas berjaga.

"Selamat pagi, Pak. Saya ingin melihat berkas kasus kecelakaan Bagas Adinata, lima tahun lalu," katanya sopan.

Petugas itu menatapnya sekilas. "Anda keluarganya?"

Anisa mengangguk. "Saya adiknya."

Tanpa bertanya lebih lanjut, petugas itu mengambil map berdebu dari lemari arsip dan menyerahkannya kepada Anisa. "Silakan lihat, tapi tidak boleh dibawa pulang."

Anisa mengangguk dan membawa berkas itu ke sudut ruangan. Ia membuka halaman pertama: Laporan Kecelakaan – Bagas Adinata, 2018.

Ia mulai membaca. Semua tampak normal—lokasi kecelakaan, kondisi mobil, laporan forensik—sampai matanya tertumbuk pada bagian "Saksi Mata".

Kolom itu kosong.

Dahi Anisa berkerut. Seingatnya, ada seseorang yang pernah memberikan kesaksian tentang kecelakaan Bagas. Seorang pria bernama Pak Rahman, mantan polisi yang tinggal di Kota Senja. Tapi di sini, namanya tidak ada. Seakan-akan ia tidak pernah terlibat dalam penyelidikan sama sekali.

Jantungnya berdegup lebih cepat. Seseorang telah menghapus informasi penting dari laporan ini.

"Maaf, Pak," katanya kepada petugas. "Apakah ada saksi dalam kasus ini? Saya ingat ada seseorang yang melihat kejadian itu."

Petugas itu menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab dengan nada dingin, "Tidak ada saksi. Itu kecelakaan biasa."

Anisa bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan. "Bagaimana dengan Pak Rahman? Dulu dia polisi di sini, bukan?"

Wajah petugas itu menegang. "Pak Rahman sudah lama pensiun."

"Apakah saya bisa menemui beliau?"

Petugas itu terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Saya tidak tahu di mana dia sekarang."

Ada nada aneh dalam suaranya. Seperti kebohongan yang terlalu jelas untuk ditutupi.

Anisa mengembalikan berkas itu dan keluar dari kantor polisi dengan perasaan tidak enak. Jika tidak ada saksi, mengapa seseorang repot-repot menghapus namanya dari laporan?

Ia menarik napas dalam-dalam. Hanya ada satu cara untuk mengetahui kebenaran—ia harus menemukan Pak Rahman.

--

Bersambung

Bagian 2: Bayangan LamaLangit Kota Senja mulai berubah jingga ketika bus yang ditumpangi Anisa akhirnya tiba di terminal...
10/03/2025

Bagian 2: Bayangan Lama

Langit Kota Senja mulai berubah jingga ketika bus yang ditumpangi Anisa akhirnya tiba di terminal kecil di pinggir kota. Udara di sini lebih sejuk dibandingkan Jakarta, dengan aroma tanah yang masih basah setelah hujan siang tadi. Kota ini tampak sama seperti yang ia ingat—tenang, nyaris terlalu sepi, seolah waktu berjalan lebih lambat di sini.

Ia menurunkan tasnya dari bagasi dan segera memesan ojek online menuju penginapan kecil yang dulu sering ia kunjungi saat masih tinggal di kota ini. Namanya Penginapan Dahlia, bangunan tua dengan tembok bercat putih yang mulai menguning di beberapa sudut. Pemiliknya, Bu Ratna, masih mengenalnya.

"Anisa? Ya ampun, sudah lama sekali! Bagaimana kabarmu, Nak?" Bu Ratna tersenyum hangat, tapi ada sedikit sorot kekhawatiran di matanya.

"Aku baik, Bu," jawab Anisa, berusaha terdengar santai. "Aku ke sini cuma sebentar, ada urusan yang harus kuselesaikan."

Bu Ratna mengangguk pelan, lalu menyerahkan kunci kamar nomor 7. "Kalau butuh apa-apa, panggil saja. Dan… hati-hati, ya."

Anisa mengernyit, tapi tidak bertanya lebih lanjut. Ia naik ke lantai dua dan memasuki kamarnya. Ruangan itu kecil tapi bersih, dengan jendela yang menghadap ke jalan utama. Ia duduk di tepi tempat tidur, mengeluarkan surat misterius yang membawanya ke sini.

Siapa pun yang mengirim ini, mereka pasti tahu sesuatu tentang kematian Bagas. Tapi bagaimana ia bisa menemui orang itu jika tidak ada petunjuk lebih lanjut?

Saat ia tenggelam dalam pikirannya, suara keras tiba-tiba mengagetkannya. Gedoran di pintu. Keras dan mendesak.

Anisa berdiri dengan hati-hati. "Siapa?" tanyanya, tapi tidak ada jawaban.

Perlahan, ia membuka pintu. Lorong penginapan kosong. Tidak ada siapa pun.

Namun, ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri. Gantungan pintu kayu yang tadi tergantung di pegangan pintu kini hilang, digantikan oleh secarik kertas lusuh. Dengan hati-hati, ia mengambilnya dan membaliknya.

Hanya ada tiga kata yang tertulis di sana:

"Jangan percaya siapa pun."

Anisa merasakan ketegangan menjalari tubuhnya. Seseorang ingin memperingatkannya… atau mungkin menakutinya. Tapi siapa? Dan mengapa mereka tidak muncul langsung?

Di luar jendela, malam mulai menyelimuti Kota Senja. Dan Anisa baru menyadari satu hal—ia tidak pernah merasa sendirian sejak tiba di kota ini.

Seseorang mengawasinya.

---

Bersambung

Jejak Bayangan di Kota Senja---Bagian 1 : Surat MisteriusJakarta, 10 November.Anisa menatap lembaran kertas kusam yang t...
10/03/2025

Jejak Bayangan di Kota Senja

---

Bagian 1 : Surat Misterius

Jakarta, 10 November.

Anisa menatap lembaran kertas kusam yang tergeletak di mejanya. Surat itu tiba pagi ini, tanpa perangko, tanpa alamat pengirim. Hanya satu kalimat tertulis dengan tinta hitam yang sedikit pudar:

"Kematian kakakmu bukan kecelakaan. Temui aku di Kota Senja."

Darah Anisa berdesir. Bagas, kakaknya, telah meninggal lima tahun lalu dalam sebuah kecelakaan mobil yang tragis. Polisi menyimpulkan bahwa itu hanyalah musibah—rem blong, jalan licin, dan tak ada saksi mata yang melihat kejadian tersebut secara langsung.

Tapi mengapa sekarang, setelah sekian lama, ada seseorang yang mengisyaratkan bahwa kejadian itu bukan kecelakaan?

Anisa menyandarkan punggungnya di kursi, mencoba berpikir jernih. Bisa saja ini hanya lelucon kejam, atau mungkin seseorang ingin memanfaatkannya. Namun, jika memang ada sesuatu yang belum terungkap tentang kematian Bagas, ia harus mengetahuinya.

Malam itu, setelah menimbang berbagai kemungkinan, Anisa membeli tiket bus pertama ke Kota Senja. Perjalanan akan memakan waktu delapan jam, cukup baginya untuk menyusun rencana. Saat bus melaju meninggalkan Jakarta, pikirannya dipenuhi dengan satu pertanyaan: Siapa yang mengirim surat itu? Dan apa yang sebenarnya terjadi pada Bagas?

---

Bersambung

Address

Central Jakarta

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Cerita Horor + posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Cerita Horor +:

Share

Category