21/11/2025
Kadang ada orang yang merasa berkewajiban untuk menyadarkan orang lain. Seolah-olah mereka memegang kebenaran tertinggi dan dunia harus mengikuti cara pandang mereka.
Biasanya itu terjadi karena tiga hal.
Pertama, mereka merasa lebih tahu atau lebih benar. Ego memberi dorongan untuk “meluruskan” orang lain, meski belum tentu diminta.
Kedua, mereka tidak nyaman dengan perbedaan. Ada orang yang hanya tenang kalau semua orang berpikir seperti mereka. Begitu melihat sudut pandang lain, langsung muncul dorongan untuk mengubahnya.
Ketiga, ada kebutuhan psikologis untuk merasa penting. Menjadi orang yang “menyadarkan” memberi sensasi menjadi pahlawan kecil di dalam kepala mereka.
Padahal, semakin kita dewasa, semakin kita sadar bahwa kesadaran tidak bisa dipaksa.
Orang hanya berubah kalau mereka sendiri sudah siap.
Mereka yang benar-benar bijak justru tidak sibuk menyadarkan siapa pun. Mereka hanya memberi contoh, memberi ruang, dan berbicara kalau diminta. Tanpa memaksa, tanpa merasa paling benar.
Semakin kita mengenal hidup, semakin kita paham bahwa semua orang sedang berjalan di jalannya masing-masing.
Dan tidak ada yang berhak memaksa kecepatan atau arah langkah orang lain.
Pada akhirnya, kita akan sampai pada titik di mana kita tidak lagi ingin “membenarkan” siapa pun, tapi cukup menjalani hidup dengan tenang, terbuka, dan rendah hati.
Kesadaran sejati tumbuh dari dalam, bukan dari tekanan luar.