24/09/2025
Bab 10
Pintu rumah Laura diketuk tiga kali dengan cepat. Di dalam, Laura yang tengah memotong buah di dapur bergegas ke arah pintu depan. Dia sempat mengintip melalui lubang kecil di pintu, dan jantungnya langsung melompat saat melihat siapa yang berdiri di sana.
“Karina?” Begitu pintu dibuka, Laura tertegun.
Karina berdiri dengan wajah lelah. Matanya sembab seperti baru saja menahan tangis selama berjam-jam. Di sebelahnya, koper besar berdiri tegak.
“Aku ganggu nggak?” tanya Karina pelan.
Laura menggeleng cepat, tanpa berkata apa-apa langsung menarik tangan Karina masuk ke dalam. “Ya Tuhan, kamu kenapa? Kamu sendirian? Ada apa? Ini koper... kamu kabur?”
Karina tidak langsung menjawab. Dia menaruh kopernya di sudut pintu dan langsung duduk di sofa. Matanya mulai berair, tapi dia menahan. Giginya mengatup.
“Adrian tidur sama Nadira,”
Suasana langsung membeku. Pisau di tangan Laura—yang masih dia bawa dari dapur nyaris terjatuh dari genggamannya. “What?”
Karina mengangguk pelan, lalu menceritakan semuanya. Laura terdiam mendengarkan. Sesekali menahan napas.
“Aku nggak tahu harus ke mana,” ujar Karina akhirnya, mengusap matanya. “Aku cuma… pengen pergi dari sana,”
Laura langsung duduk di sebelah Karina dan menggenggam tangannya erat.
“Kamu bisa tinggal di apartemenku,” ucapnya mantap. “Yang di lantai empat, yang biasanya kusewakan. Sekarang kosong. Furniturnya lengkap, dan kamu bisa masuk kapan pun,”
Karina menatapnya. “Serius, Lau?”
“Serius,” Laura mengangguk. “Kuncinya ada di rak dapur. Kalau kamu kuat, kita ambil barangmu ke mobil sekarang. Tapi kalau kamu mau istirahat sebentar dulu, juga boleh. Yang penting, kamu nggak sendirian,”
- **
Koridor rumah sakit dipenuhi langkah tergesa staf medis dan suara samar-samar monitor dari ruangan ICU. Karina belum masuk kerja hari ini, tapi Laura tetap menjalani jadwal jaga paginya. Dia baru saja selesai memeriksa seorang pasien saat berbelok di koridor utama dan mendadak bertemu dengan sosok yang membuat langkahnya terhenti.
Adrian mengenakan jas putih dan wajah lelah. Tapi bagi Laura, tidak ada lagi yang istimewa dari pria itu. Napasnya tercekat. Dia segera menunduk, berpura-pura melihat tablet di tangan. Langsung berjalan cepat seolah tidak melihat apa pun.
Namun Adrian sempat melihatnya. Alisnya mengernyit. “Laura?”
Laura makin mempercepat langkah, tak menjawab.
Adrian coba mengejar. “Laura, tunggu—”
Namun sebelum dia sempat mengejar, suara berat dan dingin terdengar dari sisi kiri koridor. “Adrian,”
Adrian menoleh. Bastian, rekan sejawatnya di divisi bedah saraf, berdiri tegap di depan ruang rawat. Tidak seperti biasanya yang ramah dan tenang, kali ini wajah Bastian dingin. Tangannya menyilang di dada.
“Kita perlu bicara,” kata Bastian, langsung ke inti.
Adrian menghela napas, menegakkan tubuhnya. “Bastian, bisa nanti? Aku sedang—”
“Sekarang,” potong Bastian tegas.
Adrian mengangguk pelan. Mereka berjalan menjauh dari keramaian, ke ruang dokter yang sepi pagi itu. Begitu pintu tertutup, Bastian menatap Adrian tanpa basa-basi.
“Jadi benar?”
Adrian tidak langsung menjawab. “Benar apa?”
“Kau menghamili gadis dua puluh satu tahun. Nadira,” Bastian menyebut nama itu dengan dingin, seolah baru menyebutkan penyakit mematikan. “Yang entah siapa, dari mana,”
Adrian memejamkan mata sejenak, lalu mendesah panjang. “Aku… aku melakukan kesalahan. Tapi itu—”
“Kesalahan?” Bastian menahan tawa sinis. “Itu yang kau sebut kesalahan? Itu pengkhianatan, Adrian. Kau dan Karina… kalian pasangan panutanku, dulu. Dan sialnya, Laura tahu semua,”
Wajah Adrian menegang. “Laura tahu?”
Bastian mengangguk. “Laura sahabatnya. Dan aku harus lihat sendiri istriku tiba-tiba menangis karena tak tahu harus menenangkan Karina atau melawan rasa muaknya sendiri terhadapmu,”
“Bukan urusan kalian,” suara Adrian mulai naik, tapi masih ditahan.
“Urusanku,” balas Bastian tajam. “Karena aku suami Laura. Dan aku juga temanmu,”
Adrian mengatupkan rahang. “Kau tak tahu apa yang terjadi di rumahku,”
“Aku tidak perlu tahu detailnya. Tapi aku tahu, kau menghancurkan perempuan yang paling mencintaimu,”
Adrian berdiri mematung di ujung ruangan, membiarkan kata-kata Bastian menggema. Dia memejamkan mata sebentar, menarik napas panjang.
“Aku tahu aku salah,” ujarnya. “Aku tahu semua ini… salah. Tapi Nadira tidak bersalah sepenuhnya,”
Bastian mendengus pendek. “Kau bercanda?”
Adrian membuka mata. Tatapannya tidak lagi defensif, tapi tenang, dan jujur. “Dia tidak merayu, tidak mendekatiku lebih dulu. Bahkan saat pertama kali kami tinggal serumah, dia selalu menjaga jarak. Tapi setiap hari aku melihatnya mengurus bayi itu sendiri, membantu pekerjaan rumah tanpa diminta dan tidak pernah menuntut apa pun. Seringkali aku bangun lebih dulu hanya untuk menemukan dia sudah bersih-bersih dapur,”
Bastian tetap diam. Membiarkan Adrian melanjutkan.
“Dan malam itu…” Adrian menarik napas lagi. “…malam itu, aku pulang dalam keadaan hancur. Ada pasien remaja yang tidak bisa kuselamatkan di meja operasi. Ayahnya menjerit, menyalahkan semuanya padaku. Aku... tidak kuat. Aku merasa hampa, kecil, gagal. Lalu aku pulang,”
Dia menunduk. Jemarinya mengepal. “Nadira ada di dapur, menyeduh teh. Dia menatapku lama, tidak banyak bicara. Tapi matanya... kau tahu rasanya saat seseorang menatapmu dan kau merasa... hidup lagi? Bukan sebagai dokter, bukan sebagai suami, tapi sebagai manusia?”
Bastian mengepalkan rahangnya, tapi tetap tak menyela.
“Aku terlalu lelah untuk berpikir. Kami tidak merencanakan apa pun. Tapi saat dia menaruh semangkuk sup di depanku, tangannya gemetar,” Adrian terdiam sejenak, mengingat momen itu dengan gamang. “Waktu itu… aku hanya ingin memeluk seseorang. Seseorang yang tak menuntutku kuat. Dan dia menangis saat aku menyentuh bahunya. Aku tidak tahu kapan itu berubah jadi... hal lain,”
“Lalu kau memutuskan tidur dengannya. Karena kau merasa dibutuhkan?” Bastian akhirnya bicara.
Adrian menatap sahabatnya, tidak lagi menghindar. “Ya. Aku ingin merasa… diinginkan. Di tengah semua tekanan yang harus kujaga di rumah, di ruang operasi, di depan semua orang… saat itu, aku lemah,”
Bastian menatapnya lama, ekspresinya sulit dibaca. Akhirnya dia berkata lirih, “Tapi Karina juga lelah, Adrian. Dia juga butuh pelukanmu. Tapi kau tidak melihat itu, kan?”
Adrian tertunduk.
Bastian melanjutkan, “Kau tidak salah mencintai seseorang. Tapi kau salah karena telah menghancurkan orang yang paling mencintaimu,”
- **
Sore itu, langit mulai redup. Hujan rintik membasahi jendela apartemen lantai empat tempat Karina sementara tinggal. Aroma teh jahe yang baru diseduh memenuhi ruangan, menambah kehangatan.
Laura datang setelah selesai dari rumah sakit. Begitu melihat Karina membuka pintu dan tersenyum kecil, napasnya sedikit lega.
“Bagaimana?” tanya Laura sambil melepas jas dan menaruh tasnya.
Karina mengangguk pelan. “Sudah lebih baik. Raya juga baik-baik saja di sana… kurasa,”
Laura mendesah. Dia menatap wajah sahabatnya, lalu mendekat dan memeluk singkat. “Aku tahu kamu kuat, Rin. Tapi jangan pernah merasa sendirian,”
Mereka duduk berdua di sofa. Teh diseruput perlahan, hening sejenak sebelum Laura akhirnya bicara.
“Bastian bertemu Adrian tadi pagi,” katanya.
Karina menoleh pelan.
“Dan seperti yang kuduga, Bastian tidak bisa tahan untuk tidak melabraknya. Tapi—” Laura menahan napas. “Adrian malah membela Nadira,”
Karina menunduk, jari-jarinya bermain dengan cangkir.
“Katanya Nadira bukan perempuan jahat. Katanya Nadira rapuh, sendirian, dan dia... khilaf. Kamu tahu, Rin? Aku muak! Muak dengar semua pembelaan itu,”
Karina masih diam.
“Jangan bodoh, Karina!” Lalu Laura meledak. “Jangan lepaskan semuanya cuma karena satu perempuan!”
Karina menoleh, terpaku menatap Laura.
“Enak sekali hidup Nadira itu,” Laura lanjut, matanya berkilat. “Masuk rumahmu, tidur di kasurmu, rebut perhatian suamimu. Itu rumah yang kamu dan Adrian bangun bersama-sama selama bertahun-tahun. Bukan dia,”
Laura kini condong ke depan, menatap Karina lekat-lekat. “Kalau kamu diam dan kamu pergi, kamu serahkan semuanya begitu saja. Rumah itu akan jadi miliknya,”
Karina membuka mulut, tapi tidak ada kata yang keluar. Hatinya berdebar keras.
Laura meletakkan cangkirnya di meja. “Kamu harus kembali. Bukan untuk Adrian, tapi untuk dirimu sendiri. Tunjukkan pada Nadira siapa pemilik rumah itu sebenarnya,”
Judul : Ibu Mertuaku Membawa Penggantiku
Penulis : Dama Mei
KBM App