Soni28 🔰 Berita viral 🔰
🔰seputar berita 🔰
🔰 Seputar Berita artis 🔰

 Episode 23 part 4 🥰Pintu lift terbuka, Nadine menjerit kala melihat sang putra namun detik berikutnya Ibu Amarta merang...
24/09/2025


Episode 23 part 4 🥰

Pintu lift terbuka, Nadine menjerit kala melihat sang putra namun detik berikutnya Ibu Amarta merangsek masuk, ia menekan tombol tutup seperti orang kesetanan.

Setelah pintu lift tertutup, ia langsung memeluk Nadine dan suaminya, tangisnya pecah
membuat Nadine dan Pak Wisnu kebingungan.

"Kenapa Omamu menangis Bara?" tanya Pak Wisnu penasaran.
"Bara, apa yang kamu lakukan sehingga Omamu menangis?" giliran Nadine yang bertanya. Ia takut sekali kalau anaknya nakal dan merepotkan Ibu dan Nyonya Wisnu.

Ibu Amarta masih tak menjawab, pintu lift terbuka, ia langsung menarik tangan Nadine dan suaminya menuju kamar yang mereka tempati.

Sesampainya di kamar, ibu Amarta terduduk di kasur, tubuhnya lemas.
"Ibu kenapa, Bu. Ibu sakit?" tanya Pak Wisnu semakin penasaran. Masalahnya sang istri tak pernah seperti ini sebelumnya.
"Ki-kita harus segera keluar dari hotel ini, a-ada ayahnya Bara!"
Mata Nadine membola sempurna. "Ra-Rayhan?" tanya Nadine terbata.

Ibu Amarta mengangguk, "Aku rasa begitu, ia teramat sangat mirip dengan Bara hanya saja kulitnya lebih gelap dan ada jambangnya "

Lanjutan di apk KBM full

🩵Episode 23 part 4
Next ? Komen🩷🩵
Tersedia di KBM app

Judul: Kami Yang Terbuang
Penulis:Amara Viska



Ternyata dirinya tak lebih penting dari handphone dan pekerjaanDkmc bab 8Akhirnya Ayu di jaga Ferdi suaminya di rumah sa...
24/09/2025

Ternyata dirinya tak lebih penting dari handphone dan pekerjaan

Dkmc bab 8

Akhirnya Ayu di jaga Ferdi suaminya di rumah sa kit, Ayu tidak menempati kam4r tersebut sendirian tapi bersama tig4 pasien yang lainnya karena keluarganya mengambil kel4s tig4.

Ramai sekali kam4r Ayu karena sekarang jam besuk jadi banyak keluarga pasien yang boleh masuk ke dalam kam4r untuk menjenguk.

Tentu saja itu keluarga pasien lain karena Ayu hanya di temani oleh Ferdi seorang diri yang malah sibuk dengan h4ndphone nya.

"Mas..mas.. " Panggil Ayu pada sang suami.

"Apa, kamu mau minum apa mau makan? " Jawab Ferdi yang mendongak sekilas. Wajahnya Ferdi datar datar saja yang membuat Ayu berpikir apa suaminya tidak khawatir pada dirinya atau paling tidak pada a n ak yang ada dalam ra him nya, da ra h da gi ng nya. Tapi bila di ingat Ferdi memang orangnya cvek seperti itu dari dulu batin Ayu masih berpikir positif. Ayu masih denial suaminya ini cvek atau tidak perduli beda beda tipis tapi Ayu menolak sad4r.

"Kenapa kok malah beng0ng, kalau gak ada apa apa mending kamu tidvr sayang. " Te gur Ferdi karena Ayu justru beng0ng.

Ayu menggeleng karena memang pe rut nya tidak lapar tapi nye ri.

"Mas kenapa aku gak boleh me la hir kan C4esar mas ini demi a n ak kita aku rasanya sudah gak ku at mas. " Ujar Ayu me mo hon berharap Ferdi berubah pikir4n.

Ferdi ber de cak mendengar re nge kan istrinya.

"Orang ha mil pasti la hir lewat jalannya Yu, kamu jangan berpikir macam macam besok juga la hir kalau sudah saatnya. " Jawab Ferdi.

"Sekarang tidvr biar kamu cepat sehat dan kita bisa segera pulang. " Lanjut Ferdi.

"Tapi mas.. " Ayu masih ingin bicara bagaimana dirinya bisa tidvr jika pe rutnya nye ri dan na fasnya terasa se sak.

Saat Ayu ingin bilang kalau na fasnya se sak tiba-tiba h4ndphone Ferdi berbunyi.

Bip.... Bip... Bip...

"Sebentar sayang ada telfon mas angkat dulu ya. " Po tong Ferdi langsung sedikit menjauh dari Ayu. Tidak lama Ferdi datang lagi tapi untuk pamit karena ada urusan mendadak di kantor.

"Sayang aku tinggal sebentar ya ada urusan mendadak di kantor yang gak bisa di tunda. " Pamit Ferdi sambil mengambil jaketnya yang ada di atas nak4s.

"Tapi mas ini sudah malam apa tidak bisa di tunda, aku sedah sa kit. " Jawab Ayu dengan terbat4.

"Cuma sebentar kalau sudah selesai aku akan cepat kembali ke rumah sa kit. " Po tong Ferdi langsung pergi begitu saja meninggalkan istrinya sendirian di rumah sa kit.

Ayu menghe la na fas di tengah keramaian orang orang yang menjenguk pasien lain tapi Ayu yang ma lang tinggal sendirian di ka mar tersebut. Ayu mengvsap pe rut nya seolah berbicara dengan a n aknya bahwa dirinya tidak apa apa batin Ayu bicara sendiri.

Pikiran yang berke ca muk membuat kondisi Ayu makin tidak st4bil hingga na fas nya semakin se sak tapi Ayu hanya diam menikmati rasa sa kitnya sendirian.

"Mbak suaminya mana Ko dari tadi tidak kembali? " Tanya ibu ibu yang sedang menungu a n aknya yang sa kit.

Kamar sudah mulai sepi karena jam jengvk sudah selesai dan s4tu pers4tu keluarga pasien yang lain sudah pulang. Ibu ibu itulah baru sadar kalau Ayu dari tadi sendirian.

"Pulang sebentar Bu. " Jawab Ayu sambil terseng4l na fas nya tere ngah-e ngah, pe rutnya juga nye ri yang membuatnya me ri ngis.

"Na k kamu tidak apa apa? " Ibu paruh baya itu mulai pa nik saat sa dar kalau Ayu sedang tidak baik baik saja.

Semua orang jadi melihat kearah b r an kar Ayu saat ibu paruh baya itu gegas mendekati Ayu yang terseng4l.

"Cepat panggil dokter ! " Teri4k dari ibu yang mendekati Ayu sedangkan Ibu tersebut menggengam ta ngan Ayu. Entah siapa yang keluar karena tidak lama para bidan dan dokter jaga langsung datang.

Sudah jam 10 malam tugas Dokter Akbar sudah selesai dengan oper4si terakhirnya, dokter Akbar memb4nting tubvh lel4hnya di kursi kerjanya sambil menekan pangk4l hi dungnya, lelah sekali hari ini.

Tapi entah kenapa Dr Akbar jadi kepikiran dengan pasien yang bernama Ayu.

Andai tidak ada prosedvr yang mengharuskan tanda tangan wali untuk meng opr4si pasien mungkin Dokter sudah menjadwalkan oprasi untuk Ayu. Tapi ada aturan yang tidak bisa dilanggar oleh dokter jika wali pasien tidak mau tanda tangan dokter dan rumah sa kit juga tidak bisa apa apa, kecuali dalam keadaan darvrat.

Hvff...

Dr Akbar membuang na fas kemudian bersiap untuk pulang. Dokter Akbar melepas snelli yang di pakainya kemudian mengambil tas h4ndphone dan juga kunci mobilnya sebelum meninggalkan ruangannya.

Sementara di ruangan Ayu, Ayu sedang di tangani oleh dokter-dokter jaga.

"Dok ini pasien dengan riwayat pree kla m sia. " Ujar Suster Dini yang tau rekam med1s Ayu dari 1GD tadi.

Setelah itu Dokter mulai memeriksa Ayu yang masih terseng4l-seng4l.

"Tekanan da rahnya ti nggi dok. " Ujar Dini sekali lagi.

"Hub**gi dokter spesialis OBG1N yang menangani ibu ini" Ujar sang dokter karena dirinya bukan spesialis kan dungan jadi Beliau harus berkonsultasi dengan yang lebih ahli.

Perawat lain langsung menghub**gi dokter yang bertanggung jawab sebelumnya tentu saja yang bertanggung jawab sebelumnya adalah Dokter Akbar.

Sedangkan dokter Akbar sedang berjalan dengan dokter Anton menuju parkiran karena jam kerja mereka sudah berakhir jika tidak ada yang emer gency.

"Pulang dok, gimana dengan pasien tadi siang berhasil tandatangan? " Tanya Dr Anton.

"G a k, o r a n g g i l a yang lebih rela a n ak istrinya m a t i ketimbang tandatangan! " Jawab Dokter Akbar datar.

"K a s i a n ya istrinya padahal cantik kok nemu model suami kek D a j a l gitu. " Sahut Dokter Anton.

"Coba aku suaminya pasti udah aku lakukan yang terbaik gak akan itu cewek tertekan kalau aku suaminya! " Lanjut dokter Anton yang langsung di g e p l a k oleh Dokter Akbar.

"Ingat istri di rumah Ton! " Sahut Dr Akbar.

"Kan seandainya Bar! " Kekeh Dokter Anton yang merupakan sahabat Dr Akbar, jadi jika mereka geplak-geplakan bukan hal yang aneh.

Bip... Bip... Bip...

Saat dokter Akbar akan mem4rah1 Dr Anton tiba-tiba H4ndphone Dr Akbar berbunyi dan langsung di angkat olehnya.

"Ya Halo. " Jawab Dokter Akbar

"Halo dok pasien atas nama Ayu ses4k na fas de nyut jan tung ba yi nya semakin le mah" Ujar orang di balik telfon yang membuat Akbar k4get.

"Bawa segera ke kam4r oper4si saya segera ke sana. " Teg4s Akbar langsung berlari.

"Heh bocah gak jadi pulang kamu? " Teriak Anton.

"Gak,emer gen cy pasien tadi siang dr0p dan harus segera di opr4si. " Jawab Dokter Akbar yang membuat Dr Anton geleng-geleng.

Repotnya dokter OBG1N kalau ada orang mau me la hir kan sewaktu waktu harus siap.

Dr Anton yang pen4saran malah mengikuti langkah dokter Akbar.

Sedangkan Ayu langsung di bawa ke k4mar opr4si oleh para perawat.

Ternyata mereka sampai di depan kam4r opr4si secara bersamaan dan Dokter Akbar langsung menghampiri Ayu, dokter pendamping langsung menjelaskan keadaan Ayu pada dokter Akbar.

"Bawa masuk saya g4nti bajv dulu" Ujar dokter Akbar.

Tiba-tiba Ayu meraih ta ngan Dr Akbar yang membuat Dr Akbar membekv sesaat.

"Tolong berj4njilah selamatkan a n ak saya. " Lirih Ayu yang tadi sempat mendengar ada dokter yang mengatakan kalau mungkin s4lah s4tu di antara mereka harus dipilih.

Akbar melihat ta ngan Ayu yang menggengg4m ta ngannya kemudian melihat ke arah Ayu yang men4tap dirinya dengan wa jah pu cat.

"Saya tidak bisa ber jan ji tapi berju4nglah. " Jawab Dr Akbar yang tidak s**a dengan permintaan Ayu.

Judul:Diceraikan karena melahirkan Caesar
Penulis:T Astria
Di KBMapp

Aku terpaksa menikah dengan lelaki yang terkenal dingin dan ke jam, atas dasar balas budi. Kukira hidupku akan han cur s...
24/09/2025

Aku terpaksa menikah dengan lelaki yang terkenal dingin dan ke jam, atas dasar balas budi. Kukira hidupku akan han cur setelah menikah dengan lelaki itu. Tapi ternyata ....

🌺🌺🌺

Part 7

"Aneh ... sejak kapan aku pakai seli mut?"

Suara Laras lirih, hampir tenggelam oleh kehening*n kam4r. Ia duduk perlahan dari posisi tidvrnya, jemarinya menyen tuh kain lembut yang kini menyelimvti tu buhnya. Selimut itu tak ia kenakan semalam. Ia ingat betul, ia tertidvr di sofa, berselimut dingin dengan berlinang air ma ta.

Sejenak Laras terdiam. Senyum tipis mengembang di bi birnya. Entah mengapa ha tinya terasa ha ngat?

Laras menoleh ke sisi ruangan, kamar itu kosong. Sunyi. Tak ada tanda-tanda keberadaan Damar. Hanya aroma tu buhnya yang tertinggal di sana.

Laras menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah menuju k4mar mandi.

Ia mencuci mukanya, kemudian berdiri di depan cermin dan merapikan rambutnya. Tatapan matanya tampak redup, seperti seseorang yang telah kehila ngan cahaya.

Laras melangkah ringan keluar dari dalam k4mar m4ndi.

Ia melangkah keluar, membuka pintu k4mar. Namun, langkahnya terhenti sejenak. Matanya menyapu pemandangan yang asing.

Lorong rumah mew4h itu dipenuhi banyak orang yang berlalu lalang. Pramusaji berseragam hitam-putih mendorong troli perak berisi botol-botol minu man. Dekorasi b**ga menghiasi tiap sisi ruangan. Karyawan rumah tangga sibuk memasang ornamen gantung dan menggantungkan lampu kristal tambahan di aula.

"Ada apa ini?"

Sebelum Laras bisa melangkah lebih jauh, suara berat menyapanya dari sisi kiri.

“Ah, Laras. Sudah bangun?” Pak Herman muncul dari balik lorong. Mengenakan kemeja lengan panjang krem dengan jas abu-abu yang terlihat m4hal. Wajahnya bersinar bangga.

Laras membalas dengan anggukan kecil. “Maaf Ayah, aku bangun kesiangan. Apa akan ada pesta?”

“Hari ini pesta tahunan keluarga. Sudah jadi tradisi sejak almarhum ibu Damar masih hidup. Kita undang kolega b i s n i s, teman-teman lama, dan orang-orang penting,”

Laras mengangguk pelan. Lalu mencoba mencari keberadaan suaminya. Namun, lelaki itu tak terlihat.

“Dia keluar sejak pagi. Mungkin urus dekorasi. Atau fitting jas.” Pak Herman seakan mengerti apa yang sedang Laras pikirkan.

Laras mengangguk sekali lagi.

"Bersiaplah untuk nanti malam. Nanti akan ada beberapa orang yang membantumu untuk bersiap." Pak Herman menyen tuh pundak Laras. Kemudian melangkah pergi.

Laras berdiri kaku. Ada yang terasa mengganjal di h4tinya. Ia lalu berjalan perlahan menuju tangga, diam-diam menahan perasaan tak nyaman yang mulai merambat di dalam da danya.

Malam datang dengan cepat, membawa aroma wi-ne dan parfum mahal. Aula sudah dipenuhi cahaya temaram dan gelak tawa para tamu. Mus*k piano mengalun lembut dari sudut aula pesta.

Laras berdiri di dekat dinding, mengenakan gaun berwarna biru tua. Gaun itu indah, tetapi tubvh Laras terasa dingin di dalamnya. Terasing. Seperti lukisan cantik yang digantung di galeri, hanya untuk dilihat, bukan untuk dira sakan.

Laras melirik jam. Sudah lewat pukul sepuluh. Pesta sudah berlangsung lama. Akan tetapi, Damar belum juga terlihat.

Beberapa tamu menanyakan keberadaan suaminya. Laras menjawab seadanya, tersenyum sopan meski hatinya mulai merasa gu sar.

Hingga beberapa saat kemudian …

“Laras.” Seorang perempuan paruh baya menyen tuh lengannya. “Itu Damar, kan?”

Laras menoleh. Hingga tu buhnya seketika mene gang.

Damar duduk di lounge belakang aula. Terlihat tenang, nyaman … dan ia tidak sendiri.

Di sampingnya duduk seorang wanita bergaun merah menyala, dengan rambut digulung anggun. Wanita itu tertawa, nampak begitu bahagia. Sesekali ia terlihat berbi s*k di dekat telinga Damar.

Laras menahan napas.

"Ya ampun. Kasihan sekali kamu, itukan Dania. Mantannya Damar." Perempuan paruh baya itu tertawa menge jek Laras. Lalu pergi meninggalkan Laras dengan rasa s4kit di h4tinya.

Jadi nama yang sering ia sebut dalam tidurnya itu adalah nama mantan kekasihnya.

Damar sempat menoleh. Menatap Laras beberapa menit.

Laras memalingkan wajah. Lalu memainkan gelas wi-ne di tangannya.

Wanita di samping Damar terus tertawa. Namun, Damar tak menoleh lagi padanya. Tatapan lelaki itu tertuju kepada Laras.

Laras menggi git bi bir ba wahnya. Dunia seolah melambat. Suara tawa para tamu terdengar jauh. Lampu-lampu seperti menu-suk matanya. Ada bara yang menyala pelan dalam dad4nya, memb4kar lambat tetapi mampu mengh*nguskan h4tinya dalam sekejap.

Laras menuangkan wi-ne ke dalam cangkirnya. Tanpa kata, tanpa pikir, ia mulai mene guknya.

Tegukan pertama terasa pa hit. Membuat Laras menyeri ngai kecil. Tegukan kedua, ketiga, dan seterusnya. Laras minum lagi dan lagi.

Hingga penglihatannya mulai bu ram.

Kini dalam pendengaran Laras, suara mus*k berubah menjadi gema yang tak beraturan. Lantai seolah bergoyang. Suara-suara terdengar mengambang di udara seperti bayangan. Dunia seakan berputar, dan Laras hanya ingin terbang.

Laras tertawa kecil, lalu menangis. Tak jelas. Ia masih dapat melihat dengan samar di ujung sana. Wanita itu bersan dar di bahu Damar.

Di ujung sana, Damar masih di tempatnya. Menatap Laras. Namun, wajahnya kini mulai berubah.

Wanita di sebelahnya mencoba menggamit tangannya, tetapi kali ini Damar menghindar. Lelaki itu menoleh sekali lagi ke arah Laras yang mulai lim b**g.

Dengan satu gerakan, ia memutar kursi rodanya. Meninggalkan Dania pergi tanpa sepatah kata.

Wanita bergaun merah itu memanggil pelan. Namun, Damar tak menoleh. Tak peduli. Lalu menghilang dari keramaian.

Dan Laras ... masih berdiri di tengah aula, matanya mulai sayu dan tu buhnya mulai goyah.

Seorang laki-laki menyu sup di antara kabut kesadarannya. Laras menoleh, matanya mulai basah.

Pria itu menatap sekeliling, lalu tanpa banyak bicara, mengangkat tu buh Laras ke dalam gendong*nnya. Membuat gaun biru itu melorot sedikit di bahu Laras, dan rambutnya seketika jadi beran takan.

Langkah lelaki itu cepat, menyelin*p kelu ar dari aula pesta. Sebuah mobil mew4h berwarna hitam sudah menunggu di pelataran. Pria itu membuka pintu mobil, lalu memb*ringkan Laras perlahan.

Laras membuka mata sesaat. Samar.

“Jangan bawa aku pulang ...” bi s*knya lirih, air matanya kini mengalir deras.

Pria itu menatapnya sejenak, lalu menutup pintu dan duduk di kemudi.

Mobil itu melaju cepat, meninggalkan aula pesta.

Judul : Rahasia Suami Lum-puhku
Penulis : Pelangi Senja
Aplikasi : KBM

Sudah beberapa kali aku dibawa ke rumah sakit besar ini. Katanya untuk memeriksa kesuburan, dan terakhir kali aku ingat,...
24/09/2025

Sudah beberapa kali aku dibawa ke rumah sakit besar ini. Katanya untuk memeriksa kesuburan, dan terakhir kali aku ingat, pemeriksaan itu terasa menyakitkan. Tapi sampai detik ini, aku belum benar-benar memahami apa yang dimaksud dengan “pemeriksaan kesuburan.” Aku hanya menuruti setiap permintaan Mas Damar dan Kak Hana. Mereka bilang semua ini penting agar kami bisa segera memiliki keturunan.

Tak lama terdengar suara pintu terbuka. Dokter Irawan masuk, mengenakan jas putih dan senyum profesional yang tidak hangat. Beliau menyapa sekilas, lalu segera memintaku berbaring. Tanpa banyak penjelasan, perutku dibersihkan dengan gel dingin dan alat pemeriksa itu mulai digerakkan ke sana kemari.

Samar aku mendengar suara detak pelan dari mesin, tapi aku tidak tahu harus memperhatikan bagian mana dari layar hitam dengan titik-titik abu-abu itu. Rasanya asing. Tak nyaman. Aku hanya bisa menggigit bibir dan mengikuti instruksi untuk bernapas pelan.

Beberapa menit kemudian, dokter menghentikan gerakan tangannya. Beliau mengangguk kecil, lalu memandang Mas Damar dan Kak Hana.

“Selamat. Hasil tes darah dan pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan bahwa Ibu Aisyah positif hamil. Usia kehamilan sekitar dua minggu.”

Jantungku seperti lompat ke lantai. Aku duduk menegak, menatapnya dengan kening berkerut.

“Maaf, Dok... barusan apa?”

Dokter Irawan menoleh ke arahku. “Kehamilannya sudah terdeteksi, Bu Aisyah.”

Aku menggeleng cepat. “Tidak mungkin. Saya nggak hamil. Mana mungkin saya hamil?”

Aku memandang Mas Damar yang berdiri di sudut ruangan. Wajahnya sedikit menegang, tetapi mata itu berbinar seolah sedang menahan sesuatu.

“Saya belum pernah berhub**gan suami istri dengan Mas Damar,” lanjutku, suaraku meninggi tanpa bisa dicegah.

Ruangan menjadi senyap. Dokter Irawan menghela napas. Ada ketegangan yang jelas di wajahnya. Tangannya menyatu di depan perut, lalu beliau menatap Kak Hana dan Mas Damar secara bergantian.

“Sesuai dengan kesepakatan awal, saya rasa sebaiknya Ibu Hana dan Bapak Damar yang menjelaskannya secara langsung.”

Aku memalingkan wajah, menatap Kak Hana dengan sorot penuh tanya. Perempuan itu melangkah maju. Dia duduk di kursi sebelah ranjang, menyandarkan tubuhnya sedikit ke depan.

“Kakak tahu ini mengejutkan, Syah,” ucapnya hati-hati. “Tapi... kami sudah lama mendambakan anak. Masalahnya, kamu tahu kan Kakak nggak bisa mengandung. Kondisi rahim Kakak nggak memungkinkan untuk mengandung.”

Aku diam, merasakan nafas ini mulai berat.

“Setelah banyak pertimbangan, Kak Hana dan Mas Damar memutuskan untuk melakukan program bayi tab**g. Dan kamu, kamu yang kami pilih untuk menjadi ibu pengganti.”

Aku langsung berdiri. Seketika suhu tubuhku turun drastis. Suara detak jantungku menggema di telinga.

“Jadi... semua ini sudah direncanakan?” tanyaku lirih. “Setiap kali Aisyah diajak ke rumah sakit, ternyata bukan untuk memeriksa kesuburan... tapi untuk dijadikan alat bagi kalian?”

Pandanganku kini tertuju pada Mas Damar. Dia masih diam. Tidak ada penjelasan, tidak ada pembelaan. Hanya berdiri di sana, menatapku seperti seharusnya aku patut memaklumi semuanya.

“Apa Aisyah bukan manusia? Bahkan seekor hewan pun tahu kapan tubuhnya dipakai untuk beranak!” suaraku meninggi.

Tanganku bergetar. Ingin rasanya menjerit, tapi tenggorokan terasa seperti tersumbat.

“Kalian tidak pernah minta izin. Tidak pernah menjelaskan. Kalian hanya memperalat tubuh Aisyah. Bahkan... kalian tidak memberitahu apa pun. Saya... saya bahkan tidak tahu bagaimana prosesnya!”

Kak Hana mencoba menyentuh lenganku, tapi aku menepisnya. Aku melangkah mundur hingga nyaris terantuk kaki kursi.

Kupandangi Dokter Irawan, berharap ada kejujuran di sana. Tapi yang kutemukan hanyalah wajah penuh rasa bersalah.

“Dokter pun ikut dalam kebohongan ini?” tanyaku dengan suara tertahan. “Bukankah tugas dokter menjaga kehormatan pasiennya?!”

Tak ada jawaban.

Air mataku jatuh, satu demi satu. Semakin lama semakin deras seperti rinai hujan. Tanpa sepatah kata pun, aku pergi dari ruangan itu. Suara kursi bergeser terdengar di belakangku. Juga suara langkah tergesa. Tapi hanya satu suara yang mengejarku.

“Syah, tunggu... tolong dengar dulu.” Dan itu Mas Damar.

---

Judul : Hanya Rahim Titipan
Author : Zi Aldina
Status : On Going
Bab : 4

Yuk... baca lanjutnya di KBM,
Jangan lupa subscibe ya!

"Kok longgar sih, Sayang?"***Jadi, maksudnya Anggi berbo-hong padaku, begitu?Kalau dia tidak beker-ja di tempat ibunya D...
24/09/2025

"Kok longgar sih, Sayang?"

***

Jadi, maksudnya Anggi berbo-hong padaku, begitu?

Kalau dia tidak beker-ja di tempat ibunya Devan, lalu dia ker-ja di mana? Dari mana dia mendapatkan ua-ng selama ini?

Aku pulang ke rumah dengan pikiran dipenuhi pertanyaa. Perasaanku jadi tidak enak. Lalu, begitu sampai di rumah aku tidak menemukan Anggi di manapun.

Di mana dia?

Ting!

Aku merogoh ponselku yang bergetar di dalam saku jaket. Pesan singkat dari Anggi langsung terpampang di layar.

(Anggi: Mas, Chika sama kamu dulu ya di bengkel. Aku masih ker-ja.)

ker-ja katanya?! Jadi, Anggi benar-benar membo-hongiku?!

Aku membawa Chika ke bengkel, memilih untuk menahan emosi sampai aku pulang ke rumah. Walaupun aku jadi tak fokus beker-ja karena terus terpikir ke mana Anggi pergi dan ker-ja apa yang dia lakukan.

Sampai akhirnya aku menutup bengkel lebih cepat lalu pulang ke rumah. Anggi sedang menonton televisi begitu aku pulang bersama dengan Chika. Sesampainya di rumah pun aku tidak bisa langsung bertanya pada Anggi, aku tidak ingin Chika mendengar perdebatan orang tuanya.

Jadi, aku harus menunggu lagi sampai Chika tertidur malam harinya.

“Tadi kamu ke mana?” tanyaku begitu Anggi masuk ke dalam kamar setelah menidurkan Chika.

“ker-jalah, ‘kan, aku udah bilang,” sahutnya acuh.

“ker-ja di mana?”

Anggi berdecak. “Ibunya Devan, Mas, kamu lupa apa gimana, sih?”

“Nggak usah bo-hong, jawab yang jujur. Kamu ker-ja di mana.” Aku melempar tatapan tajam.

“bo-hong apa sih, Mas? Ya itu aku udah jawab, ‘kan?” Anggi merebahkan dirinya di atas ranjang.

“Kamu pikir aku nggak tahu kamu bo-hong?! Kamu ker-ja di mana, Nggi! ker-ja apa! Tadi siang aku tanya langsung ke ibunya Devan, katanya kamu nggak pernah ker-ja sama dia!” seruku mulai tak bisa membendung emosi yang kutahan sejak siang.

“Kamu … tanya sama ibunya Devan, Mas?” tanya Anggi terkejut. Wajahnya terlihat pias. “Ngapain kamu tanya sama dia segala? Segitu nggak percayanya kamu ke aku?”

“Aku mau mastiin aja, dan firasatku bener, ‘kan, kalo kamu bo-hong. Jadi, selama ini kamu ker-ja di mana?” desakku.

“Kemarin aku emang masih ker-ja sama ibunya Devan, tapi habis itu keluar karena nggak cocok sama dia. Terus hari ini aku baru dapet ker-jaan baru lagi,” sahutnya yang membuatku mengerutkan kening.

“Jelas-jelas dia ngomong kalo kamu nggak pernah ker-ja sama dia! Udah deh, Nggi, kamu jujur aja kamu ker-ja apa!”

“Dia bilang begitu pasti karena masalah di toko kemarin. Dia sengaja pengen bikin aku berantem sama kamu. Dia itu orangnya emang begitu, Mas, makanya aku keluar,” elaknya.

“Terus sekarang jawab pertanyaanku, kamu ker-ja apa.”

“ker-ja di toko online temenku. Kamu nggak kenal sama dia, soalnya dia temenku pas masih SMA.”

Aku mengusap wajah, entah mengapa aku sulit mempercayai ucapan Anggi begitu saja.

“Coba aku mau ngomong sama temen kamu.”

“Buat apa? Kamu nggak percaya sama aku?!”

“Bukan nggak percaya, cuma mau mastiin aja.”

“Sama aja! Padahal aku ini ker-ja buat bantuin kamu, tapi kamu malah nggak percayaan sama aku begitu. Harusnya kamu seneng punya istri yang peka dan mau bantuin kamu cari duit! Asal kamu tau, hidup dari duit kamu doang itu nggak cukup!”

“Tinggal jawab apa susahnya sih?!”

“Udah aku jawab, ‘kan, tadi?! Terserah kalo kamu nggak percaya juga nggak apa-apa! Aku nggak peduli!”

Anggi keluar dari kamar dengan wajah merah padam. Memangnya aku salah memastikan di mana istriku sendiri beker-ja? Atau aku saja yang berlebihan?

Aku mengacak-acak rambut frustrasi. Anggi berakhir tidur di kamar Chika malam itu, sementara aku tidur sendirian di kamar.

Keesokan harinya s*kap Anggi berubah dingin padaku, saat kutanya pun dia hanya menjawab dengan seperlunya. Aku hanya menghela napas, lalu pergi ke bengkel.

Sore harinya saat aku pulang aku tak mendapati Anggi dan Chika di rumah. Aku menghub**gi ponsel Anggi, tapi tak satu pun panggilannya dijawab. Ke mana mereka pergi? Kenapa Anggi nggak pamit atau izin padaku lebih dulu?!

Aku berdecak, berjalan keluar rumah sambil sibuk menghub**gi Anggi.

“Bu, Ibu liat istri sama anak saya pergi ke mana nggak?” tanyaku pada seorang tetangga yang sedang menyapu halaman.

“Waduh, saya nggak tau, Mas Aksa. Tapi, Mbak Anggi udah pergi dari tadi pagi. Katanya sih mau ke rumah ibu mertua.”

Ke rumah Ibu?

Setelah mengucapkan terima kasih pada tetanggaku, aku langsung pergi ke rumah Ibu dengan motor. Tapi, begitu sampai di sana aku hanya melihat Ibu yang tengah menyuapi Chika mie instan di rua-ng tamu.

“Ayah! Yeay, Ayah pulang!” pekik Chika menghambur ke pelukanku.

“Anggi mana, Bu?” tanyaku pada Ibu.

“Loh, Anggi pergi dari siang. Emangnya dia nggak bilang sama kamu?” Ibu balik bertanya.

“Pergi dari siang? Pergi ke mana?”

Ibu menggeleng. “Ibu nggak tahu, nggak sempet nanya. Dia cuma nganterin Chika habis jemput di TK. Terus buru-buru pergi lagi.”

Ke mana dia?

“Terus sampe sekarang Anggi belum pulang, Bu?”

Ibu menggeleng lagi. Aku mengusap wajah, bisa-bisanya Anggi tak berpamitan padaku lagi. Sebenarnya apa yang dia lakukan?!

Aku merogoh ponsel di dalam jaket, mencoba menghub**gi Anggi yang berujung sia-sia. Tidak satu pun panggilanku yang diangkat olehnya.

“Kalian lagi berantem? Kok tumben kamu kebingungan nyariin Anggi,” tanya Ibu sambil menyuapi Chika sepiring mie instan.

“Nggak kok, Bu, kayaknya dia lagi keluar sama temennya,” bo-hongku. Sengaja, karena tidak ingin membebani pikiran Ibu yang sudah tua.

“Syukurlah kalo kalian baik-baik aja, Ibu seneng dengernya.”

Aku membua-ng napas samar. Mustahil aku menceritakan prahara rumah tanggaku pada Ibu. Selama ini aku belum bisa memberikan apapun padanya, jadi aku tidak ingin membebaninya dengan masalahku.

“Kok Ibu kasih Chika mie instan?” tanyaku dengan dahi berkerut. “Baru kemarin Chika makan mie, Bu, Chika nggak boleh keseringan makan mie. Nggak bagus kalo kebanyakan natrium.”

“Maaf, Nak, Ibu cuma punya ini di dapur. Mau beli telur tapi ua-ng dari kamu udah habis,” sahut Ibu dengan nada bersalah. Ah, aku jadi merasa bersalah karena sudah menegurnya.

“Loh, emangnya Anggi nggak nitipin ua-ng buat Ibu?” tanyaku.

Ibu menggeleng. “Dia langsung pergi tadi begitu nitipin Chika. Ibu juga belum makan dari tadi. Ini mie instan harusnya buat Ibu.”

“Ibu belum makan dari tadi?”

“Belum, nggak apa-apa kok. Ibu masih kenyang.”

“Tunggu sebentar, Aksa beliin telur di warung ya, Bu.”

Aku bergegas membeli sekilo telur dan beberapa b**gkus mie instan untuk Ibu di warung dekat rumah Ibu. Anggi benar-benar keterlaluan! Bisa-bisanya dia menitipkan Chika tanpa meninggalkan sepeserpun ua-ng untuk Ibu.

“Aku mau keluar sebentar, Bu,” pamitku setelah menaruh belanjaanku di dapur.

“Mau ke mana?”

“Mau ke … rumah temenku sebentar. Aku udah janjian tadi,” bo-hongku lagi.

“Ayah, ikut! Chika mau mau ikut!”

Akhirnya aku keluar mencari Anggi dengan mengajak Chika bersamaku. Aku pergi mengelilingi kota, berharap tak sengaja berpapasan dengan Anggi di jalan. Tapi, bermenit-menit kemudian aku berkeliling tanpa tujuan, tak kutemukan Anggi di manapun.

“Kita mau ke mana, Ayah?” tanya Chika yang duduk di depanku.

“Kita mau pergi ke Mama, Sayang. Kita cari Mama, kalo Chika liat Mama bilang, ya?”

Chika mengangguk semangat, tak mengerti kalau ibunya saat ini entah pergi ke mana dan dengan siapa. Firasatku jadi tidak enak, pikiranku meliar ke mana-mana.

Sampai akhirnya aku menyerah saat tak bisa menemukan Anggi di manapun. Aku berbalik arah pulang ke rumah Ibu dengan perasaan campur aduk. Tapi, di jalanan yang mengarah ke rumah, aku melihat sebuah mobil silver yang tempo hari kulihat.

Dan Anggi turun dari mobil itu.

Aku sontak menghentikan motor di balik pohon di sisi lain jalan. Dari tempatku terlihat jelas seorang lelaki yang duduk di balik kemudi mobil itu dengan jendela terbuka lebar.

Siapa dia? Kenapa Anggi turun dari mobil itu? Apa jangan-jangan … Anggi beneran seli-ngkuh di belakangku?

Aku mengepalkan tangan. Mengamati punggung Anggi yang menjauh lalu menghilang di balik gang sempit. Sedangkan mobil pria asing itu masih terparkir di sana.

“Om Baik! Ayah, itu Om Baik!” celetuk Chika tiba-tiba sambil menunjuk pria asing di mobil silver itu.

“Om Baik? Siapa Om Baik? Chika kenal sama Om itu?” tanyaku.

Chika mengangguk antusias. “Kemalin aku dikasih mainan sama Om Baik, Yah!”

Apa katanya? Jadi, maksudnya Chika pernah bertemu dengan lelaki itu?

“Oh, ya? Kapan Chika ketemu sama Om Baik?” tanyaku.

“Waktu pulang sekolah.”

“Pulang sekolah? Terus Chika diajak ke mana?” selidikku.

“Ke KFC! Besok Chika ajak Ayah, ya,” sahutnya sambil tersenyum lebar.

“Om Baik siapanya Mama, sih?” tanyaku berusaha menyembunyikan nada geram.

“Om Baik itu temennya Mama. Om Baik sering kasih Chika cokelat loh, Ayah!”

Teman? Teman macam apa yang diam-diam pergi tanpa sepengetahuanku begitu? Anggi bahkan tidak pernah cerita apapun padaku tentang temannya.

Tak bisa kubenarkan, aku yakin mereka pasti memiliki hub**gan sesuatu. Tapi, aku tak memiliki bukti yang kuat untuk menuduh Anggi.

Jadi, aku cepat-cepat pulang ke rumah sebelum Anggi sampai ke rumah Ibu. Untung saja saat aku sampai di rumah Anggi belum datang. Jadi, aku pura-pura duduk menunggunya di teras rumah Ibu.

Beberapa menit kemudian Anggi datang, wajahnya tampak terkejut begitu melihatku di teras rumah Ibu.

“Dari mana kamu, Anggi?”

BERSAMBUNG, BACA SELENGKAPNYA DI APLIKASI KBM APP

PENULIS: ACHA07

JUDUL: PEKERJAAN RAHASIA ISTRIKU

Bara tumbuh dan berkembang bareng, 2022 dipertemukan disinetron panggilan masih berlanjut sampai sekarang 2025 di merang...
24/09/2025

Bara tumbuh dan berkembang bareng, 2022 dipertemukan disinetron panggilan masih berlanjut sampai sekarang 2025 di merangkai kisah indah berkat akting yang mumpuni. Selalu berhasil memerankan karakter yang dibawakan dari mala ilham, naura rahsya, dan mutiara kenzo 🩵❤️💙

Bab 10Pintu rumah Laura diketuk tiga kali dengan cepat. Di dalam, Laura yang tengah memotong buah di dapur bergegas ke a...
24/09/2025

Bab 10

Pintu rumah Laura diketuk tiga kali dengan cepat. Di dalam, Laura yang tengah memotong buah di dapur bergegas ke arah pintu depan. Dia sempat mengintip melalui lubang kecil di pintu, dan jantungnya langsung melompat saat melihat siapa yang berdiri di sana.

“Karina?” Begitu pintu dibuka, Laura tertegun.

Karina berdiri dengan wajah lelah. Matanya sembab seperti baru saja menahan tangis selama berjam-jam. Di sebelahnya, koper besar berdiri tegak.

“Aku ganggu nggak?” tanya Karina pelan.

Laura menggeleng cepat, tanpa berkata apa-apa langsung menarik tangan Karina masuk ke dalam. “Ya Tuhan, kamu kenapa? Kamu sendirian? Ada apa? Ini koper... kamu kabur?”

Karina tidak langsung menjawab. Dia menaruh kopernya di sudut pintu dan langsung duduk di sofa. Matanya mulai berair, tapi dia menahan. Giginya mengatup.

“Adrian tidur sama Nadira,”

Suasana langsung membeku. Pisau di tangan Laura—yang masih dia bawa dari dapur nyaris terjatuh dari genggamannya. “What?”

Karina mengangguk pelan, lalu menceritakan semuanya. Laura terdiam mendengarkan. Sesekali menahan napas.

“Aku nggak tahu harus ke mana,” ujar Karina akhirnya, mengusap matanya. “Aku cuma… pengen pergi dari sana,”

Laura langsung duduk di sebelah Karina dan menggenggam tangannya erat.

“Kamu bisa tinggal di apartemenku,” ucapnya mantap. “Yang di lantai empat, yang biasanya kusewakan. Sekarang kosong. Furniturnya lengkap, dan kamu bisa masuk kapan pun,”

Karina menatapnya. “Serius, Lau?”

“Serius,” Laura mengangguk. “Kuncinya ada di rak dapur. Kalau kamu kuat, kita ambil barangmu ke mobil sekarang. Tapi kalau kamu mau istirahat sebentar dulu, juga boleh. Yang penting, kamu nggak sendirian,”

- **

Koridor rumah sakit dipenuhi langkah tergesa staf medis dan suara samar-samar monitor dari ruangan ICU. Karina belum masuk kerja hari ini, tapi Laura tetap menjalani jadwal jaga paginya. Dia baru saja selesai memeriksa seorang pasien saat berbelok di koridor utama dan mendadak bertemu dengan sosok yang membuat langkahnya terhenti.

Adrian mengenakan jas putih dan wajah lelah. Tapi bagi Laura, tidak ada lagi yang istimewa dari pria itu. Napasnya tercekat. Dia segera menunduk, berpura-pura melihat tablet di tangan. Langsung berjalan cepat seolah tidak melihat apa pun.

Namun Adrian sempat melihatnya. Alisnya mengernyit. “Laura?”

Laura makin mempercepat langkah, tak menjawab.

Adrian coba mengejar. “Laura, tunggu—”

Namun sebelum dia sempat mengejar, suara berat dan dingin terdengar dari sisi kiri koridor. “Adrian,”

Adrian menoleh. Bastian, rekan sejawatnya di divisi bedah saraf, berdiri tegap di depan ruang rawat. Tidak seperti biasanya yang ramah dan tenang, kali ini wajah Bastian dingin. Tangannya menyilang di dada.

“Kita perlu bicara,” kata Bastian, langsung ke inti.

Adrian menghela napas, menegakkan tubuhnya. “Bastian, bisa nanti? Aku sedang—”

“Sekarang,” potong Bastian tegas.

Adrian mengangguk pelan. Mereka berjalan menjauh dari keramaian, ke ruang dokter yang sepi pagi itu. Begitu pintu tertutup, Bastian menatap Adrian tanpa basa-basi.

“Jadi benar?”

Adrian tidak langsung menjawab. “Benar apa?”

“Kau menghamili gadis dua puluh satu tahun. Nadira,” Bastian menyebut nama itu dengan dingin, seolah baru menyebutkan penyakit mematikan. “Yang entah siapa, dari mana,”

Adrian memejamkan mata sejenak, lalu mendesah panjang. “Aku… aku melakukan kesalahan. Tapi itu—”

“Kesalahan?” Bastian menahan tawa sinis. “Itu yang kau sebut kesalahan? Itu pengkhianatan, Adrian. Kau dan Karina… kalian pasangan panutanku, dulu. Dan sialnya, Laura tahu semua,”

Wajah Adrian menegang. “Laura tahu?”

Bastian mengangguk. “Laura sahabatnya. Dan aku harus lihat sendiri istriku tiba-tiba menangis karena tak tahu harus menenangkan Karina atau melawan rasa muaknya sendiri terhadapmu,”

“Bukan urusan kalian,” suara Adrian mulai naik, tapi masih ditahan.

“Urusanku,” balas Bastian tajam. “Karena aku suami Laura. Dan aku juga temanmu,”

Adrian mengatupkan rahang. “Kau tak tahu apa yang terjadi di rumahku,”

“Aku tidak perlu tahu detailnya. Tapi aku tahu, kau menghancurkan perempuan yang paling mencintaimu,”

Adrian berdiri mematung di ujung ruangan, membiarkan kata-kata Bastian menggema. Dia memejamkan mata sebentar, menarik napas panjang.

“Aku tahu aku salah,” ujarnya. “Aku tahu semua ini… salah. Tapi Nadira tidak bersalah sepenuhnya,”

Bastian mendengus pendek. “Kau bercanda?”

Adrian membuka mata. Tatapannya tidak lagi defensif, tapi tenang, dan jujur. “Dia tidak merayu, tidak mendekatiku lebih dulu. Bahkan saat pertama kali kami tinggal serumah, dia selalu menjaga jarak. Tapi setiap hari aku melihatnya mengurus bayi itu sendiri, membantu pekerjaan rumah tanpa diminta dan tidak pernah menuntut apa pun. Seringkali aku bangun lebih dulu hanya untuk menemukan dia sudah bersih-bersih dapur,”

Bastian tetap diam. Membiarkan Adrian melanjutkan.

“Dan malam itu…” Adrian menarik napas lagi. “…malam itu, aku pulang dalam keadaan hancur. Ada pasien remaja yang tidak bisa kuselamatkan di meja operasi. Ayahnya menjerit, menyalahkan semuanya padaku. Aku... tidak kuat. Aku merasa hampa, kecil, gagal. Lalu aku pulang,”

Dia menunduk. Jemarinya mengepal. “Nadira ada di dapur, menyeduh teh. Dia menatapku lama, tidak banyak bicara. Tapi matanya... kau tahu rasanya saat seseorang menatapmu dan kau merasa... hidup lagi? Bukan sebagai dokter, bukan sebagai suami, tapi sebagai manusia?”

Bastian mengepalkan rahangnya, tapi tetap tak menyela.

“Aku terlalu lelah untuk berpikir. Kami tidak merencanakan apa pun. Tapi saat dia menaruh semangkuk sup di depanku, tangannya gemetar,” Adrian terdiam sejenak, mengingat momen itu dengan gamang. “Waktu itu… aku hanya ingin memeluk seseorang. Seseorang yang tak menuntutku kuat. Dan dia menangis saat aku menyentuh bahunya. Aku tidak tahu kapan itu berubah jadi... hal lain,”

“Lalu kau memutuskan tidur dengannya. Karena kau merasa dibutuhkan?” Bastian akhirnya bicara.

Adrian menatap sahabatnya, tidak lagi menghindar. “Ya. Aku ingin merasa… diinginkan. Di tengah semua tekanan yang harus kujaga di rumah, di ruang operasi, di depan semua orang… saat itu, aku lemah,”

Bastian menatapnya lama, ekspresinya sulit dibaca. Akhirnya dia berkata lirih, “Tapi Karina juga lelah, Adrian. Dia juga butuh pelukanmu. Tapi kau tidak melihat itu, kan?”

Adrian tertunduk.

Bastian melanjutkan, “Kau tidak salah mencintai seseorang. Tapi kau salah karena telah menghancurkan orang yang paling mencintaimu,”

- **

Sore itu, langit mulai redup. Hujan rintik membasahi jendela apartemen lantai empat tempat Karina sementara tinggal. Aroma teh jahe yang baru diseduh memenuhi ruangan, menambah kehangatan.

Laura datang setelah selesai dari rumah sakit. Begitu melihat Karina membuka pintu dan tersenyum kecil, napasnya sedikit lega.

“Bagaimana?” tanya Laura sambil melepas jas dan menaruh tasnya.

Karina mengangguk pelan. “Sudah lebih baik. Raya juga baik-baik saja di sana… kurasa,”

Laura mendesah. Dia menatap wajah sahabatnya, lalu mendekat dan memeluk singkat. “Aku tahu kamu kuat, Rin. Tapi jangan pernah merasa sendirian,”

Mereka duduk berdua di sofa. Teh diseruput perlahan, hening sejenak sebelum Laura akhirnya bicara.

“Bastian bertemu Adrian tadi pagi,” katanya.

Karina menoleh pelan.

“Dan seperti yang kuduga, Bastian tidak bisa tahan untuk tidak melabraknya. Tapi—” Laura menahan napas. “Adrian malah membela Nadira,”

Karina menunduk, jari-jarinya bermain dengan cangkir.

“Katanya Nadira bukan perempuan jahat. Katanya Nadira rapuh, sendirian, dan dia... khilaf. Kamu tahu, Rin? Aku muak! Muak dengar semua pembelaan itu,”

Karina masih diam.

“Jangan bodoh, Karina!” Lalu Laura meledak. “Jangan lepaskan semuanya cuma karena satu perempuan!”

Karina menoleh, terpaku menatap Laura.

“Enak sekali hidup Nadira itu,” Laura lanjut, matanya berkilat. “Masuk rumahmu, tidur di kasurmu, rebut perhatian suamimu. Itu rumah yang kamu dan Adrian bangun bersama-sama selama bertahun-tahun. Bukan dia,”

Laura kini condong ke depan, menatap Karina lekat-lekat. “Kalau kamu diam dan kamu pergi, kamu serahkan semuanya begitu saja. Rumah itu akan jadi miliknya,”

Karina membuka mulut, tapi tidak ada kata yang keluar. Hatinya berdebar keras.

Laura meletakkan cangkirnya di meja. “Kamu harus kembali. Bukan untuk Adrian, tapi untuk dirimu sendiri. Tunjukkan pada Nadira siapa pemilik rumah itu sebenarnya,”

Judul : Ibu Mertuaku Membawa Penggantiku
Penulis : Dama Mei
KBM App

Address

Ciranjang
Cianjur Regency

Telephone

+6281903550787

Website

http://tiktok.com/@soniardian1998

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Soni28 posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Soni28:

Share