21/09/2025
" Mengembalikan Kedaulatan Rakyat, Memangkas Kuasa Partai Politik "
Diskusi publik di Gedung LBH Cianjur, Jumat (19/9/2025), memberi kita cermin yang tajam: demokrasi Indonesia belum pernah sepenuhnya berada di tangan rakyat. DPR dan DPRD memang menjadi simbol representasi, tetapi praktiknya lebih sering menjadi perpanjangan tangan kepentingan partai politik.
Para narasumber—Dr. Dedi Mulyadi, Irvan Muchdar, O Suhendra, Asep Toha, dan Dian Rahadian—serempak mengingatkan bahwa partai politik hari ini memegang kuasa dari hulu ke hilir: dari rekrutmen calon legislatif, pengisian kursi melalui pergantian antarwaktu (PAW), hingga pengambilan keputusan politik. Rakyat hanya diundang ke bilik suara setiap lima tahun, kemudian ditinggalkan.
Inilah wajah demokrasi prosedural yang timpang. Dominasi parpol menumbuhkan ruang subur bagi politik uang, patronase, dan bahkan dinasti kekuasaan. Legislator pun lebih setia menjaga posisi di partai ketimbang memperjuangkan aspirasi konstituennya. UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Tetapi dalam praktik, kedaulatan itu digenggam rapat oleh elit partai.
Policy brief “Koreksi Demokrasi Setengah Hati” yang lahir dari forum ini menyodorkan solusi berani: amandemen UU MD3, penerapan mekanisme recall oleh konstituen, dan digitalisasi proses PAW agar publik bisa mengawasi. Ini bukan sekadar usulan teknis, tetapi tuntutan moral agar rakyat kembali memegang kendali atas wakil yang mereka pilih.
Tak berhenti pada wacana, para peserta menandatangani Petisi Rakyat untuk Perbaikan Sistem Partai Politik di DPR & DPRD. Petisi itu menuntut reformasi rekrutmen caleg yang berbasis integritas, transparansi keuangan partai, penghapusan oligarki, dan keterlibatan publik dalam proses legislasi.
Inilah langkah penting untuk menyehatkan demokrasi. Tanpa pemangkasan kuasa parpol, perdebatan soal “perlukah Indonesia tanpa DPR” hanya akan menjadi slogan kosong. Rakyat tidak membutuhkan pembubaran lembaga perwakilan, melainkan pengembalian ruh kedaulatan rakyat melalui reformasi mendasar partai politik.
Tugas selanjutnya jelas: tekanan publik harus berlanjut. Petisi ini mesti diperluas, policy brief harus menjadi bahan advokasi ke Senayan dan ke ruang-ruang pengambilan kebijakan. Demokrasi yang sehat hanya akan lahir bila rakyat bukan lagi penonton, tetapi pengendali.
Di Cianjur, suara itu sudah menggema. Tinggal menunggu, apakah Jakarta mendengarnya.