RUMAH Bersama URANG Cianjur

RUMAH Bersama URANG Cianjur DISKUSI PUBLIK

11/11/2025

SIARAN PERS
" Pemkab Cianjur Langgar Kesepakatan dengan DPRD, Pedagang Bojongmeron Jadi Korban Represi Saat Eksekusi SP3 "

Cianjur, 11 November 2025 —
Kesepakatan resmi yang dibuat DPRD Kabupaten Cianjur bersama perwakilan pedagang Pasar Bojongmeron pada Senin (10/11) sore ternyata diabaikan oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur. Hari ini, petugas Satpol PP tetap melakukan eksekusi SP3 secara represif terhadap pedagang, bahkan beberapa di antaranya mengalami tindak pemukulan.

Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah tak hanya mengingkari komitmen politik bersama legislatif, tetapi juga diduga telah melakukan tindakan di luar koridor hukum serta melanggar asas-asas pemerintahan yang baik (AUPB).

Eksekusi Dilakukan Pasca Kesepakatan Penundaan

Dalam berita acara kesepakatan yang ditandatangani di Gedung DPRD Kabupaten Cianjur, legislatif menetapkan tiga poin penting:

Tidak boleh ada eksekusi/penggusuran sebelum adanya hasil musyawarah dan evaluasi menyeluruh yang dilakukan secara terbuka.

Bila Pemkab memaksakan eksekusi, DPRD wajib memanggil eksekutif dan meminta pertanggungjawaban.

DPRD menjamin perlindungan dan rasa aman bagi seluruh pedagang hingga tercapai kesepakatan final.

Namun kurang dari 24 jam setelah kesepakatan tersebut ditandatangani, Pemkab melalui Satpol PP dan Damkar tetap melakukan eksekusi SP3 di kawasan Bojongmeron.

“Ini jelas pelanggaran terhadap kesepakatan resmi bersama DPRD. Eksekusi dilakukan tergesa-gesa tanpa dialog lanjutan dan disertai kekerasan terhadap pedagang,”
ujar Deden M. Junaedi, SH., M.HR dari YLBH Cianjur.

Tindakan Represif: Pedagang Dipukul

Sejumlah pedagang dan mahasiswa mengaku mengalami tindak kekerasan fisik saat eksekusi berlangsung.
Selain melanggar etika pelayanan publik, tindakan ini patut diduga memenuhi unsur pidana, antara lain:

Pasal 351 KUHP (Penganiayaan)

Pasal 406 KUHP (Perusakan barang milik orang lain)

Pasal 170 KUHP (Kekerasan di muka umum)

Selain itu, tindakan ini berpotensi digugat sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, serta pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam UU 39/1999.

DPRD Harus Jalankan Fungsi Pengawasan

Peristiwa hari ini menjadi ujian bagi DPRD Kabupaten Cianjur.
Komitmen yang mereka tandatangani tidak boleh berhenti sebagai simbol, tetapi harus diwujudkan melalui:

✅ Pemanggilan pihak eksekutif
✅ Evaluasi terbuka
✅ Langkah perlindungan bagi pedagang
✅ Penghentian eksekusi sampai tercapai kesepakatan

“Kami menuntut DPRD menjalankan fungsi pengawasan penuh dan memastikan Pemkab menghormati kesepakatan. Jika tidak, DPRD kehilangan marwahnya sebagai wakil rakyat,”
tegas Agustrama Tunggaraga dari GMNI Cianjur.

Legalitas Relokasi Masih Bermasalah

Selain pelanggaran prosedural, kebijakan relokasi pedagang Bomero juga masih menyisakan berbagai persoalan mendasar:

❌ Tidak ada musyawarah terbuka
❌ Tidak ada dasar legal izin pemungutan retribusi sebelumnya
❌ Tidak ada mekanisme kompensasi yang jelas
❌ Pendataan pedagang tidak transparan
❌ Relokasi dilakukan secara sepihak

Padahal, banyak pedagang sudah berjualan di lokasi tersebut selama lebih dari 20 tahun dan rutin dipungut retribusi oleh pemerintah.

“Bagaimana mungkin tiba-tiba pedagang dinyatakan ilegal, sementara selama puluhan tahun justru mereka dipungut retribusi oleh pemerintah?”
ujar Yusuf, perwakilan Sahabat Bomero.

Ini membuktikan bahwa relokasi bukan semata-mata persoalan zonasi, tetapi menyangkut tanggung jawab negara atas tindakan dan kelalaiannya selama ini.

Desakan

Koalisi pedagang, organisasi mahasiswa, dan lembaga bantuan hukum mendesak:

Hentikan segera eksekusi dan tindakan represif di Bojongmeron

Evaluasi terbuka dengan kehadiran DPRD, Pemkab, dan perwakilan pedagang

Usut dugaan kekerasan aparat dan berikan perlindungan bagi korban

Pastikan seluruh proses kebijakan memenuhi prinsip keterbukaan, keadilan, dan keberpihakan pada warga kecil

Penutup

Relokasi bukan berarti menata dengan kekerasan.
Membangun Cianjur bukan berarti mengorbankan rakyat kecil.
Keputusan politik yang tidak menghormati kesepakatan bersama hanya akan menghasilkan ketidakpercayaan dan konflik sosial yang berkepanjangan.

Kami menyerukan proses yang lebih bermartabat: terbuka, manusiawi, adil bagi seluruh warga.

Kontak Media:
📞 089560477976
📧 [email protected]

Organisasi/Koalisi:

Sahabat Bomero

GMNI Cianjur

PMII

HMI

YLBH Cianjur

RBUC







08/11/2025

SOROTAN RBUC
"Membuka Dialog, Mengembalikan Kedaulatan Rakyat Bojongmeron"

Gelombang protes pedagang Pasar Bojongmeron pada Jumat, 7 November 2025, bukan sekadar ekspresi kemarahan, melainkan alarm keras tentang rusaknya komunikasi kebijakan publik di Kabupaten Cianjur. Ratusan pedagang, bersama jaringan masyarakat sipil—Sahabat Bomero, YLBHC, GMNI, dan PMII—datang ke Pendopo, bukan untuk membuat gaduh, melainkan menuntut hak paling mendasar: didengar.
Sayangnya, mereka pulang tanpa jawaban. Bupati Cianjur memilih bungkam.

Rumah Bersama Urang Cianjur (RBUC) menilai, kebisuan ini menandakan krisis kepemimpinan dalam menangani kebijakan yang menyentuh urat nadi kehidupan ekonomi rakyat kecil. Relokasi pedagang ke Pasar Induk Cianjur dinilai berlangsung sepihak, tanpa kajian akademik independen, dan tanpa analisis dampak sosial yang memadai. Lebih parah, rekomendasi resmi DPRD melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) justru diabaikan.
Ini bukan sekadar kekeliruan prosedur. Ini adalah tanda bahwa ruang partisipasi publik semakin menyempit.

Prinsip Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) seharusnya menjadi pondasi setiap kebijakan. Namun yang terlihat justru sebaliknya: transparansi kabur, akuntabilitas melemah, partisipasi publik tergilas, sementara pedagang yang menjadi pihak paling terdampak justru dianggap beban, bukan subjek yang perlu diundang duduk bersama.
RBUC menegaskan bahwa kebijakan publik yang menyangkut penghidupan ribuan keluarga tidak dapat dibangun di atas pendekatan administratif semata. Ia harus diuji dari sisi kemanusiaan, keadilan, dan konstitusionalitas. Tanpa itu, kebijakan relokasi bukan sekadar cacat prosedural, tetapi juga berpotensi melanggar jaminan hak asasi warga yang terlindungi dalam UUD 1945 Pasal 28D dan 28H, serta berbagai regulasi seperti:
UU Pelayanan Publik
UU Pemerintahan Daerah
UU Ombudsman
Perpres 112/2007

Di tengah ketegangan ini, RBUC menawarkan jalan tengah: membuka ruang dialog kebijakan (Policy Dialogue Forum). Forum ini harus melibatkan akademisi, lembaga bantuan hukum, organisasi pedagang, serta pemangku kepentingan lain secara setara. Di dalam forum itulah kebijakan diuji secara objektif—bukan melalui ruang tertutup kekuasaan, melainkan melalui gotong royong pikiran.

Kebijakan yang baik bukan ditentukan oleh siapa yang paling kuat, tetapi oleh siapa yang paling mampu mendengar.
RBUC meyakini bahwa pemerintah daerah sesungguhnya memiliki kesempatan memperbaiki keadaan. Namun kesempatan itu hanya mungkin jika Pemkab memilih merangkul, bukan mengintimidasi; mendengar, bukan membungkam.

Apabila pemerintah tetap bersikeras menjalankan kebijakan sepihak, maka langkah hukum menjadi keniscayaan. Pelaporan ke Ombudsman, Komnas HAM, gugatan ke PTUN maupun pengadilan negeri menjadi jalan yang terbuka dan sah dalam negara demokrasi. Namun kami percaya, ruang dialog yang terbuka akan jauh lebih beradab dibanding tarik-menarik argumentasi di ruang litigasi.

Rakyat adalah pemilik kedaulatan. Pedagang bukan beban, melainkan denyut ekonomi daerah.
Melemahkan mereka sama saja mematikan nadi pembangunan.
Kini, pilihan ada di tangan Pemkab Cianjur:

Melanjutkan kebisuan yang melahirkan krisis kepercayaan, atau membuka pintu dialog untuk mengembalikan keadilan kebijakan.

RBUC memilih berada pada pihak yang memperjuangkan suara rakyat—sebab tanpa rakyat, tidak ada Cianjur yang layak disebut rumah.





07/11/2025
06/11/2025

SOROTAN RBUC

" Menimbang Sikap Pemerintah Pasca Nota Komisi II & Terbitnya SP3 untuk Pedagang Bomero "

Perkembangan terbaru terkait rencana relokasi pedagang Bomero menimbulkan pertanyaan serius mengenai arah kebijakan pemerintah daerah. Setelah Komisi II DPRD Kabupaten Cianjur menerbitkan Nota Dinas pada 4 November 2025 yang meminta pemerintah mempertimbangkan ulang rencana relokasi, Pemerintah Kabupaten Cianjur ternyata mengambil langkah berbeda. Terbitnya Surat Peringatan Ketiga (SP3) dari Satuan Polisi Pamong Praja kepada pedagang menandai pendekatan penegakan administratif yang jauh dari rekomendasi komunikasi dialogis.

Secara prosedural, Satpol PP memang memiliki kewenangan menerbitkan SP sebagai bagian penegakan peraturan daerah. Namun, keluarnya SP3 di tengah usulan resmi Komisi II agar kebijakan relokasi dikaji ulang menimbulkan kesan ketidaksinkronan antar-institusi pemerintahan daerah. Kondisi ini berpotensi memunculkan ketidakpastian bagi pedagang yang masih menunggu arah kebijakan final.

Bagi publik, ini bukan semata persoalan teknis penataan ruang usaha. Lebih dari itu, persoalan ini menyangkut kejelasan proses pengambilan keputusan, konsistensi antar lembaga pemerintah, dan jaminan bahwa kebijakan yang diambil mempertimbangkan hak-hak sosial ekonomi kelompok terdampak.

Relokasi—sebagai kebijakan publik—idealnya tidak hanya didasarkan pada peraturan tertulis, tetapi juga melalui pertimbangan rasional: kelayakan lokasi baru, kesiapan sarana pendukung, analisis dampak sosial-ekonomi, serta keterlibatan pihak terdampak dalam dialog yang bermakna.

Nota Komisi II, meskipun bersifat tidak mengikat, seharusnya menjadi rujukan bahwa terdapat aspirasi dan masukan objektif yang perlu dipertimbangkan pemerintah. Ketidakhadiran tindak lanjut berupa dialog lanjutan membuat komunikasi kebijakan tampak berjalan satu arah.

RBUC memandang bahwa situasi saat ini memerlukan pendekatan yang lebih hati-hati dan inklusif. SP3 seharusnya tidak mengakhiri ruang dialog, melainkan menjadi pintu masuk untuk mengkaji ulang proses relokasi secara komprehensif. Keberadaan pedagang di Bomero bukan hanya soal tempat berdagang, tetapi berkaitan dengan keberlanjutan usaha dan penghidupan keluarga mereka.

Agar keputusan yang diambil berkeadilan dan dapat diterima secara sosial, pemerintah perlu:

Menghadirkan dialog terbuka antara pedagang, pemerintah, dan pemangku kepentingan lain;

Menjelaskan dasar pertimbangan relokasi secara transparan, termasuk kajian kelayakan Pasar Induk;

Memastikan perlindungan sosial-ekonomi bagi pedagang terdampak;

Mensinkronkan sikap antar lembaga daerah, terutama pemerintah dan DPRD.

Situasi ini bukan semata ujian bagi pedagang, tetapi juga bagi pemerintah daerah dalam memastikan bahwa kebijakan yang diambil bersandar pada asas transparansi, partisipasi, dan keadilan.

RBUC tetap mendorong agar setiap langkah yang diambil menuju penyelesaian persoalan ini dilakukan melalui pendekatan yang humanis, dialogis, dan menghormati hak warga untuk mendapat kepastian atas ruang hidup dan penghidupannya.

Rumah Bersama Urang Cianjur (RBUC)
Mendorong ruang dialog yang setara, demi kebijakan yang lebih inklusif.....


berat

29/10/2025

Demokrasi yang Dipasung, Hukum yang Membisu di Cianjur
(Oleh: Rumah Bersama Urang Cianjur & YLBH Cianjur)

Ketika suara rakyat diseret ke balik jeruji besi, maka sesungguhnya yang ditahan bukan hanya seorang aktivis, melainkan juga akal sehat dan nurani keadilan.
Penahanan seorang aktivis muda bernama Rafli oleh Polres Cianjur bukan sekadar persoalan hukum, melainkan potret buram dari wajah demokrasi lokal yang kehilangan arah.
Aksi yang digelar pada 29 Agustus 2025 lalu — melibatkan mahasiswa, buruh, dan pengemudi ojek online — sejatinya adalah bentuk partisipasi warga dalam ruang demokrasi. Mereka menyuarakan kegelisahan terhadap ketimpangan sosial dan tata kelola pemerintahan yang kian menjauh dari rakyat. Namun, alih-alih dijadikan ruang dialog, aspirasi itu dibalas dengan penangkapan dan penahanan.

Ketika Kritik Dianggap Ancaman
Peristiwa ini memperlihatkan kecenderungan lama yang tak kunjung usai: kritik dianggap ancaman, bukan masukan. Padahal, konstitusi menjamin hak menyampaikan pendapat di muka umum sebagai hak asasi yang tidak boleh dibatasi secara sewenang-wenang.

Pasal 28 UUD 1945, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, dan berbagai instrumen HAM nasional maupun internasional menegaskan posisi rakyat sebagai subjek dalam negara hukum.
Namun, praktiknya di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Aparat penegak hukum kerap berdiri di sisi kekuasaan, bukan di sisi keadilan. Dalam kasus Rafli, bahkan setelah adanya islah antara pihak yang merasa dirugikan dan para aktivis, Polres Cianjur tetap menahan sang mahasiswa dengan alasan kerusakan gerbang DPRD. Sebuah alasan yang, bagi publik, terdengar terlalu kecil untuk membenarkan sebuah penahanan.

Anak Muda yang Diseret oleh Kekuasaan
Kita tidak sedang bicara tentang kriminal, tetapi tentang anak muda yang memperjuangkan nurani sosial. Seorang mahasiswa yang turun ke jalan dengan kesadaran bahwa diam di tengah ketimpangan adalah bentuk pengkhianatan.
Jika semangat seperti ini dibungkam, apa yang akan tersisa dari pendidikan, dari moralitas sosial, dan dari demokrasi itu sendiri?
Kepolisian sebagai institusi negara semestinya menjunjung tinggi profesionalisme, proporsionalitas, dan kemanusiaan dalam menjalankan tugas. Penegakan hukum bukan sekadar prosedur, tetapi juga cermin keadilan.
Menahan aktivis karena mengkritik kebijakan publik sama saja dengan mengkriminalisasi nurani.

Keadilan yang Tak Boleh Bungkam
Kami percaya, hukum yang adil tidak akan lahir dari tindakan represif.
Cianjur bukanlah wilayah tanpa hukum, tapi jangan biarkan menjadi wilayah tanpa keadilan. Karena setiap tindakan aparat yang melanggar batas bukan hanya melukai individu, tetapi merusak kepercayaan publik terhadap negara.
Sudah saatnya Polres Cianjur membuka mata, menegakkan hukum dengan nurani, dan menghentikan praktik-praktik yang berpotensi melanggar hak asasi manusia. Penahanan Rafli harus dievaluasi secara menyeluruh — bukan hanya demi dirinya, tapi demi masa depan demokrasi lokal yang lebih sehat.

Kembalikan Polisi pada Jati Dirinya
Polisi adalah pelindung rakyat, bukan alat kekuasaan.
Ketika rakyat menyuarakan pendapatnya dengan damai, maka polisi semestinya hadir sebagai pengaman, bukan penangkap.
Jika aparat gagal memahami makna dasar itu, maka yang sedang dibangun bukanlah keamanan, melainkan ketakutan.
Cianjur membutuhkan kepolisian yang humanis, adil, dan terbuka terhadap kritik. Masyarakat sipil tidak anti terhadap hukum — justru sebaliknya, mereka berjuang agar hukum ditegakkan dengan benar.

Kami menyerukan:
Bebaskan Rafli. Hentikan kriminalisasi terhadap aktivis.
Bangun kembali kepercayaan publik dengan profesionalisme dan keadilan yang sejati.
Sebab demokrasi hanya bisa tumbuh di tanah yang subur oleh kebebasan dan kejujuran — bukan di bawah bayang-bayang intimidasi dan pembungkaman.

17/10/2025

APBD CIANJUR 2026: ANGGARAN TANPA ARAH, PEMBANGUNAN TANPA RUH

Ketika rakyat Cianjur menaruh harapan besar pada janji “Cianjur Era Baru” yang diusung kepala daerah terpilih, yang dijanjikan bukan sekadar infrastruktur megah, tetapi kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, adil, dan bermartabat, kini janji itu perlahan memudar di bawah tumpukan dokumen anggaran yang membingungkan dan kehilangan arah.

Diskusi publik bertema “ Membedah RAPBD Cianjur 2026: Antara Janji Politik Dan Realitas Anggaran” yang diselenggarakan oleh Rumah RUMAH Bersama URANG Cianjur kerjasama Gerakan Civil Society Cianjur (GCSC), menghadirkan beragam pandangan dari aktivis, praktisi hukum, dan akademisi. Kesimpulan mereka satu: APBD Cianjur 2026 disusun dengan cara yang tidak sehat, tidak transparan, dan menyimpang dari amanat RPJMD.

Rumah Pembangunan yang Runtuh

RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) sejatinya adalah “rumah besar” tempat seluruh arah kebijakan daerah bernaung. Namun, rumah itu kini retak bahkan nyaris roboh.

Menurut Asep Toha (Poslogi), RPJMD Cianjur tidak lagi merepresentasikan janji politik kepala daerah kepada rakyat, melainkan berubah menjadi produk administratif yang kehilangan ruh pembangunan.

Ketika janji politik — yang seharusnya menjadi dasar moral dan hukum pembangunan daerah — tidak dimasukkan secara utuh dalam RPJMD, maka yang lahir bukanlah kebijakan rakyat, melainkan kebijakan elite. Inilah pangkal dari kekacauan anggaran dan hilangnya arah pembangunan yang berpihak kepada masyarakat.

Defisit Tak Rasional, Efisiensi yang Menyesatkan

Data yang dipaparkan menunjukkan angka yang mengkhawatirkan:

Pendapatan daerah: ± Rp 4,193 triliun

Belanja daerah: ± Rp 4,694 triliun

Defisit: ± Rp 501 miliar

Defisit setengah triliun rupiah ini bukan sekadar angka teknis, tetapi cermin dari perencanaan yang amburadul. Lebih parah lagi, muncul dugaan adanya “pendapatan dummy” — pendapatan fiktif yang digunakan untuk menutup defisit — sebuah praktik yang berpotensi menjerumuskan daerah dalam krisis keuangan dan tunda bayar di masa mendatang.

Kebijakan efisiensi yang dijadikan alasan pemangkasan program justru memukul sektor publik dan sosial, termasuk penghapusan insentif guru ngaji dan pengurangan bantuan untuk lembaga keagamaan dan ekonomi masyarakat.

Padahal, esensi efisiensi bukanlah memangkas program rakyat kecil, melainkan memangkas pemborosan, perjalanan dinas, dan belanja aparatur yang tidak produktif.

Pelanggaran Tata Kelola dan Moralitas Pemerintahan

Dalam hukum pemerintahan, perubahan anggaran tidak dapat dilakukan hanya dengan “Instruksi Bupati”, karena bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2014 dan hierarki peraturan perundang-undangan.

Instruksi seperti itu dinilai cacat formil dan material, bahkan dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang.

Lebih jauh, kebijakan yang menghapus dukungan terhadap lembaga pendidikan keagamaan dan guru ngaji melanggar Pasal 76 UU 23/2014, yang melarang kebijakan yang merugikan kepentingan umum atau mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.

Pendidikan agama bukanlah beban anggaran, melainkan investasi moral bangsa. Menghapusnya berarti menghapus nilai-nilai yang membentuk karakter generasi Cianjur.

Kelemahan DPRD dan Hilangnya Fungsi Pengawasan

Salah satu poin paling tajam dari diskusi publik ini adalah menurunnya peran DPRD Cianjur.
Alih-alih menjadi lembaga pengawas yang kuat, DPRD terlihat diam dan lemah, seakan kehilangan hak konstitusionalnya — hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Padahal, DPRD memiliki kewenangan untuk menolak atau mengevaluasi APBD yang tidak sesuai dengan RPJMD dan regulasi keuangan daerah.

Ketika DPRD bungkam, rakyat harus bersuara. Ketika dewan tidak menjalankan fungsinya, masyarakat sipil harus mengambil peran kontrol sosial.

Peringatan dan Tanggung Jawab

Abdul Kholik (Praktisi Hukum) menegaskan bahwa pemerintahan daerah tidak bisa berjalan dengan kehendak pribadi, tetapi dengan hukum dan akal sehat publik.

Bupati dan perangkatnya wajib kembali pada prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih, proporsional, dan berpihak pada rakyat.
Jika tidak, rakyat punya hak untuk menuntut — baik melalui DPRD, Gubernur, maupun jalur hukum — agar kebijakan APBD yang cacat diperbaiki atau bahkan dibatalkan.

Menutup dengan Seruan

APBD bukan milik kepala daerah.
APBD adalah amanah rakyat, yang harus dikelola dengan hati, logika, dan kejujuran.

Cianjur tidak butuh pembangunan yang megah di atas kebijakan yang pincang. Cianjur butuh pemerintahan yang jujur, terbuka, dan berpihak pada kehidupan rakyatnya.











berat

06/10/2025

BAROEDAK BARETO : Janji Rp25 Juta per RT: Antara Kontrak Sosial dan Pengkhianatan Publik

Sorotan RBUC

Janji politik bukan sekadar retorika kampanye. Ia adalah kontrak moral sekaligus mandat hukum yang lahir dari kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya. Setiap kepala daerah terpilih berdiri di atas janji yang diikrarkan, dan janji itu tidak boleh berhenti di panggung kampanye, melainkan wajib diwujudkan dalam kebijakan nyata melalui RPJMD dan APBD.
Di Kabupaten Cianjur, isu janji politik kembali mencuat menjelang pembahasan RAPBD 2026. Janji Rp25 juta per RT, Rp300 juta per lembaga masyarakat, dan insentif guru ngaji hingga kini hanya menjadi slogan. Padahal, APBD 2026 diproyeksikan mencapai Rp4,347 triliun. Dengan kemampuan fiskal sebesar itu, alasan keterbatasan anggaran sudah tidak masuk akal.

Kontrak Sosial yang Mengikat
Rakyat tidak menuntut lebih dari apa yang dijanjikan. Mereka hanya meminta janji ditepati. Janji Rp25 juta per RT bukan sekadar angka, melainkan simbol keberpihakan kepada ujung tombak pemerintahan. RT dan RW adalah garda depan pelayanan publik, yang bekerja dalam keterbatasan namun memikul beban besar. Mengabaikan janji kepada mereka sama saja dengan menutup mata terhadap denyut nadi rakyat.

Moralitas Politik yang Tergerus
Ketika janji tidak ditepati, hilanglah bukan hanya program, tetapi juga kepercayaan. Dalih keterbatasan anggaran kerap dijadikan alasan klasik, sementara proyek-proyek besar tetap berjalan. Fenomena ini menegaskan bahwa yang sesungguhnya pudar adalah moralitas politik: keberanian menepati ucapan.

Kewajiban Hukum, Bukan Pilihan
Janji politik kepala daerah tidak bisa lagi dipandang sebatas wacana. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 dan Permendagri No. 86 Tahun 2017 menegaskan bahwa visi-misi kepala daerah harus dituangkan ke dalam RPJMD. Dengan demikian, memasukkan janji politik ke dalam APBD bukan sekadar opsi, tetapi kewajiban hukum.
Jika janji tidak masuk ke dalam RPJMD atau tidak diturunkan dalam APBD, maka yang dipertaruhkan bukan hanya kebijakan, melainkan legitimasi politik.

Anggaran Ada, Kemauan yang Hilang
Dengan APBD yang menembus Rp4,3 triliun, program Rp25 juta per RT hanya membutuhkan kurang dari 3 persen anggaran. Jumlah ini jauh lebih kecil daripada belanja infrastruktur besar atau kegiatan seremonial. Fakta ini memperlihatkan bahwa masalah Cianjur bukan keterbatasan fiskal, melainkan keberpihakan politik.

Ujian Kepemimpinan
RAPBD 2026 menjadi ujian moral bagi Bupati Cianjur dan jajaran pemerintah daerah. Publik menanti apakah janji akan ditepati atau kembali dikubur bersama alasan klasik. Rakyat berhak menagih, bukan hanya di ruang publik, tetapi juga di bilik suara pada pemilu mendatang.
Sejarah akan mencatat: pemimpin yang besar bukanlah yang pandai berpidato, melainkan yang berani menepati janji. Janji Rp25 juta per RT bukan sekadar program, tetapi kontrak sosial. Mengingkarinya berarti pengkhianatan terhadap publik.

21/09/2025

" Mengembalikan Kedaulatan Rakyat, Memangkas Kuasa Partai Politik "

Diskusi publik di Gedung LBH Cianjur, Jumat (19/9/2025), memberi kita cermin yang tajam: demokrasi Indonesia belum pernah sepenuhnya berada di tangan rakyat. DPR dan DPRD memang menjadi simbol representasi, tetapi praktiknya lebih sering menjadi perpanjangan tangan kepentingan partai politik.

Para narasumber—Dr. Dedi Mulyadi, Irvan Muchdar, O Suhendra, Asep Toha, dan Dian Rahadian—serempak mengingatkan bahwa partai politik hari ini memegang kuasa dari hulu ke hilir: dari rekrutmen calon legislatif, pengisian kursi melalui pergantian antarwaktu (PAW), hingga pengambilan keputusan politik. Rakyat hanya diundang ke bilik suara setiap lima tahun, kemudian ditinggalkan.

Inilah wajah demokrasi prosedural yang timpang. Dominasi parpol menumbuhkan ruang subur bagi politik uang, patronase, dan bahkan dinasti kekuasaan. Legislator pun lebih setia menjaga posisi di partai ketimbang memperjuangkan aspirasi konstituennya. UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Tetapi dalam praktik, kedaulatan itu digenggam rapat oleh elit partai.

Policy brief “Koreksi Demokrasi Setengah Hati” yang lahir dari forum ini menyodorkan solusi berani: amandemen UU MD3, penerapan mekanisme recall oleh konstituen, dan digitalisasi proses PAW agar publik bisa mengawasi. Ini bukan sekadar usulan teknis, tetapi tuntutan moral agar rakyat kembali memegang kendali atas wakil yang mereka pilih.

Tak berhenti pada wacana, para peserta menandatangani Petisi Rakyat untuk Perbaikan Sistem Partai Politik di DPR & DPRD. Petisi itu menuntut reformasi rekrutmen caleg yang berbasis integritas, transparansi keuangan partai, penghapusan oligarki, dan keterlibatan publik dalam proses legislasi.

Inilah langkah penting untuk menyehatkan demokrasi. Tanpa pemangkasan kuasa parpol, perdebatan soal “perlukah Indonesia tanpa DPR” hanya akan menjadi slogan kosong. Rakyat tidak membutuhkan pembubaran lembaga perwakilan, melainkan pengembalian ruh kedaulatan rakyat melalui reformasi mendasar partai politik.
Tugas selanjutnya jelas: tekanan publik harus berlanjut. Petisi ini mesti diperluas, policy brief harus menjadi bahan advokasi ke Senayan dan ke ruang-ruang pengambilan kebijakan. Demokrasi yang sehat hanya akan lahir bila rakyat bukan lagi penonton, tetapi pengendali.

Di Cianjur, suara itu sudah menggema. Tinggal menunggu, apakah Jakarta mendengarnya.

12/09/2025

"LBH Cianjur: Janji Kapolres Ingkar, Keadilan Tertahan"

Penahanan terhadap massa aksi Agustus 2025 di Cianjur kini menjadi sorotan tajam. Kapolres Cianjur sebelumnya sudah berjanji secara terbuka untuk membebaskan seluruh massa aksi, sementara Ketua DPRD Kabupaten Cianjur selaku pelapor juga sudah resmi mencabut laporan. Namun, hingga hari ini, janji itu tidak ditepati.

LBH Cianjur dengan tegas menyebut langkah Polres sebagai bentuk penahanan sewenang-wenang. Dalam pernyataan sikapnya, LBH menilai tindakan aparat tidak hanya mengabaikan pencabutan laporan, tetapi juga bertentangan dengan KUHAP, merusak prinsip due process of law, serta mencederai hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945 dan peraturan perundangan.

Editorial ini hendak menegaskan: apa yang terjadi di Cianjur adalah pengkhianatan terhadap janji institusi, pelecehan terhadap hukum, dan pelemahan terhadap demokrasi. Ketika pencabutan laporan tidak dihormati, dan ketika janji Kapolres diingkari, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nasib tiga orang tahanan, melainkan juga kredibilitas aparat penegak hukum di mata publik.

Menunda pembebasan berarti memperpanjang ketidakadilan. Lebih buruk lagi, penahanan ini dapat dibaca sebagai bentuk pembungkaman aspirasi rakyat melalui kriminalisasi. Apabila aparat terus bersikeras, LBH sudah menegaskan akan membawa kasus ini ke level nasional: Kapolri, Presiden, DPR, Komnas HAM, Ombudsman, hingga Kompolnas.

Sungguh memalukan jika sebuah kasus yang sebenarnya sudah selesai di masyarakat masih dibiarkan bergulir hanya karena sikap keras kepala aparat. Negara hukum yang sejati tidak berdiri di atas birokrasi yang berbelit, melainkan pada penghormatan terhadap keadilan yang hidup di tengah rakyat.

Editorial ini menyerukan: hentikan penahanan sewenang-wenang. Bebaskan seluruh massa aksi Agustus 2025 sekarang juga. Sebab hukum tidak boleh menjadi alat penindasan, tetapi harus menjadi jaminan kebebasan bagi warga negara.







08/09/2025

DPR dan DPRD, Perwakilan Rakyat atau Perpanjangan Partai?

Wacana pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) makin menguat di tengah krisis kepercayaan publik. Namun, diskursus ini tidak bisa berhenti hanya di tingkat pusat. Jika DPR dianggap gagal sebagai lembaga perwakilan rakyat, maka DPRD—baik di provinsi maupun kabupaten/kota—tidak jauh berbeda nasibnya.

Fungsi DPRD, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pada dasarnya merupakan miniatur DPR di daerah. DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Mereka berwenang menyusun perda bersama kepala daerah, mengesahkan APBD, serta mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Dalam teori demokrasi, semua itu dimaksudkan agar rakyat di daerah memiliki wakil yang memperjuangkan kepentingannya.

Namun, fakta politik justru menunjukkan hal sebaliknya. Sama seperti DPR, anggota DPRD juga lahir dari partai politik. Bukan dari individu yang murni dipilih rakyat, melainkan dari mekanisme pencalonan partai yang penuh kompromi dan kepentingan elite. Akibatnya, orientasi mereka lebih sering berpihak pada partai ketimbang rakyat yang diwakilinya.

Publik tidak asing lagi dengan citra buruk DPRD: transaksi politik saat pembahasan APBD, kasus korupsi berjamaah, hingga fungsi pengawasan yang mandul. Tidak sedikit APBD daerah yang dibelanjakan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk memenuhi proyek titipan dan kepentingan politik jangka pendek. Maka, jika DPR dituduh sebagai “pasar politik”, DPRD pun kerap berfungsi sebagai “pasar lokal” dengan pola yang serupa.

Karena itu, mendiskusikan pembubaran DPR tanpa menyertakan DPRD berarti hanya memotong ranting, bukan akar. Keduanya lahir dari sistem yang sama: demokrasi elektoral berbasis partai, yang pada praktiknya lebih mewakili kepentingan elite ketimbang rakyat.

Alternatifnya, ada dua jalan besar. Pertama, reformasi menyeluruh. DPR dan DPRD harus tunduk pada transparansi mutlak: pembahasan APBD dan perda harus dibuka ke publik, hak recall oleh rakyat harus diberlakukan, serta fasilitas dan gaji anggota harus dipangkas agar jabatan benar-benar jadi ruang pengabdian, bukan profesi menggiurkan.

Kedua, penggantian lembaga representasi. DPR maupun DPRD bisa digantikan dengan majelis rakyat yang anggotanya dipilih langsung oleh komunitas: petani, buruh, guru, pedagang, tokoh adat, dan kelompok masyarakat sipil lainnya. Dengan demikian, suara rakyat terwakili secara riil, bukan lewat perantara partai.

Demokrasi sejatinya adalah kedaulatan rakyat. Jika lembaga yang mengatasnamakan perwakilan rakyat justru menjauh dari rakyat, maka pertanyaan besar itu wajar: untuk apa kita pertahankan DPR dan DPRD dalam bentuknya yang sekarang?

Mungkin inilah saatnya kita berani membuka diskusi publik yang lebih radikal: bukan hanya mereformasi, melainkan menimbang ulang eksistensi lembaga perwakilan rakyat yang sejatinya tidak pernah benar-benar mewakili rakyat.

berat

Address

Cianjur
43215

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when RUMAH Bersama URANG Cianjur posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to RUMAH Bersama URANG Cianjur:

Share

live diskusi

Live Diskusi Dengan Nara Sumber Yang Kompeten