RUMAH Bersama URANG Cianjur

RUMAH Bersama URANG Cianjur DISKUSI PUBLIK

21/09/2025

" Mengembalikan Kedaulatan Rakyat, Memangkas Kuasa Partai Politik "

Diskusi publik di Gedung LBH Cianjur, Jumat (19/9/2025), memberi kita cermin yang tajam: demokrasi Indonesia belum pernah sepenuhnya berada di tangan rakyat. DPR dan DPRD memang menjadi simbol representasi, tetapi praktiknya lebih sering menjadi perpanjangan tangan kepentingan partai politik.

Para narasumber—Dr. Dedi Mulyadi, Irvan Muchdar, O Suhendra, Asep Toha, dan Dian Rahadian—serempak mengingatkan bahwa partai politik hari ini memegang kuasa dari hulu ke hilir: dari rekrutmen calon legislatif, pengisian kursi melalui pergantian antarwaktu (PAW), hingga pengambilan keputusan politik. Rakyat hanya diundang ke bilik suara setiap lima tahun, kemudian ditinggalkan.

Inilah wajah demokrasi prosedural yang timpang. Dominasi parpol menumbuhkan ruang subur bagi politik uang, patronase, dan bahkan dinasti kekuasaan. Legislator pun lebih setia menjaga posisi di partai ketimbang memperjuangkan aspirasi konstituennya. UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Tetapi dalam praktik, kedaulatan itu digenggam rapat oleh elit partai.

Policy brief “Koreksi Demokrasi Setengah Hati” yang lahir dari forum ini menyodorkan solusi berani: amandemen UU MD3, penerapan mekanisme recall oleh konstituen, dan digitalisasi proses PAW agar publik bisa mengawasi. Ini bukan sekadar usulan teknis, tetapi tuntutan moral agar rakyat kembali memegang kendali atas wakil yang mereka pilih.

Tak berhenti pada wacana, para peserta menandatangani Petisi Rakyat untuk Perbaikan Sistem Partai Politik di DPR & DPRD. Petisi itu menuntut reformasi rekrutmen caleg yang berbasis integritas, transparansi keuangan partai, penghapusan oligarki, dan keterlibatan publik dalam proses legislasi.

Inilah langkah penting untuk menyehatkan demokrasi. Tanpa pemangkasan kuasa parpol, perdebatan soal “perlukah Indonesia tanpa DPR” hanya akan menjadi slogan kosong. Rakyat tidak membutuhkan pembubaran lembaga perwakilan, melainkan pengembalian ruh kedaulatan rakyat melalui reformasi mendasar partai politik.
Tugas selanjutnya jelas: tekanan publik harus berlanjut. Petisi ini mesti diperluas, policy brief harus menjadi bahan advokasi ke Senayan dan ke ruang-ruang pengambilan kebijakan. Demokrasi yang sehat hanya akan lahir bila rakyat bukan lagi penonton, tetapi pengendali.

Di Cianjur, suara itu sudah menggema. Tinggal menunggu, apakah Jakarta mendengarnya.

12/09/2025

"LBH Cianjur: Janji Kapolres Ingkar, Keadilan Tertahan"

Penahanan terhadap massa aksi Agustus 2025 di Cianjur kini menjadi sorotan tajam. Kapolres Cianjur sebelumnya sudah berjanji secara terbuka untuk membebaskan seluruh massa aksi, sementara Ketua DPRD Kabupaten Cianjur selaku pelapor juga sudah resmi mencabut laporan. Namun, hingga hari ini, janji itu tidak ditepati.

LBH Cianjur dengan tegas menyebut langkah Polres sebagai bentuk penahanan sewenang-wenang. Dalam pernyataan sikapnya, LBH menilai tindakan aparat tidak hanya mengabaikan pencabutan laporan, tetapi juga bertentangan dengan KUHAP, merusak prinsip due process of law, serta mencederai hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945 dan peraturan perundangan.

Editorial ini hendak menegaskan: apa yang terjadi di Cianjur adalah pengkhianatan terhadap janji institusi, pelecehan terhadap hukum, dan pelemahan terhadap demokrasi. Ketika pencabutan laporan tidak dihormati, dan ketika janji Kapolres diingkari, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nasib tiga orang tahanan, melainkan juga kredibilitas aparat penegak hukum di mata publik.

Menunda pembebasan berarti memperpanjang ketidakadilan. Lebih buruk lagi, penahanan ini dapat dibaca sebagai bentuk pembungkaman aspirasi rakyat melalui kriminalisasi. Apabila aparat terus bersikeras, LBH sudah menegaskan akan membawa kasus ini ke level nasional: Kapolri, Presiden, DPR, Komnas HAM, Ombudsman, hingga Kompolnas.

Sungguh memalukan jika sebuah kasus yang sebenarnya sudah selesai di masyarakat masih dibiarkan bergulir hanya karena sikap keras kepala aparat. Negara hukum yang sejati tidak berdiri di atas birokrasi yang berbelit, melainkan pada penghormatan terhadap keadilan yang hidup di tengah rakyat.

Editorial ini menyerukan: hentikan penahanan sewenang-wenang. Bebaskan seluruh massa aksi Agustus 2025 sekarang juga. Sebab hukum tidak boleh menjadi alat penindasan, tetapi harus menjadi jaminan kebebasan bagi warga negara.







08/09/2025

DPR dan DPRD, Perwakilan Rakyat atau Perpanjangan Partai?

Wacana pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) makin menguat di tengah krisis kepercayaan publik. Namun, diskursus ini tidak bisa berhenti hanya di tingkat pusat. Jika DPR dianggap gagal sebagai lembaga perwakilan rakyat, maka DPRD—baik di provinsi maupun kabupaten/kota—tidak jauh berbeda nasibnya.

Fungsi DPRD, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pada dasarnya merupakan miniatur DPR di daerah. DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Mereka berwenang menyusun perda bersama kepala daerah, mengesahkan APBD, serta mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Dalam teori demokrasi, semua itu dimaksudkan agar rakyat di daerah memiliki wakil yang memperjuangkan kepentingannya.

Namun, fakta politik justru menunjukkan hal sebaliknya. Sama seperti DPR, anggota DPRD juga lahir dari partai politik. Bukan dari individu yang murni dipilih rakyat, melainkan dari mekanisme pencalonan partai yang penuh kompromi dan kepentingan elite. Akibatnya, orientasi mereka lebih sering berpihak pada partai ketimbang rakyat yang diwakilinya.

Publik tidak asing lagi dengan citra buruk DPRD: transaksi politik saat pembahasan APBD, kasus korupsi berjamaah, hingga fungsi pengawasan yang mandul. Tidak sedikit APBD daerah yang dibelanjakan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk memenuhi proyek titipan dan kepentingan politik jangka pendek. Maka, jika DPR dituduh sebagai “pasar politik”, DPRD pun kerap berfungsi sebagai “pasar lokal” dengan pola yang serupa.

Karena itu, mendiskusikan pembubaran DPR tanpa menyertakan DPRD berarti hanya memotong ranting, bukan akar. Keduanya lahir dari sistem yang sama: demokrasi elektoral berbasis partai, yang pada praktiknya lebih mewakili kepentingan elite ketimbang rakyat.

Alternatifnya, ada dua jalan besar. Pertama, reformasi menyeluruh. DPR dan DPRD harus tunduk pada transparansi mutlak: pembahasan APBD dan perda harus dibuka ke publik, hak recall oleh rakyat harus diberlakukan, serta fasilitas dan gaji anggota harus dipangkas agar jabatan benar-benar jadi ruang pengabdian, bukan profesi menggiurkan.

Kedua, penggantian lembaga representasi. DPR maupun DPRD bisa digantikan dengan majelis rakyat yang anggotanya dipilih langsung oleh komunitas: petani, buruh, guru, pedagang, tokoh adat, dan kelompok masyarakat sipil lainnya. Dengan demikian, suara rakyat terwakili secara riil, bukan lewat perantara partai.

Demokrasi sejatinya adalah kedaulatan rakyat. Jika lembaga yang mengatasnamakan perwakilan rakyat justru menjauh dari rakyat, maka pertanyaan besar itu wajar: untuk apa kita pertahankan DPR dan DPRD dalam bentuknya yang sekarang?

Mungkin inilah saatnya kita berani membuka diskusi publik yang lebih radikal: bukan hanya mereformasi, melainkan menimbang ulang eksistensi lembaga perwakilan rakyat yang sejatinya tidak pernah benar-benar mewakili rakyat.

berat

06/09/2025

Kawan tidak sendiri!

LBH Cianjur sudah buka Posko Bantuan Advokasi untuk semua peserta aksi 30 Agustus yang masih ditahan di Polres.

📌 Sejak hari pertama, pendampingan hukum sudah berjalan.
📲 Jika ada keluarga/teman yang masih butuh bantuan advokasi, segera hubungi nomor WA di poster.

Ingat, perjuangan ini bukan milik satu orang, tapi kita semua.

04/09/2025

Cianjur Tidak Baik-Baik Saja:
" Dari Jalan ke Pendopo, Gelombang Kritik Tak Henti di Cianjur "

Cianjur dalam sepekan terakhir menjadi panggung politik lokal yang sibuk. Selasa lalu, ratusan massa Aliansi Indonesia Waras (AIW) mengepung Gedung DPRD Kabupaten Cianjur, menuntut pengesahan undang-undang perampasan aset, pencabutan kenaikan gaji DPR RI, hingga pembebasan demonstran yang ditahan di berbagai daerah. Pimpinan dewan, termasuk Ketua DPRD Metty Triantika, akhirnya turun menemui massa dan berkomitmen menindaklanjuti seluruh aspirasi. Aksi itu bubar tertib, namun meninggalkan janji besar yang kini menanti bukti.

Sehari sebelumnya, di Pendopo Cianjur, Bupati Mohammad Wahyu Ferdian dan unsur Forkopimda menggelar pertemuan dengan ormas, tokoh agama, mahasiswa, hingga ojol. Forum ini dipromosikan sebagai ruang tatap muka untuk mendengar keluhan masyarakat. Sang bupati berbicara soal cinta tanah air, persatuan, dan pentingnya menjaga warisan nilai-nilai kearifan lokal. Ia bahkan berjanji memberi penghargaan jika demonstrasi berlangsung damai. Sebuah gestur yang lebih menyerupai patronase ketimbang kepemimpinan demokratis.

Mahasiswa menyuarakan tiga tuntutan mendasar: keterbukaan informasi publik, partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan, dan reformasi lembaga — termasuk DPRD serta aparat keamanan. Sorotan mereka kembali pada hal yang paling mendasar: prinsip demokrasi.

Rangkaian peristiwa ini menunjukkan satu hal: masyarakat Cianjur sedang mencari ruang demokrasi yang nyata. Bukan sekadar janji bupati di podium, bukan p**a sekadar pernyataan DPRD yang menenangkan massa. Publik menghendaki transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan data yang dijamin undang-undang.

Jika pemerintah daerah hanya merespons dengan retorika tanpa implementasi, gelombang kritik ini hanya akan makin besar. Cianjur tidak butuh simbol raja di era demokrasi, melainkan pemimpin yang berani membuka data, menepati janji, dan menaruh rakyat di kursi utama pengambilan kebijakan.

berat

31/08/2025

“600 Aparat vs Rakyat : DPRD Jadi Benteng Kekuasaan?”

Aksi massa Koalisi Rakyat Cianjur (KRC) pada Sabtu (30/8/2025) di depan Gedung DPRD Kabupaten Cianjur berujung bentrok. Sekitar 500–1.500 peserta aksi dari berbagai elemen masyarakat turun ke jalan, membawa spanduk, toa, bendera, dan berbagai atribut perlawanan. Aksi ini dipimpin oleh Patrik, sesuai surat pemberitahuan resmi bernomor 001/KRC/VIII/2025 yang disampaikan ke Polres Cianjur.

Dalam surat itu, Patrik menegaskan bahwa aksi digelar sebagai bentuk solidaritas rakyat.
“Dengan ini kami bermaksud untuk memberitahukan aksi tersebut dalam rangka pengamanan aksi agar berjalan sesuai kehendak rakyat dan keadilan bisa ditegakkan. Melawan atau kafir!” tegasnya.

Berhadapan dengan massa, aparat menurunkan 600 personel gabungan Polri, TNI, Satpol PP, Damkar, serta Brimob Cipanas dan pasukan huru-hara. Lengkap dengan water cannon, gas air mata, hingga tim K-9.

Ketegangan meledak saat pagar DPRD didorong dan massa merangsek ke halaman. Aparat merespons dengan gas air mata dan water cannon, memukul mundur massa hingga ke Jalan Dr. Muwardi. Massa sempat hampir membakar Pos TMC Satlantas di Tugu Lampu Gentur sebelum digagalkan. Sejumlah orang diamankan, sementara peserta aksi lainnya mengalami sesak napas hingga luka di kepala.

Bentrok di Cianjur bukanlah kasus tunggal. Dalam dua hari terakhir, gelombang unjuk rasa di berbagai daerah juga memanas, bahkan berujung pembakaran gedung DPR RI, DPRD Makassar, dan fasilitas umum lainnya. Situasi ini membuat Presiden Prabowo Subianto memanggil Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto ke kediamannya di Hambalang, Bogor, Sabtu (30/8).

Prabowo menegaskan agar aksi anarkis dihadapi dengan langkah tegas. Kapolri menyatakan, “Arahan Presiden jelas, khusus untuk tindakan-tindakan anarkis, TNI dan Polri diminta mengambil langkah tegas sesuai dengan undang-undang.” Menurutnya, aksi yang berujung pembakaran dan penyerangan markas tidak lagi masuk kategori penyampaian aspirasi, melainkan tindak pidana.

Panglima TNI Agus Subiyanto turut mengingatkan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi. “Mari kita ciptakan rasa aman dan damai. Kalau ada masalah, selesaikan dengan musyawarah sesuai hukum yang berlaku.”
Kini, rakyat menunggu: apakah langkah tegas ini akan melindungi publik atau justru menutup ruang aspirasi? Apakah DPR masih jadi rumah rakyat, atau sekadar benteng kekuasaan yang dijaga ribuan aparat?

Dan ini belum usai. Sudah beredar kabar akan ada aksi lanjutan pada 2 September 2025. Artinya, benturan rakyat dan negara bisa kembali terulang—selama aspirasi masih dijawab dengan gas air mata, bukan pintu dialog.

berat

28/08/2025

Sinkronisasi RAPBDP 2025 dan RAPBD 2026 – Masalah dan Solusi

Cianjur menggelar diskusi publik strategis dengan tema “Sinkronisasi RAPBDP 2025 dan RAPBD 2026: Masalah dan Solusi”. Acara ini hadir untuk mengupas dinamika anggaran daerah yang kini menunjukkan pergeseran pembahasan RAPBD 2026 yang cenderung mengikuti pola lama, sehingga potensi ketidaksinambungan dengan RAPBDP 2025 perlu dicermati.

Dalam forum ini, berbagai narasumber—akademisi, pengamat kebijakan publik, aktivis LSM, serta perwakilan DPRD dan Pemkab—menyoroti sejumlah isu krusial:

Ketidaksinambungan program prioritas antara RAPBDP 2025 dan RAPBD 2026.

Pola penganggaran yang cenderung repetitif tanpa memperhatikan evaluasi kinerja sebelumnya.

Strategi penyelarasan anggaran untuk memastikan keberlanjutan program pro-rakyat sekaligus efisiensi belanja daerah.

Diskusi ini tidak hanya memaparkan masalah, tetapi juga menghasilkan rekomendasi solusi konkret yang diharapkan bisa menjadi acuan DPRD dan Pemkab dalam merancang RAPBD 2026.

Fokus utama adalah memastikan anggaran daerah berjalan harmonis, berpihak pada rakyat, dan sesuai prinsip good governance.

Acara ini menegaskan pentingnya kontrol sosial dan partisipasi publik dalam perencanaan anggaran. Hanya dengan keterlibatan aktif masyarakat, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan APBD dapat terwujud, dan anggaran tidak lagi sekadar mengikuti pola lama tanpa evaluasi.

22/08/2025

" TikTok RBUC dan Cianjur Update Picu Reaksi: Sugiyanto Pranotonagoro Gugat Kapasitas Dr. Alvies! "

Cianjur – Polemik kasus dugaan korupsi Penerangan Jalan Umum (PJU) Tahun Anggaran 2023 kembali memanas. Setelah Alfies Sihombing dalam sebuah tayangan TikTok RBUC dan pemberitaan di Cianjur Update menyatakan bahwa Kejaksaan Negeri Cianjur harus memeriksa mantan Bupati Herman Suherman, kini giliran pengamat politik dari Bengkel Politik Cianjur, Sugiyanto Pranotonagoro, yang memberikan tanggapan tajam.

Menurut Sugiyanto, pernyataan Alfies harus diperjelas kapasitasnya. “Apakah beliau berbicara sebagai pribadi, akademisi, ataukah sebagai staf ahli bupati bidang hukum? Kalau yang terakhir, maka publik bisa menafsirkan adanya nuansa intervensi terhadap proses hukum,” tegasnya.

Sugiyanto menilai, dalam konteks politik lokal, komentar seorang staf ahli kepala daerah bukan sekadar opini biasa. “Konsekuensinya bisa serius. Itu bisa dipersepsikan sebagai pesan politik dari eksekutif kepada penegak hukum. Padahal, hukum harus tegak dengan bukti, bukan dengan tekanan,” tambahnya.

Ia juga mengingatkan, Kejaksaan Negeri Cianjur jangan terjebak dalam kegaduhan publik atau tekanan politik. Pemeriksaan terhadap Herman Suherman sebagai saksi tentu wajar karena proyek terjadi di masa jabatannya. Tetapi untuk menetapkan sebagai tersangka, diperlukan bukti yang kuat dan sah.

“Publik Cianjur menunggu penegakan hukum yang obyektif dan bebas intervensi. Jangan sampai komentar yang tampak sepele justru menimbulkan kesan adanya skenario politik di balik penanganan kasus PJU,” ujar Sugiyanto.

Pernyataan Sugiyanto ini menegaskan bahwa polemik kasus PJU 2023 bukan hanya soal siapa yang bersalah, tetapi juga menyangkut transparansi, etika komunikasi pejabat, dan independensi aparat penegak hukum.

20/08/2025

" KPAID Kabupaten Cianjur melakukan pengawasan terhadap kasus kekerasan anak yang terjadi di Sukaresmi dan Mande "

Cianjur – Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kabupaten Cianjur, Gan-Gan Gunawan Raharja, SH., MH., mendatangi Satreskrim Polres Cianjur pada Selasa, 19 Agustus 2025. Kunjungan itu dilakukan untuk mengawasi proses penanganan kasus kekerasan yang melibatkan anak di bawah umur di Kecamatan Sukaresmi dan Kecamatan Mande.

Gan-Gan menjelaskan, dalam kasus di Sukaresmi terdapat 12 terduga pelaku, 11 di antaranya sudah ditangkap, sementara baru 5 orang yang disidangkan di Pengadilan Negeri Cianjur. “Pelaku terdiri dari anak di bawah umur dan orang dewasa,” kata Gan-Gan saat ditemui di Mapolres Cianjur.

Selain kasus tersebut, KPAI juga menyoroti perkara lain di Kecamatan Mande. Menurut Gan-Gan, pihaknya telah menerima SP2HP dari kepolisian yang menyatakan kasus itu naik ke tahap penyidikan. “Kami mendorong kepolisian agar transparan, sehingga masyarakat mengetahui kepastian hukum yang sedang berjalan,” ujarnya.

Gan-Gan menegaskan bahwa KPAI hanya memiliki kewenangan dalam hal pengawasan perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak, bukan penangkapan atau penindakan hukum. “Proses hukum sepenuhnya kewenangan kepolisian. Kami hadir untuk memastikan keterbukaan publik dan keberlangsungan proses hukum berjalan baik,” katanya.

Ia menilai, kasus kekerasan terhadap anak di Cianjur masih marak, mulai dari kekerasan fisik, psikis, hingga seksual. Perkelahian antarpelajar pun kerap terjadi. Karena itu, Gan-Gan meminta pemerintah daerah tidak menutup mata. “Kami mendorong agar Cianjur bisa menjadi daerah ramah anak. Untuk itu butuh keterlibatan pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat,” ucapnya.

Gan-Gan juga mengimbau warga untuk tidak diam ketika mengetahui kasus kekerasan pada anak. “Harus berani bicara, jangan berhenti melapor,” katanya.

15/08/2025

APBD Cianjur 2026: Rakyat Dipangkas, Proyek Melejit!

Cianjur di ambang krisis fiskal.
Defisit tembus Rp 222,1 M — melebihi batas aman Rp 143,3 M.
Potensi utang daerah terbuka lebar, membebani rakyat bertahun-tahun ke depan.
Yang bikin miris, program untuk rakyat dipotong habis-habisan, tapi proyek-proyek yang rawan permainan justru naik gila-gilaan.

📉 Program Rakyat Dikorbankan
Sembako Murah: dari Rp 76,7 M → cuma Rp 5,9 M ❌
Beasiswa & Insentif Guru/Dosen: Rp 216 M → tinggal Rp 61,5 M ❌
📈 Proyek Naik Drastis
Proyek Jalan Leucir Cai Cur Cor: Rp 430,5 M → Rp 466,4 M ✅
Cluster Wisata Pangan Dunia: tetap di kisaran puluhan miliar ✅
⚠️ Potensi Skandal Keuangan
📜 Aturan jelas melarang defisit di atas batas aman.
📜 Perubahan besar dari RKPD ke KUA–PPAS wajib ubah Perbup RKPD dulu.
Jika dilangkahi, APBD ini cacat hukum sejak lahir.

💬 Pertanyaan untuk DPRD dan warga Cianjur:
Kenapa proyek rawan korupsi naik, tapi program langsung untuk rakyat dipangkas?
Apakah ini APBD untuk rakyat… atau untuk segelintir pemain di balik layar?

✍️ Asep Toha
Direktur Politic Social and Local Government Studies (Poslogis)

14/08/2025

PERNYATAAN SIKAP PENGADU
Terkait Putusan DKPP RI No. 107-PKE-DKPP/III/2025 & No. 108-PKE-DKPP/III/2025
Ridwan & Abdul Kholik

Kami Menilai Putusan DKPP Belum Menjawab Seluruh Substansi Pelanggaran

Putusan DKPP RI yang hanya menyatakan terbukti pada satu poin pelanggaran – kekurangan surat suara dan tidak disampaikannya Keputusan No. 2181/2024 – sekaligus menyatakan tidak terbukti pada lima poin lainnya, adalah putusan yang jauh dari rasa keadilan publik.

Kami menegaskan bahwa fakta-fakta persidangan menunjukkan pola kelalaian dan ketidakprofesionalan yang sistemik, tidak hanya pada soal logistik surat suara, tetapi juga pada aspek transparansi dan akuntabilitas proses pemilu di Kabupaten Cianjur.
Kami mencatat:

Distribusi Model C.Pemberitahuan-KWK yang tidak menjangkau semua pemilih tepat waktu telah menurunkan partisipasi pemilih secara signifikan, namun dinilai "tidak terbukti" hanya karena dalih teknis.

Kotak suara tanpa segel hampir deseluruh kecamatan sebagai contoh diantaranya di Cianjur, Karangtengah, Ciranjang, Sukaluyu, dan Warungkondang tetap merupakan pelanggaran prinsip keamanan logistik pemilu, meskipun disebut sebagai human error.

Absennya live streaming rekapitulasi suara di tingkat kecamatan telah memutus akses publik terhadap proses penghitungan suara yang terbuka, namun dianggap “tidak wajib” oleh DKPP.

Penggunaan tip-ex pada formulir C.Hasil meskipun dicatat dalam kejadian khusus, tetap mencederai prinsip integritas dokumen pemilu.

Putusan ini menegaskan lemahnya komitmen penegakan kode etik pemilu ketika pelanggaran dibungkus dengan justifikasi prosedural dan alasan teknis. Publik Cianjur berhak mendapatkan pemilu yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga sah secara moral dan etis.

Langkah Lanjutan: Gugatan dan Jalur Hukum
Kami akan berkonsultasi dan mempertimbangkan langkah hukum lanjutan melalui:
Bawaslu RI – Mengajukan permohonan penanganan pelanggaran administrasi terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dengan bukti tambahan.
Mahkamah Konstitusi (MK) – Apabila terdapat konsekuensi langsung terhadap hasil Pilkada, mengajukan sengketa hasil pemilihan.
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) – Menggugat keputusan-keputusan KPU yang merugikan hak pilih warga.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) – Melaporkan potensi pelanggaran hak konstitusional warga negara dalam menggunakan hak pilih.
Kepolisian & Kejaksaan – Melaporkan dugaan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam UU Pemilu dan UU Pilkada.

Penutup

Kami tidak akan berhenti mengawal proses demokrasi di Cianjur. Putusan DKPP ini bukanlah akhir, melainkan alarm keras bagi publik bahwa integritas pemilu tidak boleh dibiarkan terkikis oleh kelalaian dan pembiaran.

Demokrasi bukan sekadar kotak suara. Demokrasi adalah amanah rakyat yang harus dijaga, apapun risikonya.
Cianjur, [14 Asgustus 2025]

Ridwan – Abdul Kholik
Pengadu Perkara No. 107 & 108-PKE-DKPP/III/2025

Address

Cianjur
43215

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when RUMAH Bersama URANG Cianjur posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to RUMAH Bersama URANG Cianjur:

Share

live diskusi

Live Diskusi Dengan Nara Sumber Yang Kompeten