Sudut Pandang Sederhana

Sudut Pandang Sederhana Contact information, map and directions, contact form, opening hours, services, ratings, photos, videos and announcements from Sudut Pandang Sederhana, News & Media Website, Jalan Kebon kopi, Cimahi.

Perangkap 'Jobless Growth' Dalam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.Oleh Ronny P Sasmita(Analis Senior Indonesia Strategic an...
18/10/2025

Perangkap 'Jobless Growth' Dalam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.

Oleh Ronny P Sasmita
(Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution)

Selama satu dekade terakhir, ekonomi Indonesia terbilang tumbuh stabil. Angka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata bertahan di kisaran 5% per tahun, inflasi relatif terkendali, dan nilai tukar cukup stabil. Di atas kertas, stabilitas makroekonomi ini tampak menjanjikan. Namun di bawah permukaannya, terdapat paradoks yang cukup mengkhawatirkan, yakni pertumbuhan ekonomi yang tidak sebanding dengan penciptaan lapangan kerja. Fenomena inilah yang oleh banyak ekonom disebut sebagai jobless growth, pertumbuhan tanpa pekerjaan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka selama 2013–2023 relatif stagnan di kisaran 5-6%. Namun angka tersebut terkesan cukup klise. Jika dilihat lebih dalam, sekitar 30-35% angkatan kerja kita tergolong rentan, bekerja tanpa upah, berusaha sendiri tanpa bantuan, atau pekerja informal tanpa perlindungan. Hingga 2024, proporsi pekerja informal masih di atas 58%, nyaris tidak berubah dibandingkan satu dekade sebelumnya. Artinya, sebagian besar warga bekerja, tetapi tanpa jaminan sosial, kepastian pendapatan, atau akses ke pekerjaan yang layak.

Lebih jauh lagi, struktur penyerapan tenaga kerja kita juga menunjukkan perubahan arah yang mengkhawatirkan. Porsi sektor industri manufaktur terhadap total tenaga kerja justru menurun dari sekitar 15% pada 2012 menjadi 13% pada 2023. Sementara sektor jasa tumbuh cepat, namun sebagian besar berupa pekerjaan berproduktivitas rendah seperti perdagangan kecil dan jasa pribadi. Pergeseran ini menggambarkan sinyal-sinyal premature tertiarization, ekonomi bergeser ke sektor jasa sebelum industrialisasi mencapai kematangan.

Kondisi ini mencerminkan apa yang oleh Dani Rodrik sebut sebagai premature deindustrialisation, negara yang kehilangan basis manufakturnya terlalu cepat sebelum mencapai level pendapatan tinggi. Indonesia tampaknya menuju arah tersebut. Di sisi lain, ketimpangan pendapatan juga semakin melebar. Upah pekerja menengah cenderung stagnan, sementara kelompok profesional dan manajerial menikmati kenaikan pendapatan lebih besar. Ketimpangan regional pun mencolok, Jawa tetap menjadi pusat kesempatan kerja formal, sementara luar Jawa bergantung pada sektor pertanian dan jasa informal.

Dalam hemat saya, akar masalahnya juga bersifat struktural. Selama satu dekade terakhir, arah kebijakan ekonomi Indonesia cenderung konservatif, lebih menekankan stabilitas makro daripada penciptaan lapangan kerja. Defisit anggaran dijaga ketat di bawah 3% PDB, inflasi dipertahankan rendah, dan kebijakan fiskal diarahkan untuk menjaga kepercayaan investor. Pendekatan ini berhasil menciptakan stabilitas, tetapi membatasi kemampuan negara untuk memperluas investasi publik yang berorientasi pada penciptaan kerja. Pertumbuhan ekonomi pun didominasi sektor padat modal dan berbasis sumber daya alam, bukan sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja.

Dalam ranah kebijakan ketenagakerjaan, kekuatan perundingan pekerja juga semakin lemah. Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang disahkan tahun 2020 memang menyederhanakan regulasi dan mendorong kemudahan investasi, tetapi di sisi lain memperlonggar aturan pemutusan hubungan kerja, mengurangi pesangon, dan melemahkan posisi serikat buruh. Situasi ini mirip dengan yang digambarkan Pablo Pérez Ahumada dalam bukunya Building Power to Shape Labor Policy (2023) tentang Chili, bahwa dalam rezim ekonomi neoliberal, kebijakan ketenagakerjaan sering dibentuk oleh dominasi asosiasi pengusaha dan lemahnya kekuatan kolektif buruh.

Adrián Todolí-Signes dalam Labour Law and Economic Policy (2024) juga menunjukkan bahwa perlindungan tenaga kerja yang kuat sebenarnya tidak menghambat pertumbuhan, justru memperkuat produktivitas jangka panjang. Negara-negara dengan hukum ketenagakerjaan kokoh memiliki tenaga kerja lebih terampil, loyal, dan berorientasi pada peningkatan nilai tambah. Namun di Indonesia, perlindungan kerja kerap dianggap beban, bukan investasi produktif. Akibatnya, perusahaan enggan berinvestasi dalam pelatihan dan peningkatan keterampilan karena hubungan kerja bersifat jangka pendek.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil selama satu dekade terakhir tidak diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja berkualitas, menimbulkan paradoks jobless growth. Sebagian besar angkatan kerja masih terjebak dalam sektor informal tanpa jaminan sosial dan kepastian pendapatan, sementara tingkat pengangguran relatif stagnan.

Masalah ini berakar dari pergeseran ekonomi ke sektor jasa berproduktivitas rendah serta kebijakan yang lebih memprioritaskan stabilitas makroekonomi daripada penciptaan lapangan kerja padat karya. Selain itu, pelemahan perlindungan tenaga kerja dan ketidaksesuaian antara pendidikan dengan kebutuhan industri semakin memperburuk situasi penyerapan tenaga kerja.

Jika tren ini berlanjut, Indonesia berisiko gagal memanfaatkan bonus demografi dan menghadapi ancaman instabilitas sosial akibat minimnya pekerjaan layak bagi generasi muda. Untuk mengatasinya, diperlukan perubahan paradigma pembangunan yang menempatkan penciptaan kerja layak sebagai tujuan utama, memperkuat hak pekerja, dan menyelaraskan kebijakan industri dengan pengembangan sumber daya manusia.

https://katadata.co.id/indepth/opini/68eee582be08b/perangkap-jobless-growth-dalam-pertumbuhan-ekonomi-indonesia

MEMBANGUN KEMBALI GAZA, MERUSAK PALESTINA?oleh Ronny P SasmitaKetika Rencana Gaza pertama kali diperkenalkan, rencana te...
13/10/2025

MEMBANGUN KEMBALI GAZA, MERUSAK PALESTINA?

oleh Ronny P Sasmita

Ketika Rencana Gaza pertama kali diperkenalkan, rencana tersebut dipuji sebagai inisiatif kemanusiaan dan diplomatik yang berani, sebuah peta jalan menuju rekonstruksi setelah salah satu perang paling dahsyat dalam ingatan baru-baru ini. Didukung oleh Washington, Kairo, Abu Dhabi, dan koalisi donor Barat dan Arab, rencana tersebut berjanji untuk membangun kembali infrastruktur Gaza yang hancur, memulihkan layanan penting, dan membentuk otoritas sementara teknokratis untuk mengelola wilayah tersebut. Bagi sebagian besar komunitas internasional, yang lelah melihat gambar-gambar rumah sakit yang dibom dan keluarga-keluarga yang mengungsi, rencana tersebut terdengar seperti jembatan pragmatis antara perang dan perdamaian.

Namun, di balik kedok rekonstruksi, tersimpan bahaya yang jauh lebih besar daripada penderitaan langsung Gaza, yaitu erosi perlahan dari persoalan politik Palestina itu sendiri. Rencana Gaza, sebagaimana dibingkai saat ini, berisiko mengubah Palestina dari perjuangan nasional untuk kedaulatan menjadi wilayah yang dikelola, semacam protektorat kemanusiaan yang nasibnya ditentukan oleh dewan internasional, komite donor, dan kepentingan geopolitik.

Selama beberapa dekade, perjuangan Palestina telah ditentukan oleh dua tujuan yang saling terkait: mengakhiri pendudukan dan mewujudkan negara merdeka di samping Israel. Apa yang disebut solusi dua negara telah menjadi pilar diplomasi internasional, yang ditegaskan kembali dalam berbagai resolusi dan pertemuan puncak. Namun, Rencana Gaza, dalam struktur dan logikanya, justru mulai menggerogoti visi tersebut. Rencana tersebut menggantikan pengejaran kedaulatan dengan stabilitas administratif, mengubah pembebasan politik menjadi proyek pengelolaan yang berkelanjutan.

Berdasarkan kerangka kerja yang diusulkan, Gaza secara efektif akan diperintah oleh dewan pengawas internasional, gabungan donor Barat, mediator Arab, dan teknokrat yang mengklaim netral. Pengaturan ini dapat menjamin ketertiban, tetapi juga memastikan ketergantungan. Hal ini menciptakan sistem di mana warga Palestina menjadi penerima pemerintahan, alih-alih pelaksananya, di mana rekonstruksi menjadi tujuan itu sendiri, alih-alih sarana menuju emansipasi politik.

Namun, bahayanya melampaui Gaza. Dengan membiarkan Rencana Gaza menguat menjadi pengaturan semi-permanen, komunitas internasional berisiko melegitimasi status quo politik baru, yang menormalkan ketiadaan negara. Semakin lama struktur ini bertahan, semakin ia akan diterima sebagai "realitas baru". Dunia mungkin akan segera mulai berbicara bukan tentang "pendudukan" dan "pembebasan", tetapi tentang "stabilitas" dan "rekonstruksi".

Dalam proses ini, masalah Palestina berisiko didefinisikan ulang secara diam-diam, alih-alih diselesaikan. Solusi dua negara, yang sudah rapuh dan tertunda, dapat runtuh di bawah beban solusi "sementara" yang kemudian menjadi permanen. Gaza, dalam hal ini, menjadi laboratorium bagi realitas negara tunggal, di mana Palestina hanya berada sebagai zona administratif dependen yang mengorbit di sekitar gravitasi ekonomi dan politik Israel.

Ketergantungan ekonomi tersebut memang sudah sangat mendalam. Perekonomian Palestina masih terikat erat dengan perekonomian Israel, melalui pasar tenaga kerja, arus perdagangan, dan sistem perpajakan. Bahkan mata uang yang digunakan sehari-hari, shekel Israel, terus-menerus menjadi pengingat akan subordinasi struktural ini. Ketergantungan ini, yang dulu dianggap sebagai dampak sampingan pendudukan, berisiko dilembagakan melalui Rencana Gaza. Jika rencana ini berlanjut, rekonstruksi Gaza akan didanai secara eksternal, tata kelolanya diserahkan kepada pengawasan internasional, dan jalur ekonominya masih dikendalikan oleh Israel. Kemerdekaan akan menjadi sebuah abstraksi, tertunda tanpa batas waktu di bawah retorika "pembangunan" dan "perdamaian".

Ini bukan berarti mengabaikan kebutuhan mendesak untuk membangun kembali. Kehancuran Gaza memang nyata, dan rakyatnya berhak mendapatkan rumah, rumah sakit, dan sekolah yang layak. Namun, rekonstruksi tidak boleh mengorbankan kepentingan politik. Dunia tidak boleh menyamakan intervensi kemanusiaan dengan pembangunan bangsa, dan dunia juga tidak boleh membiarkan urgensi moral bantuan menjadi pembenaran atas kenyamanan strategis penahanan.

Negara-negara Arab, khususnya, harus berhati-hati. Motif mereka, yaitu memastikan stabilitas regional, menghindari luapan pengungsi, dan mempertahankan hubungan strategis dengan Washington, dapat dipahami. Namun, dengan menerima Rencana Gaza tanpa menuntut jaminan politik, mereka berisiko menjadi penjamin kerangka kerja yang memperkokoh marginalisasi Palestina. Rekonstruksi, jika tidak dikaitkan secara eksplisit dengan peta jalan kedaulatan, menjadi semacam keterlibatan dalam aneksasi gerak lambat, yang dikelola melalui bantuan, alih-alih senjata.

Ancaman yang lebih mendalam dari Rencana Gaza terletak pada psikologi politiknya; rencana ini membingkai ulang perjuangan Palestina sebagai isu manajemen kemanusiaan, alih-alih masalah kolonial. Rencana ini mengajak dunia untuk mengukur kemajuan berdasarkan jumlah sekolah yang dibangun kembali, alih-alih berdasarkan pemulihan hak-hak. Dan rencana ini memberi Israel, mungkin tanpa sengaja, apa yang tidak dapat dicapai oleh diplomasi selama puluhan tahun, yaitu normalisasi satu negara de facto di mana rakyat Palestina diperintah, bukan diwakili.

Jika lintasan ini berlanjut, Rencana Gaza tidak akan dikenang sebagai jembatan menuju perdamaian, melainkan sebagai cetak biru hilangnya Palestina secara diam-diam dari peta negara-negara berdaulat. Setelah rekonstruksi menstabilkan wilayah tersebut dan pengawasan internasional menjadi hal yang rutin, tekanan untuk resolusi politik akan mereda. Perwalian "sementara" ini dapat bertahan lebih lama dari konflik itu sendiri, mengubah Gaza menjadi wilayah kekuasaan global yang abadi, sebuah wilayah yang berfungsi tetapi tidak pernah menjadi miliknya sendiri.

Bagi para pendukung Palestina di seluruh dunia, dari ibu kota Arab hingga parlemen Eropa, inilah saatnya untuk waspada. Urgensi kemanusiaan Gaza tidak boleh mengaburkan imperatif politik Palestina. Setiap dolar bantuan dan setiap proyek rekonstruksi harus dikaitkan dengan komitmen yang jelas dan dapat ditegakkan terhadap kedaulatan, bukan pengawasan tanpa akhir. Jika tidak, Rencana Gaza akan berhasil di mana pendudukan bertahun-tahun telah gagal, dan akan mendefinisikan ulang Palestina hingga punah, bukan melalui penaklukan, melainkan melalui persetujuan.

Agar visi dua negara ini dapat bertahan, Rencana Gaza harus diperlakukan sebagai langkah darurat, bukan model politik. Jangka waktunya harus terbatas, tujuannya bersifat sementara, dan tujuan akhirnya selaras dengan penentuan nasib sendiri Palestina. Apa pun yang kurang dari itu berisiko menggantikan satu jenis pendudukan dengan jenis pendudukan lain, yang bukan berasal dari tank dan tembok, melainkan dari teknokrasi yang didanai dengan baik dan ketidakpedulian global. Dunia tidak boleh membiarkan reruntuhan Gaza menjadi fondasi jebakan politik permanen. Janji perdamaian tidak boleh dibangun di atas penguburan suatu bangsa.

https://www.middleeastmonitor.com/20251013-rebuilding-gaza-undermining-palestine/

Address

Jalan Kebon Kopi
Cimahi
40535

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Sudut Pandang Sederhana posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Sudut Pandang Sederhana:

Share