Task Sentai Mizionger

Task Sentai Mizionger Becoming The High Valued Tokufans
Opinion I Discussion I Knowledge
Starting 2025 with

Post disini aja deh biar ga ngilang tiba-tiba hwhw
06/07/2025

Post disini aja deh biar ga ngilang tiba-tiba hwhw

Pencerahan berlanjut ke pesona dunia lama, ayo kesini hehetiktok.com/.id
26/05/2025

Pencerahan berlanjut ke pesona dunia lama, ayo kesini hehe
tiktok.com/.id

KENAPA TOKUFANS BARAT SERING COCOKLOGI ANEH?Lo mungkin udah sering lihat di timeline X/Twitter atau forum-forum tokusats...
12/05/2025

KENAPA TOKUFANS BARAT SERING COCOKLOGI ANEH?

Lo mungkin udah sering lihat di timeline X/Twitter atau forum-forum tokusatsu, ada tokufans yang kebanyakan dari Barat s**a banget ngehubungin hal-hal kecil di tokusatsu Jepang sama isu-isu seperti non-binary representation lah, patriarki lah, Lagibatuk lah, bahkan sampai politik identitas yang sebenerny ya.. gak ada sangkut pautnya sama sekali. Kok bisa ya? Apa yang bikin mereka begini?

1. Cocoklogi: Ketika Imajinasi Dipaksakan Jadi Fakta
Cocoklogi, alias kebiasaan “maksa banget” nyocok-nyocokin sesuatu, itu sebenarnya bisa dijelasin dari sisi psikologi. Dalam psikologi kognitif, hal ini termasuk dalam fenomena confirmation bias—di mana seseorang cuma fokus pada informasi yang “mengkonfirmasi” kepercayaannya, dan menolak fakta lain yang nggak sejalan.

Contoh sederhananya: ada satu karakter cowok di Kamen Rider atau Super Sentai yang tampil agak feminin. Langsung deh disimpulin, “Dia representasi karakter non-biner nih!” Padahal, bisa aja itu cuma bentuk ekspresi artistik khas Jepang yang dari dulu emang s**a nge-mix estetika maskulin dan feminin. Bukan statement politik, bukan simbol diversity yang dibungkus halus. Tapi karena si fans punya kebutuhan untuk melihat dirinya atau nilai-nilainya di karakter itu, akhirnya interpretasi jadi maksa.

"When you're a hammer, everything looks like a nail." pepatah lama yang cocok banget buat kasus ini.

2. Representasi vs Relevansi Budaya: Dua Dunia yang Nggak Selalu Nyambung
Buat orang Barat, terutama dari generasi yang udah sangat akrab dengan istilah representasi gender, ras, dan seksualitas di media, wajar kalau mereka punya ekspektasi tinggi. Masalahnya, mereka sering lupa kalau tokusatsu itu produk budaya Jepang—bukan Hollywood, bukan juga Eropa.

Jepang punya konteks sosial dan historis yang beda banget. Dalam budaya Jepang, ambiguity itu justru sering dihargai. Karakter yang “lembut”, “introvert”, atau bahkan “metrosexual” bukan selalu lambang perlawanan terhadap maskulinitas toxic. Kadang itu ya cuma gaya semata lho.

Contoh lain: Karakter cewek yang kuat di Sentai. Di mata fans barat: "Yes! Feminist icon!" Padahal dari sisi Jepang: karakter itu bisa aja cuma dikasih porsi setara karena penonton perempuan juga target pasar. Beda motivasi, beda makna.

3. Psikologi Fandom: Identitas, Keinginan, dan Proyeksi
Masuk ke ranah yang lebih dalam: kenapa sih mereka begitu ngotot? Jawabannya bisa jadi karena fandom itu udah jadi bagian dari identitas mereka.

Menurut studi dari The Psychology of Fandom (Gray et al., 2007), banyak fans yang menjadikan fandom sebagai perpanjangan dari jati diri mereka. Mereka ingin merasa terlihat, terwakili, bahkan "diakui" oleh media yang mereka cintai. Ketika mereka gak nemuin representasi itu secara eksplisit, mereka bikin narasi sendiri—meski harus cocoklogi sana-sini.

Ditambah lagi, media sosial sekarang bikin makin parah. Kita hidup di era echo chamber, di mana kita lebih sering terpapar konten dari orang-orang yang sepemikiran. Interpretasi yang awalnya cuma opini jadi makin diyakini sebagai “kebenaran” karena terus divalidasi oleh sesama circle.

4. Ketika “Inklusivitas” Jadi Agresif
Saat inklusivitas itu jadi maksa, jadi cocoklogi, dan bahkan menyerang fans lain yang gak setuju, itu malah berbalik jadi toxic fandom.

Di Verywell Mind (2023), toxic fandom dijelaskan sebagai kondisi ketika fans merasa berhak mengontrol narasi atau maksa banget pandangannya harus diakui orang lain. Bukan cuma annoying, ini bisa bikin komunitas pecah dan orang jadi ilfeel sama fandom itu sendiri.

Banyak tokufans (bahkan dari Barat juga) yang mulai muak dengan cara-cara maksa ini. Mereka cuma pengen nikmatin tokusatsu sebagai tontonan yang seru, penuh aksi, nilai moral, dan tentu aja nostalgia. Gak semua hal harus ditarik ke ranah ideologi atau politik identitas.

Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Gue pribadi sih mikir, memahami tokusatsu itu harus dari konteks budayanya dulu. Kita bisa aja punya interpretasi sendiri, itu wajar, tapi jangan maksa dan jangan sampe ganggu orang lain. Ada garis batas antara “menafsirkan” dan “menggiring opini secara paksa”.

Sebagai fans, kita punya tanggung jawab moral buat jaga kenyamanan komunitas. Dan sebagai orang yang mencintai tokusatsu, kita juga harus hormatin cara kerja budaya Jepang yang mungkin jauh beda dari ekspektasi kita.

Nikmati Apa Adanya, Jangan Maksa Jadi Agenda
Lo s**a tokusatsu? Sip, sama. Tapi yuk, jangan jadi fans yang annoying dengan cocoklogi yang gak relevan. Punya opini dan interpretasi itu oke, asal jangan jadi paksaan. Kadang, Kamen Rider ya cuma tentang pahlawan yang naik motor dan nyelamatin dunia. Gak perlu jadi simbol perlawanan patriarki apalagi agenda sampah segala.

Tokusatsu itu indah karena kesederhanaannya. Jangan sampe rusak karena ego yang pengen semua hal sesuai pandangan pribadi.

“Bukan semua representasi harus eksplisit. Kadang, cukup lo bisa relate secara emosional, bukan identitas.”

Kalian punya opini, teori, atau sekadar ingin diskusi santai soal toku? Gas join Noir Space – grup diskusi dari Noir Society yang seru, bebas toxic bin drama, dan penuh insight buat sesama. Circle yang pas buat nambah wawasan sambil tetap have fun bareng sesama Tokufans!

Klik link dibawah buat join ⬇️⬇️⬇️
https://www.facebook.com/share/g/18u6CMpdi8/

TOKUFANS YANG BISA KRITIS DAN PUNYA PENDIRIAN ITU KEREN!"Debutnya B aja" "Masih mending yang awal" "Jelek banget sih ema...
04/05/2025

TOKUFANS YANG BISA KRITIS DAN PUNYA PENDIRIAN ITU KEREN!

"Debutnya B aja" "Masih mending yang awal" "Jelek banget sih emang charanya"

Pernah nggak sih lo nemu kalimat kayak gitu nongol di fanpage tokusatsu yang followers-nya udah bejibun? Dan yang bikin tambah gereget, pas ada fans lain yang beda pendapat, malah dipojokin..

Yap, inilah realita yang cukup sering kejadian di kalangan tokufans hari ini. Yang tadinya semangat karena bisa punya sudut pandang sendiri soal karakter, gimmick, atau cerita sebuah series, malah jadi nggak pede gara-gara “suara mayoritas” dari akun yang terlanjur dianggap paling bener.

Kenapa bisa kayak gitu, ya?
Sebelum kita ngebahas lebih jauh, penting buat kita sadar bahwa tiap orang punya cara nikmatin tokusatsu yang beda-beda. Ada yang nonton karena s**a form keren, ada yang demen karena jalan ceritanya deep, ada juga yang ngikutin karena nostalgia. Tapi ketika satu suara — dalam hal ini fanpage atau influencer — mulai mendikte opini sebagai “kebenaran mutlak”, maka terjadilah yang disebut opini dominan.

Menurut Social Identity Theory dari Henri Tajfel, orang cenderung mengelompokkan dirinya ke dalam sebuah komunitas untuk merasa punya identitas. Masalahnya, kalau fanpage-nya mulai “ngelitik” sisi eksklusivitas — misalnya dengan statement kayak “kalau gak setuju berarti ga ngikutin seriesnya” — maka fans lain bisa merasa terancam kalau pandangannya beda.

Dan ini diperkuat oleh fenomena groupthink, yaitu ketika anggota kelompok lebih memilih ikut arus pendapat mayoritas demi menghindari konflik atau pengucilan, daripada nyampein pandangan sendiri. Dalam konteks komunitas tokufans, ini bikin diskusi yang seharusnya sehat jadi toxic.

Fanpage yang ‘menggiring opini’: salah siapa?
Sebenernya nggak salah juga sih kalau sebuah fanpage punya pendapat sendiri. Yang salah itu kalau fanpage merasa “paling bener” dan nggak kasih ruang buat pendapat lain berkembang.

Dalam studi dari American Psychological Association (APA), confirmation bias atau kecenderungan mencari dan menonjolkan informasi yang mendukung keyakinan pribadi juga sangat kuat di media sosial. Jadi, pas ada yang nggak sejalan, itu dianggap ancaman yang harus dibungkam secepatnya.

Kenapa kita harus tetap punya pandangan sendiri?
Karena jadi fans itu bukan kompetisi, bro. Beda selera itu wajar. Series yang lo s**a bisa jadi “ampas” buat orang lain, dan itu sah-sah aja. Yang penting lo tahu alasan lo sendiri kenapa s**a. Jangan biarin pandangan fanpage atau opini dominan bikin lo merasa pandangan lo invalid. Critical thinking itu penting, termasuk pas nikmatin hiburan kayak tokusatsu.

Menurut artikel “Media Literacy in the Digital Age” dari Stanford University, audiens digital sekarang perlu dibekali kemampuan berpikir kritis supaya nggak gampang terbawa arus opini yang sebenarnya subjektif. Nah, sebagai tokufans, lo juga punya tanggung jawab buat ngasih ruang diskusi yang sehat dan saling menghargai.

Jadi, gue harus gimana d**g?
- Punya pendapat? Sampaikan. Tapi dengan argumen, bukan emosi.
- Beda pendapat? Hormati. Diskusi, bukan debat kusir.
- Ngeliat fanpage ngegiring opini? Lo boleh setuju, boleh juga enggak. Tapi tetap filter sendiri.
- Jangan lupa, jadi fans itu buat seneng-seneng, bukan buat ribut.

Komunitas tokusatsu bakal lebih sehat kalau kita semua sadar bahwa selera itu subjektif, dan validasi nggak harus datang dari fanpage besar. Justru yang bikin lo stand out sebagai fans itu bukan seberapa sama lo dengan mayoritas, tapi seberapa jujur lo dengan selera lo sendiri, oke!

Kalau ada yang keliru dari pembahasan di atas feel free buat koreksi lewat kolom komentar ya bro!

Kalian punya opini, teori, atau sekadar ingin diskusi santai soal toku? Gas join Noir Space – grup diskusi dari Noir Society yang seru, bebas toxic bin drama, dan penuh insight buat sesama. Circle yang pas buat nambah wawasan sambil tetap have fun bareng sesama Tokufans!

Klik link dibawah buat join ⬇️⬇️⬇️
https://www.facebook.com/share/g/18u6CMpdi8/

Premiere besok ya guys di Channel YouTube-nya Noir Society heheMohon Supportnya selalu juga ya!Masih banyak pembahasan l...
29/04/2025

Premiere besok ya guys di Channel YouTube-nya Noir Society hehe
Mohon Supportnya selalu juga ya!

Masih banyak pembahasan lainnya yang bakal dibuat konten YoTube-nya juga, Stay Tune yoo!

Langsung aja subscribe & aktifin notifikasinya dulu biar ga ketinggalan sama Premiere-nya nanti😁

HALO NOIRTIZENS!Noir Society adalah ruang bagi para tokufans yang ingin melangkah lebih dalam bukan sekadar menikmati aksi, tapi juga memahami filosofi, psik...

23/04/2025

Awal dari perjalanan konten video page ini, Bismillah!
mohon supportnya ya bro-bro semua hehe, share trailernya dulu nih buat video pertama di youtube nanti.

bisa juga subscribe sambil nungguin premiere konten-nya!
https://www.youtube.com/

DARI SATYAGRAHA SAMPAI MAHATMA GANDHI DI ULTRA SERIESDi antara sekian banyak tokoh fiksi dalam dunia tokusatsu khususnya...
21/04/2025

DARI SATYAGRAHA SAMPAI MAHATMA GANDHI DI ULTRA SERIES

Di antara sekian banyak tokoh fiksi dalam dunia tokusatsu khususnya Ultra series, Ultraman Cosmos menjadi sosok yang bisa dibilang paling unik. Gak seperti mayoritas Ultra Warrior yang tampil dengan kekuatan dominan dan aksi destruktif demi menumpas kejahatan, Cosmos justru dikenal karena pendekatannya yang lembut, penyayang, dan penuh empati, khususnya terhadap monster-monster yang masih memiliki akal sehat bin waras. Hal ini menjadikan Cosmos sangat berbeda dalam semesta Ultra. Menariknya, karakter ini justru memiliki banyak kesamaan dengan salah satu tokoh dunia paling dihormati sekaligus Bapak non-kekerasan dunia, Mahatma Gandhi.

Gandhi & Cosmos: Dua Sosok, Satu Jiwa Damai

Mahatma Gandhi dikenal sebagai pionir perlawanan tanpa kekerasan, alias satyagraha. Dia percaya bahwa dengan kasih sayang dan kelembutan hati, perubahan bisa terjadi tanpa harus angkat senjata. Dan hal ini nggak cuma jadi omong kosong doang. Gandhi sampai rela dipenjara berkali-kali, disiksa, dan tetap gak mau bales dendam.

Nah, kalo kita bandingin dengan Ultraman Cosmos, karakter satu ini juga punya prinsip serupa. Dia bukan tipe Ultra yang langsung main hajar begitu lihat monster. Bahkan bisa dibilang Cosmos itu Kaiju Lovers—asalkan monsternya gak kalap. Dia lebih memilih nyembuhin, nenangin, bahkan ngobrol baik-baik dulu sebelum akhirnya... yah, berubah jadi brutal kalau situasi gak bisa dikondisikan.

Mode Luna: Simbol Kelembutan Sejati

Mode utama Cosmos, yaitu Luna Mode, bisa dibilang kayak representasi Gandhi dalam wujud tokusatsu. Gerakannya halus, jurus-jurusnya gak mematikan, dan lebih fokus ke penyembuhan. Ada momen di series-nya di mana dia bahkan rela ngorbanin diri supaya si monster gak tersakiti.

Menurut psikolog Carl Rogers, manusia pada dasarnya punya potensi bawaan untuk jadi baik, asal lingkungannya suportif. Nah, Luna Mode ini kayak cerminan teori Rogers—Ultra yang percaya semua makhluk (termasuk monster!) punya potensi buat berubah asal dikasih ruang dan cinta.

Tapi, Gak Semua Bisa Diselesaikan dengan Damai

Sekarang kita masuk ke bagian menariknya: Mode Corona.

Cosmos bisa berubah jadi Corona Mode, yang lebih agresif dan... ya, brutal. Jurusnya tajam, gerakannya keras, dan wibawanya lebih ke arah “jangan macem-macem sama gue.” Kayak Gandhi bilang: "If someone slaps you on one cheek, offer the other." Tapi, kalo yang nyerang lo ternyata bawa bom nuklir dan niat jahat, masa lo masih mau kasih p**i?

Ini bagian yang paling realistis dari Cosmos. Dia punya prinsip damai, tapi bukan berarti jadi lemah atau gak bisa melawan. Filosof Friedrich Nietzsche pernah bilang: “He who fights with monsters should be careful lest he thereby become a monster.” Tapi dia juga bilang bahwa kekuatan dan keberanian untuk melawan itu penting, asalkan kita gak kehilangan jati diri.

Jadi, ketika Luna gak bisa ngatasin kekacauan, Cosmos masuk ke Corona bukan buat ego, tapi sebagai langkah terakhir. Sebuah bentuk kompromi antara idealisme dan kenyataan. Kayak Gandhi pun pernah dukung Inggris saat Perang Dunia karena percaya kadang kita harus pilih kejahatan yang lebih kecil untuk mencegah kejahatan yang lebih besar.

Kelembutan Bukan Berarti Lemah

Bro, penting banget buat kita pahami bahwa jadi lembut itu gak sama dengan jadi lemah. Bahkan, menurut filsuf Tiongkok, Lao Tzu, "Nothing is softer or more flexible than water, yet nothing can resist it." Lembut bukan berarti lo bisa diinjak-injak. Justru itu bentuk tertinggi dari kekuatan—karena lo sadar lo bisa menghancurkan, tapi lo pilih untuk menyembuhkan.

Cosmos itu refleksi dari manusia ideal yang penuh empati, penyayang, tapi juga tegas saat keadaan menuntut. Ini ngingetin kita bahwa jadi baik itu pilihan yang berat, apalagi kalau lo punya kekuatan buat ngelawan tapi tetap pilih buat berdamai dulu.

Penutup: Gandhi & Cosmos, Cermin Diri Kita Juga

Di dunia yang makin chaotic ini, kita butuh sosok kayak Gandhi dan Cosmos. Bukan karena mereka sempurna, tapi karena mereka ngingetin kita bahwa dunia gak cuma butuh superhero yang kuat, tapi juga yang bisa sabar, ngerti, dan penyayang. Tapi inget juga, sabar ada batasnya dan ketika batas itu dilewati, bukan berarti kita berubah jahat, tapi justru membela apa yang benar.

Gue rasa Gandhi kalo nonton Ultraman Cosmos, bakal bilang: "Nah, ini nih Ultra yang gue banget sih" atau "My Ultra" wkwkwk

Kalau ada yang keliru dari pembahasan di atas feel free buat koreksi lewat kolom komentar ya bro!

Kalian punya opini, teori, atau sekadar ingin diskusi santai soal toku? Gas join Noir Space – grup diskusi dari Noir Society yang seru, bebas toxic bin drama, dan penuh insight buat sesama. Circle yang pas buat nambah wawasan sambil tetap have fun bareng sesama Tokufans!

Klik link dibawah buat join ⬇️⬇️⬇️
https://www.facebook.com/share/g/18u6CMpdi8/

DAIJINRYUU, SALAH SATU BENTUK SUNNATULLAH?Siapa yang udah pernah nonton Gosei Sentai Dairanger? Kalau pernah, pasti ngga...
19/04/2025

DAIJINRYUU, SALAH SATU BENTUK SUNNATULLAH?

Siapa yang udah pernah nonton Gosei Sentai Dairanger? Kalau pernah, pasti nggak asing d**g sama makhluk gede, misterius, dan penuh aura dingin bernama Daijinryuu. Buat yang belum kenal, santuy, gue ceritain dikit. Daijinryuu ini bukan tokoh utama, bukan juga villain. Dia muncul di tengah-tengah konflik panjang antara dua gesekan kekuatan: Suku Dai dan Gorma. Tapi yang menarik, dia nggak dateng buat bantuin siapa-siapa. Dia netral. Dia muncul karena energi konflik mereka itu udah kelewat batas. Kayak alarm semesta gitu, bro.

Nah, abis gue ikut kajian soal sunnatullah (aturan tetap dari Allah yang berlaku dalam kehidupan dan alam semesta), gue langsung keinget si Daijinryuu ini. Kok bisa, ya? Apa jangan-jangan... Daijinryuu itu salah satu bentuk sunatullah versi tokusatsu?

Sunnatullah: Bukan Cuma Soal Agama, Tapi Juga Ritme Semesta

Oke, sebelum lo mikir ini pembahasan ngelantur atau berlebihan, tenang dulu. Sunatullah tuh bukan semata-mata perkara ibadah doang. Dalam kajian yang gue ikutin kemarin, dijelasin kalau sunatullah itu kayak hukum alam yang udah fix, kayak gravitasi, siklus hidup, dan bahkan... konsekuensi dari pilihan dan tindakan manusia. Ada sebab, ada akibat.

Lo marah-marah terus? Lo bakal capek dan dijauhin orang. Lo disiplin dan sabar? Ya pasti bakal ada hasil positifnya. Itu udah kayak software bawaan kehidupan yang nggak bisa kita hack seenaknya.

Nah, di sinilah gue ngeliat paralelnya sama Daijinryuu. Dia turun bukan karena dia pengen, tapi karena energi dari konflik manusia udah terlalu besar. Dia kayak refleksi dari hukum alam spiritual, yang muncul buat ngingetin: "Hey, lo udah kelewatan cok!"

Ngomongin sunnatullah, Al-Qur’an tuh udah banyak banget ngasih clue soal gimana semesta ini kerja. Coba deh lo cek QS. Al-Isra’ ayat 16:
"Dan apabila Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (untuk taat kepada Allah), tetapi mereka melakukan kefasikan di dalamnya. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (hukuman Kami), lalu Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya."

Liat kan? Ini bukan Tuhan tiba-tiba murka tanpa sebab. Tapi karena ada gesekan energi negatif dari perilaku manusia sendiri yang nyulut kehancuran. Mirip banget kayak waktu Daijinryuu turun gara-gara konflik antar suku yang kelewat batas. Dia nggak datang nyerang... tapi muncul sebagai hasil dari akumulasi energi rusak yang diciptain manusia sendiri.

Dan di hadis juga ada nih, dari HR. Muslim:
"Sesungguhnya Allah tidak menzalimi seorang hamba pun, tetapi manusia lah yang menzalimi dirinya sendiri."
(Jadi intinya, kalau hidup lo chaos, bukan karena Allah jahat—tapi bisa jadi karena lo lagi ngerusak harmoni itu sendiri.)

Netral Tapi Nggak Acuh: Filosofi Daijinryuu

Kalau lo baca pemikiran Friedrich Nietzsche, ada konsep soal “will to power” yaitu hasrat manusia buat mendominasi atau mempertahankan eksistensi. Suku Dai dan Gorma bisa dibilang terjebak di situ. Tapi Nietzsche juga percaya bahwa kekuatan yang nggak dikontrol akan berujung pada kehancuran diri sendiri.

Dan Daijinryuu? Dia kayak katalis netral yang muncul di tengah-tengah kegilaan itu. Dia bukan malaikat, bukan juga iblis. Dia nature. Lo tahu air bisa nyelametin, tapi bisa juga bikin banjir bandang. Api bisa masak makanan sampai mateng, tapi juga bisa bakar rumah. Daijinryuu tuh begitu. Netral, tapi powerful.

Psikolog kayak Carl Jung juga pernah ngomong soal archetype bayangan dalam diri manusia—sisi gelap yang kalau nggak diakui, bisa bawa kehancuran. Nah, Daijinryuu bisa dibilang simbol dari collective shadow itu. Dia dateng karena kita (atau suku Dai dan Gorma) menolak ngeliat betapa destruktifnya diri sendiri.

Kayak Karma Tapi Lebih Mistis?

Kadang kita s**a mikir, “Karma akan membalas.” Tapi kalau pakai kacamata sunatullah, bukan soal balas-membalas. Tapi soal konsekuensi yang udah otomatis jalan. Kayak lo makan sambel kebanyakan, ya perut jadi mules.

Daijinryuu bukan "pembalas dosa", tapi lebih kayak... manifestasi dari keseimbangan yang rusak. Begitu konflik udah terlalu panas, dia muncul kayak sistem imun semesta. Bukan buat marah, tapi buat reset.

Jadi, Kita Harus Takut Sama Daijinryuu?

Nggak juga, Sama kayak kita nggak harus takut sama listrik—asal kita tahu cara makenya. Daijinryuu ngajarin kita satu hal penting: setiap tindakan punya resonansi. Kebaikan kecil lo, bisa berdampak besar. Tapi begitu lo biarkan konflik, ego, dan ambisi berlebih tumbuh liar... jangan salahin kalau semesta mulai ‘bicara’.

Bahkan Imam Al-Ghazali pernah bilang, “Dirimu adalah rahasia semesta.” Jadi kalau lo lagi chaos, bisa jadi semesta juga ikut terguncang. Dan kalau semesta terguncang? Ya... Daijinryuu bisa datang wkwk

Gue sih mikirnya gini, bro: Daijinryuu bukan cuma karakter random dari serial tokusatsu. Dia simbol. Dia metafora. Dia reminder bahwa dunia ini punya ritmenya sendiri. Dan kalau lo ngegas terlalu keras, semesta bakal ngasih tanda. Entah lewat kejadian, orang, atau perasaan... atau mungkin, lewat naga raksasa yang turun dari langit.

Jadi, lo mau nunggu Daijinryuu dulu buat sadar… atau mulai ngerti pola semesta dari sekarang?

Kalau ada yang keliru dari pembahasan di atas feel free buat koreksi lewat kolom komentar ya bro!

Kalian punya opini, teori, atau sekadar ingin diskusi santai soal toku? Gas join Noir Space – grup diskusi dari Noir Society yang seru, bebas toxic bin drama, dan penuh insight buat sesama. Circle yang pas buat nambah wawasan sambil tetap have fun bareng sesama Tokufans!

Klik link dibawah buat join ⬇️⬇️⬇️
https://www.facebook.com/share/g/18u6CMpdi8/

GOKKAN, GAMBARAN IDEAL DARI NEGARA "HUKUM"Pernah denger Gokkan? Kalau lo ngikutin Ohsama Sentai King Ohger, pasti kenal ...
17/04/2025

GOKKAN, GAMBARAN IDEAL DARI NEGARA "HUKUM"

Pernah denger Gokkan? Kalau lo ngikutin Ohsama Sentai King Ohger, pasti kenal sama negara yang satu ini. Negara yang full salju, dingin, tapi hukum di sana panas membara. Di Gokkan, keadilan bener-bener jadi raja. Nggak peduli lo siapa, punya kekuasaan atau cuma rakyat biasa, kalau salah ya dihukum, titik.

Gokkan dipimpin sama Rita Kaniska, seorang hakim sekaligus pemimpin negara. Tapi jangan bayangin pemimpin yang duduk manis atau "jogat-joget" doang ya. Rita ini tegas, fokus, dingin kayak es, tapi adil luar biasa. Dia percaya banget sama prinsip, “Meskipun Bumi terbelah dan langit runtuh, Rita Kaniska tidak akan pernah goyah.” atau dalam istilah asli latinnya, “Fiat justitia ruat caelum.” Keren, kan?

Rita: Cerminan Hakim & Pemimpin Ideal

Rita bukan cuma ketegasan tanpa arah. Dia punya filosofi hidup yang dalam. Nggak peduli tekanan dari rakyat, kolega, atau ancaman dari luar negeri, dia berdiri di atas satu fondasi: keadilan. Dan bukan keadilan yang “asal sesuai hukum”, tapi keadilan yang sejati yang setimpal, proporsional, dan penuh tanggung jawab.

Ini kayak apa yang dikatakan filsuf Yunani, Aristoteles. Katanya, “Keadilan adalah kebajikan yang paling sempurna karena mencakup kebaikan bagi orang lain juga.” Dan lo tahu nggak? Rita beneran ngejalanin itu. Nggak cuma menghukum buat nakut-nakutin, tapi bener-bener ngajarin rakyatnya soal tanggung jawab dan moralitas.

Bandingin Sama Indonesia? Hmm… Mari Kita Tarik Nafas Dulu

Indonesia, yang katanya negara hukum. Tapi kenyataannya? Hmm... Lo pasti udah hafal skripnya: yang salah bisa bebas atau dapet jabatan, yang benar malah kena jebakan dan di kriminalisasi. Hukum kayak punya dua muka—satu buat yang punya duit dan kuasa, satu lagi buat rakyat biasa. Kita ngerasain banget tuh, ada yang maling ayam dihajar masa dan masuk penjara, tapi yang korupsi gede-gedean jadi pemimpin mega holding negara.

Menurut Abraham Maslow, manusia butuh rasa aman buat bisa berkembang. Tapi di negara kayak gini, siapa yang bisa ngerasa aman? Kalau hukum bisa dibeli, kita nggak cuma kehilangan kepercayaan, tapi juga kesehatan mental sebagai masyarakat.

Negara Gokkan vs. Negara "Gak Akan"

Gokkan ngasih kita gambaran ideal soal gimana negara hukum seharusnya jalan. Di sana, hukum itu kayak tulang punggung: kuat, lurus, dan nggak gampang bengkok karena tekanan. Sementara di kita? Yah… kadang rasanya kayak tulang lunak, gampang dibengkokin demi kepentingan elite. saking lunaknya sampe bisanya cuma joget doang wkwk

Padahal, menurut John Rawls, seorang filsuf politik modern, keadilan itu harus "fair" buat semua orang. Dia bilang, “Keadilan sebagai fairness” adalah prinsip dasar buat hidup berdampingan. Tapi apa iya di Indonesia semua dapet “fairness”? Rasanya baru segelintir yang bisa ngerasain itu.

Psikologi Sosial & Hukum yang Gagal

Kalau ngomongin dari sudut psikologi sosial, masyarakat yang hidup di sistem hukum yang timpang bakal ngalamin krisis kepercayaan. Learned helplessness kata Martin Seligman. Alias, pasrah karena ngerasa usaha buat lawan ketidakadilan tuh percuma.

Ini bahaya banget bro. Karena ketika rakyat udah nggak percaya sama sistem, mereka bisa berhenti patuh. Mulai dari hal kecil kayak nerobos lampu merah, sampe hal besar kayak nyari “jalur belakang” buat urusan hukum. Ini bukan salah rakyat sepenuhnya—ini refleksi dari sistem yang gagal.

Kalau Gokkan Ada di Dunia Nyata…

Kebayang nggak, kalau pemimpin kayak Rita mimpin negeri ini? Yang kalau nyogok malah dikurung, bukan dimudahin urusannya. Yang kalau salah ya dihukum, bukan ditutupin sama pengalihan isu. Rasanya sih, kita semua bakal lebih tenang. Nggak perlu was-was kalau naik banding. Nggak perlu nebak-nebak hasil sidang. Karena kita tahu: hukum ditegakkan, bukan dipermainkan.

Kesimpulan: Gokkan itu Ideal, Tapi Bukan Mustahil

Gokkan mungkin cuma negeri fiksi, tapi bukan berarti mustahil. Kita sebagai anak muda bisa mulai dari hal kecil—ngedukung penegakan hukum yang adil, nggak ikut nyuap, dan mulai kritis sama sistem. Lo dan gue emang bukan Rita Kaniska, tapi kita bisa jadi rakyat yang bikin pemimpin kayak dia muncul di dunia nyata.

Jadi, masih yakin Indonesia udah jadi negara hukum yang sehat?
Atau… masih ngaku negara hukum, tapi nyatanya kayak negara "gak akan"?

Siapa tahu, satu suara kecil kita sebagai Tokufans sekaligus WNI bisa jadi gema yang nyadarin banyak orang. Karena kayak kata filsuf Spinoza: “Kebebasan adalah ketaatan pada hukum yang kita tetapkan sendiri.” Dan kalo hukum itu udah busuk, ya saatnya kita "CUCI, SIKAT & BILAS" bareng-bareng!

Kalau ada yang keliru dari pembahasan di atas feel free buat koreksi lewat kolom komentar ya bro!

Kalian punya opini, teori, atau sekadar ingin diskusi santai soal toku? Gas join Noir Space – grup diskusi dari Noir Society yang seru, bebas toxic bin drama, dan penuh insight buat sesama. Circle yang pas buat nambah wawasan sambil tetap have fun bareng sesama Tokufans!

Klik link dibawah buat join ⬇️⬇️⬇️
https://www.facebook.com/share/g/18u6CMpdi8/

KENAPA YA BEBERAPA TOKUFANS ANTI BANGET DISAMAIN SAMA WIBU? - sesama penggemar budaya pop culture tapi gamau disamain? -...
12/04/2025

KENAPA YA BEBERAPA TOKUFANS ANTI BANGET DISAMAIN SAMA WIBU? - sesama penggemar budaya pop culture tapi gamau disamain? -

Oke bro, mari kita mulai dari satu pertanyaan simpel:
"Emang kenapa sih kalo ada yang nyamain tokufans sama wibu?"

Lagi ngobrol seru-seru di forum, Discord, atau tongkrongan pecinta tokusatsu, terus ada yang nyeletuk, “Eh lo s**a Kamen Rider ya? Wibu banget sih lo!”
Wah, bisa langsung mental slap tuh orang. Reaksinya? Dari yang kalem kasih edukasi, sampe yang gas hisatsu "Eh bro, beda ya. Gue tokufans, bukan wibu."

Kenapa bisa gitu? Bukannya sama-sama demen budaya Jepang ya?

Tokusatsu vs Wibu: Sama Tapi Nggak Sepenuhnya Sama

Pertama-tama, kita harus sepakat dulu nih. Emang ada perbedaan konteks antara “tokufans” dan “wibu”.
- Tokufans: Orang-orang yang demen banget sama tokusatsu kayak Kamen Rider, Super Sentai, Ultraman dan sebagainya.
- Wibu (atau weeb): Sebutan (yang sering bernuansa negatif) buat orang yang terobsesi sama budaya Jepang, terutama anime, manga, J-pop, dan kadang sampai tingkah lakunya "Jepang banget".

Masalahnya muncul saat istilah “wibu” ini berkembang jadi lebih dari sekadar penikmat budaya. Wibu kadang dianggap:
- Obsesif berat sampe kehilangan nalar realita.
- Nggak bisa bedain dunia fiksi dan dunia nyata.
- Keras kepala, ngerasa Jepang itu "superior culture", sampe merendahkan budaya sendiri.

Nah lo, ini nih yang bikin sebagian tokufans angkat DX. Mereka ngerasa, “Gue emang s**a Kamen Rider, tapi bukan berarti gue mau hidup kayak karakter fiksi atau ngomong pake bahasa Jepang terus”

Filosofi dan Identitas Diri: Siapa Gue Sebenarnya?
Kalau kita tarik ke filsafat, bro, ada teori menarik dari Erik Erikson, psikolog yang bahas soal identity vs role confusion.
Di masa dimana lo mencari identitas (biasanya remaja sampe dewasa awal), lo akan coba nempelin label pada diri lo: gamer, ilustrator, otaku, tokufans, dll.

Masalahnya, pas lo udah nemu identitas yang pas—misalnya lo bangga jadi tokufans nih terus tiba-tiba ada yang bilang lo itu wibu, itu udah kayak orang salah nyebut nama lo.
Reaksinya? Ya pasti defensif. Lo ngerasa identitas lo dicampur aduk sama sesuatu yang bukan bagian lo.

Menurut filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre, manusia itu bukan cuma “apa yang kita lakukan”, tapi juga bagaimana orang lain memaknai diri kita. Kalo persepsi orang lain beda banget sama persepsi lo tentang diri sendiri, itu bikin lo gelisah. Nah, disinilah banyak tokufans mulai ngerasa risih.

“Wibu Itu Rendah?” – Perspektif atau Stigma?
Jujur aja, kita gak bisa nutup mata kalau kata “wibu” udah punya konotasi negatif di dunia maya. Di Reddit, Twitter (atau X), bahkan TikTok, istilah ini sering dipake buat ngatain, bukan sekadar ngelabeli.

Data dari survei kecil-kecilan di MyAnimeList Forum dan thread Quora nunjukin:
Lebih dari 65% responden menganggap istilah “wibu” itu negatif dan biasanya diasosiasikan dengan over obsessed fan yang s**a bertingkah aneh atau cringe.

Tokufans yang udah dewasa, punya tanggung jawab, dan ngeliat tokusatsu dari sisi moral, naratif, atau sinematografi, ngerasa direndahkan saat disamain sama gambaran “wibu cringe”.

Padahal, tokusatsu itu punya pesan moral dan filosofis yang dalem banget, bro. Kayak:
- Kamen Rider sering ngebahas soal kemanusiaan vs kekuasaan.
- Ultraman bicara soal pengorbanan dan eksistensi makhluk hidup.

Memang ini cuma tontonan khusus anak-anak. Tapi karya ini punya kedalaman, dan tokufans pengen diakui di level itu, bukan dimasukin ke keranjang yang sama dengan stereotipe negatif.

Apa Salahnya Disamakan? Kan Sama-sama Pecinta Budaya Jepang?
Bener sih, di satu sisi, secara teknis lo bisa bilang mereka pop culture Japan enjoyer. Tapi ada hal penting yang harus dipahami:
Label itu bukan soal fakta, tapi soal makna dan representasi.

Kata filsuf Ludwig Wittgenstein, makna itu dibentuk dari penggunaan dalam konteks sosial.
Jadi kalo “wibu” udah sering dipake sebagai bahan bully atau olok-olok, maka orang akan menghindari kata itu, walaupun secara definisi teknis dia cocok masuk kategori itu.

Makanya tokufans lebih nyaman pake label "fans toku", yang terdengar lebih spesifik, netral, dan sesuai dengan minat mereka.

Ada Ego, Ada Gengsi, Tapi Juga Ada Validasi
Gak munafik, ada juga unsur ego dan gengsi. Tokufans yang merasa udah “dewasa”, s**a sama produksi Jepang yang lebih live action dan realistis, kadang ngerasa levelnya “di atas” wibu yang masih anime-oriented.

Tapi ini juga bagian dari kebutuhan dasar manusia menurut teori Abraham Maslow, yaitu self-esteem dan belonging.
Orang butuh ngerasa dirinya beda, spesial, dan diakui di komunitas tertentu. Makanya, label kayak “tokufans” jadi penting untuk validasi diri.

Kesimpulan: Jadi, Haruskah Kita Pisah Jalan Sama Wibu?
Bro, sebenernya lo boleh aja bangga jadi tokufans dan gak mau disamain sama wibu. Tapi bukan berarti lo harus benci mereka juga.
Ingat kata Søren Kierkegaard, “To define me is to limit me.” Jangan biarkan label membatasi apresiasi lo terhadap banyak karya hebat dari Jepang.

Dan yang paling penting, kita semua sama-sama berada di jalur yang sama tapi beda gerbong. Nikmati perjalanan masing-masing, saling respek, dan gak usah ribut-ribut soal siapa yang lebih “superior”.

Lo tim santai kalo disamain sama wibu, atau tim “nggak bro, gue beda!”?
Drop pendapat lo di kolom komentar, atau diskusiin bareng temen lo yang satu circle. Biar gak salah paham dan bisa saling ngerti satu sama lain ya! Peace!

Kalau ada yang keliru dari pembahasan di atas feel free buat koreksi lewat kolom komentar ya bro!

Kalian punya opini, teori, atau sekadar ingin diskusi santai soal toku? Gas join Noir Space – grup diskusi dari Noir Society yang seru, bebas toxic bin drama, dan penuh insight buat sesama. Circle yang pas buat nambah wawasan sambil tetap have fun bareng sesama Tokufans!

Klik link dibawah buat join ⬇️⬇️⬇️
https://www.facebook.com/share/g/18u6CMpdi8/

Address

Bogor

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Task Sentai Mizionger posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Task Sentai Mizionger:

Share