12/04/2025
KENAPA YA BEBERAPA TOKUFANS ANTI BANGET DISAMAIN SAMA WIBU? - sesama penggemar budaya pop culture tapi gamau disamain? -
Oke bro, mari kita mulai dari satu pertanyaan simpel:
"Emang kenapa sih kalo ada yang nyamain tokufans sama wibu?"
Lagi ngobrol seru-seru di forum, Discord, atau tongkrongan pecinta tokusatsu, terus ada yang nyeletuk, “Eh lo s**a Kamen Rider ya? Wibu banget sih lo!”
Wah, bisa langsung mental slap tuh orang. Reaksinya? Dari yang kalem kasih edukasi, sampe yang gas hisatsu "Eh bro, beda ya. Gue tokufans, bukan wibu."
Kenapa bisa gitu? Bukannya sama-sama demen budaya Jepang ya?
Tokusatsu vs Wibu: Sama Tapi Nggak Sepenuhnya Sama
Pertama-tama, kita harus sepakat dulu nih. Emang ada perbedaan konteks antara “tokufans” dan “wibu”.
- Tokufans: Orang-orang yang demen banget sama tokusatsu kayak Kamen Rider, Super Sentai, Ultraman dan sebagainya.
- Wibu (atau weeb): Sebutan (yang sering bernuansa negatif) buat orang yang terobsesi sama budaya Jepang, terutama anime, manga, J-pop, dan kadang sampai tingkah lakunya "Jepang banget".
Masalahnya muncul saat istilah “wibu” ini berkembang jadi lebih dari sekadar penikmat budaya. Wibu kadang dianggap:
- Obsesif berat sampe kehilangan nalar realita.
- Nggak bisa bedain dunia fiksi dan dunia nyata.
- Keras kepala, ngerasa Jepang itu "superior culture", sampe merendahkan budaya sendiri.
Nah lo, ini nih yang bikin sebagian tokufans angkat DX. Mereka ngerasa, “Gue emang s**a Kamen Rider, tapi bukan berarti gue mau hidup kayak karakter fiksi atau ngomong pake bahasa Jepang terus”
Filosofi dan Identitas Diri: Siapa Gue Sebenarnya?
Kalau kita tarik ke filsafat, bro, ada teori menarik dari Erik Erikson, psikolog yang bahas soal identity vs role confusion.
Di masa dimana lo mencari identitas (biasanya remaja sampe dewasa awal), lo akan coba nempelin label pada diri lo: gamer, ilustrator, otaku, tokufans, dll.
Masalahnya, pas lo udah nemu identitas yang pas—misalnya lo bangga jadi tokufans nih terus tiba-tiba ada yang bilang lo itu wibu, itu udah kayak orang salah nyebut nama lo.
Reaksinya? Ya pasti defensif. Lo ngerasa identitas lo dicampur aduk sama sesuatu yang bukan bagian lo.
Menurut filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre, manusia itu bukan cuma “apa yang kita lakukan”, tapi juga bagaimana orang lain memaknai diri kita. Kalo persepsi orang lain beda banget sama persepsi lo tentang diri sendiri, itu bikin lo gelisah. Nah, disinilah banyak tokufans mulai ngerasa risih.
“Wibu Itu Rendah?” – Perspektif atau Stigma?
Jujur aja, kita gak bisa nutup mata kalau kata “wibu” udah punya konotasi negatif di dunia maya. Di Reddit, Twitter (atau X), bahkan TikTok, istilah ini sering dipake buat ngatain, bukan sekadar ngelabeli.
Data dari survei kecil-kecilan di MyAnimeList Forum dan thread Quora nunjukin:
Lebih dari 65% responden menganggap istilah “wibu” itu negatif dan biasanya diasosiasikan dengan over obsessed fan yang s**a bertingkah aneh atau cringe.
Tokufans yang udah dewasa, punya tanggung jawab, dan ngeliat tokusatsu dari sisi moral, naratif, atau sinematografi, ngerasa direndahkan saat disamain sama gambaran “wibu cringe”.
Padahal, tokusatsu itu punya pesan moral dan filosofis yang dalem banget, bro. Kayak:
- Kamen Rider sering ngebahas soal kemanusiaan vs kekuasaan.
- Ultraman bicara soal pengorbanan dan eksistensi makhluk hidup.
Memang ini cuma tontonan khusus anak-anak. Tapi karya ini punya kedalaman, dan tokufans pengen diakui di level itu, bukan dimasukin ke keranjang yang sama dengan stereotipe negatif.
Apa Salahnya Disamakan? Kan Sama-sama Pecinta Budaya Jepang?
Bener sih, di satu sisi, secara teknis lo bisa bilang mereka pop culture Japan enjoyer. Tapi ada hal penting yang harus dipahami:
Label itu bukan soal fakta, tapi soal makna dan representasi.
Kata filsuf Ludwig Wittgenstein, makna itu dibentuk dari penggunaan dalam konteks sosial.
Jadi kalo “wibu” udah sering dipake sebagai bahan bully atau olok-olok, maka orang akan menghindari kata itu, walaupun secara definisi teknis dia cocok masuk kategori itu.
Makanya tokufans lebih nyaman pake label "fans toku", yang terdengar lebih spesifik, netral, dan sesuai dengan minat mereka.
Ada Ego, Ada Gengsi, Tapi Juga Ada Validasi
Gak munafik, ada juga unsur ego dan gengsi. Tokufans yang merasa udah “dewasa”, s**a sama produksi Jepang yang lebih live action dan realistis, kadang ngerasa levelnya “di atas” wibu yang masih anime-oriented.
Tapi ini juga bagian dari kebutuhan dasar manusia menurut teori Abraham Maslow, yaitu self-esteem dan belonging.
Orang butuh ngerasa dirinya beda, spesial, dan diakui di komunitas tertentu. Makanya, label kayak “tokufans” jadi penting untuk validasi diri.
Kesimpulan: Jadi, Haruskah Kita Pisah Jalan Sama Wibu?
Bro, sebenernya lo boleh aja bangga jadi tokufans dan gak mau disamain sama wibu. Tapi bukan berarti lo harus benci mereka juga.
Ingat kata Søren Kierkegaard, “To define me is to limit me.” Jangan biarkan label membatasi apresiasi lo terhadap banyak karya hebat dari Jepang.
Dan yang paling penting, kita semua sama-sama berada di jalur yang sama tapi beda gerbong. Nikmati perjalanan masing-masing, saling respek, dan gak usah ribut-ribut soal siapa yang lebih “superior”.
Lo tim santai kalo disamain sama wibu, atau tim “nggak bro, gue beda!”?
Drop pendapat lo di kolom komentar, atau diskusiin bareng temen lo yang satu circle. Biar gak salah paham dan bisa saling ngerti satu sama lain ya! Peace!
Kalau ada yang keliru dari pembahasan di atas feel free buat koreksi lewat kolom komentar ya bro!
Kalian punya opini, teori, atau sekadar ingin diskusi santai soal toku? Gas join Noir Space – grup diskusi dari Noir Society yang seru, bebas toxic bin drama, dan penuh insight buat sesama. Circle yang pas buat nambah wawasan sambil tetap have fun bareng sesama Tokufans!
Klik link dibawah buat join ⬇️⬇️⬇️
https://www.facebook.com/share/g/18u6CMpdi8/