15/07/2025
Jika mendengar kata “kemenyan,” pikiran kita sering langsung tertuju pada aroma mistis dan ritual spiritual. Padahal, kemenyan (Styrax) dari Indonesia memiliki jejak panjang dalam perdagangan global dan menyimpan potensi ekonomi yang besar.
Menurut CIFOR‑ICRAF, daerah Tapanuli di Sumatera Utara telah menanam kemenyan selama lebih dari 200 tahun, bahkan mencapai puncak kejayaannya pada era 1970‑an. Penduduk Batak menggunakan kemenyan secara adat dalam ritual keagamaan dan adat istiadat. Tak hanya itu, menurut penelitian Budidarsono dkk. (2006), sekitar 16.395 hektar area di Tapanuli Utara ditanami pohon kemenyan, menghasilkan lebih dari 3.600 ton resin pada 2007.
Kini, Indonesia mendominasi pasar global. CIFOR‑ICRAF dan data Volza (April 2025) mencatat Indonesia melakukan 1.216 pengiriman kemenyan, mengalahkan India (177) dan Singapura (101). Pada 2024, ekspor kemenyan Indonesia mencapai 43 ribu ton senilai lebih dari US$ 52 juta (sekitar Rp 853 miliar) . Negara tujuan utamanya antara lain Tiongkok, Prancis, Bangladesh, Mesir, dan India. Sejarah kemenyan di Indonesia tak lepas dari budaya lokal. Di Tapanuli Utara, masyarakat Batak menanam pohon Styrax benzoin dan Styrax sumatrana sebagai bagian dari tradisi agroforestri. Jejaknya muncul sejak ratusan tahun lalu, ketika pedagang dari Timur Tengah, Cina, dan India mulai membeli kemenyan Tapanuli. Bahkan harga kemenyan pernah setara emas, sehingga banyak petani menggantungkan hidup pada komoditas ini. Salah satu bukti warisan budaya mereka adalah “Tombak Haminjon”, tanaman kemenyan yang ditanam sebagai penanda hak milik atas lahan.
Menurut studi CIFOR‑ICRAF, pada awal tahun 2000-an, kemenyan masih jadi sumber kemakmuran lokal. Namun produksi sempat turun akibat pohon yang menua, minimnya peremajaan, dan sistem perdagangan yang masih dikuasai tengkulak. Kemenyan tak hanya harum digunakan untuk ritual. Manfaatnya meluas ke berbagai industri: Pertama, Parfum & lilin aromaterapi, resin kemenyan menyumbang aroma khas....