10/12/2025
Konsep amal jariyah dalam Islam sebagaimana dipahami oleh para ulama salaf merupakan manifestasi keberlanjutan pahala yang tidak terputus sekalipun seorang hamba telah memasuki alam barzakh. Landasan ini merujuk pada prinsip agung dalam firman Allah Ta’ala:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ
“Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang telah mati dan mencatat apa yang telah mereka kerjakan serta jejak-jejak (amal) yang mereka tinggalkan.”
(QS. Yasin: 12)
Ayat ini, menurut penjelasan para ulama tafsir seperti Ibn Katsir dan As-Sa’di, menegaskan bahwa jejak kebaikan yang ditinggalkan seseorang tetap ditulis sebagai pahala yang terus mengalir. Inilah yang kemudian dijelaskan secara eksplisit dalam hadis-hadis Nabi ﷺ.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”
(HR. Muslim no. 1631)
Hadis ini menjadi fondasi utama bahwa keberlanjutan pahala tidak hanya bersumber dari tindakan materiil, tetapi juga dari kontribusi intelektual dan spiritual seorang hamba. Karena itu, para ulama salaf sangat menekankan pentingnya ilmu yang bermanfaat, pembangunan fasilitas umat, serta pendidikan generasi yang shalih dan shalihah sebab ketiganya merupakan amal yang meninggalkan jejak luas dalam kehidupan manusia.
Dengan demikian, tujuh amalan yang disebutkan dalam atsar shahih tentang amal jariyah mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam pohon kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf, dan anak yang memohonkan ampun merupakan elaborasi nyata dari ajaran yang selaras dengan maqashid asy-syari‘ah dalam menjaga agama, kehidupan, keturunan, dan peradaban.
Inilah karakter amal yang diwariskan oleh generasi salafusshalih kebaikan yang tidak berhenti pada dirinya, tetapi meluas menjadi manfaat yang terus mengalir hingga setelah kematiannya.