04/07/2025
SURAT TERBUKA UNTUK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Terkait Pemulangan Finalis Miss Indonesia 2025, Merince Kogoya
Kepada Yth.
Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto
di Tempat
Dengan penuh hormat dan kesedihan, kami menulis surat ini bukan sekadar karena seorang finalis kontes kecantikan dipulangkan, tetapi karena mimpi, martabat, dan harapan seorang anak Papua kembali dikalahkan oleh prasangka dan stigma yang belum juga hilang dari tanah air ini.
Adalah Merince Kogoya, anak perempuan Papua Pegunungan, yang mewakili wilayah dan budayanya di panggung nasional, namun justru dipulangkan secara mendadak dari karantina Miss Indonesia 2025. Bukan karena pelanggaran etika atau moral, bukan karena tidak layak secara kapasitas—melainkan karena sebuah foto lama yang memperlihatkan ia memegang bendera Israel. Tanpa ruang klarifikasi. Tanpa keadilan.
Yang menyakitkan bukan hanya keputusan itu, melainkan diamnya negara.
Apakah Indonesia hari ini memutuskan nasib seorang anak bangsa hanya berdasarkan viralnya unggahan media sosial?
Apakah kita telah sampai pada titik di mana penghakiman digital lebih dipercaya daripada penjelasan lisan dari seorang anak daerah yang sedang berjuang?
Bapak Presiden,
Kami menulis surat ini dengan hati yang lelah tapi tidak putus asa. Kami ingin Bapak tahu bahwa di balik keputusan pemulangan itu, ada luka yang jauh lebih dalam daripada yang terlihat. Luka yang kami—orang Papua—sudah rasakan sejak lama: kami ingin menjadi bagian dari Indonesia, tapi terus disambut dengan kecurigaan.
Merince mewakili harapan. Ia berdiri di atas panggung bukan untuk menyuarakan politik, tapi untuk menunjukkan bahwa anak perempuan Papua bisa tampil setara. Tapi ia dihukum hanya karena satu simbol, yang konteksnya pun belum pernah ia jelaskan secara langsung kepada publik.
Bapak Presiden, kami mohon:
1. Negara Hadir dan Mendengar
Kami meminta negara untuk membuka ruang klarifikasi resmi bagi Merince Kogoya. Ini bukan hanya soal pribadi, ini soal keadilan representatif—tentang bagaimana negara memperlakukan anak-anak dari wilayah terpinggirkan.
2. Hentikan Penghakiman Sepihak dan Stigma terhadap Orang Papua
Orang Papua terus-menerus menjadi sasaran kecurigaan hanya karena logat, warna kulit, atau sejarah yang tidak mereka pilih. Jika Indonesia milik semua, maka anak Papua pun berhak bermimpi tanpa harus melewati pagar diskriminasi.
3. Evaluasi Ajang Nasional yang Mengabaikan Nilai Kemanusiaan
Kami meminta Bapak Presiden meninjau ulang proses seleksi, panitia dan evaluasi ajang nasional yang melibatkan peserta lintas wilayah, agar tidak ada lagi anak bangsa yang dipermalukan di negeri sendiri hanya karena identitas atau simbol.
Kami tidak sedang membela simbol mana. Kami sedang membela seorang anak Papua yang mimpi dan masa depannya dilukai tanpa diberi kesempatan bicara. Kami tidak minta dikasihani. Kami hanya minta didengar. Dihargai. Diperlakukan adil.
Bapak Presiden,
Sebagai pemimpin tertinggi negeri ini, kami titipkan satu suara: Jangan biarkan simbol menjadi alasan untuk menghancurkan harapan.
Karena hari ini, bukan hanya Merince Kogoya yang dipulangkan—tapi juga harapan banyak anak muda Papua bahwa mereka akan diperlakukan setara oleh negara ini.
Kami percaya, Bapak Presiden punya keberanian lebih dari sekadar menyetujui diam. Kami percaya, Indonesia yang Bapak pimpin bisa menjadi lebih adil—jika berani mendengar suara dari tanah yang sering dilupakan.
Hormat kami,
Rakyat Papua yang tidak akan berhenti bermimpi.