Rumah Novel

Rumah Novel YouTube: Tekno Ngopi

BAB 1Pintu itu tertutup dengan sangat pelan, tanpa suara bantingan, namun bagi Oding, rasanya lebih memekakkan telinga d...
20/08/2025

BAB 1

Pintu itu tertutup dengan sangat pelan, tanpa suara bantingan, namun bagi Oding, rasanya lebih memekakkan telinga daripada badai terkeras sekalipun. Satiah berdiri di ambang pintu dengan tas pakaian di sisinya, wajahnya sekeras batu cadas di tepi sungai.

"Aku mau ke kota, Kang. Cari kerja," katanya datar. "Di sini kita makan apa? Aku minta pisah."

Oding, yang sedang mengamplas rangka kursi kayu di teras belakang, menghentikan gerakannya. Ampelas di tangannya berhenti berdesir. Ia menatap istrinya, wanita yang dinikahinya tiga tahun lalu dengan janji-janji sederhana tentang sawah dan kebahagiaan. Sawah itu kini kering, dan kebahagiaan, rupanya, ikut menguap bersama airnya.

"Ya sudah, kalau itu maumu," jawab Oding, lebih tenang dari yang ia duga. Di dalam dadanya, sesuatu terasa remuk, tetapi wajahnya tetap seperti topeng kayu yang sedang ia kerjakan. Tak ada permohonan, tak ada kemarahan. Hanya penerimaan yang lapang.

Satiah tampak sedikit terkejut dengan kurangnya perlawanan, namun ia segera menguasai diri. Ada sebersit kekecewaan di matanya—mungkin ia mengharapkan drama, sebuah pertarungan yang bisa membenarkan kepergiannya. "Aku pergi sekarang. Izinmu sudah tidak perlu lagi, kan?"

Oding mengangguk pelan, buku-buku jarinya memutih saat mencengkeram balok kayu. "Pergilah. Semoga berhasil di kota."

Dan begitulah. Satiah pergi mengejar mimpinya di bawah gemerlap lampu kota, meninggalkan Oding yang kini tak punya apa-apa selain debu kayu di tangannya. Sore itu juga, Oding mengemasi perkakasnya, mengunci rumah kecil mereka, dan berjalan gontai kembali ke rumah ibunya di ujung desa. Setiap langkah terasa berat, seolah ia sedang menyeret peti mati dari kenangannya sendiri.

Beberapa malam kemudian, di pos ronda yang diterangi satu bohlam kuning redup, aroma kopi hitam dan asap rokok kretek bercampur dengan dinginnya angin malam. Oding duduk di bangku bambu, menatap kosong ke arah jalanan desa yang lengang. Soni, sahabatnya sejak kecil, menyodorkan gelas kopi yang masih mengepul.

"Ding," Soni memulai, memecah keheningan. "Beberapa hari ini istrimu tak kelihatan? Pulang kampung?"

Oding tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke matanya. Ia merasakan sengatan aneh mendengar nama Satiah dari mulut Soni. Sebuah ironi yang pahit. Ia menyeruput kopinya sebelum menjawab. "Hehe, tumben kau cari-cari istriku, Son? S**a ya?"

Soni berdecak, tawanya terdengar sedikit canggung. "Bukan begitu, ya cuma nanya. Biasanya dia yang paling heboh kalau arisan ibu-ibu."

Oding terkekeh pelan, lalu pandangannya kembali menerawang. "Dia minta cerai. Sudah kuizinkan."

Soni nyaris menyemburkan kopinya. "Innalillahi... Kamu serius? Kamu tidak sedih?"

"Enggak," jawab Oding singkat, sambil mengisap dalam-dalam rokoknya. Bara di ujungnya berpijar terang, menerangi wajahnya sesaat.

"Kok bisa enggak?" desak Soni, tak percaya. "Ditinggal istri karena sudah tidak punya penghasilan itu kan aib, Ding. Harga diri laki-laki."

Oding mengembuskan asap perlahan, membentuk cincin-cincin kecil yang buyar diembus angin. "Kenapa harus sedih toh..."

Ia berhenti sejenak, seolah mengumpulkan kata-kata yang paling pas.

"Begini, Son," lanjutnya. "Setiap hari, selama berbulan-bulan terakhir, aku lihat matanya. Bukan lagi tatapan cinta, tapi tatapan tagihan. Tatapan yang bertanya 'kapan kita bisa makan enak?', 'kapan bisa beli baju baru?'. Tatapan itu lebih berat dari karung beras, Son. Sekarang... beban itu terangkat."

"Aku ini ibarat sangkar kosong," Oding melanjutkan, matanya menatap bulan sabit di langit. "Dulu ada burung indah di dalamnya. Tapi sangkar ini sudah reyot, tak bisa lagi menyediakan biji-bijian terbaik. Burungnya ingin terbang tinggi ke kota, mencari langit yang lebih luas, masa mau kutahan di dalam sangkar reyot ini? Kasihan burungnya."

Soni terdiam, mencoba mencerna metafora sahabatnya. Ia menepuk bahu Oding dengan simpatik. "Aku paham, Ding. Kamu memang sabar orangnya. Tapi tetap saja..."

"Tapi," potong Oding, suaranya tiba-tiba berubah, lebih rendah dan tajam, "aku lupa satu detail penting."

Ia menoleh pada Soni, matanya menyala dalam keremangan. "Burung itu tidak terbang bebas sendirian. Ada burung jantan lain yang memanggilnya dari luar sangkar. Menggodanya dengan janji biji-bijian yang lebih lezat, padahal burung jantan itu hanya mematuk sisa makanan dari sangkar temannya sendiri."

Setiap kata Oding adalah sebuah tamparan tak terlihat. Tubuh Soni menegang. Wajahnya yang tadi penuh simpati kini pucat pasi di bawah cahaya bohlam yang redup. Tepukan tangannya di bahu Oding terasa kaku, lalu perlahan ia menariknya.

"M-maksudmu apa, Ding?" Soni tergagap.

Oding terkekeh, kali ini tawa yang terdengar getir dan penuh luka. "Aku tahu soal kalian, Son. Di belakang pasar. Waktu Satiah bilang mau jenguk bibinya yang sakit. Aku mungkin tak punya uang, tapi aku tidak buta dan tidak bodoh."

Semua kalimat pembelaan yang hendak Soni ucapkan seolah lenyap, tak menyisakan apa-apa selain rasa dingin yang merayap di tulang punggungnya.

"Dia tidak minta cerai hanya karena aku tak punya uang," lanjut Oding, nadanya kembali tenang, sebuah ketenangan yang mengerikan. "Dia minta cerai karena dia sudah punya kamu. Dia butuh alasan untuk pergi, dan kemiskinanku adalah alasan yang paling mudah untuk diterima semua orang."

"Ding, aku... aku bisa jelaskan..."

"Tidak perlu," potong Oding. Ia berdiri dari bangku bambu, meregangkan tubuhnya seolah tak ada beban apa pun. Ia menatap Soni yang kini gemetar ketakutan.

"Aku tidak akan memukulmu. Aku juga tidak akan mem6unvhmu," kata Oding pelan, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya, senyum yang membuat Soni ingin lari. "Itu terlalu mudah, dan hanya akan membuatku masuk penjara. Aku punya rencana yang lebih baik."

Ia mencond**gkan tubuhnya sedikit, suaranya nyaris berbisik. "Aku cuma akan mem6unvh ketenanganmu. Aku akan mem6unvh tidur nyenyakmu. Setiap malam di pos ronda ini, setiap kamu berjalan sendirian di desa, setiap kali ada orang yang berbisik-bisik, kamu akan ingat ini. Kamu akan selalu bertanya-tanya... apa Oding akan melakukan sesuatu hari ini? Apa besok? Kamu akan hidup dalam penjara yang kamu bangun sendiri, Son. Selamat menikmati."

Oding meletakkan beberapa lembar uang lecek di atas meja untuk membayar kopinya. "Selamat menikmati sisa malammu, sahabat," ucapnya dengan nada penuh penekanan.

Kemudian, Oding berbalik dan melangkah pergi, hilang ditelan kegelapan jalan desa.

Soni tidak bergerak. Ia terduduk kaku di pos ronda yang kini terasa seperti panggung interogasi. Tiba-tiba, kopi di tangannya terasa sedingin es, dan malam di sekelilingnya telah berubah menjadi penjara tanpa dinding. Pem6unvhan itu telah dimulai.

Jalan setapak yang biasa Soni lalui dalam hitungan menit kini terasa membentang tanpa ujung. Malam desa yang biasanya ramah—dengan nyanyian jangkrik sebagai musik pengantar tidur—malam ini terasa memusuhi. Setiap gemerisik daun kering terdengar seperti langkah Oding di belakangnya. Setiap bayangan rumpun bambu seolah membentuk siluetnya yang berdiri diam, mengawasinya.

Kata-kata Oding terus bergema di kepalanya. Aku akan mem6unvh ketenanganmu. Soni mempercepat langkah, jantungnya berdebar memukul-mukul rusuknya. Ia menoleh ke belakang beberapa kali, tetapi jalanan tetap kosong. Kosong, tapi terasa penuh.

Sesampainya di rumah, ia menutup pintu lebih keras dari biasanya, membuat istrinya yang sedang terlelap di depan televisi terlonjak kaget. "Ada apa, Pak?" tanyanya dengan suara serak.

"Tidak apa-apa," jawab Soni pendek, mencoba mengatur napasnya. Ia tidak bisa menceritakan apa pun. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia takut pada keheningan seorang teman?

Malam itu, tidur menjadi musuh terbesarnya. Setiap kali matanya terpejam, wajah tenang Oding muncul di benaknya. Tenang, tapi tidak damai. Itu adalah ketenangan sebuah danau yang dalam, yang dasarnya tak pernah bisa kau tebak.

Pagi datang membawa kelegaan palsu. Saat ia membuka kios pulsanya, ia melihat Oding dari seberang jalan. Pria itu ada di halaman rumah ibunya, sedang menyerut sebilah kayu jati dengan gerakan yang ritmis dan mantap. Tak ada kemarahan dalam gerakannya. Ia bahkan bersenandung kecil, sebuah lagu keroncong lawas yang sering mereka nyanyikan bersama saat masih remaja. Pemandangan itu, entah kenapa, jauh lebih mengerikan daripada jika Oding datang membawa parang.

Siangnya, takdir mempertemukan mereka di persimpangan jalan. Soni menegang, bersiap untuk kemungkinan terburuk.

Oding mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu. Lalu, Oding tersenyum—senyum tipis yang tak sampai ke mata—dan menganggukkan kepalanya dengan sopan. Setelah itu, ia kembali berjalan, seolah Soni hanyalah warga desa lain.

Sikap normal itulah yang menghancurkan Soni. Sebuah pukulan akan lebih bisa dipahami. Tapi anggukan sopan itu? Itu adalah pesan bahwa Oding memegang kendali penuh.

Malam kembali tiba. Soni berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit kamar. Lalu, di tengah keheningan, ia mendengarnya.

Sebuah suara. Lemah, tapi jelas. Jauh, tapi ritmis.

Tuk... tuk... tuk...

Suara palu yang dipukulkan ke kayu. Ritmenya stabil, tanpa jeda. Oding sedang bekerja.

Bagi Soni, itu bukan lagi suara orang bekerja. Itu adalah suara sebuah jam yang sedang menghitung mundur. Dan ia sama sekali tidak tahu, kapan hitungan itu akan berhenti.

Di bengkel kayunya yang remang, Oding memukulkan palunya dengan presisi. Wajahnya tanpa ekspresi, namun jika ada yang melihat lebih dekat, mereka akan melihat rahangnya mengeras setiap kali palu itu menghantam kayu. Di sudut meja kerjanya, tergeletak sebuah kail pancing tua berkarat—kail yang sama yang pernah ia dan Soni gunakan untuk menangkap ikan pertama mereka di sungai bertahun-tahun lalu. Ia belum sanggup membuangnya. Belum. Pukulan palu itu terus berlanjut, menenggelamkan suara lain yang ada di kepalanya.

Bab 1: Jurang di Antara Hening"Pulanglah Kemala! aku sudah tidak pantas lagi menjadi suamimu."Kalimat itu meluncur dari ...
14/08/2025

Bab 1: Jurang di Antara Hening

"Pulanglah Kemala! aku sudah tidak pantas lagi menjadi suamimu."

Kalimat itu meluncur dari bibir Sagara tanpa getar. Datar, dingin, dan final, seperti permukaan kolam ikannya yang kini sunyi ditinggal para penghuninya mati kekeringan. Kata-kata itu menggantung di udara remang rumah kayu mereka, menyelinap di antara aroma nasi hangat dan tumis daun singkong—satu-satunya lauk yang bisa mereka selamatkan dari amukan babi hutan beberapa minggu lalu. Sebuah pengingat lain akan kegagalan yang menempel di dinding, di lantai, di setiap helaan napas.

Kemala, yang sedang membereskan piring kaleng mereka di sudut dapur yang sempit, menghentikan gerakannya. Punggungnya menegang seketika. Ia tidak terkejut, tidak. Kejutan adalah kemewahan yang sudah lama tidak ia rasakan. Selama berbulan-bulan, ia telah menjadi saksi bisu bagaimana suaminya itu perlahan-lahan tenggelam ke dalam lautan keputusasaannya sendiri. Ia melihatnya dalam sorot mata yang semakin sering kosong, pada bahu yang kian hari kian terkulai seolah memikul beban tak kasat mata, dan pada keheningan yang telah tumbuh menjadi dinding tebal dan dingin di antara mereka. Keheningan yang lebih bising dari pertengkaran mana pun.

Namun, mendengar kata-kata itu diucapkan dengan lantang terasa berbeda. Terasa seperti palu hakim yang diketuk. Sebuah vonis.

Sebuah bongkahan es yang tajam terbentuk di perutnya, menyebarkan dingin ke seluruh tubuh. Ia menarik napas perlahan, sebuah usaha sadar untuk memaksa udara masuk ke paru-paru yang terasa sesak, memerintahkan tangannya untuk tidak gemetar. Ia meletakkan piring kaleng itu kembali ke atas meja anyaman bambu dengan gerakan yang dibuat sepelan mungkin, lalu berbalik. Ia menatap lekat-lekat pria yang dicintainya, pria yang telah ia pilih untuk menjadi takdirnya. Wajah Sagara, yang dulu selalu bersinar oleh optimisme bahkan di bawah terik matahari sekalipun, kini keruh oleh bayang-bayang kegagalan. Garis-garis di wajahnya tampak lebih dalam, seolah dipahat oleh kekecewaan.

“Aku sudah menyeretmu terlalu lama dalam kesengsaraan ini,” lanjut Sagara, matanya menatap nanar ke lantai papan, seolah di sana terhampar peta dari semua kesalahannya. Ia menghindari tatapan Kemala, tak sanggup melihat pantulan kegagalannya di mata istrinya. “Lihatlah ladang kita. Kering kerontang. Sementara di seberang bukit, ladang Gilang hijau royo-royo, siap panen lagi untuk yang ketiga kalinya tahun ini. Orang-orang di desa membicarakannya. Mereka menertawakanku.”

Ia akhirnya mengangkat wajah, dan di matanya Kemala melihat luka yang begitu dalam, luka yang diperparah oleh racun rasa malu. “Aku tidak mau kamu sengsara bersamaku. Aku ingin memulangkanmu kepada orang tuamu. Kamu berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik, Kemala. Kehidupan yang layak untuk seorang sarjana sepertimu.”

Kemala menelan ludah yang terasa pahit. Ia beringsut mendekat, melintasi jarak tiga langkah yang kini terasa seperti jurang. Ia meraih tangan Sagara yang kasar dan dingin. Tangan yang sama yang dulu ia kagumi karena kapalannya yang tebal, bukti dari kerja keras, kini terasa asing dan rapuh. “Kehidupanku di sini, bersamamu, Mas,” jawabnya, suaranya ia paksa agar terdengar lembut, sebuah usaha putus asa untuk menyembunyikan getar ketakutan di dalamnya.

“Hidup macam apa?” potong Sagara cepat, suaranya meninggi untuk pertama kali, penuh dengan nada mencela diri sendiri. “Makan hanya dengan nasi dan daun-daunan? Sementara istri Gilang memakai perhiasan baru setiap bulan? Apa itu yang kau sebut bahagia?” Ia menarik tangannya dari genggaman Kemala seolah sentuhan itu membakarnya. “Jangan menghiburku, Kemala. Aku tidak bodoh.”

Kata-kata itu menyengat seperti lebah. Untuk sesaat, Kemala ingin balas berteriak, ingin menangis, ingin mengguncang bahu suaminya dan menyadarkannya dari mimpi buruk yang ia ciptakan sendiri. Tapi ia menahannya. Amarah tidak akan menolong mereka. Ia menghela napas panjang, mencoba mencari alasan yang paling logis, yang paling bisa diterima akal sehat Sagara yang kini sedang sakit.

“Memangnya kenapa kalau hanya makan daun singkong? Aku s**a. Aku yang memasaknya. Lagipula, itu tidak baik untuk badan kalau makan daging terus,” katanya, mencoba tersenyum. “Sebenarnya aku ingin membantumu di ladang, Mas. Tapi kamu selalu melarang.”

Sagara tertawa kecil, sebuah tawa yang terdengar lebih menyakitkan daripada tangisan. “Karena aku malu! Aku malu membiarkan seorang sarjana sepertimu ikut kotor-kotoran di lumpur bersamaku, seorang suami yang bahkan tidak lulus kuliah!”

Akhirnya. Inilah inti dari semua racun itu. Bukan hanya soal ladang dan panen. Ini soal luka harga diri yang lebih dalam, yang telah membusuk tanpa pernah ia obati.

Ketulusan Kemala, alih-alih menenangkan, justru terasa seperti lampu sorot yang menelanjangi semua kegagalannya. Sagara bangkit dari kursi, berjalan tergesa menuju jendela yang terbuka, membiarkan angin malam pegunungan yang dingin menerpa wajahnya yang panas oleh amarah dan rasa malu. Tatapannya tidak lagi hanya tertuju pada ladangnya yang gagal, tetapi jauh ke seberang bukit, ke arah di mana lampu-lampu dari rumah Gilang yang lebih besar tampak berkelip, seolah mengejek kemiskinan dan kegelapannya.

“Sudah malam,” desisnya tanpa menoleh. “Tidurlah.”

Hanya itu. Tidak ada bantahan, tidak ada persetujuan. Hanya sebuah perintah halus yang terasa seperti jurang pemisah yang tak mungkin lagi diseberangi. Kemala menatap punggung suaminya yang tegap namun rapuh itu. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak ia memutuskan untuk menyerahkan hidupnya pada pria ini, ia merasa benar-benar takut. Bukan takut pada kemiskinan atau kegagalan panen, tetapi takut pada hantu perbandingan dan rasa rendah diri yang mulai meracuni pikiran dan jiwa pria yang paling ia cintai. Ia takut, suatu hari nanti, cinta saja tidak akan pernah cukup.

12/06/2025

Novel karya DIANTI IRNI

Bisa dibaca di PlayStore, cari saja judul: KETIKA TUAN AROGAN JATUH CINTA

11/06/2025

Ketika Tuan Arogan Jatuh Cinta

Novel karya Dianti Irni

08/06/2025

MEMILIH TERLUKA UNTUK BAHAGIA

Revan, tolong nasehati anakmu itu!” suara Tuan Adhyatsa menggema di ruang keluarga yang megah namun terasa dingin. “Menikah dengan putri keluarga Haris Manggala itu anugerah! Bukan semua orang pantas masuk ke keluarga itu. Tapi dia malah lebih memilih gadis dari kalangan... kamu.”

Ucapan itu ditujukan pada Murni, menantu yang sejak awal tidak pernah benar-benar diterima. Murni hanya menunduk. Tangannya saling meremas di atas pangkuan, seolah ingin menyembunyikan kegelisahan yang tak mampu ia suarakan.

Revan mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras.

Ia sudah terlalu sering mendengar kalimat seperti itu—yang merendahkan ibunya, yang mencaci wanita yang ia cintai. Tapi hari ini, semuanya terasa lebih menusuk dari biasanya.

“Revan.” Suara Murni akhirnya keluar, nyaris tak terdengar. “Bunda mohon. Nikahlah dengan putri Tuan Haris. Bukan demi siapa-siapa, tapi demi kelangsungan hidup kita semua.”

Revan mengalihkan pandangannya pada ibunya. Wanita itu tampak lelah. Garis-garis di wajahnya tidak hanya karena usia, tapi karena bertahun-tahun hidup dalam tekanan.

Ia tahu, ibunya tidak mendukung perjodohan ini. Tapi tekanan dari kakek dan para tante terlalu kuat, terlebih setelah keuangan perusahaan Adhyatsa Group mulai goyah. Sejak Ayah—Panji—meninggal dunia, semuanya berubah. Tanpa pemimpin yang tangguh, perusahaan yang berdiri atas kerja keras bertahun-tahun itu mulai rapuh.

“Bunda tahu aku mencintai Mayang,” suara Revan serak. “Kami sudah bersama sejak aku kelas dua SMA. Tujuh tahun, Bun. Kami sudah bicara soal masa depan. Aku janji akan menikahinya setelah dia lulus.”

Kata-kata itu menggantung di udara. Murni mengangguk pelan, lalu menunduk.

"Aku tahu, Nak. Bunda tahu kamu mencintainya. Tapi..." ia menarik napas panjang, suaranya mulai bergetar, "jodoh sudah ditentukan Allah. Mungkin kamu tidak akan paham sekarang, tapi... kadang hidup menuntut kita memilih yang tidak kita mau."

Diam. Ruangan terasa sunyi, hanya denting jam dinding yang terdengar samar.

“Lalu, bagaimana dengan Mayang?” Revan hampir berbisik.

Murni menatap putranya, perlahan mengulurkan tangan dan menggenggam jemari Revan yang mengepal.

“Bunda tidak ingin kamu kehilangan siapa pun, tapi... saat ini terlalu banyak yang dipertaruhkan. Perusahaan ini bukan hanya milik keluarga kita. Ada ratusan karyawan di belakangnya. Termasuk ibu Mayang. Bukankah kamu ingin dia tetap bekerja di rumah ini, di tempat yang aman?”

Revan terdiam. Ia tidak pernah memikirkan itu.

“Kalau kamu kabur... kamu pikir Kakek akan membiarkan mereka?”

Revan mend**gak. Sorot matanya berubah.

“Kalau aku menikah dengan putri Manggala... aku punya syarat,” katanya pelan tapi tegas.

Tuan Adhyatsa, yang berdiri di ambang pintu sambil bersedekap, menyipitkan mata. “Apa lagi? Syarat dari bocah keras kepala?”

Revan berdiri, tegak. Untuk pertama kalinya, suara dan sikapnya tak gentar.

“Perlakukan Bunda dengan hormat. Tidak ada lagi ucapan menghina, tidak ada lagi tugas-tugas yang seharusnya dilakukan pembantu. Bunda adalah istri dari putra Tuan, bukan pelayan keluarga ini.”

Tuan Adhyatsa menggeram, tapi Revan melanjutkan.

“Kalau syarat itu tidak dipenuhi, aku tidak akan menikah. Dan aku tidak akan tinggal di rumah ini. Aku pergi, dan jangan pernah cari aku.”

Santi dan Linda, kedua tante Revan, saling pandang. Mereka tidak menyangka Revan bisa berbicara setegas itu.

Untuk sesaat, hanya sunyi yang menjawab.

“Baik,” kata Adhyatsa akhirnya, suaranya dingin. “Kami terima syaratmu.”

Revan mengangguk pelan. Tapi dadanya seperti berlubang.

Ia tahu, sejak ia menerima perjodohan ini, ia sudah kehilangan sesuatu—seseorang—yang tak akan tergantikan.

**

Di kamarnya yang remang, Revan menatap foto Mayang di layar ponselnya. Senyuman gadis itu masih seperti dulu. Sederhana, lembut, tulus.

Ia ingat bagaimana mereka merancang masa depan bersama. Rumah kecil, kebun belakang, anak-anak yang riuh. Semua itu kini tinggal angan.

Tangannya gemetar saat mengetik pesan. Lalu ia hapus. Ketik lagi. Hapus lagi.

Akhirnya, ia menulis pelan:

Maafkan aku, Mayang. Aku tidak cukup kuat untuk melawan semuanya. Tapi kamu tetap yang pertama dan terakhir di hatiku.

Pesan itu tak pernah terkirim.

Terusan cerita ini bisa dibaca di PlayStore, cari saja judul MEMILIH TERLUKA UNTUK BAHAGIA

Karya: Bonamija Mondi

OLEH-OLEH PERJALANAN DINAS SUAMIKULink novel:https://play.google.com/store/books/details?id=bxBsEAAAQBAJDi bawah ini ada...
08/06/2025

OLEH-OLEH PERJALANAN DINAS SUAMIKU

Link novel:
https://play.google.com/store/books/details?id=bxBsEAAAQBAJ

Di bawah ini adalah penataan ulang narasi Anda dengan percakapan yang lebih rapi dan terpisah:

"Blugh!" Mas Raka menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Aku yang berdiri di depan pintu kamar sambil menggeret koper sisa perjalanan dinasnya, hanya menggeleng-gelengkan kepala.

"Pulang-pulang langsung 'ngebo', Mas?" ucapku sambil melangkah masuk. "Mas capek banget, Sayang...," keluhnya dengan suara serak. "Ya sudah tidur aja dulu. Istirahat, biar nanti bisa... ehem-ehem." Aku mengerlingkan mata padanya.

Setelah seminggu berpisah karena Mas Raka harus pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan, tentunya aku sangat merindukannya.

"Iya. Nanti malam, ya." Mas Raka berkata sembari melempar senyum, mengerti akan kode yang kuberikan padanya tadi. Setelahnya, ia pun lantas tertidur.

Semula aku hendak langsung mandi karena hari sudah hampir sore. Tapi kuputuskan untuk membongkar koper Mas Raka dulu, mengeluarkan pakaian-pakaian kotor yang akan kuberikan pada Mbak Yah, asisten rumah tangga kami.

Setelah memutar kombinasi angka, koper pun langsung terbuka. Aku kemudian langsung memilah-milah pakaian bersih dan kotornya yang sudah ia packing terpisah dalam beberapa travel pouch.

Namun gerakan tanganku langsung terhenti, saat mataku menangkap sesuatu yang terselip di antara travel pouch tersebut. Sesuatu yang membuat darah dalam tubuh ini berdesir aneh.

Kutarik pelan berupa kain tipis berenda warna merah tersebut. Astaghfirullah. Celana dalam wanita? Kenapa bisa ada dalam koper Mas Raka? Benda ini tidak mungkin oleh-oleh yang dibawakan Mas Raka untukku, karena jelas bukan barang baru. Label brand di bagian belakangnya sudah pudar, kentara kalau sudah sering dicuci-kering-pakai oleh pemiliknya.

Apakah ada teman Mas Raka yang iseng memasukkannya di sini? Kutepis dugaan tersebut. Mana mungkin ada teman lelaki yang iseng dengan cara seperti ini, kecuali... teman dinas Mas Raka adalah seorang perempuan.

Aku terhenyak oleh pikiranku sendiri. Apa sebenarnya yang telah terjadi pada suamiku?

Kutoleh ke arah tempat tidur. Di mana Mas Raka masih tampak pulas di sana. Terlihat sangat kelelahan, hingga dengkurannya terdengar begitu keras memenuhi kamar.

Apa sebenarnya yang sudah kamu lakukan sampai begitu kelelahan, Mas?

Aku menghela napas dalam, mencoba menenangkan pikiran, serta meredam gemuruh dalam dada. Aku harus tetap tenang dan tak boleh bertindak gegabah.

Kususun kembali benda-benda ke dalam koper Mas Raka. Termasuk celana dalam berenda warna merah tadi, meski aku harus memegangnya dengan perasaan jijik. Kututup lagi koper, seolah aku tak pernah membongkar dan menyentuh isinya supaya Mas Raka tak curiga.

Aku terdiam sejenak. Memikirkan langkah apa yang harus kuambil setelah ini. Dan seolah langsung diberi petunjuk, mendadak aku tahu apa yang harus segera kulakukan. Tujuanku sekarang adalah ponsel Mas Raka. Pada benda p**ih berteknologi canggih itu, tentu tersimpan lebih banyak rahasia lagi di dalamnya. Rahasia yang ingin segera aku kuak supaya aku tak terus-menerus dibodohi oleh suamiku. Feelingku sebagai istri, mendorongku untuk segera merazia ponsel Mas Raka.

Rinjani kembali meremas ujung kebayanya. Hatinya bagai teriris pisau saat mendengar ijab kabul Pratama Putra, kekasihnya...
08/06/2025

Rinjani kembali meremas ujung kebayanya. Hatinya bagai teriris pisau saat mendengar ijab kabul Pratama Putra, kekasihnya, yang kini menikahi kakak kandungnya sendiri. Impiannya hancur berkeping-keping. Seharusnya, pria dengan baju pengantin itu menyebut namanya dalam janji suci tersebut. Namun, peristiwa dua bulan lalu menghancurkan mimpinya menjadi istri sah Tama.

Semua itu bermula ketika Rinjani memergoki kakak dan kekasihnya sedang memadu kasih. Ia memejamkan mata, teringat kembali kejadian pahit malam itu. Rinjani, yang baru saja pulang dari luar kota, mendadak merasa tak tenang saat melihat mobil kekasihnya terparkir di halaman rumah. Ia mengerutkan dahi, menyadari bahwa hanya kakaknya yang ada di rumah, sementara kedua orang tuanya sedang bepergian. Dengan hati yang kacau, ia segera masuk. Untungnya, kunci duplikat memudahkannya. Ruang tamu gelap seperti biasa, namun suara samar dari kamar sang kakak menarik perhatiannya.

Jantung Rinjani berdetak kencang saat desahan-desahan menggelikan semakin jelas terdengar seiring langkahnya mendekati kamar kakaknya.

"Ah... enak, Sayang. Lagi," suara manja sang kakak terdengar begitu jelas.

Tangan Rinjani bergetar saat memutar kenop pintu.

"Astaghfirullah, apa yang kalian lakukan!" pekiknya, menutup wajahnya karena malu melihat kedua pasang tubuh tanpa sehelai benang pun. Lebih menyakitkan lagi, kekasihnya berada di atas kakaknya.

Kedua pasangan itu menghentikan aktivitas mereka. Tama segera memakai baju dan mencoba mengejar Rinjani yang berlari ke kamarnya.

"Jani, dengarkan aku!" Tama menarik lengannya dengan kasar.

"Cukup! Jangan pernah sentuh aku, aku jijik sama kalian," Rinjani menjaga jarak.

"Aku bisa jelaskan," ucap Tama.

"Menjelaskan jika kalian ada hubungan? Apa yang aku lihat sudah cukup membuktikan kalian itu pasangan selingkuh yang menjijikkan." Rinjani menarik napas dalam. Ia tidak pernah membayangkan akan memergoki kekasihnya memadu kasih dengan kakak kandungnya sendiri.

"Jani, dengarkan aku," Tama kembali mencoba menjelaskan.

"Lepas! Sejak saat ini kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Dan, itu 'kan yang kamu mau? Apa yang kamu dapat dari Kak Ratna, apa yang enggak pernah aku kasih. Aku bisa mengerti, tapi setidaknya jangan sama kakak aku!" pekik Rinjani.

"Ratna yang merayu aku, Jani."

Sebuah tamparan keras mendarat di p**i Tama. Tangan mungil Rinjani sudah tak tahan untuk menghajar pria di depannya. Setelah mencicipi "cawan indah" dari sang kakak, beraninya ia mengatakan sang kakak yang merayunya.

"Satu hal yang kamu harus ingat, enggak akan ada asap jika tidak ada api."

***

Bayangan menyedihkan itu buyar seketika. Rinjani mengusap embun di mata yang hampir tumpah saat seseorang menepuk lembut pundaknya.

"Sabar, ya, Sayang," suara lembut sang ibu menenangkannya.

"Apalagi yang bisa aku lakukan selain sabar? Aku berada di sini pun dengan perasaan tak karuan. Bahkan Mama dan Papa memintaku tetap tenang melihat pernikahan ini." Rinjani sebenarnya tak mau hadir, tetapi ia harus membuktikan pada sang kakak bahwa dirinya sudah move on.

"Maafkan Kakakmu, Jan," ucap wanita berkebaya merah muda itu.

"Harusnya dia yang meminta maaf padaku, bukan Mama," balas Rinjani.

"Mama tahu."

Rinjani beranjak dari tempat duduknya, memilih meninggalkan tempat itu dan mencari ketenangan di luar. Ia tak pernah menduga hal menyedihkan seperti ini akan terjadi dalam hidupnya. Menyaksikan kekasihnya menyebut nama kakaknya dalam ijab kabul, ia harus kuat menghadapi cobaan ini. Seharusnya ia datang bersama pasangan yang selalu ia ceritakan pada sang kakak. Namun, setelah menelepon sahabat lamanya, pria itu ternyata tidak bisa menolongnya.

Dalam kegundahan hatinya, ia tak sengaja menabrak seseorang.

"Jalan pakai mata d**g, Mbak," omel pria berjas navy itu.

Rinjani terkesiap menatap pria tampan di hadapannya. Meskipun usianya terlihat tidak muda lagi, pria itu berhasil membuat Rinjani tak berkedip. Ia tersentak saat pria itu menjentikkan jari di depan wajahnya.

"Mbak, enak saja Anda memanggil saya Mbak. Apa saya kelihatan tua seperti Anda?"

Kini giliran pria itu yang terkesiap mendengar protes Rinjani hanya karena sebutan "Mbak".

"Lalu saya harus memanggil apa? Tante, Bude, apa Bule?" Lesung p**i pria itu semakin mempesona saat tersenyum melihat tingkah Rinjani.

"Ih, aku masih muda! Memangnya Anda, tua."

"Loh, harusnya kamu minta maaf sama saya. Jalan enggak lihat-lihat, lagi patah hati apa?" Pertanyaan pria itu tepat sasaran, membuat Rinjani menyunggingkan bibir. Hatinya kembali sesak mengingat dirinya sedang patah hati. Dalam kegalauannya, ia dikejutkan dengan tingkah pria di hadapannya yang tiba-tiba menggandeng tangannya.

***

Netra Rinjani membulat, dan hampir saja menendang pria itu jika tak mendengar seorang wanita menyapanya.

"Kamu ada di sini?" Seorang wanita dengan gaun merah yang elegan menyapa Rinjani dan pria di sampingnya.

Rinjani awalnya tidak mengerti mengapa pria itu tiba-tiba menggandeng tangannya. Namun, saat melihat wanita di depannya, ia sadar ada hal yang membuat pria itu terpaksa mendekatinya.

"Iya, menemani pujaan hati," pria itu menoleh ke arah Rinjani dan tersenyum manis.

Rinjani mengerjapkan mata, ia pun paham dirinya diperkenalkan sebagai kekasih pria di sampingnya.

"Yang benar saja kamu, Rik, wanita ini terlalu muda untuk kamu," ucap wanita bergaun merah.

"Umur tidak masalah, 'kan, Sayang. Yang penting setia dan bisa mengurus aku. Benar 'kan, Sayang?"

"I—iya," Rinjani terpaksa mengatakan hal itu karena pria itu mengencangkan genggaman tangannya hingga membuat Rinjani kesakitan.

Wanita itu terlihat tidak s**a.

"Semoga kalian langgeng."

Setelah mengatakan itu, wanita itu langsung melangkah bersama pria yang baru saja menghampirinya.

"Aw..." Erik Parajadinata memekik kesakitan saat Rinjani menginjak kakinya. Rinjani langsung melepas genggaman pria itu dan menjauh.

"Maksud kamu apa bilang aku pujaan hati kamu? Astaga, aku enggak mungkin punya selera Om-om seperti Anda."

Erik menatap heran wanita di hadapannya. Ia refleks saat melihat Andini, mantan istrinya, datang bersama kekasih barunya. Pria itu hanya ingin memberitahu dirinya sudah move on dari wanita itu. Seketika ia menemukan ide saat Rinjani berada di sampingnya. Ia berpikir wanita di sampingnya tidak jelek untuk diakui sebagai kekasih.

"Jangan kepedean kamu. Aku hanya refleks saja. Kamu juga bukan selera saya." Rinjani mengerucutkan bibir. Namun, ia kembali mengulas senyum saat sebuah ide muncul di kepalanya.

"Om harus bantu saya juga. Berhubung Om bilang saya kekasih Om, sekalian saja saya minta tolong sama Om buat pura-pura jadi pacar saya."

"Saya, jadi pacar kamu?"

"Pura-pura, Om."

"Enggak, saya enggak mau."

"Sebentar saja, cuma memperkenalkan sama kedua orang tua sama kakak saya. Setelah itu anggap aja kita sudah putus."

"Saya bilang, no." Pria itu melangkah meninggalkan Rinjani.

"Om, Tante itu masih ada loh, apa mau aku bilang ke dia kalau Om sebenarnya enggak kenal sama saya? Om cuma mengaku-ngaku!"

Teriakan Rinjani membuat Erik membulatkan mata dan kembali berbalik badan. Dengan senyum penuh kemenangan, Rinjani yakin pria itu akan kembali menghampirinya.

Cerita ini bisa dibaca di PlayStore, cari saja judul TERJERAT CINTA SANG DUDA

Address

Depok Dua Timur

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Rumah Novel posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share