
20/08/2025
BAB 1
Pintu itu tertutup dengan sangat pelan, tanpa suara bantingan, namun bagi Oding, rasanya lebih memekakkan telinga daripada badai terkeras sekalipun. Satiah berdiri di ambang pintu dengan tas pakaian di sisinya, wajahnya sekeras batu cadas di tepi sungai.
"Aku mau ke kota, Kang. Cari kerja," katanya datar. "Di sini kita makan apa? Aku minta pisah."
Oding, yang sedang mengamplas rangka kursi kayu di teras belakang, menghentikan gerakannya. Ampelas di tangannya berhenti berdesir. Ia menatap istrinya, wanita yang dinikahinya tiga tahun lalu dengan janji-janji sederhana tentang sawah dan kebahagiaan. Sawah itu kini kering, dan kebahagiaan, rupanya, ikut menguap bersama airnya.
"Ya sudah, kalau itu maumu," jawab Oding, lebih tenang dari yang ia duga. Di dalam dadanya, sesuatu terasa remuk, tetapi wajahnya tetap seperti topeng kayu yang sedang ia kerjakan. Tak ada permohonan, tak ada kemarahan. Hanya penerimaan yang lapang.
Satiah tampak sedikit terkejut dengan kurangnya perlawanan, namun ia segera menguasai diri. Ada sebersit kekecewaan di matanya—mungkin ia mengharapkan drama, sebuah pertarungan yang bisa membenarkan kepergiannya. "Aku pergi sekarang. Izinmu sudah tidak perlu lagi, kan?"
Oding mengangguk pelan, buku-buku jarinya memutih saat mencengkeram balok kayu. "Pergilah. Semoga berhasil di kota."
Dan begitulah. Satiah pergi mengejar mimpinya di bawah gemerlap lampu kota, meninggalkan Oding yang kini tak punya apa-apa selain debu kayu di tangannya. Sore itu juga, Oding mengemasi perkakasnya, mengunci rumah kecil mereka, dan berjalan gontai kembali ke rumah ibunya di ujung desa. Setiap langkah terasa berat, seolah ia sedang menyeret peti mati dari kenangannya sendiri.
Beberapa malam kemudian, di pos ronda yang diterangi satu bohlam kuning redup, aroma kopi hitam dan asap rokok kretek bercampur dengan dinginnya angin malam. Oding duduk di bangku bambu, menatap kosong ke arah jalanan desa yang lengang. Soni, sahabatnya sejak kecil, menyodorkan gelas kopi yang masih mengepul.
"Ding," Soni memulai, memecah keheningan. "Beberapa hari ini istrimu tak kelihatan? Pulang kampung?"
Oding tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke matanya. Ia merasakan sengatan aneh mendengar nama Satiah dari mulut Soni. Sebuah ironi yang pahit. Ia menyeruput kopinya sebelum menjawab. "Hehe, tumben kau cari-cari istriku, Son? S**a ya?"
Soni berdecak, tawanya terdengar sedikit canggung. "Bukan begitu, ya cuma nanya. Biasanya dia yang paling heboh kalau arisan ibu-ibu."
Oding terkekeh pelan, lalu pandangannya kembali menerawang. "Dia minta cerai. Sudah kuizinkan."
Soni nyaris menyemburkan kopinya. "Innalillahi... Kamu serius? Kamu tidak sedih?"
"Enggak," jawab Oding singkat, sambil mengisap dalam-dalam rokoknya. Bara di ujungnya berpijar terang, menerangi wajahnya sesaat.
"Kok bisa enggak?" desak Soni, tak percaya. "Ditinggal istri karena sudah tidak punya penghasilan itu kan aib, Ding. Harga diri laki-laki."
Oding mengembuskan asap perlahan, membentuk cincin-cincin kecil yang buyar diembus angin. "Kenapa harus sedih toh..."
Ia berhenti sejenak, seolah mengumpulkan kata-kata yang paling pas.
"Begini, Son," lanjutnya. "Setiap hari, selama berbulan-bulan terakhir, aku lihat matanya. Bukan lagi tatapan cinta, tapi tatapan tagihan. Tatapan yang bertanya 'kapan kita bisa makan enak?', 'kapan bisa beli baju baru?'. Tatapan itu lebih berat dari karung beras, Son. Sekarang... beban itu terangkat."
"Aku ini ibarat sangkar kosong," Oding melanjutkan, matanya menatap bulan sabit di langit. "Dulu ada burung indah di dalamnya. Tapi sangkar ini sudah reyot, tak bisa lagi menyediakan biji-bijian terbaik. Burungnya ingin terbang tinggi ke kota, mencari langit yang lebih luas, masa mau kutahan di dalam sangkar reyot ini? Kasihan burungnya."
Soni terdiam, mencoba mencerna metafora sahabatnya. Ia menepuk bahu Oding dengan simpatik. "Aku paham, Ding. Kamu memang sabar orangnya. Tapi tetap saja..."
"Tapi," potong Oding, suaranya tiba-tiba berubah, lebih rendah dan tajam, "aku lupa satu detail penting."
Ia menoleh pada Soni, matanya menyala dalam keremangan. "Burung itu tidak terbang bebas sendirian. Ada burung jantan lain yang memanggilnya dari luar sangkar. Menggodanya dengan janji biji-bijian yang lebih lezat, padahal burung jantan itu hanya mematuk sisa makanan dari sangkar temannya sendiri."
Setiap kata Oding adalah sebuah tamparan tak terlihat. Tubuh Soni menegang. Wajahnya yang tadi penuh simpati kini pucat pasi di bawah cahaya bohlam yang redup. Tepukan tangannya di bahu Oding terasa kaku, lalu perlahan ia menariknya.
"M-maksudmu apa, Ding?" Soni tergagap.
Oding terkekeh, kali ini tawa yang terdengar getir dan penuh luka. "Aku tahu soal kalian, Son. Di belakang pasar. Waktu Satiah bilang mau jenguk bibinya yang sakit. Aku mungkin tak punya uang, tapi aku tidak buta dan tidak bodoh."
Semua kalimat pembelaan yang hendak Soni ucapkan seolah lenyap, tak menyisakan apa-apa selain rasa dingin yang merayap di tulang punggungnya.
"Dia tidak minta cerai hanya karena aku tak punya uang," lanjut Oding, nadanya kembali tenang, sebuah ketenangan yang mengerikan. "Dia minta cerai karena dia sudah punya kamu. Dia butuh alasan untuk pergi, dan kemiskinanku adalah alasan yang paling mudah untuk diterima semua orang."
"Ding, aku... aku bisa jelaskan..."
"Tidak perlu," potong Oding. Ia berdiri dari bangku bambu, meregangkan tubuhnya seolah tak ada beban apa pun. Ia menatap Soni yang kini gemetar ketakutan.
"Aku tidak akan memukulmu. Aku juga tidak akan mem6unvhmu," kata Oding pelan, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya, senyum yang membuat Soni ingin lari. "Itu terlalu mudah, dan hanya akan membuatku masuk penjara. Aku punya rencana yang lebih baik."
Ia mencond**gkan tubuhnya sedikit, suaranya nyaris berbisik. "Aku cuma akan mem6unvh ketenanganmu. Aku akan mem6unvh tidur nyenyakmu. Setiap malam di pos ronda ini, setiap kamu berjalan sendirian di desa, setiap kali ada orang yang berbisik-bisik, kamu akan ingat ini. Kamu akan selalu bertanya-tanya... apa Oding akan melakukan sesuatu hari ini? Apa besok? Kamu akan hidup dalam penjara yang kamu bangun sendiri, Son. Selamat menikmati."
Oding meletakkan beberapa lembar uang lecek di atas meja untuk membayar kopinya. "Selamat menikmati sisa malammu, sahabat," ucapnya dengan nada penuh penekanan.
Kemudian, Oding berbalik dan melangkah pergi, hilang ditelan kegelapan jalan desa.
Soni tidak bergerak. Ia terduduk kaku di pos ronda yang kini terasa seperti panggung interogasi. Tiba-tiba, kopi di tangannya terasa sedingin es, dan malam di sekelilingnya telah berubah menjadi penjara tanpa dinding. Pem6unvhan itu telah dimulai.
Jalan setapak yang biasa Soni lalui dalam hitungan menit kini terasa membentang tanpa ujung. Malam desa yang biasanya ramah—dengan nyanyian jangkrik sebagai musik pengantar tidur—malam ini terasa memusuhi. Setiap gemerisik daun kering terdengar seperti langkah Oding di belakangnya. Setiap bayangan rumpun bambu seolah membentuk siluetnya yang berdiri diam, mengawasinya.
Kata-kata Oding terus bergema di kepalanya. Aku akan mem6unvh ketenanganmu. Soni mempercepat langkah, jantungnya berdebar memukul-mukul rusuknya. Ia menoleh ke belakang beberapa kali, tetapi jalanan tetap kosong. Kosong, tapi terasa penuh.
Sesampainya di rumah, ia menutup pintu lebih keras dari biasanya, membuat istrinya yang sedang terlelap di depan televisi terlonjak kaget. "Ada apa, Pak?" tanyanya dengan suara serak.
"Tidak apa-apa," jawab Soni pendek, mencoba mengatur napasnya. Ia tidak bisa menceritakan apa pun. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia takut pada keheningan seorang teman?
Malam itu, tidur menjadi musuh terbesarnya. Setiap kali matanya terpejam, wajah tenang Oding muncul di benaknya. Tenang, tapi tidak damai. Itu adalah ketenangan sebuah danau yang dalam, yang dasarnya tak pernah bisa kau tebak.
Pagi datang membawa kelegaan palsu. Saat ia membuka kios pulsanya, ia melihat Oding dari seberang jalan. Pria itu ada di halaman rumah ibunya, sedang menyerut sebilah kayu jati dengan gerakan yang ritmis dan mantap. Tak ada kemarahan dalam gerakannya. Ia bahkan bersenandung kecil, sebuah lagu keroncong lawas yang sering mereka nyanyikan bersama saat masih remaja. Pemandangan itu, entah kenapa, jauh lebih mengerikan daripada jika Oding datang membawa parang.
Siangnya, takdir mempertemukan mereka di persimpangan jalan. Soni menegang, bersiap untuk kemungkinan terburuk.
Oding mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu. Lalu, Oding tersenyum—senyum tipis yang tak sampai ke mata—dan menganggukkan kepalanya dengan sopan. Setelah itu, ia kembali berjalan, seolah Soni hanyalah warga desa lain.
Sikap normal itulah yang menghancurkan Soni. Sebuah pukulan akan lebih bisa dipahami. Tapi anggukan sopan itu? Itu adalah pesan bahwa Oding memegang kendali penuh.
Malam kembali tiba. Soni berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit kamar. Lalu, di tengah keheningan, ia mendengarnya.
Sebuah suara. Lemah, tapi jelas. Jauh, tapi ritmis.
Tuk... tuk... tuk...
Suara palu yang dipukulkan ke kayu. Ritmenya stabil, tanpa jeda. Oding sedang bekerja.
Bagi Soni, itu bukan lagi suara orang bekerja. Itu adalah suara sebuah jam yang sedang menghitung mundur. Dan ia sama sekali tidak tahu, kapan hitungan itu akan berhenti.
Di bengkel kayunya yang remang, Oding memukulkan palunya dengan presisi. Wajahnya tanpa ekspresi, namun jika ada yang melihat lebih dekat, mereka akan melihat rahangnya mengeras setiap kali palu itu menghantam kayu. Di sudut meja kerjanya, tergeletak sebuah kail pancing tua berkarat—kail yang sama yang pernah ia dan Soni gunakan untuk menangkap ikan pertama mereka di sungai bertahun-tahun lalu. Ia belum sanggup membuangnya. Belum. Pukulan palu itu terus berlanjut, menenggelamkan suara lain yang ada di kepalanya.