Rumah Novel

Rumah Novel YouTube: Tekno Ngopi

04/12/2025

Firasat seorang istri kadang bekerja dengan cara yang aneh. Seperti detak jantung yang tiba-tiba melompat satu ketukan, atau rasa mual tanpa sebab.

Terkadang firasat itu muncul dalam wujud pertanyaan.

Pertanyaan yang muncul pada saat kamu menatap pantulan dirimu di cermin kamar mandi yang berbintik jamur, dan kamu lihat wajah lelahmu, kantung mata menghitam, dan kerutan halus yang mulai muncul di sudut mata “Aku menua demi dia, akankah mendapatkan imbalan sepadan?”

“Aku layu di sini agar dia bisa mekar di sana, akankah dia cukup sadar untuk peduli pada wanita yang telah berkorban untuknya?”

Hatimu terus bertanya-tanya, sementara air matamu mengalir bersama mulutmu yang berupaya keras berdoa, "Semoga kamu aman, Mas. Semoga kamu dijaga Allah,"

Firasat yang seringkali terjawab suatu hari, pada hari yang tepat, hari yang saat itu kamu menyaksikan, dengan mata kepalamu sendiri, ternyata doa yang kau lafalkan kemarin, hanyalah doa untuk seorang pengkhianat.

Ternyata pada saat kamu di sini memohon perlindungan untuknya, dia justru sedang menikmati perlindungan dari selimut wanita lain.

Dan begitulah nasib Hanin, dalam novel MENGAKU DUDA DEMI MENGGAET JANDA di KBM App.

03/12/2025

MENGAKU DUDA DEMI MENGGAET JANDA

27/11/2025
23/11/2025

Karakter yang sedang marah besar tiba-tiba bisa diajak bicara baik-baik hanya dalam 2 paragraf.

Bab 1: Retak di Cawan PualamGatal di hidungnya tak bisa dia tahan lagi. Puspa menghentikan gerakan kuasnya yang hampir m...
20/11/2025

Bab 1: Retak di Cawan Pualam
Gatal di hidungnya tak bisa dia tahan lagi. Puspa menghentikan gerakan kuasnya yang hampir menyelesaikan sepetak ornamen pada cawan pualam di depannya. Aroma tanah liat basah, cairan glasir, dan kayu bakar dari tungku kecil di halaman belakang selalu menjadi penyegar udara baginya. Namun, hari ini, semua itu terasa menyesakkan. Dia menggaruk hidungnya, cemas bukan karena debu, melainkan karena firasat yang datang seiring terbukanya pintu bengkel dengan hentakan keras.

"Brak!"

Disusul suara langkah kaki yang dihentak-hentakkan, sengaja memecah konsentrasi dan kedalaman meditasinya dalam bekerja. Dia tahu betul siapa pemilik langkah yang tidak sabaran itu. Itu Ranu, putra semata wayangnya. Suara itu cukup mengganggu kekhusyukan salat Zuhur yang baru saja dia selesaikan sebelum kembali menggarap pesanan keramiknya.

Setelah berucap salam dalam hati, Puspa keluar dan mendapatkan Ranu sudah duduk selonjoran di sofa kayu tua, dengan pandangan kosong menerawang ke langit-langit. Wajahnya masam, seperti cawan keramik yang gagal dibakar.

"Eh, pulang sekolah kok tidak ucap salam? Malah cemberut begitu," tegur Puspa. Dia mendekati Ranu, duduk di sebelahnya, tetapi bocah itu tidak menyahut. Ranu diam tak merespons, bahkan menoleh pun tidak. Puspa yakin, Ranu tengah kesal, tetapi dia tidak tahu apa penyebabnya.

"Ranu, Ibu tanya kok tidak dijawab?" tanya Puspa, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu. Pikirannya langsung menerawang, khawatir Ranu terlibat masalah di sekolahnya, atau ada hal yang membuatnya kesal hingga membawa bebannya sampai ke rumah.

Ranu mencebik kesal, kemudian menoleh ke arahnya dengan ekspresi marah.

"Bu, kenapa sih Ibu tidak bercerai saja dengan Ayah?"

Puspa terkejut. Deg! Apa maksud pertanyaan itu? Kenapa tiba-tiba Ranu berkata demikian? Ranu baru kelas tiga sekolah dasar dan seharusnya belum mengerti arti perceraian. Aneh.

"Lho, Nu. Maksud kamu apa, kok bicara begitu? Anak kecil tidak boleh lho mengatakan itu. Memangnya Ranu tahu, cerai itu artinya apa?" tanya Puspa sambil berusaha keras memasang wajah datar.

"Sudah, ah. Percuma bicara dengan Ibu." Ranu melompat berdiri, pergi menuju kamarnya, dan membanting pintu. Blugh!

Puspa hanya bisa beristigfar. Ada apa dengan anak itu?

Tok! Tok! Tok!

Belum hilang keheranannya, ketukan pintu depan kembali terdengar. Puspa segera membukanya dengan perasaan tidak enak.

"Puspa, kebetulan kamu ada di rumah. Maaf, nih, mengganggu." Puspa tersenyum ramah. Dia melihat Dewi, tetangga dekat mertuanya, menarik napas panjang, tampak kelelahan.

"Puspa, kamu sudah tahu kabar suamimu belum?"

Puspa dan Dewi sudah lama bersahabat. Dewi, dengan tubuh gempalnya, selalu menjadi orang pertama yang tahu jika ada informasi penting dari keluarga Jagat—suaminya. Dilihat dari deru napasnya yang terengah-engah, Dewi seperti habis berlari kencang.

"Tenang dulu, Dewi. Sini, masuk dulu." Puspa mengajak Dewi masuk dan menyuruhnya duduk, lalu bergegas ke dapur mengambil air putih.

Segelas air putih ditandaskan Dewi dalam sekejap. Setelah melihat Dewi sedikit lebih tenang, Puspa mengajaknya bicara.

"Dewi, ada apa? Coba ceritakan apa yang terjadi," pinta Puspa tak sabar. Wanita itu terlihat menarik napas panjang lagi.

"Eh, Puspa, kok kamu tenang-tenang saja di rumah, sih. Memangnya belum tahu kabar suamimu sekarang?" tanya Dewi, menatap Puspa dengan pandangan aneh.

"Tahu apa, Wi? Memangnya apa yang tidak kutahu?" Kini giliran Puspa yang merasakan penasaran tentang apa yang sedang terjadi dengan Jagat.

"Lho, memangnya kamu tidak tahu kalau sekarang suamimu sedang di rumah ibunya? Dia bawa perempuan muda, cantik, lagi hamil juga kayaknya," tutur Dewi. Matanya menatap Puspa yang langsung terbelalak kaget.

"Apa benar seperti itu!?" tanya Puspa tak percaya. Tanpa terasa, ia meremas gamis yang dikenakannya.

"Iya, benar. Bahkan Ranu juga tadi habis dari rumah neneknya. Memang dia belum cerita sama kamu, Puspa?"

Dewi berbicara dengan penegasan, keningnya berkerut melihat ekspresi keheranan Puspa. Puspa menggeleng cepat. Pantas saja tingkah Ranu terlihat berbeda tadi.

"Apa maksudmu, Dewi? Jangan bercanda, deh, tidak lucu!" ucap Puspa. Dia mencoba menetralkan perasaannya karena belum sepenuhnya percaya. Puspa memang tidak mudah percaya pada perkataan orang lain sebelum melihatnya sendiri.

"Iya, itu benar. Masa aku bohong soal beginian? Sebaiknya kamu datang ke sana saja kalau tidak percaya."

Entah kenapa, tiba-tiba rasa sakit menusuk dalam dadanya. Sakit, sangat sakit sekali.

Apakah yang dikatakan Dewi itu benar? Entahlah. Namun, jika benar Jagat membawa perempuan lain ke rumah ibunya, kenapa tidak ada satu pun kerabat mertuanya yang memberitahunya? Dan jika itu benar, pantas saja Ranu datang dengan wajah cemberut dan bahkan sempat mengucapkan kata "cerai" segala.

Ah, rasanya sakit dan sulit dipercaya jika Jagat berkhianat.

"Puspa, hei, kok malah bengong. Ya sudah, aku mau pulang dulu, takut anak-anak mencariku." Dewi pamit, setelah mengucapkan salam yang hanya dijawab Puspa dalam hati.

Puspa harus pergi untuk memastikan semuanya.

Ya Tuhan. Kenapa rasanya sakit sekali, meskipun itu belum tentu benar.

Segera Puspa menyambar kerudung instan yang tergantung di belakang pintu kamar. Dia harus memastikan kabar yang baru saja didengarnya agar tidak terjadi kesalahpahaman, dan juga agar dia tidak berprasangka buruk, karena belum tentu benar adanya.

Setelah berpamitan pada Ranu yang sama sekali tidak menyahut, Puspa segera menghidupkan motor matik putihnya, menuju kediaman mertuanya yang jaraknya tidak terlalu jauh, hanya lima ratus meter dari rumahnya yang dibangun di atas tanah mertua.

Sengaja dia mengendarai motor dengan kecepatan rendah. Dia harus menata hatinya agar tidak bertindak anarkis jika saja hal buruk yang menimpa Jagat benar adanya. Dengan sifatnya yang memang mudah emosi, dia bertekad tidak akan gegabah melakukan hal yang akan membuatnya malu di sana nantinya.

Dia sudah terbiasa bepergian sendiri karena Jagat sangat jarang mengantarnya. Apalagi belakangan ini, Jagat selalu tidak ada waktu untuknya dan Ranu, meskipun Puspa tidak tahu apa kesibukan suaminya, karena Jagat sudah tidak bekerja seperti dulu lagi.

Sampai di depan rumah mertua, tampak Senja, adik Jagat, tengah asyik memainkan ponselnya di teras. Senja mengangkat satu kakinya dan menumpangkannya ke kaki yang lain, seakan tahu kedatangan Puspa. Senja memang sombong, sikapnya tidak pernah berubah meskipun Ayah Mertua berulang kali menasihatinya. Padahal Puspa merasa tidak pernah mengusik atau menyulitkannya.

"Assalamualaikum, Sen. Apa Jagat ada di dalam?" tanya Puspa sopan. Salamnya diabaikan. Gadis itu seakan tuli, sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Dasar anak ini!

Tak menunggu dipersilakan, Puspa memasuki rumah. Tidak ada siapa-siapa di ruang tamu. Ketika berjalan ke arah ruang keluarga, tampak Doni, adik Jagat yang lain, sedang asyik menonton film kartun di layar 63 inci. Film yang biasa ditonton anak kecil itu terlihat begitu dinikmati Doni hingga dia tertawa terbahak-bahak.

Puspa berdeham pelan.

Doni menoleh sedikit kaget, namun tak lama kemudian dia kembali mengalihkan pandangannya ke layar. Sama seperti Senja, dia bersikap acuh tak acuh pada Puspa yang kini mematung di sebelahnya.

"Eh, Puspa, kamu datang, Nak?" Ibu Mertua melangkah keluar dari arah dapur.

Wajahnya tampak kusut, matanya sedikit memerah seperti bekas menangis. Perasaan Puspa semakin tidak enak.

"Di mana Jagat, Bu?" tanya Puspa tanpa basa-basi. Rasa penasaran bercampur amarah meluap, apalagi setelah melihat Doni dan Senja yang memang sengaja mengacuhkannya. Menyebalkan sekali kedua orang itu!

"Duduk dulu, Nak," pinta Ibu sambil meraih tangan Puspa. Namun, Puspa segera melepaskannya, lalu menggenggam balik kedua tangan Ibu Mertua.

"Aku kemari bukan untuk duduk, Bu. Tapi mencari Jagat yang sudah seminggu ini tidak pulang," ucap Puspa dengan nada penegasan.

Ibu menatap Puspa lirih, seperti ada beban berat yang menghalangi ucapannya. Namun, perhatian Puspa justru tertuju pada pintu kamar tamu yang tertutup rapat, dan dari dalam terdengar suara wanita cekikikan.

Bukankah di rumah ini yang perempuan muda hanya Senja? Itu pun sedang duduk di luar sambil memainkan ponselnya. Lalu, suara siapa di sana?

Puspa segera melangkahkan kaki, meninggalkan Ibu yang mulai terisak.

"Sabar, Nak, tahan emosimu," lirih Ibu, mencoba menahan langkah Puspa. Namun, hal itu tidak menyurutkan niat Puspa untuk menuju ke sumber suara.

"Lepaskan, Bu. Biarkan aku tahu semuanya," ucap Puspa pelan, tak kuasa menahan rasa sakit.

"Wah, kayaknya akan ada perang dunia, nih." Terdengar perkataan Doni dari belakang, disusul suara tawanya yang seakan mengejek.

Puspa tak peduli. Semuanya harus segera terungkap. Dia akan menghadapi kenyataan apa pun yang sebenarnya terjadi.

Tunggu saja kalian yang di dalam, aku akan segera mengetahuinya. Aku Puspa, tidak akan diam saja!

BERSAMBUNG

Follow saya untuk membaca terusannya.

Aku menatapnya nanar. Pria ini menjadikan aib terbesarku sebagai alat tawar dalam transaksi bisnisnya."Saya... saya tida...
10/11/2025

Aku menatapnya nanar. Pria ini menjadikan aib terbesarku sebagai alat tawar dalam transaksi bisnisnya.

"Saya... saya tidak butuh lelaki yang menjadikan pernikahan hanya untuk warisan," desisku, berusaha terdengar tegar.

Bhanu tertawa sinis, suara tawanya serak dan kasar. "Oh, ya? Lo lebih s**a jadi pajangan bokap lo?" tanyanya tajam. "Dijual ke keluarga Ustadz A, Ustadz B, terus ujung-ujungnya dikatain 'rusak' dan 'menjijikkan' di depan muka lo? Gue denger semua tadi malem."

Aku tersentak.

"Gue juga denger empat kali sebelumnya," lanjutnya, dan kali ini suaranya pelan namun menusuk. "Lo emang jujur, tapi lo juga bego. Mereka nggak akan pernah nerima lo."

Rasa malu menjalari tubuhku. Dia tidak hanya menguping; dia telah memperhatikanku selama ini. Dia tahu semua kegagalanku.

"Gue nawarin kesepakatan gampang, Neng," katanya, kembali ke nada malasnya. "Kita nikah. Lo dapet status istri, lo bebas dari perjodohan konyol bokap lo. Gue dapet warisan gue. Kita nggak saling usik. Simpel."

Mataku menelisik penampilannya. Kaos singlet kotor, celana kolor, rambut gondrong berantakan, dan aroma rokok yang pekat. Inikah jalan keluarku?

"Kamu pemabuk. Berandalan," kataku gemetar.

"Dan lo bukan perawan," balasnya cepat, tanpa jeda. "Itu yang bikin kita impas, kan? Gue nggak peduli sama masa lalu lo, sama noda lo. Dan lo... nggak usah peduli sama hidup gue."

Dia benar. Di mata lelaki sholeh pilihan Abi, aku adalah kotoran. Tapi di mata preman ini, aku setara. Sama-sama "rusak".

Aku benci mengakuinya, tapi dia menawarkan satu-satunya hal yang tidak bisa diberikan Abi dan para lelaki sholeh itu: penerimaan. Meski itu penerimaan yang sinis dan transaksional.

"Gimana?" desaknya. "Gue nggak punya banyak waktu. Ya atau tidak?"

Aku tidak bisa menjawab. Mulutku terkunci. Jika aku bilang "ya", aku menikahi preman ini. Jika aku bilang "tidak", aku kembali ke neraka perjodohan Abi, menunggu hinaan keenam.

"Saya... saya harus ke sekolah," hanya itu yang bisa kukatakan. Aku berusaha melewatinya.

Tapi Bhanu tidak bergerak. Dia hanya menatapku, seringainya hilang, digantikan ekspresi datar yang sulit kubaca.

Lalu, tiba-tiba dia berbalik badan. "Jalan," katanya singkat.

Aku bingung. "Apa?"

"Jalan! Lo mau ke sekolah, kan? Gue anterin."

Dia mulai melangkah di depanku, berjalan santai dengan kaos singlet dan celana kolornya, seolah dia pemilik jalan ini.

"Saya tidak minta diantar! Dan saya belum setuju!" protesku, tapi aku tetap melangkah di belakangnya, menjaga jarak aman.

Bhanu menoleh sedikit ke belakang, seringai kasarnya kembali.

"Lo nggak bilang 'tidak', Neng."

Jantungku berdebar kencang.

"Buat gue," lanjutnya, kembali menatap lurus ke depan, "itu udah setuju. Nanti malem gue dateng lagi. Bilang ke bokap lo, siapkan surat-suratnya."

Selengkapnya bisa dibaca di KBM App
Cari saja judul: JAGAT
Penulis: Qasha Qanita

BAB 3: PERNIKAHAN TRANSAKSIONALBentakan Abi masih menggema di telingaku, tapi aku sudah tidak peduli. Aku lebih takut pa...
09/11/2025

BAB 3: PERNIKAHAN TRANSAKSIONAL

Bentakan Abi masih menggema di telingaku, tapi aku sudah tidak peduli. Aku lebih takut pada masa depan yang diatur Abi daripada pada lelaki di luar sana.

"Bi," kataku lirih, namun tegas.

Abi yang masih murka menoleh, "Apa lagi?!"

Aku menarik napas panjang, menguatkan hati. "Kara... Kara mau terima lamaran dari lelaki itu."

Hening seketika. Ummi yang berdiri di belakangku langsung memegang lenganku, kaget.

"NGAWUR KAMU!" bentak Abi, suaranya lebih kencang dari sebelumnya. Wajahnya yang merah padam kini bercampur rasa tidak percaya.

"Adikmu saja punya suami dokter! Masa kamu mau menikah dengan berandalan itu, Kara? Lelaki baik di dunia ini banyak. Kenapa harus dia?!"

"Banyak!" sahutku, air mataku akhirnya tumpah. "Tapi dari sekian banyak lelaki baik itu, tidak ada yang mau menerima perempuan seperti putrimu, Bi! Mereka menghina Kara, mereka menghina Abi dan Ummi! Apa Abi mau kita dihina untuk yang keenam kalinya?"

"ITU SEMUA KARENA KAMU TIDAK BISA DIAM!" teriak Abi.

Kalimat itu menusukku lebih tajam dari hinaan keluarga Adam.

"Kalau saja kamu tidak banyak bicara tentang aib itu," lanjut Abi, suaranya bergetar menahan amarah, "semua akan baik-baik saja! Abi sudah menutupinya rapat-rapat, tapi kamu malah mengumbarnya! Kamu mempermalukan Abi!"

Dadaku sesak. Jadi, ini intinya. Bukan tentang kebahagiaanku. Bukan tentang lukaku. Ini tentang gengsi dan nama baiknya sebagai Ustadz Imron.

Aku sudah berdamai dengan masa laluku, tapi Abi tidak akan pernah bisa.

"Kara yang kata Abi anak baik dan sholehah ini punya noda, Bi. Mungkin Kara memang pantasnya dengan lelaki yang Abi anggap jahat itu," kataku pasrah.

Aku tidak menunggu jawaban Abi lagi. Aku berbalik dan masuk ke kamar, membanting pintu. Sama kerasnya dengan Abi membanting pintu untuk Bhanu tadi.

Pukul tujuh pagi, aku keluar rumah. Aku seorang guru SD, dan aku harus tetap bekerja, seberapa kacaunya hidupku.

Usia aku dua puluh empat tahun. Adikku sudah menikah dengan seorang dokter, menjadi kebanggaan keluarga. Sedangkan aku... aku adalah aib.

Krek!

Aku mendorong pagar rumah. Namun saat di persimpangan jalan menuju sekolah, aku bertemu dengannya.

Bhanu sedang duduk dengan dua orang temannya di pos ronda. Asap rokok mengepul dari mulutnya. Dia hanya memakai kaos singlet putih yang terlihat kotor, dan celana kolor pendek di atas lutut. Persis seperti yang Abi bilang. Berandalan.

"Lo ngapain lihat dia, Bhan," kata salah satu temannya, menyikut Bhanu. "S**a lo sama modelan begitu? Nggak cocok cowok bangsat kayak lo sama dia."

"Kenapa nggak cocok? Gue bukan setan," sahut Bhanu, tapi matanya menatap lurus ke arahku.

Aku memalingkan wajah dan mempercepat langkah.

Langkah kaki di belakangku membuatku waspada. Aku menoleh. Bhanu mengikutiku. Teman-temannya tertawa dari pos ronda.

Jantungku berdebar kencang. Aku mempercepat langkah, dia juga. Aku setengah berlari, dia masih mengikutiku dengan santai.

"Kenapa kamu mengikuti saya?" hardikku sambil berbalik.

Langkahku terhenti, tapi tubuhku mulai bergetar. Bayangan gelap dari masa lalu itu tiba-tiba menyeruak. Ketakutan itu kembali.

"Saya akan berteriak!" ancamku, suaraku gemetar.

Bhanu berhenti tiga meter di depanku. Dia hanya menyeringai, wajah sangarnya membuatku semakin tertekan.

"Menjauh dariku!" teriakku lagi.

Dia malah tersenyum, lalu melangkah maju. Satu langkah, dua langkah. Aku mundur hingga punggungku menabrak pagar rumah orang. Aku terpojok.

"Mau apa?!"

"Gue nggak akan nyakitin lo," katanya, suaranya berat. Dia berhenti satu jengkal dariku, membuang puntung rokoknya dan menginjaknya. "Gue denger... jawaban lo buat bokap lo semalem."

Aku terkesiap. "Kamu... kamu menguping?"

"Nggak perlu nguping," katanya santai. "Teriakan bokap lo kedengeran sampai kontrakan gue. 'Ngawur kamu!' katanya. Jadi, lo beneran mau nikah sama gue?"

Aku menelan ludah, tak bisa menjawab.

"Kita nikah aja," katanya tiba-tiba, nadanya serius. "Formalitas."

"Pernikahan bukan permainan!" desisku.

"Gue lagi butuh pasangan," katanya, mengabaikan ucapanku. Dia menatapku tajam. "Gue nggak akan nyentuh lo. Gue butuh status 'menikah' buat dapet warisan dari kakek gue."

Aku tertegun. Warisan?

"Cari yang lain!"

"Gak. Gue maunya elo."

"Kenapa saya?"

Bhanu menyeringai sinis. "Karena lo sama kayak gue. Dunia udah ngasih cap jelek ke kita. Gue 'pemabuk', elo 'bukan perawan'. Impas. Nggak akan ada yang banyak nuntut. Gimana?"

Dia menjadikan aku tameng. Dia merendahkan pernikahan jadi sebuah transaksi.

Tapi dia juga benar. Aku butuh dia untuk kabur dari perjodohan Abi.

"Gue nggak nerima penolakan," katanya, seolah bisa membaca keraguanku. "Karena gue tahu... lo juga butuh gue."

Selengkapnya bisa dibaca di KBM App
Cari saja judul: JAGAT
Penulis: Qasha Qanita

Jam sembilan malam, aku masih meringkuk di kamar. Aku tidak keluar sama sekali sejak kejadian sore tadi. Bahkan setelah ...
09/11/2025

Jam sembilan malam, aku masih meringkuk di kamar. Aku tidak keluar sama sekali sejak kejadian sore tadi. Bahkan setelah shalat Isya, aku belum beranjak dari atas sajadah. Hanya merintih pada Sang Pemilik Takdir.

Tok! Tok!

Pintu kamarku diketuk. Aku diam. Sejak sore tadi, Ummi dan Abi bergantian melakukan itu. Aku tahu apa yang akan mereka katakan. Aku akan dinasihati untuk berbohong, lalu mereka akan mencarikan jodoh lagi. Dan lingkaran setan ini akan terulang kembali.

“Nduk! Makan dulu,” kata Ummi dari luar.

Aku menyeka air mataku, tak tega mendengar nada lirihnya. Perlahan, aku memakai cadarku dan membuka pintu.

“Makan dulu, ya, Nduk.”

Aku menggeleng.

“Apa Abi sama Ummi ini salah, Nduk? Kami hanya ingin kamu bahagia,” desak Ummi, matanya sembap.

“Allah saja menutup aib kita, Nduk. Kamu juga berhak bahagia. Kejadian itu bukan salah kamu.”

Aku menunduk. Mau dikatakan bukan salahku, tetap saja noda ini melekat. “Kara hanya wanita yang punya noda, Mi. Mungkin lebih baik Kara sendiri seumur hidupku, daripada hidup dengan orang lain yang tidak bisa menerima aib ini.”

“Tapi, Nduk—”

“Saya ingin melamar putri Bapak!”

Sebuah suara lelaki yang dalam dan berat tiba-tiba terdengar dari ruang tamu.

Deg!

Aku dan Ummi bertatapan kaget. Baru juga sore tadi satu keluarga pulang dengan amarah. Secepat itukah Abi menjodohkanku lagi?

“Kalian ingin menjodohkan Kara lagi?” tuduhku pada Ummi.

“Tidak!” Ummi menggeleng cepat. “Dia datang sendiri. Tidak kami undang.”

“Saya dengar keributan tadi sore,” suara lelaki itu terdengar lagi, santai namun jelas. “Saya juga dengar... putri Anda sudah tidak perawan. Saya mau menikahinya.”

Mulutku ternganga. Jantungku berdebar sangat kencang. Itu suara Bhanu. Lelaki yang kulihat di pos ronda tadi.

“Siapa... siapa dia sebenarnya, Mi?” tanyaku gemetar.

Wajah Ummi pias. “Jagat Bhanu Sagaratama. Lelaki pemabuk yang mengontrak di sebelah. Yang setiap pagi membuat Abimu marah karena pot kembang hancur olehnya.”

“KELUAR!”

Sebuah teriakan menggelegar dari ruang tamu. Itu suara Abi.

“Saya hanya berniat melamar putri Anda. Kenapa Anda mengusir saya?” tanya Bhanu, nadanya terdengar malas, seolah tidak peduli dengan kemarahan Abi.

“Beraninya orang sepertimu, yang setiap hari hanya mabuk-mabukan, datang melamar putri saya! Putri saya seorang perempuan sholehah, dia perempuan baik-baik. Tidak mungkin saya nikahkan dengan lelaki sepertimu!”

Aku tertegun mendengar pembelaan Abi. Pahit sekali rasanya. Abi masih saja berbohong demi gengsinya sebagai ustadz, padahal sore tadi dia menyalahkanku karena aib yang sama.

“Apakah hanya lelaki sholeh yang harus jadi suami putri Anda?” sahut Bhanu. “Wanita baik untuk lelaki baik. Tapi, Pak Ustadz... apa Bapak yakin putri Bapak masih dianggap ‘baik’ oleh orang-orang?”

Kalimat itu menohokku.

“Sudahlah, Nduk. Masuk kamar saja. Biar Abimu yang urus,” kata Ummi, menarik tanganku.

Tapi aku menggeleng. Rasa penasaran—atau mungkin keputusasaan—membuatku melangkah. “Kara mau ke depan, Mi.”

Aku berjalan pelan ke ruang tamu. Di sana, Abi berdiri dengan wajah memerah, menunjuk ke arah pintu. Dan di sofa, duduk seorang lelaki.

Dia persis seperti yang sering kulihat: memakai kaos hitam kusam, jaket denim yang warnanya sudah pudar, dan celana jins bolong-bolong di lutut. Rambutnya gondrong acak-acakan. Dia menatap Abi sambil menyeringai santai.

Pantas Abi mengusirnya.

“Lihat saja pakaianmu! Datang melamar seorang perempuan dengan pakaian preman. Tidak sopan!” bentak Abi.

“Salahkah? Ini bersih. Ini pakaian terbaik saya,” jawab Bhanu enteng.

Saat itulah matanya beralih padaku yang berdiri di lorong. Seringai di wajahnya melebar.

“Nah, itu dia calonnya,” katanya, menunjukku dengan dagunya. “Gimana, Neng? Mau nikah sama saya?”

Aku terdiam kaku. Dia benar-benar gila.

“Saya walinya!” Abi berteriak, suaranya bergetar karena marah. “Dan saya tidak akan pernah setuju!”

Bhanu tertawa kecil. “Putri Bapak punya kekurangan. Saya juga. Lha, kan pas?” ujarnya kasar. “Impas. Dia dicap jelek, saya juga dicap jelek. Bapak nggak rugi apa-apa.”

“Kamu...! Kamu menghina putriku!”

“Terserah, Pak Ustadz,” Bhanu bangkit dari duduknya. Dia menatapku lekat. “Tapi pikir lagi. Bapak mau dia ditolak lagi... untuk yang ke-enam? Ke-tujuh? Atau Bapak mau sembunyikan aibnya seumur hidup?”

Dia tahu.

Dia tidak hanya mendengar kejadian sore tadi. Dia tahu tentang empat kegagalan sebelumnya.

Abi yang murka segera mendorong Bhanu keluar dari rumah. “Keluar! Jangan pernah injakkan kakimu di sini lagi, berandalan!”

Bhanu hanya tertawa sambil melangkah mundur, matanya tak lepas dariku.

BLAM!

Pintu rumah dibanting hingga tertutup.

Hening. Aku masih berdiri mematung, tubuhku bergetar.

Abi membalikkan badan, menatapku dengan mata menyala. “Dan kamu! Jangan pernah berpikir untuk menerima lamaran setan itu! Kamu dengar, Lengkara?!”

Aku menelan ludah, dadaku sesak.

Abi lebih memilih aku menderita dalam perjodohan yang gagal, daripada menanggung malu menikahkan putrinya dengan seorang preman.

Dan lelaki itu... lelaki itu tahu rahasiaku.

Selengkapnya bisa dibaca di KBM App
Cari saja judul: JAGAT
Penulis: Qasha Qanita

09/11/2025

5 KALI BATAL NIKAH, ini adalah bagian dari novel JAGAT karya Qasha Qanita

“Sebelum akad nikah ini dilakukan. Saya ingin jujur. Saya tidak perawan.”Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. ...
09/11/2025

“Sebelum akad nikah ini dilakukan. Saya ingin jujur. Saya tidak perawan.”

Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Ini adalah perjodohanku yang kelima. Lelaki di depanku, Mas Adam, adalah putra seorang ustadz terpandang, pilihan Abi.

Ruangan yang tadinya hening seketika tegang.

“Apa maksud kamu?” tanya Mas Adam, wajahnya yang tadi ramah kini mengeras.

“Saya sudah tidak perawan lagi,” ulangku, menunduk. “Apa Anda masih ingin menikahi saya setelah tahu kenyataan ini? Jika tidak, silakan mundur.”

“LENGKARA!”

Abi langsung berdiri, wajahnya merah padam menahan malu di depan keluarga calon besannya.

“TUTUP MULUTMU!” bentak Abi padaku. “Kamu ini sengaja mau membuat malu Abi, hah? Masuk ke kamar!”

“Tapi, Bi—”

“MASUK!”

Aku tahu tatapan sinis Abi. Ia benci kejujuranku. Kejujuran yang sama yang telah membatalkan empat perjodohan sebelumnya. Aku tidak mengarang, aku adalah korban. Tapi di mata mereka, korban atau bukan, hasilnya sama: aku rusak.

“Bercadar, tapi tidak perawan,” desis Mas Adam pelan, nadanya penuh hinaan. “Menjijikkan.”

Suara lain, mungkin ayahnya, menimpali. “Ustadz Imron, apa maksudnya ini? Anda berniat menjodohkan putra kami dengan perempuan yang... sudah rusak? Apa pakaian syar’i itu hanya untuk menipu kami?”

Aku tersenyum getir di balik cadar. Sudah biasa.

“Tolong tenang dulu,” Abi berusaha menyelamatkan situasi, suaranya dipaksakan ramah. “Putri saya ini korban, dia... dia tetap gadis yang baik. Ini hanya kecelakaan masa lalu.”

“Kecelakaan?” Ayah Mas Adam tertawa sinis. “Anda mengotori marwah wanita bercadar dengan menutupi aib ini!”

Degh!

Dadaku sesak. Mereka boleh menghinaku, tapi tidak pakaian ini. Aku memakainya sebagai kewajiban, bukan sebagai tameng.

“Jika saya tidak jujur,” kataku, tak sanggup lagi menahan, “maka Anda akan tertipu. Dan itu—”

“Cukup!” Ummi bangkit. “Mi, bawa Lengkara masuk ke dalam kamar, Mi!” perintah Abi pada Ummi.

Ummi segera menarik tanganku, memaksaku berdiri. Wajahnya pias, menanggung malu yang sama.

Saat Ummi menarikku paksa melewati ruang tengah, mataku sekilas menangkap sosok di luar pagar. Di bawah remang lampu jalan, seorang lelaki sedang berjongkok di samping pos ronda. Dia menatap lurus ke arah rumah kami, asap rokok mengepul dari jemarinya.

Jagat Bhanu Sagaratama.

Preman pemabuk yang mengontrak tepat di samping rumah kami. Jantungku berdebar. Dia pasti mendengar semua keributan dan hinaan itu.

Ummi mendorongku masuk ke kamar dan menutup pintu.

“Nduk,” kata Ummi lirih, air matanya mulai menggenang. “Berbohong demi kebaikan itu tidak apa-apa. Tidak bisakah kamu diam saja sampai akad itu selesai?”

“Berbohong itu tetap dzalim, Mi. Apa yang kita lakukan akan menganiaya Mas Adam. Bagaimana jika dia tahu saat malam pertama nanti? Dosanya akan lebih besar.”

Ummi tidak bisa menjawab. Wanita paruh baya itu hanya menggeleng pelan, lalu membalikkan badan dan keluar dari kamarku, meninggalkanku sendirian dalam tangis yang tertahan.

Tepat saat Ummi menutup pintu, aku mendengar suara mesin mobil dinyalakan di luar.

Mereka pulang. Perjodohan kelimaku, resmi batal.

Selengkapnya bisa dibaca di KBM App
Cari saja judul: JAGAT
Penulis: Qasha Qanita

Address

Depok Dua Timur

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Rumah Novel posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share