20/11/2025
Bab 1: Retak di Cawan Pualam
Gatal di hidungnya tak bisa dia tahan lagi. Puspa menghentikan gerakan kuasnya yang hampir menyelesaikan sepetak ornamen pada cawan pualam di depannya. Aroma tanah liat basah, cairan glasir, dan kayu bakar dari tungku kecil di halaman belakang selalu menjadi penyegar udara baginya. Namun, hari ini, semua itu terasa menyesakkan. Dia menggaruk hidungnya, cemas bukan karena debu, melainkan karena firasat yang datang seiring terbukanya pintu bengkel dengan hentakan keras.
"Brak!"
Disusul suara langkah kaki yang dihentak-hentakkan, sengaja memecah konsentrasi dan kedalaman meditasinya dalam bekerja. Dia tahu betul siapa pemilik langkah yang tidak sabaran itu. Itu Ranu, putra semata wayangnya. Suara itu cukup mengganggu kekhusyukan salat Zuhur yang baru saja dia selesaikan sebelum kembali menggarap pesanan keramiknya.
Setelah berucap salam dalam hati, Puspa keluar dan mendapatkan Ranu sudah duduk selonjoran di sofa kayu tua, dengan pandangan kosong menerawang ke langit-langit. Wajahnya masam, seperti cawan keramik yang gagal dibakar.
"Eh, pulang sekolah kok tidak ucap salam? Malah cemberut begitu," tegur Puspa. Dia mendekati Ranu, duduk di sebelahnya, tetapi bocah itu tidak menyahut. Ranu diam tak merespons, bahkan menoleh pun tidak. Puspa yakin, Ranu tengah kesal, tetapi dia tidak tahu apa penyebabnya.
"Ranu, Ibu tanya kok tidak dijawab?" tanya Puspa, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu. Pikirannya langsung menerawang, khawatir Ranu terlibat masalah di sekolahnya, atau ada hal yang membuatnya kesal hingga membawa bebannya sampai ke rumah.
Ranu mencebik kesal, kemudian menoleh ke arahnya dengan ekspresi marah.
"Bu, kenapa sih Ibu tidak bercerai saja dengan Ayah?"
Puspa terkejut. Deg! Apa maksud pertanyaan itu? Kenapa tiba-tiba Ranu berkata demikian? Ranu baru kelas tiga sekolah dasar dan seharusnya belum mengerti arti perceraian. Aneh.
"Lho, Nu. Maksud kamu apa, kok bicara begitu? Anak kecil tidak boleh lho mengatakan itu. Memangnya Ranu tahu, cerai itu artinya apa?" tanya Puspa sambil berusaha keras memasang wajah datar.
"Sudah, ah. Percuma bicara dengan Ibu." Ranu melompat berdiri, pergi menuju kamarnya, dan membanting pintu. Blugh!
Puspa hanya bisa beristigfar. Ada apa dengan anak itu?
Tok! Tok! Tok!
Belum hilang keheranannya, ketukan pintu depan kembali terdengar. Puspa segera membukanya dengan perasaan tidak enak.
"Puspa, kebetulan kamu ada di rumah. Maaf, nih, mengganggu." Puspa tersenyum ramah. Dia melihat Dewi, tetangga dekat mertuanya, menarik napas panjang, tampak kelelahan.
"Puspa, kamu sudah tahu kabar suamimu belum?"
Puspa dan Dewi sudah lama bersahabat. Dewi, dengan tubuh gempalnya, selalu menjadi orang pertama yang tahu jika ada informasi penting dari keluarga Jagat—suaminya. Dilihat dari deru napasnya yang terengah-engah, Dewi seperti habis berlari kencang.
"Tenang dulu, Dewi. Sini, masuk dulu." Puspa mengajak Dewi masuk dan menyuruhnya duduk, lalu bergegas ke dapur mengambil air putih.
Segelas air putih ditandaskan Dewi dalam sekejap. Setelah melihat Dewi sedikit lebih tenang, Puspa mengajaknya bicara.
"Dewi, ada apa? Coba ceritakan apa yang terjadi," pinta Puspa tak sabar. Wanita itu terlihat menarik napas panjang lagi.
"Eh, Puspa, kok kamu tenang-tenang saja di rumah, sih. Memangnya belum tahu kabar suamimu sekarang?" tanya Dewi, menatap Puspa dengan pandangan aneh.
"Tahu apa, Wi? Memangnya apa yang tidak kutahu?" Kini giliran Puspa yang merasakan penasaran tentang apa yang sedang terjadi dengan Jagat.
"Lho, memangnya kamu tidak tahu kalau sekarang suamimu sedang di rumah ibunya? Dia bawa perempuan muda, cantik, lagi hamil juga kayaknya," tutur Dewi. Matanya menatap Puspa yang langsung terbelalak kaget.
"Apa benar seperti itu!?" tanya Puspa tak percaya. Tanpa terasa, ia meremas gamis yang dikenakannya.
"Iya, benar. Bahkan Ranu juga tadi habis dari rumah neneknya. Memang dia belum cerita sama kamu, Puspa?"
Dewi berbicara dengan penegasan, keningnya berkerut melihat ekspresi keheranan Puspa. Puspa menggeleng cepat. Pantas saja tingkah Ranu terlihat berbeda tadi.
"Apa maksudmu, Dewi? Jangan bercanda, deh, tidak lucu!" ucap Puspa. Dia mencoba menetralkan perasaannya karena belum sepenuhnya percaya. Puspa memang tidak mudah percaya pada perkataan orang lain sebelum melihatnya sendiri.
"Iya, itu benar. Masa aku bohong soal beginian? Sebaiknya kamu datang ke sana saja kalau tidak percaya."
Entah kenapa, tiba-tiba rasa sakit menusuk dalam dadanya. Sakit, sangat sakit sekali.
Apakah yang dikatakan Dewi itu benar? Entahlah. Namun, jika benar Jagat membawa perempuan lain ke rumah ibunya, kenapa tidak ada satu pun kerabat mertuanya yang memberitahunya? Dan jika itu benar, pantas saja Ranu datang dengan wajah cemberut dan bahkan sempat mengucapkan kata "cerai" segala.
Ah, rasanya sakit dan sulit dipercaya jika Jagat berkhianat.
"Puspa, hei, kok malah bengong. Ya sudah, aku mau pulang dulu, takut anak-anak mencariku." Dewi pamit, setelah mengucapkan salam yang hanya dijawab Puspa dalam hati.
Puspa harus pergi untuk memastikan semuanya.
Ya Tuhan. Kenapa rasanya sakit sekali, meskipun itu belum tentu benar.
Segera Puspa menyambar kerudung instan yang tergantung di belakang pintu kamar. Dia harus memastikan kabar yang baru saja didengarnya agar tidak terjadi kesalahpahaman, dan juga agar dia tidak berprasangka buruk, karena belum tentu benar adanya.
Setelah berpamitan pada Ranu yang sama sekali tidak menyahut, Puspa segera menghidupkan motor matik putihnya, menuju kediaman mertuanya yang jaraknya tidak terlalu jauh, hanya lima ratus meter dari rumahnya yang dibangun di atas tanah mertua.
Sengaja dia mengendarai motor dengan kecepatan rendah. Dia harus menata hatinya agar tidak bertindak anarkis jika saja hal buruk yang menimpa Jagat benar adanya. Dengan sifatnya yang memang mudah emosi, dia bertekad tidak akan gegabah melakukan hal yang akan membuatnya malu di sana nantinya.
Dia sudah terbiasa bepergian sendiri karena Jagat sangat jarang mengantarnya. Apalagi belakangan ini, Jagat selalu tidak ada waktu untuknya dan Ranu, meskipun Puspa tidak tahu apa kesibukan suaminya, karena Jagat sudah tidak bekerja seperti dulu lagi.
Sampai di depan rumah mertua, tampak Senja, adik Jagat, tengah asyik memainkan ponselnya di teras. Senja mengangkat satu kakinya dan menumpangkannya ke kaki yang lain, seakan tahu kedatangan Puspa. Senja memang sombong, sikapnya tidak pernah berubah meskipun Ayah Mertua berulang kali menasihatinya. Padahal Puspa merasa tidak pernah mengusik atau menyulitkannya.
"Assalamualaikum, Sen. Apa Jagat ada di dalam?" tanya Puspa sopan. Salamnya diabaikan. Gadis itu seakan tuli, sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Dasar anak ini!
Tak menunggu dipersilakan, Puspa memasuki rumah. Tidak ada siapa-siapa di ruang tamu. Ketika berjalan ke arah ruang keluarga, tampak Doni, adik Jagat yang lain, sedang asyik menonton film kartun di layar 63 inci. Film yang biasa ditonton anak kecil itu terlihat begitu dinikmati Doni hingga dia tertawa terbahak-bahak.
Puspa berdeham pelan.
Doni menoleh sedikit kaget, namun tak lama kemudian dia kembali mengalihkan pandangannya ke layar. Sama seperti Senja, dia bersikap acuh tak acuh pada Puspa yang kini mematung di sebelahnya.
"Eh, Puspa, kamu datang, Nak?" Ibu Mertua melangkah keluar dari arah dapur.
Wajahnya tampak kusut, matanya sedikit memerah seperti bekas menangis. Perasaan Puspa semakin tidak enak.
"Di mana Jagat, Bu?" tanya Puspa tanpa basa-basi. Rasa penasaran bercampur amarah meluap, apalagi setelah melihat Doni dan Senja yang memang sengaja mengacuhkannya. Menyebalkan sekali kedua orang itu!
"Duduk dulu, Nak," pinta Ibu sambil meraih tangan Puspa. Namun, Puspa segera melepaskannya, lalu menggenggam balik kedua tangan Ibu Mertua.
"Aku kemari bukan untuk duduk, Bu. Tapi mencari Jagat yang sudah seminggu ini tidak pulang," ucap Puspa dengan nada penegasan.
Ibu menatap Puspa lirih, seperti ada beban berat yang menghalangi ucapannya. Namun, perhatian Puspa justru tertuju pada pintu kamar tamu yang tertutup rapat, dan dari dalam terdengar suara wanita cekikikan.
Bukankah di rumah ini yang perempuan muda hanya Senja? Itu pun sedang duduk di luar sambil memainkan ponselnya. Lalu, suara siapa di sana?
Puspa segera melangkahkan kaki, meninggalkan Ibu yang mulai terisak.
"Sabar, Nak, tahan emosimu," lirih Ibu, mencoba menahan langkah Puspa. Namun, hal itu tidak menyurutkan niat Puspa untuk menuju ke sumber suara.
"Lepaskan, Bu. Biarkan aku tahu semuanya," ucap Puspa pelan, tak kuasa menahan rasa sakit.
"Wah, kayaknya akan ada perang dunia, nih." Terdengar perkataan Doni dari belakang, disusul suara tawanya yang seakan mengejek.
Puspa tak peduli. Semuanya harus segera terungkap. Dia akan menghadapi kenyataan apa pun yang sebenarnya terjadi.
Tunggu saja kalian yang di dalam, aku akan segera mengetahuinya. Aku Puspa, tidak akan diam saja!
BERSAMBUNG
Follow saya untuk membaca terusannya.