Rumah Novel

Rumah Novel YouTube: Tekno Ngopi

12/06/2025

Novel karya DIANTI IRNI

Bisa dibaca di PlayStore, cari saja judul: KETIKA TUAN AROGAN JATUH CINTA

11/06/2025

Ketika Tuan Arogan Jatuh Cinta

Novel karya Dianti Irni

08/06/2025

MEMILIH TERLUKA UNTUK BAHAGIA

Revan, tolong nasehati anakmu itu!” suara Tuan Adhyatsa menggema di ruang keluarga yang megah namun terasa dingin. “Menikah dengan putri keluarga Haris Manggala itu anugerah! Bukan semua orang pantas masuk ke keluarga itu. Tapi dia malah lebih memilih gadis dari kalangan... kamu.”

Ucapan itu ditujukan pada Murni, menantu yang sejak awal tidak pernah benar-benar diterima. Murni hanya menunduk. Tangannya saling meremas di atas pangkuan, seolah ingin menyembunyikan kegelisahan yang tak mampu ia suarakan.

Revan mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras.

Ia sudah terlalu sering mendengar kalimat seperti itu—yang merendahkan ibunya, yang mencaci wanita yang ia cintai. Tapi hari ini, semuanya terasa lebih menusuk dari biasanya.

“Revan.” Suara Murni akhirnya keluar, nyaris tak terdengar. “Bunda mohon. Nikahlah dengan putri Tuan Haris. Bukan demi siapa-siapa, tapi demi kelangsungan hidup kita semua.”

Revan mengalihkan pandangannya pada ibunya. Wanita itu tampak lelah. Garis-garis di wajahnya tidak hanya karena usia, tapi karena bertahun-tahun hidup dalam tekanan.

Ia tahu, ibunya tidak mendukung perjodohan ini. Tapi tekanan dari kakek dan para tante terlalu kuat, terlebih setelah keuangan perusahaan Adhyatsa Group mulai goyah. Sejak Ayah—Panji—meninggal dunia, semuanya berubah. Tanpa pemimpin yang tangguh, perusahaan yang berdiri atas kerja keras bertahun-tahun itu mulai rapuh.

“Bunda tahu aku mencintai Mayang,” suara Revan serak. “Kami sudah bersama sejak aku kelas dua SMA. Tujuh tahun, Bun. Kami sudah bicara soal masa depan. Aku janji akan menikahinya setelah dia lulus.”

Kata-kata itu menggantung di udara. Murni mengangguk pelan, lalu menunduk.

"Aku tahu, Nak. Bunda tahu kamu mencintainya. Tapi..." ia menarik napas panjang, suaranya mulai bergetar, "jodoh sudah ditentukan Allah. Mungkin kamu tidak akan paham sekarang, tapi... kadang hidup menuntut kita memilih yang tidak kita mau."

Diam. Ruangan terasa sunyi, hanya denting jam dinding yang terdengar samar.

“Lalu, bagaimana dengan Mayang?” Revan hampir berbisik.

Murni menatap putranya, perlahan mengulurkan tangan dan menggenggam jemari Revan yang mengepal.

“Bunda tidak ingin kamu kehilangan siapa pun, tapi... saat ini terlalu banyak yang dipertaruhkan. Perusahaan ini bukan hanya milik keluarga kita. Ada ratusan karyawan di belakangnya. Termasuk ibu Mayang. Bukankah kamu ingin dia tetap bekerja di rumah ini, di tempat yang aman?”

Revan terdiam. Ia tidak pernah memikirkan itu.

“Kalau kamu kabur... kamu pikir Kakek akan membiarkan mereka?”

Revan mend**gak. Sorot matanya berubah.

“Kalau aku menikah dengan putri Manggala... aku punya syarat,” katanya pelan tapi tegas.

Tuan Adhyatsa, yang berdiri di ambang pintu sambil bersedekap, menyipitkan mata. “Apa lagi? Syarat dari bocah keras kepala?”

Revan berdiri, tegak. Untuk pertama kalinya, suara dan sikapnya tak gentar.

“Perlakukan Bunda dengan hormat. Tidak ada lagi ucapan menghina, tidak ada lagi tugas-tugas yang seharusnya dilakukan pembantu. Bunda adalah istri dari putra Tuan, bukan pelayan keluarga ini.”

Tuan Adhyatsa menggeram, tapi Revan melanjutkan.

“Kalau syarat itu tidak dipenuhi, aku tidak akan menikah. Dan aku tidak akan tinggal di rumah ini. Aku pergi, dan jangan pernah cari aku.”

Santi dan Linda, kedua tante Revan, saling pandang. Mereka tidak menyangka Revan bisa berbicara setegas itu.

Untuk sesaat, hanya sunyi yang menjawab.

“Baik,” kata Adhyatsa akhirnya, suaranya dingin. “Kami terima syaratmu.”

Revan mengangguk pelan. Tapi dadanya seperti berlubang.

Ia tahu, sejak ia menerima perjodohan ini, ia sudah kehilangan sesuatu—seseorang—yang tak akan tergantikan.

**

Di kamarnya yang remang, Revan menatap foto Mayang di layar ponselnya. Senyuman gadis itu masih seperti dulu. Sederhana, lembut, tulus.

Ia ingat bagaimana mereka merancang masa depan bersama. Rumah kecil, kebun belakang, anak-anak yang riuh. Semua itu kini tinggal angan.

Tangannya gemetar saat mengetik pesan. Lalu ia hapus. Ketik lagi. Hapus lagi.

Akhirnya, ia menulis pelan:

Maafkan aku, Mayang. Aku tidak cukup kuat untuk melawan semuanya. Tapi kamu tetap yang pertama dan terakhir di hatiku.

Pesan itu tak pernah terkirim.

Terusan cerita ini bisa dibaca di PlayStore, cari saja judul MEMILIH TERLUKA UNTUK BAHAGIA

Karya: Bonamija Mondi

OLEH-OLEH PERJALANAN DINAS SUAMIKULink novel:https://play.google.com/store/books/details?id=bxBsEAAAQBAJDi bawah ini ada...
08/06/2025

OLEH-OLEH PERJALANAN DINAS SUAMIKU

Link novel:
https://play.google.com/store/books/details?id=bxBsEAAAQBAJ

Di bawah ini adalah penataan ulang narasi Anda dengan percakapan yang lebih rapi dan terpisah:

"Blugh!" Mas Raka menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Aku yang berdiri di depan pintu kamar sambil menggeret koper sisa perjalanan dinasnya, hanya menggeleng-gelengkan kepala.

"Pulang-pulang langsung 'ngebo', Mas?" ucapku sambil melangkah masuk. "Mas capek banget, Sayang...," keluhnya dengan suara serak. "Ya sudah tidur aja dulu. Istirahat, biar nanti bisa... ehem-ehem." Aku mengerlingkan mata padanya.

Setelah seminggu berpisah karena Mas Raka harus pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan, tentunya aku sangat merindukannya.

"Iya. Nanti malam, ya." Mas Raka berkata sembari melempar senyum, mengerti akan kode yang kuberikan padanya tadi. Setelahnya, ia pun lantas tertidur.

Semula aku hendak langsung mandi karena hari sudah hampir sore. Tapi kuputuskan untuk membongkar koper Mas Raka dulu, mengeluarkan pakaian-pakaian kotor yang akan kuberikan pada Mbak Yah, asisten rumah tangga kami.

Setelah memutar kombinasi angka, koper pun langsung terbuka. Aku kemudian langsung memilah-milah pakaian bersih dan kotornya yang sudah ia packing terpisah dalam beberapa travel pouch.

Namun gerakan tanganku langsung terhenti, saat mataku menangkap sesuatu yang terselip di antara travel pouch tersebut. Sesuatu yang membuat darah dalam tubuh ini berdesir aneh.

Kutarik pelan berupa kain tipis berenda warna merah tersebut. Astaghfirullah. Celana dalam wanita? Kenapa bisa ada dalam koper Mas Raka? Benda ini tidak mungkin oleh-oleh yang dibawakan Mas Raka untukku, karena jelas bukan barang baru. Label brand di bagian belakangnya sudah pudar, kentara kalau sudah sering dicuci-kering-pakai oleh pemiliknya.

Apakah ada teman Mas Raka yang iseng memasukkannya di sini? Kutepis dugaan tersebut. Mana mungkin ada teman lelaki yang iseng dengan cara seperti ini, kecuali... teman dinas Mas Raka adalah seorang perempuan.

Aku terhenyak oleh pikiranku sendiri. Apa sebenarnya yang telah terjadi pada suamiku?

Kutoleh ke arah tempat tidur. Di mana Mas Raka masih tampak pulas di sana. Terlihat sangat kelelahan, hingga dengkurannya terdengar begitu keras memenuhi kamar.

Apa sebenarnya yang sudah kamu lakukan sampai begitu kelelahan, Mas?

Aku menghela napas dalam, mencoba menenangkan pikiran, serta meredam gemuruh dalam dada. Aku harus tetap tenang dan tak boleh bertindak gegabah.

Kususun kembali benda-benda ke dalam koper Mas Raka. Termasuk celana dalam berenda warna merah tadi, meski aku harus memegangnya dengan perasaan jijik. Kututup lagi koper, seolah aku tak pernah membongkar dan menyentuh isinya supaya Mas Raka tak curiga.

Aku terdiam sejenak. Memikirkan langkah apa yang harus kuambil setelah ini. Dan seolah langsung diberi petunjuk, mendadak aku tahu apa yang harus segera kulakukan. Tujuanku sekarang adalah ponsel Mas Raka. Pada benda p**ih berteknologi canggih itu, tentu tersimpan lebih banyak rahasia lagi di dalamnya. Rahasia yang ingin segera aku kuak supaya aku tak terus-menerus dibodohi oleh suamiku. Feelingku sebagai istri, mendorongku untuk segera merazia ponsel Mas Raka.

Rinjani kembali meremas ujung kebayanya. Hatinya bagai teriris pisau saat mendengar ijab kabul Pratama Putra, kekasihnya...
08/06/2025

Rinjani kembali meremas ujung kebayanya. Hatinya bagai teriris pisau saat mendengar ijab kabul Pratama Putra, kekasihnya, yang kini menikahi kakak kandungnya sendiri. Impiannya hancur berkeping-keping. Seharusnya, pria dengan baju pengantin itu menyebut namanya dalam janji suci tersebut. Namun, peristiwa dua bulan lalu menghancurkan mimpinya menjadi istri sah Tama.

Semua itu bermula ketika Rinjani memergoki kakak dan kekasihnya sedang memadu kasih. Ia memejamkan mata, teringat kembali kejadian pahit malam itu. Rinjani, yang baru saja pulang dari luar kota, mendadak merasa tak tenang saat melihat mobil kekasihnya terparkir di halaman rumah. Ia mengerutkan dahi, menyadari bahwa hanya kakaknya yang ada di rumah, sementara kedua orang tuanya sedang bepergian. Dengan hati yang kacau, ia segera masuk. Untungnya, kunci duplikat memudahkannya. Ruang tamu gelap seperti biasa, namun suara samar dari kamar sang kakak menarik perhatiannya.

Jantung Rinjani berdetak kencang saat desahan-desahan menggelikan semakin jelas terdengar seiring langkahnya mendekati kamar kakaknya.

"Ah... enak, Sayang. Lagi," suara manja sang kakak terdengar begitu jelas.

Tangan Rinjani bergetar saat memutar kenop pintu.

"Astaghfirullah, apa yang kalian lakukan!" pekiknya, menutup wajahnya karena malu melihat kedua pasang tubuh tanpa sehelai benang pun. Lebih menyakitkan lagi, kekasihnya berada di atas kakaknya.

Kedua pasangan itu menghentikan aktivitas mereka. Tama segera memakai baju dan mencoba mengejar Rinjani yang berlari ke kamarnya.

"Jani, dengarkan aku!" Tama menarik lengannya dengan kasar.

"Cukup! Jangan pernah sentuh aku, aku jijik sama kalian," Rinjani menjaga jarak.

"Aku bisa jelaskan," ucap Tama.

"Menjelaskan jika kalian ada hubungan? Apa yang aku lihat sudah cukup membuktikan kalian itu pasangan selingkuh yang menjijikkan." Rinjani menarik napas dalam. Ia tidak pernah membayangkan akan memergoki kekasihnya memadu kasih dengan kakak kandungnya sendiri.

"Jani, dengarkan aku," Tama kembali mencoba menjelaskan.

"Lepas! Sejak saat ini kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Dan, itu 'kan yang kamu mau? Apa yang kamu dapat dari Kak Ratna, apa yang enggak pernah aku kasih. Aku bisa mengerti, tapi setidaknya jangan sama kakak aku!" pekik Rinjani.

"Ratna yang merayu aku, Jani."

Sebuah tamparan keras mendarat di p**i Tama. Tangan mungil Rinjani sudah tak tahan untuk menghajar pria di depannya. Setelah mencicipi "cawan indah" dari sang kakak, beraninya ia mengatakan sang kakak yang merayunya.

"Satu hal yang kamu harus ingat, enggak akan ada asap jika tidak ada api."

***

Bayangan menyedihkan itu buyar seketika. Rinjani mengusap embun di mata yang hampir tumpah saat seseorang menepuk lembut pundaknya.

"Sabar, ya, Sayang," suara lembut sang ibu menenangkannya.

"Apalagi yang bisa aku lakukan selain sabar? Aku berada di sini pun dengan perasaan tak karuan. Bahkan Mama dan Papa memintaku tetap tenang melihat pernikahan ini." Rinjani sebenarnya tak mau hadir, tetapi ia harus membuktikan pada sang kakak bahwa dirinya sudah move on.

"Maafkan Kakakmu, Jan," ucap wanita berkebaya merah muda itu.

"Harusnya dia yang meminta maaf padaku, bukan Mama," balas Rinjani.

"Mama tahu."

Rinjani beranjak dari tempat duduknya, memilih meninggalkan tempat itu dan mencari ketenangan di luar. Ia tak pernah menduga hal menyedihkan seperti ini akan terjadi dalam hidupnya. Menyaksikan kekasihnya menyebut nama kakaknya dalam ijab kabul, ia harus kuat menghadapi cobaan ini. Seharusnya ia datang bersama pasangan yang selalu ia ceritakan pada sang kakak. Namun, setelah menelepon sahabat lamanya, pria itu ternyata tidak bisa menolongnya.

Dalam kegundahan hatinya, ia tak sengaja menabrak seseorang.

"Jalan pakai mata d**g, Mbak," omel pria berjas navy itu.

Rinjani terkesiap menatap pria tampan di hadapannya. Meskipun usianya terlihat tidak muda lagi, pria itu berhasil membuat Rinjani tak berkedip. Ia tersentak saat pria itu menjentikkan jari di depan wajahnya.

"Mbak, enak saja Anda memanggil saya Mbak. Apa saya kelihatan tua seperti Anda?"

Kini giliran pria itu yang terkesiap mendengar protes Rinjani hanya karena sebutan "Mbak".

"Lalu saya harus memanggil apa? Tante, Bude, apa Bule?" Lesung p**i pria itu semakin mempesona saat tersenyum melihat tingkah Rinjani.

"Ih, aku masih muda! Memangnya Anda, tua."

"Loh, harusnya kamu minta maaf sama saya. Jalan enggak lihat-lihat, lagi patah hati apa?" Pertanyaan pria itu tepat sasaran, membuat Rinjani menyunggingkan bibir. Hatinya kembali sesak mengingat dirinya sedang patah hati. Dalam kegalauannya, ia dikejutkan dengan tingkah pria di hadapannya yang tiba-tiba menggandeng tangannya.

***

Netra Rinjani membulat, dan hampir saja menendang pria itu jika tak mendengar seorang wanita menyapanya.

"Kamu ada di sini?" Seorang wanita dengan gaun merah yang elegan menyapa Rinjani dan pria di sampingnya.

Rinjani awalnya tidak mengerti mengapa pria itu tiba-tiba menggandeng tangannya. Namun, saat melihat wanita di depannya, ia sadar ada hal yang membuat pria itu terpaksa mendekatinya.

"Iya, menemani pujaan hati," pria itu menoleh ke arah Rinjani dan tersenyum manis.

Rinjani mengerjapkan mata, ia pun paham dirinya diperkenalkan sebagai kekasih pria di sampingnya.

"Yang benar saja kamu, Rik, wanita ini terlalu muda untuk kamu," ucap wanita bergaun merah.

"Umur tidak masalah, 'kan, Sayang. Yang penting setia dan bisa mengurus aku. Benar 'kan, Sayang?"

"I—iya," Rinjani terpaksa mengatakan hal itu karena pria itu mengencangkan genggaman tangannya hingga membuat Rinjani kesakitan.

Wanita itu terlihat tidak s**a.

"Semoga kalian langgeng."

Setelah mengatakan itu, wanita itu langsung melangkah bersama pria yang baru saja menghampirinya.

"Aw..." Erik Parajadinata memekik kesakitan saat Rinjani menginjak kakinya. Rinjani langsung melepas genggaman pria itu dan menjauh.

"Maksud kamu apa bilang aku pujaan hati kamu? Astaga, aku enggak mungkin punya selera Om-om seperti Anda."

Erik menatap heran wanita di hadapannya. Ia refleks saat melihat Andini, mantan istrinya, datang bersama kekasih barunya. Pria itu hanya ingin memberitahu dirinya sudah move on dari wanita itu. Seketika ia menemukan ide saat Rinjani berada di sampingnya. Ia berpikir wanita di sampingnya tidak jelek untuk diakui sebagai kekasih.

"Jangan kepedean kamu. Aku hanya refleks saja. Kamu juga bukan selera saya." Rinjani mengerucutkan bibir. Namun, ia kembali mengulas senyum saat sebuah ide muncul di kepalanya.

"Om harus bantu saya juga. Berhubung Om bilang saya kekasih Om, sekalian saja saya minta tolong sama Om buat pura-pura jadi pacar saya."

"Saya, jadi pacar kamu?"

"Pura-pura, Om."

"Enggak, saya enggak mau."

"Sebentar saja, cuma memperkenalkan sama kedua orang tua sama kakak saya. Setelah itu anggap aja kita sudah putus."

"Saya bilang, no." Pria itu melangkah meninggalkan Rinjani.

"Om, Tante itu masih ada loh, apa mau aku bilang ke dia kalau Om sebenarnya enggak kenal sama saya? Om cuma mengaku-ngaku!"

Teriakan Rinjani membuat Erik membulatkan mata dan kembali berbalik badan. Dengan senyum penuh kemenangan, Rinjani yakin pria itu akan kembali menghampirinya.

Cerita ini bisa dibaca di PlayStore, cari saja judul TERJERAT CINTA SANG DUDA

18/01/2025

Novel BUKAN ISTRI PILIHAN, cerita bersambung bab 1

21/12/2024






























21/12/2024

BAB 2, BENDA TAK LAZIM DI RAHIM PUTRIKU






























21/12/2024

BENDA TAK LAZIM DI RAHIM PUTRIKU

Novel karya Nur Jayanti

Bisa dibaca di PlayStore, cari saja judul di atas, atau linknya bisa Anda temukan di komentar video ini.

04/11/2024

KAU NODAI PERNIKAHAN INI

Novel karya Nita Suryani

MENGUKIR KARMA DENGAN SENGAJAhttps://play.google.com/store/books/details?id=JWslEQAAQBAJBab 1 ***[Mas, hari ini pulang j...
30/09/2024

MENGUKIR KARMA DENGAN SENGAJA

https://play.google.com/store/books/details?id=JWslEQAAQBAJ

Bab 1

***

[Mas, hari ini pulang jam berapa? Makanan dan kue ulang tahunnya udah siap]

[Mas, aku nunggu kamu. Aku nggak makan kalau kamu belum datang]

Netra elang Gavin memicing saat menangkap pesan dari Kania-istrinya.

Rupanya pesan itu dikirim dari jam tujuh malam. Waktu dimana Gavin memilih-milih hotel mana yang akan ia booking untuk menghabiskan waktu bersama Aline.

Dan sekarang sudah pukul tiga subuh. Tak terhitung juga jumlah panggilan tak terjawab dari istrinya.

Puluhan. Bahkan mungkin ratusan kali Kania melakukan panggilan setelah pesan yang ia kirimkan tak berbalas sama sekali.

Bagaimana mungkin Gavin bisa membalas pesan itu, bila dirinya tengah sibuk merayakan ulang tahun pernikahannya yang ke lima tahun bersama wanita masa lalu yang pernah ia janjikan kebahagiaan.

Disaat Kania menunggu di rumah dengan sibuknya memasak bermacam makanan kes**aan lelakinya ini, yang ditunggu dengan penuh kesabaran dan kesetiaan malah sibuk menunggu wanita lain.

Gavin sibuk menunggu Aline selesai dari salon kecantikan.

"Aku nyalon dulu, Mas. Biar kamu makin sayang," katanya di telepon.

Tentu saja bukan salon murah yang didatangi, tapi salon mahal yang biayanya tentu ditagihkan ke Gavin.

"Ya. Yang cantik ya!"

"Aku bikin mulus semua, Mas. Kamu kan s**a kalau bersih."

Si wanita menggoda manja dan membuat kekehan Gavin berakhir dengan geraman hasrat yang tak tertahankan.

Gavin menarik nafas panjang. Membaca sekali lagi pesan itu. Lalu memilih mematikan ponsel tanpa berniat membalas pesan dari istrinya.

Dimatikannya ponsel itu lalu menaruhnya kembali di atas nakas. Setelahnya ia memilih masuk kedalam selimut. Namun pikirannya yang tiba-tiba bercelaru membuatnya memilih membuang selimut itu dan membangunkan Aline yang terlelap lelah setelah pertempuran mereka semalam.

"Nakal kamu, Mas. Aku masih ngantuk," rengeknya manja pada lelaki beristri ini.

Namun Gavin yang kadung bir4ahi kembali mengulang kegiatan panas itu.

Hingga berkali-kali membuat peluh keduanya jatuh satu-satu.

Gavin mengulang kisah asmaranya subuh ini bersama kekasih lama yang tetap setia menunggu janjinya. Sementara Kania harus terbangun dengan perut keroncongan setelah tertidur di meja makan menunggui suaminya yang melanglang buana ke nirwana bersama wanita lain.

***

“Ya Allah, sudah subuh saja.”

Kania mengusap wajah. Menatap jam dinding yang berdentang empat kali. Tak sadar ia tertidur di sofa ruang tengah menunggui suaminya yang tak kunjung pulang.

Ditatapnya kue ulang tahun yang tertancap lilin berbentuk angka lima. Lilin yang yang belum di bakar namun sudah padam cahayanya.

Seperti rasa kecewa yang menusuk hati.

Bukan sekali-dua kali Kania harus menelan kecewanya atas ketakpulangan Gavin.

Namun alasan lembur dan banyak kerjaan menjadikan Kania bisa menerima dengan lapang dada.

Usaha peninggalan mertuanya yang diteruskan oleh suaminya sebenarnya tak terlalu besar menurut Kania. Namun, ia percaya saja bila suaminya memberi alasan.

Bertahun-tahun Kania dibohongi dan dibodohi dengan pernikahan yang semakin tawar rasa indahnya. Namun, wanita miskin tetap sabar dan tabah menerima.

“Kalau, Mas Gavin udah nggak nyaman sama aku, beri tahu aku, Mas. Biar aku memperbaiki diri.”

Namun senyum kecut yang Gavin berikan, seolah menjadi penghibur bila dirinya masih dibutuhkan dalam singasana suaminya ini.

Ada hati yang terbagi. Ada cinta diam-diam dijalin suaminya di belakang Kania. Entah ia tahu atau hanya pura-pura tak tahu. Namun Kania tetap sabar menggenggam luka dan rindunya yang diam-diam makin hari menggerogoti hati dan perasaannya.

Kania mengambil gawai miliknya yang bercasing mawar hitam dari atas sofa. Mengecek aplikasi pesan. Berharap ada balasan permohonan maaf yang dikirim Gavin untuknya.

Namun, sekali lagi Kania hanya menelan saliva kecewanya. Netranya bahkan berembun saat melihat semua pesan rindu dan khawatirnya berubah jadi centang biru namun tak ada balasan sama sekali.

Meski kecewa merajai, tapi rasa khawatir tetap mengintip.

“Apa mas Gavin sakit. Kok nggak dibalas.”

Tak pernah seperti ini. Walau beberapa bulan ini suaminya nampak semakin menjauh. Minimal Gavin tetap memberi kabar bila tak pulang.

Lalu Kania coba menghubungi sekali lagi. Namun malangnya, telinga tak bergiwang itu hanya mendengar jawaban operator dari seberang sana.

Suara azan subuh dan gerimis halus yang turun dengan syahdunya di dini hari yang kelam ini membuat Kania terburu ke kamar mandi, membersihkan diri lalu mengambil wudhu untuk menunaikan dua rakaat kewajibannya.

Kania khusu’ tengadah pada sang khalik. Memanjatkan do’a yang indah untuk pernikahannya juga do’a indah dan keselematan untuk suaminya di tempat yang tak ia lihat sekarang ini.

Kania mendo’akan lelakinya yang sibuk meraup udara setelah sekali lagi membuat selingkuhannya menjerit puas dan terkapar di atas pembaringan hotel yang cukup mahal tarifnya.

Kania mendo’akan kekekalan pernikahannya, sementara Gavin dan wanita gelapnya sedang merencanakan hal indah yang menjadi rahasia mereka.

“Aku nggak mau hubungan kita hanya sebatas ini, Mas. Kita udah sejauh ini. Aku juga butuh komitmen kamu seperti di awal dulu.”

Aline-nama si wanita gelap. Ia merajuk manja sambil menyandarkan kepala penuh mesra di dada bidang milik suami wanita lain ini.

“Apa maumu, Sayang?” tanya Gavin sambil mengecup kening ya telah ia buat berkeringat sesubuh ini.

“Aku mau dinikahi, Mas!”

“Mau jadi istri kedua?”

“NGGAK!”

“Lalu?” tanyanya lagi sambil memaikan selimut putih yang menjadi penutup tubuh keduanya.

“CERAIKAN ISTRI KAMPUNGANMU ITU!”

“Oke, Sayang,” balas Gavin mantap lalu kembali memeluk dan mengulang sekali lagi permainan terlarang penuh bir4hi dengan perempuan yang telah menjadi racun dalam rumah tangganya.

***

Bukan uang sedikit yang telah Gavin hamburkan untuk perempuan simpanannya ini.

Banyak. Bahkan jauh lebih banyak yang ia keluarkan untuk kebutuhan Aline daripada yang ia berikan untuk Kania.

Uang yang ia berikan pada Aline, jelas untuk perempuan itu gunakan sendiri. Merawat badan, membeli aset impian dan juga berlian sebagai simpanan di hari kemudian menjadi muara uang-uang yang ia berikan untuk gundiknya itu.

Sementara uang lima juta jatah yang ia berikan untuk Kani, digunakan oleh istrinya itu untuk kebutuhan rumah tangga.

Bayar listrik, air dan uang lauk pauk hari-hari Kania ambil dari jatah yang Gavin berikan. Untuk gaji bibi yang membantu di rumah, Gavin langsung berikan sendiri. Bakan Kania hanya menggunakan skincare yang sangat murah untuk merawat wajah ayu alami miliknya.

Tentu jauh berbeda dengan apa yang Gavin berikan untuk Aline. Perempuan simpanannya itu sekali sebulan harus ke klinik kecantikan untuk melakukan perawatan mahal pada wajah dan tubuhnya. Terutama pada bagian intim yang menjadi sasaran Gavin tiap kali mereka bertemu.

“Apa sibuk banget semalam sampai nggak sempat balas pesanku, Mas?”

Kania bertanya sambil memindahkan nasi dari ricecooker ke atas piring makan untuk Gavin. nasi putih, capcay dan ayam kecap yang Kania siapkan dari semalam, terpaksa harus ia panaskan lagi. Kecuali capcay kes**aan Gavin, buru-buru Kania masak ulang. Satu porsi saja untuk Gavin.

“Ya. Sibuk banget,” jawab Gavin sambil makan begitu lahap. Lapar sekali sepertinya. Bahkan hampir saja tersedak makanan yang ia telan barusan.

“Pelan-pelan aja makannya, Mas!” Kania menyodorkan air minum dalam gelas bertangkai yang hanya ia gunakan khusus untuk Gavin.

Perlatan makan yang Gavin gunakan, Kania pisahkan sendiri. Piring, gelas minu, gelas kopi dan sendok garpu khusus Gavin tak boleh digunakan selain suaminya itu, termasuk dirinya. Sebab Kania juga memisahkan sendiri peralatan makan untuknya.

Bahkan dalam angan-angan Kania, bila kelak nanti mereka dikaruniai keturunan. Ia ingin memesan piring dan gelas yang bertuliskan ‘mama papa.’

“Habis makan baru kamu potong kuenya, Mas.”

Kania mengeluarkan kue ulang tahun dari dalam kulkas. Selepas shalat subuh tadi, Kania memasukkan kembali kedalam kulkas kue berbentuk hati itu kedalam kulkas agar tekstur gulanya tetap terjaga.

“Kamu aja yang potong!” sahut Gavin tanpa menoleh pada wajah yang nampak terkejut dan juga kecewa.

Bahkan ucapan selamat dan kecupan hangat yang didamba. Tak kunjung Gavin berikan. Jujur saja, Gavin muak dengan lima tahun pernikahannya bersama gadis biasa ini. Perempuan dari desa yang menjadi pilihan ibunya sebelum meninggal.

“Kenapa gitu, Mas. Kemarin ulang tahun pernikahan, …”

“Sttt! Jangan lebay kamu. Ini udah lima tahun kita sama-sama. Aku yakin apa yang aku rasakan dalam pernikahan bias ini juga kamu rasakan, Kania!”

Gavin mengangkat telunjuk. Meminta Kania untuk berhenti berbicara. Ia tak ingin lagi mendengar keluh kesah dari istrinya. Sebab keluhan dan permintaan Aline yang lebih utama sekarang bagi lelaki ini.

Termasuk keinginan perempuan itu untuk dinikahi dan meminta Gavin menceraikan istri pertamanya.

“Maksudnya, Mas?”

Netra sendu itu sudah memerah. Menahan embun yang hamoir jatuh. Tak pernah Gavin sekasar ini. Tak pernah Gavin membentak seperti tadi.

Lalu apa yang menyebabkan lelakinya ini berubah sedemikian rupa. Apa dia ada kekurangan.

Oh, mungkin lelaki ini sudah mendamba tangis bayi. Namun Kania bisa apa bila yang kuasa belum memberikan rejekinya.

Pada beberapa kesempatan di awal-awal pernikahan mereka mungkin ada dua tau tiga kali keduanya ke dokter memeriksakan diri. Namun, kata dokter tak ada masalah pada Kania.

Kania saja yang diperiksa tidak dengan Gavin.

Kemampuannya menaklukan Kania dan beberapa wanita di masa lalu, membuat lelaki ini jumawa dengan kesuburan vitalitas lelaki yang ia punya.

“Maksudnya gimana, Mas?” Kania mengulang tanya. Menuntut jawab atas ucapan lelakinya barusan.

“Maksudnya? Aku ingin kita bercerai!”

***

“Ap-apa?”

Bagai petir di siang yang terik. Tak pernah Kania sangka bila Gavin akan mengeluarkan kalimat semelukai ini.

Hatinya yang diam-diam terluka, semakin perih dan berda-arah. Seumpama belati yang sengaja ditancapkan pada ulung hatinya.

“Aku salah apa, Mas?”

Kania yang malang. Bahkan deraian air matanya pun membuat lelakinya bukan lagi prihatin, melainkan semakin sinis nyaris jijik melihatnya.

“Aku nggak nyangka, selama ini bisa tidur dengan perempuan man-dul dan lebai seperti kamu, Kania.”

Kejam.

Sungguh kejam kalimat itu. Gavin sengaja menyabetkan luka itu agar Kania segera beranjak dari hidupnya. Dan memang perasaannya sudah begitu hambar. Hambar pada wanita yang halal ia sentuh, tapi begitu bergelora pada apa yang tak patut ia cicipi.

Bahkan ia merasa geli pernah menggauli perempuan yang terlalu sederhana ini.

Api asmara yang Aline kobarkan di atas peraduan haram itu telah berhasil meredupkan gai-rah lelaki ini pada istrinya.

“Apa ini? Kue ualng tahun? Ulang tahun apa? Pernikahan kita? Pernikahan yang nggak ada hasilnya sama sekali. Betapa naifnya kita berdua, Kania. Aku nggak pernah benar-benar menginginkan pernikahan ini. Dan kamu bohong kalau kamu nggak merasakan keterpaksaanku selama ini!”

Berapi-api Gavin mengeluarkan apa-apa yang membuatnya muak dengan pernikahannya dan Kania.

Segala macam hal tak masuk akal ia jadikan alasan.

Jujur saja, perasaan lelaki ini sedang bercelaru. Bayangan mendamba Aline padanya sungguh membuatnya tak bisa berpaling. Sementara ada rasa yang tak bisa ia ungkapkan ketika melihat wajah sendu di hadapannya ini.

“Kenapa jadi gini, Mas?”

Kania terisak-isak. Kesalahan apa yang telah ia perbuat hingga membuat suaminya semurka ini. Piring kue dan sendok masih setia ia genggam. Peralatan makan yang akan ia suguhkan pada lelaki yang menyakitinya sedemikian rupa.

“Kamu mandul, Kania. Aku butuh keturunan! Dan aku memang tak pernah ada rasa padamu!”

Lagi. Gavin tikam lagi perasaan istrinya demi membuat nyaman perasaan kekasih gelapnya.

Ini yang Aline mau. Melihatnya berpisah dari Kania. Maka cinta dan gelora yang luar biasa akan ia dapatkan. Dan Gavin akan wujudkan itu.

Kisahnya dan Aline memanglah belum usai. Hanya saja, ibunya tak merestui hubungannya itu bersama anak dari lelaki yang dulu sempat membuat usaha ayahnya nyaris bangkrut.

“Astagfirullah. Nyebut, Mas. Siapa yang bikin kamu kaya gini?”

Kania masih coba bertahan. Melawan badai yang semakin dekat menggulung nuraninya yang sendiri.

Tak cinta bagaimana. Lalu kemanisan di awal-awal pernikahan mereka itu apa.

“Kita bulan madu ke Malang ya.”

“Terserah, Mas Gavin aja. Aku ikut aja,” jawabnya malu-malu setelah ijab qabul terlaksana.

Kania yang hidup sendiri setelah kematian kedua orang tuanya, tentulah bersyukur dijodohkan dengan anak pak Subroto dan bu Helena. Pemilik usaha air kemasan isi ulang tempat Kania dulu bekerja.

Dan ya, hari itu sungguh Kania merasa dicintai.

Se-ks yang Gavin tuntut padanya tiap saat dikiranya itu adalah cinta.

Hingga tahun kedua kemesraan itu tetap Gavin bangun. Bahkan berharap momongan segera hadir menyemarakkan istana kecil mereka.

“Nggak ada yang bikin aku, Kania. Tapi perasaanku memang sudah hilang padamu. Aku harap kita secepatnya berpisah. Aku nggak mau buang-buang waktu melihat wajahmu yang tak terawat itu di rumah ini!”

“Ya Allah, Mas.”

Kania luruh dalam perih pedihnya. Setega ini lelaki yang telah ia layani sedemikian rupa.

“Sudah! Jangan nangis lagi. Cengeng!”

BRAK!

“Makan sendiri kue murahan ini!”

Gavin berlalu penuh murka setelah membanting kue ulang tahun itu ke atas lantai. Bahkan sebagian manisan gula itu terciprat ke wajah basah Kania.

Dan Gavin?

Tak perduli sama sekali!

Ia meninggalkan Kania yang bersimpuh menangisi takdir hidupnya yang berubah secepat ini.

***

MENGUKIR KARMA DENGAN SENGAJA - Ebook written by Marlinda Am. Read this book using Google Play Books app on your PC, android, iOS devices. Download for offline reading, highlight, bookmark or take notes while you read MENGUKIR KARMA DENGAN SENGAJA.

Address

Depok Dua Timur

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Rumah Novel posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share