
29/07/2025
Warisan Kebaikan Setelah Wafatnya Ulama:
Sepeninggal Nabi Idris alaihissalam, umatnya masih hidup dalam cahaya petunjuk yang ia tinggalkan. Lima murid terbaiknya —Wad, Siwa, Yauq, Yaghuts dan Nasr— dikenal sebagai orang-orang shalih yang menjaga agama, menasihati masyarakat, dan menjadi rujukan setelah wafatnya sang Nabi.
Namun ketika kelima orang shalih ini wafat, masyarakat mulai merasa kehilangan. Dengan niat mengenang dan menghormati mereka, kaum tersebut membuat patung-patung yang menyerupai wajah dan postur para murid.
Awalnya, patung-patung ini hanya simbol penghormatan—ditempatkan di tempat-tempat umum agar generasi berikutnya terus mengingat keteladanan mereka.
Pergeseran Makna dan Perayaan yang Menyesatkan
Waktu berlalu, dan generasi baru tumbuh tanpa mengalami langsung dakwah Nabi Idris maupun nasihat kelima muridnya. Lambat laun, patung-patung itu tidak lagi sekadar dikenang—tetapi mulai diziarahi, dihiasi, dan dirayakan pada hari-hari tertentu. Tradisi mulai dibentuk: masyarakat membawa makanan, menyalakan api, bahkan menyanyikan syair pujian di depan patung. Mereka menyebutnya sebagai bentuk cinta terhadap para orang shalih.
Tapi di balik ritual itu, makna asli mulai pudar. Yang dulu penghormatan, kini berubah jadi perayaan tanpa batas. Dan sedikit demi sedikit, ruh tauhid mulai terkikis.
Penyembahan yang Terlupa Asalnya
Generasi berikutnya lahir tanpa mengetahui asal muasal patung-patung itu. Mereka tidak tahu bahwa itu dahulu adalah peringatan terhadap manusia-manusia bertakwa. Yang mereka tahu, dari kecil mereka melihat orang-orang sujud, berdoa, dan berharap dari batu-batu itu. Maka dimulailah penyembahan secara resmi.
Patung menjadi berhala. Tauhid dilupakan. Inilah awal mula kesyirikan setelah era kenabian Idris. Sebuah pelajaran abadi tentang bagaimana dosa tidak langsung muncul dalam bentuk paling buruk, melainkan berkembang dari toleransi atas dosa, lalu perayaan, dan akhirnya menjadi normalisasi yang tak lagi disadari.