22/06/2025
Surat yang Tak Pernah Kukirim untuk Arif
Arif,
Aku nggak tahu surat ini akan sampai ke mana. Mungkin cuma akan berakhir jadi bisikan lirih di malam-malam sepi, atau jadi suara yang kuselipkan di antara bait doa yang samar. Tapi ada hal-hal yang rasanya lebih lega kalau ditulis, walau tak pernah sampai.
Aku masih ingat caramu memanggil namaku waktu itu. Pelan, seperti takut suara itu akan mengusik semesta.
Kita pernah tertawa di sudut kafe kampus, berbagi cerita soal mimpi yang katanya akan kita capai bersama. Kamu bilang aku rumahmu. Tempat kamu pulang setelah lelah mengejar dunia. Dan bodohnya, aku percaya.
Lalu kamu pergi. Begitu saja. Tanpa pesan, tanpa salam, tanpa alasan. Ningxia terlalu luas untuk seorang Aisha yang mencari pemuda yang bahkan tak ingin ditemukan. Aku menyusuri tiap lorong kampus, setiap sudut kota, menanyakan tentangmu pada angin malam yang dinginnya menusuk tulang. Tapi tak ada yang tahu. Dan mungkin, memang hanya aku yang masih berharap kamu akan kembali.
Yang paling menyakitkan dari kehilangan bukan saat seseorang pergi, tapi saat dia tetap tinggal di ingatan.
Aku nggak bisa bohong, Arif. Ada detik-detik di mana aku masih merapal namamu dalam hati. Ada momen-momen kecil di hari-hariku yang tanpa sengaja mengingatkanku padamu.
Aku benci itu. Aku benci diriku yang masih menunggu kabarmu saat tahu kamu tak lagi memikirkanku.
Mo datang. Dia ada di sana, di tempat di mana kamu seharusnya berdiri. Dia menghapus air mataku tanpa banyak tanya. Dia menenangkan aku tanpa memaksa aku lupa. Tapi hati ini, Arif… masih s**a sesak saat tanpa sadar mencari sosokmu di keramaian. Masih s**a berharap kamu ada di kursi sebelah saat film diputar, atau menunggu di halte kampus seperti dulu.
Aku ingin marah. Ingin benci. Tapi nyatanya, aku cuma bisa diam. Karena ternyata, perasaan itu tak bisa dipaksa. Dan luka itu… tak bisa disembuhkan oleh waktu, tapi oleh keberanian untuk mengikhlaskan.
Jadi, Arif… kalau suatu hari kamu baca surat ini, kamu nggak perlu balik. Nggak perlu tanya kabar. Nggak perlu pura-pura peduli. Cukup tahu, pernah ada seorang Aisha yang sejatuh itu sama kamu, dan kini sedang belajar berdiri pelan-pelan.
Mungkin nanti, saat waktu cukup ramah, aku bisa mengenang kamu tanpa lagi merasa sakit. Dan kalau semesta berbaik hati mempertemukan kita lagi, aku harap aku sudah cukup kuat untuk menatap matamu tanpa ada air mata.
Terima kasih karena pernah jadi bagian cerita. Meski kamu pergi tanpa akhir yang layak.
— Aisha
Dapatkan kelanjutan kisah Aisha, Arif dan Mo hari ini. Saksikan Film Assalamualaikum Beijing 2: Lost in Ningxia sekarang.
https://youtu.be/ON1vvpCSd34?si=S__9yJwm0RQa627O
10 Bab Gratis Baca novelnya klik:
https://read.kbm.id/book/detail/b0cb1c89-ccd2-c1ff-200a-0b5edadce03f
Edisi buku pesan di shopee Asma Nadia Official atau IG