26/03/2025
Bismillah...
LAILATUL QODAR JATUH PADA
MALAM KE 27 RAMADHAN?
Dari LATHAIFUL MA'ARIF IBNU RAJAB AL HANBALI
Dan mereka berselisih pendapat mengenai malam yang paling diharapkan (sebagai Lailatul Qadar), sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Di antara yang menguatkan pendapat bahwa malam itu adalah malam ke-27 adalah dalil dari Ubay bin Ka‘b yang bersumpah atas hal itu dan berkata bahwa ia mengetahuinya melalui tanda yang diberitahukan oleh Rasulullah ﷺ kepada mereka. Tanda tersebut adalah bahwa matahari terbit pada pagi harinya tanpa sinar yang menyilaukan. Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim.
Muslim juga meriwayatkan dengan lafaz lain dari Ubay bin Ka‘b رضي الله عنه, bahwa ia berkata:
والله إني لأعلم أي ليلة هي هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع وعشرين
"Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui malam apakah itu. Itu adalah malam yang Rasulullah ﷺ perintahkan kepada kami untuk menghidupkannya, yaitu malam ke-27."
Dalam Musnad Imam Ahmad, dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما, disebutkan bahwa seorang lelaki berkata:
"Wahai Rasulullah, aku ini seorang lelaki tua yang sakit dan sulit bagiku untuk berdiri (beribadah). Maka perintahkanlah aku pada suatu malam yang dengannya Allah akan memberikan taufik kepadaku untuk mendapatkan Lailatul Qadar."
Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
"عليك بالسابعة"
"Berpeganglah pada malam ketujuh."
Sanad hadis ini memenuhi syarat Bukhari.
Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa Yazid bin Harun berkata: "Telah memberitakan kepada kami Syu‘bah dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar رضي الله عنهما, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
"من كان منكم متحريها فليتحرها ليلة سبع وعشرين"
"Barang siapa di antara kalian yang ingin mencari (Lailatul Qadar), maka hendaklah ia mencarinya pada malam ke-27."
Atau beliau bersabda:
"تحروها ليلة سبع وعشرين"
"Carilah ia pada malam ke-27."
Maksudnya adalah Lailatul Qadar. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Syabbabah, Wahb bin Jarir, Aswad bin ‘Amir dari Syu‘bah dengan lafaz yang sama. Dalam riwayat Aswad bin ‘Amir terdapat tambahan:
"في السبع البواقي"
"Pada tujuh malam yang tersisa."
Syu‘bah berkata: "Seorang terpercaya mengabarkan kepadaku dari Sufyan bahwa ia hanya mengatakan: 'Pada tujuh malam yang tersisa,' tanpa menyebut malam ke-27." Ahmad dalam riwayat dari putranya, Shalih, menyebutkan bahwa orang terpercaya itu adalah Yahya bin Sa‘id. Syu‘bah berkata: "Aku tidak tahu mana di antara mereka yang mengatakannya."
'Amr meriwayatkan dari Syu‘bah dan dalam hadisnya disebutkan:
"ليلة سبع وعشرين" أو قال: "في السبع الأواخر"
"Malam ke-27" atau ia berkata: "Pada tujuh malam terakhir," dengan adanya keraguan dalam lafaznya. Maka kesimp**annya adalah bahwa Syu‘bah ragu dalam ucapannya.
Hammad bin Zaid meriwayatkan dari Ayyub dari Nafi‘ dari Ibnu Umar رضي الله عنهما, ia berkata:
"Mereka selalu menyampaikan kepada Nabi ﷺ bahwa Lailatul Qadar adalah malam ketujuh dari sepuluh malam terakhir."
Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
"أرى رؤياكم أنها قد تواطأت إنها ليلة السابعة في العشر الأواخر فمن كان متحريها فليتحرها ليلة السابعة من العشر الأواخر"
"Aku melihat bahwa mimpi kalian telah sepakat bahwa ia adalah malam ketujuh dalam sepuluh malam terakhir. Maka barang siapa yang ingin mencarinya, hendaklah ia mencarinya pada malam ketujuh dari sepuluh malam terakhir."
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Hanbal bin Ishaq dari 'Arim dari Hammad, serta oleh Thahawi dari Ibrahim bin Marzuq dari 'Arim.
Bukhari dalam Shahih-nya juga meriwayatkan dari 'Arim, tetapi tidak menyebutkan lafaz "malam ketujuh," melainkan hanya:
"من كان متحريها فليتحرها في العشر الأواخر"
"Barang siapa ingin mencarinya, maka hendaklah ia mencarinya di sepuluh malam terakhir."
Abdurrazzaq dalam kitabnya juga meriwayatkan dari Ma‘mar dari Ayyub dari Nafi‘ dari Ibnu Umar رضي الله عنهما, bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata:
"Wahai Rasulullah, aku melihat dalam mimpiku bahwa Lailatul Qadar adalah malam ketujuh."
Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
"إني أرى رؤياكم قد تواطأت إنها ليلة سابعة فمن كان متحريها منكم فليتحرها في ليلة سابعة"
"Sesungguhnya aku melihat bahwa mimpi kalian telah sepakat bahwa ia adalah malam ketujuh. Maka barang siapa yang ingin mencarinya di antara kalian, hendaklah ia mencarinya pada malam ketujuh."
Ma‘mar berkata: “Ayyub biasa mandi pada malam ke-23.” Hal ini menunjukkan bahwa ia memahami bahwa malam yang dimaksud adalah malam ketujuh yang tersisa (dari akhir Ramadan).
Ats-Tsa‘labī dalam tafsirnya meriwayatkan melalui jalur al-Hasan bin Abdul A‘lā dari Abdurrazzaq dengan sanad ini dan menyebutkan dalam hadisnya:
"ليلة سابعة تبقى"
"Malam ketujuh yang tersisa."
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:
"إني أرى رؤياكم قد تواطأت على ثلاث وعشرين فمن كان منكم يريد أن يقوم من الشهر شيئا فليقم ليلة ثلاث وعشرين"
"Aku melihat bahwa mimpi kalian telah sepakat pada malam ke-23. Maka barang siapa di antara kalian ingin menghidupkan sebagian malam bulan ini, hendaklah ia menghidupkan malam ke-23."
Namun, lafaz-lafaz ini tidaklah terjaga dalam hadis, dan Allah lebih mengetahui kebenarannya.
Hadis dalam Sunan Abu Dawud
Dalam Sunan Abu Dawud, dengan sanad yang semua perawinya adalah perawi kitab Shahih, diriwayatkan dari Mu‘awiyah bahwa Nabi ﷺ menyebutkan bahwa Lailatul Qadar adalah malam ke-27. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dan disahihkan oleh Ibnu Abdil Barr.
Namun, hadis ini memiliki ‘illah (kelemahan), yaitu bahwa hadis ini mauquf pada Mu‘awiyah (tidak sampai kepada Nabi ﷺ). Ini adalah pendapat yang lebih sahih menurut Imam Ahmad dan ad-Daraquthni. Selain itu, terdapat perbedaan lafaz dalam periwayatan hadis ini.
Hadis dalam Musnad Ahmad
Dalam Musnad Ahmad, dari Ibnu Mas‘ud رضي الله عنه, disebutkan bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ dan bertanya:
"Kapan malam Lailatul Qadar?"
Rasulullah ﷺ menjawab:
"من يذكر منكم ليلة الصهباوات"
"Siapa di antara kalian yang mengingat malam ash-Shahbāwāt?"
Lalu Abdullah bin Mas‘ud رضي الله عنه berkata:
"Aku, wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, aku mengingatnya. Saat itu aku sedang makan beberapa butir kurma untuk sahur dengan bersembunyi di balik bagian belakang pelana, pada waktu fajar terbit, dan saat itu bulan tampak bersinar."
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ya‘qub bin Syaibah dalam Musnad-nya dengan tambahan:
"Itulah malam ke-27."
Dan ia berkata:
"Sanadnya salih (baik)."
Makna "Ash-Shahbāwāt"
Ash-Shahbāwāt adalah suatu tempat di dekat Khaibar.
Dalam Musnad Ahmad juga terdapat riwayat lain dari Ibnu Mas‘ud رضي الله عنه bahwa Nabi ﷺ bersabda:
"إن ليلة القدر في النصف من السبع الأواخر من رمضان"
"Lailatul Qadar berada di pertengahan dari tujuh malam terakhir bulan Ramadan."
Jika dihitung, awal tujuh malam terakhir jatuh pada malam ke-24, maka malam ke-27 adalah pertengahannya, karena sebelumnya ada tiga malam dan sesudahnya juga ada tiga malam.
Dalil yang Menguatkan Malam ke-27
Beberapa dalil yang menguatkan bahwa Lailatul Qadar adalah malam ke-27:
1. Hadis yang menyebutkan bahwa malam itu termasuk dalam tujuh malam terakhir, di mana Rasulullah ﷺ dengan kesepakatan para sahabat menyuruh mencarinya pada malam-malam tersebut. Sedangkan masuknya malam ke-23 dalam tujuh malam terakhir masih diperselisihkan, tetapi tidak ada perbedaan bahwa malam ke-27 lebih ditekankan daripada malam ke-25.
2. Hadis Abu Dzar رضي الله عنه, yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ mengimami para sahabat dalam shalat malam pada malam-malam ganjil dari tujuh malam terakhir:
Pada malam ke-23, beliau shalat hingga sepertiga malam.
Pada malam ke-25, beliau shalat hingga pertengahan malam.
Pada malam ke-27, beliau shalat hingga akhir malam, sampai para sahabat khawatir akan kehilangan waktu sahur.
Pada malam itu, Rasulullah ﷺ mengumpulkan keluarganya dan para sahabat. Ini menunjukkan bahwa malam ke-27 lebih ditekankan dibandingkan malam-malam lainnya.
3. Pendapat Ibnu Abbas di hadapan Umar dan para sahabat
Ibnu Abbas رضي الله عنهما pernah memberikan argumen di hadapan Umar رضي الله عنه dan para sahabat, yang disetujui oleh Umar.
Dalam Musannaf Abdurrazzaq, dari Ma‘mar, dari Qatadah dan ‘Ashim, bahwa mereka mendengar ‘Ikrimah berkata:
"Ibnu Abbas رضي الله عنهما berkata: ‘Umar bin Khattab رضي الله عنه pernah mengumpulkan para sahabat Nabi ﷺ dan bertanya kepada mereka tentang Lailatul Qadar. Maka mereka sepakat bahwa ia berada dalam sepuluh malam terakhir.’"
Ibnu Abbas رضي الله عنهما lalu berkata kepada Umar رضي الله عنه:
"Aku mengetahui, atau aku menduga malam apakah itu."
Umar رضي الله عنه bertanya:
"Malam apakah itu?"
Ibnu Abbas رضي الله عنه menjawab:
"Malam ketujuh yang telah berlalu atau malam ketujuh yang tersisa dari sepuluh malam terakhir."
Umar رضي الله عنه bertanya lagi:
"Dari mana engkau mengetahuinya?"
Ibnu Abbas رضي الله عنه menjelaskan dengan logika angka dalam Islam:
Allah menciptakan tujuh langit dan tujuh bumi.
Allah menciptakan tujuh hari dalam seminggu.
Waktu berputar dalam siklus tujuh.
Allah menciptakan manusia dalam tujuh tahap.
Manusia makan dari tujuh (yakni biji-bijian yang berasal dari tanah).
Manusia sujud di atas tujuh anggota tubuh.
Tawaf di Ka‘bah dilakukan sebanyak tujuh putaran.
Melempar jumrah dilakukan sebanyak tujuh lemparan.
Maka Umar رضي الله عنه berkata kepada Ibnu Abbas رضي الله عنه:
"Sungguh, engkau telah memperhatikan sesuatu yang kami tidak menyadarinya."
Kesimp**annya, berbagai riwayat dan logika angka dalam Islam menunjukkan bahwa malam ke-27 memiliki banyak indikasi sebagai Lailatul Qadar. Namun, tetap dianjurkan untuk mencarinya pada sepuluh malam terakhir, khususnya malam-malam ganjil.
Qatādah menambahkan pada pendapat Ibnu ‘Abbās dalam ucapannya: "يأكل من سبع" (manusia makan dari tujuh). Ia berkata bahwa maksudnya adalah firman Allah:
{فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبّاً، وَعِنَباً وَقَضْباً، وَزَيْتُوناً وَنَخْلاً، وَحَدَائِقَ غُلْباً، وَفَاكِهَةً وَأَبّاً}
(“Maka Kami tumbuhkan di bumi itu biji-bijian, anggur, sayur-mayur, zaitun, kurma, kebun-kebun yang rindang, buah-buahan, dan rumput-rumputan.”) (QS. ‘Abasa: 27-31)
Namun, dalam riwayat ini terdapat perbedaan mengenai apakah malam Lailatul Qadar jatuh pada tujuh malam yang telah berlalu atau tujuh malam yang tersisa.
Riwayat dari Ibnu Syāhīn
Ibnu Syāhīn meriwayatkan dari ‘Abdul Wāḥid bin Ziyād, dari ‘Āṣim al-Aḥwal, dari Lāḥiq bin Ḥumayd dan ‘Ikrimah, bahwa mereka berkata:
‘Umar رضي الله عنه pernah bertanya, "Siapa yang mengetahui kapan Lailatul Qadar?"
Kemudian disebutkan hadis yang serupa, dengan tambahan bahwa Ibnu ‘Abbās رضي الله عنهما berkata:
"قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: 'هي في العشر، سبع تمضي أو سبع تبقى.'"
"Rasulullah ﷺ bersabda: 'Ia ada di sepuluh malam terakhir, tujuh malam yang telah berlalu atau tujuh malam yang tersisa.'"
Riwayat ini berbeda dalam sanadnya karena menjadikannya mursal (sanadnya terputus) dan mengangkat bagian akhirnya sebagai perkataan Rasulullah ﷺ.
Riwayat dari Ibnu ‘Abdil Barr
Ibnu ‘Abdil Barr meriwayatkan dengan sanad yang ṣaḥīḥ dari Sa‘īd bin Jubair bahwa:
"Beberapa orang Muhājirin merasa keberatan dengan kedekatan ‘Umar رضي الله عنه kepada Ibnu ‘Abbās رضي الله عنهما. Maka ‘Umar mengumpulkan mereka dan bertanya tentang Lailatul Qadar. Mereka menyebut banyak pendapat tentangnya. Sebagian mengatakan malam ke-21, sebagian mengatakan malam ke-23, dan sebagian mengatakan malam ke-27."
Lalu ‘Umar رضي الله عنه berkata:
"Wahai Ibnu ‘Abbās, berbicaralah!"
Ibnu ‘Abbās رضي الله عنهما menjawab:
"Allāhu a‘lam" (Allah lebih mengetahui).
‘Umar رضي الله عنه berkata:
"Kami tahu bahwa Allah lebih mengetahui, tetapi kami bertanya tentang ilmumu."
Ibnu ‘Abbās رضي الله عنهما menjawab dengan metode istinbāṭ (penggalian hukum):
Allah itu ganjil dan mencintai yang ganjil.
Allah menciptakan tujuh langit dan tujuh bumi.
Jumlah hari dalam seminggu adalah tujuh.
Melempar jumrah dilakukan sebanyak tujuh kali.
Manusia diciptakan dari tujuh unsur.
Rezeki manusia berasal dari tujuh jenis makanan.
Maka ‘Umar رضي الله عنه berkata:
"Manusia diciptakan dari tujuh dan rezekinya berasal dari tujuh? Ini adalah hal yang belum aku pahami!"
Ibnu ‘Abbās رضي الله عنه lalu membacakan firman Allah:
{وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ} (“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (berasal) dari tanah.”) (QS. Al-Mu’minūn: 12)
Kemudian ia juga membacakan:
{أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبّاً، ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقّاً، فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبّاً، وَعِنَباً وَقَضْباً، وَزَيْتُوناً وَنَخْلاً، وَحَدَائِقَ غُلْباً، وَفَاكِهَةً وَأَبّاً، مَتَاعاً لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ}
(“Sungguh, Kami telah mencurahkan air dengan curahan yang deras, kemudian Kami belah bumi dengan belahan-belahan, lalu Kami tumbuhkan di dalamnya biji-bijian, anggur, sayur-mayur, zaitun, kurma, kebun-kebun yang rindang, buah-buahan, dan rumput-rumputan, sebagai kesenangan untuk kalian dan hewan ternak kalian.”) (QS. An-Nāzi‘āt: 25-33)
Kemudian Ibnu ‘Abbās رضي الله عنهما berkata:
"Dan ‘abb (rumput-rumputan) itu adalah makanan ternak."
Pendapat Sa‘īd bin Jubair
Dalam Ṭabaqāt Ibnu Sa‘d, diriwayatkan dari Isḥāq al-Azraq, dari ‘Abdul Malik bin Abī Sulaimān, dari Sa‘īd bin Jubair, dengan isi yang serupa. Ia menambahkan di akhirnya bahwa:
"Lailatul Qadar tidak lain adalah malam ke-23, yang telah berlalu atau yang tersisa."
Kemungkinan besar, Sa‘īd bin Jubair mendengar hal ini langsung dari Ibnu ‘Abbās, sehingga sanadnya muttaṣil (bersambung).
Riwayat dari ‘Āṣim bin Kulayb
Diriwayatkan dari ‘Āṣim bin Kulayb, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Abbās رضي الله عنهما, bahwa ‘Umar رضي الله عنه pernah mengumpulkan para sahabat tua dari kalangan Muhājirin dan bertanya kepada mereka:
"Rasulullah ﷺ telah bersabda bahwa Lailatul Qadar ada di sepuluh malam terakhir yang ganjil. Menurut kalian, malam ganjil yang mana?"
Sebagian menjawab:
"Kesembilan, ketujuh, kelima, atau ketiga dari akhir bulan."
Kemudian ‘Umar رضي الله عنه berkata:
"Wahai Ibnu ‘Abbās, berbicaralah!"
Ibnu ‘Abbās رضي الله عنه berkata:
"Aku hanya menyampaikan pendapatku."
‘Umar رضي الله عنه bertanya:
"Kami bertanya tentang ilmumu, bukan sekadar pendapat!"
Maka Ibnu ‘Abbās رضي الله عنه menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ banyak menyebut angka tujuh dalam berbagai hal.
Di akhir diskusi, ‘Umar رضي الله عنه berkata kepada para sahabat yang lebih tua:
"Apakah kalian tidak mampu berbicara seperti anak muda ini, yang rambutnya pun belum sepenuhnya tumbuh?"
Riwayat ini dikeluarkan oleh al-Ḥākim dan dinyatakan ṣaḥīḥ, serta oleh ats-Tsa‘labī dalam tafsirnya.
Pendapat Golongan yang Menguatkan Malam ke-27
Sebagian ulama belakangan mencoba menguatkan bahwa Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-27 dengan metode istinbāṭ dari Al-Qur’an. Mereka berargumen:
1. Dalam surah Al-Qadr, Lailatul Qadar disebutkan tiga kali.
2. Kata "لَيْلَةُ الْقَدْرِ" terdiri dari sembilan huruf.
3. Jika angka sembilan dikalikan dengan tiga (jumlah penyebutan dalam surah), maka hasilnya adalah 27.
Namun, metode ini tidak memiliki dasar hadis yang kuat dan hanya bersifat dugaan. Oleh karena itu, pendapat yang lebih hati-hati adalah mencari Lailatul Qadar pada seluruh sepuluh malam terakhir, terutama pada malam-malam ganjil.
Tanda-Tanda Lailatul Qadar pada Malam ke-27
Sebagian ulama berpendapat bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam ke-27 berdasarkan beberapa indikasi dan tanda-tanda, baik dari dalil syar'i maupun pengalaman yang dialami sebagian orang saleh.
1. Istinbāṭ dari Susunan Surat Al-Qadr
Sebagian ulama mencoba mengambil kesimp**an dari jumlah kata dalam Surah Al-Qadr:
Jumlah total kata dalam surah ini adalah 30 kata.
Kata "هي" dalam ayat "سلام هي حتى مطلع الفجر" adalah kata ke-27.
Oleh karena itu, mereka menyimpulkan bahwa malam ke-27 adalah Lailatul Qadar.
Pendapat ini disebut oleh Ibnu ‘Aṭiyyah, tetapi ia menegaskan:
> "Ini termasuk hal-hal yang menarik dalam tafsir, tetapi bukan bagian dari ilmu yang kokoh."
Dengan kata lain, ini hanyalah sekadar pendapat lemah yang tidak memiliki dalil yang kuat dari hadis atau ijmak ulama.
---
2. Tanda-Tanda Alamiah yang Terjadi pada Malam ke-27
Banyak ulama dan orang saleh mengamati tanda-tanda khusus yang terjadi pada malam ke-27, di antaranya:
1. Matahari terbit tanpa sinar yang menyilaukan
Hal ini disebutkan oleh Ubay bin Ka‘b, yang mengatakan bahwa ia mengetahui Lailatul Qadar berdasarkan matahari terbit keesokan harinya tanpa sinar yang kuat.
Ini diriwayatkan oleh ‘Abdah bin Abī Lubābah, yang mengatakan bahwa ia telah menguji tanda-tanda ini selama bertahun-tahun dan menemukan bahwa itu terjadi pada malam ke-27.
2. Air laut terasa tawar pada malam itu
Diriwayatkan bahwa ‘Abdah bin Abī Lubābah pernah mencicipi air laut pada malam ke-27, dan mendapati bahwa rasanya berubah menjadi tawar.
Kisah ini disebutkan oleh Imām Aḥmad dalam salah satu riwayatnya.
3. Malaikat terlihat di udara di sekitar Ka‘bah
Beberapa orang saleh dari kalangan salaf (generasi terdahulu) menyebutkan bahwa mereka pernah melihat malaikat di udara mengitari orang-orang yang sedang thawaf di Masjidil Haram pada malam ke-27.
4. Pohon-pohon kurma merunduk ke tanah
Diriwayatkan oleh Abū Mūsā al-Madīnī dari Abū Shaykh al-Aṣbahānī, bahwa ada seorang laki-laki di Irak yang selalu mengamati tanda-tanda Lailatul Qadar di malam-malam ganjil.
Seorang lelaki mendatanginya dan berkata: "Aku akan memberitahumu kapan Lailatul Qadar."
Pada malam ke-27, lelaki itu membawanya ke kebun kurma, dan ia melihat bahwa daun-daun kurma merunduk ke tanah.
Lelaki itu berkata: "Kami tidak pernah melihat kejadian seperti ini di malam lain, kecuali di malam ini."
5. Doa-doa yang mustajab
Dikisahkan bahwa ada seorang lelaki yang lumpuh berdoa kepada Allah pada malam ke-27, dan keesokan harinya ia bisa berjalan.
Begitu p**a seorang perempuan yang lumpuh mengalami hal serupa setelah berdoa pada malam itu.
Seorang lelaki di Basrah yang bisu selama 30 tahun berdoa pada malam ke-27, dan keesokan harinya Allah mengembalikan kemampuannya berbicara.
---
3. Kisah Pengalaman Langsung Orang-Orang Saleh
Beberapa kisah juga disebutkan oleh para ulama:
Al-Wazīr Abū al-Muẓaffar Ibn Hubayrah mengatakan bahwa ia pernah melihat Lailatul Qadar pada malam ke-27 yang bertepatan dengan malam Jumat.
Ia melihat pintu langit terbuka di atas Ka‘bah, yang menurutnya sejajar dengan makam Rasulullah ﷺ.
Pintu langit itu tetap terbuka sampai ia melihat fajar menyingsing, lalu tiba-tiba pintu itu tertutup kembali.
Menurutnya, jika Lailatul Qadar jatuh pada malam ganjil yang bertepatan dengan malam Jumat, maka itu lebih utama.
---
4. Hadis Lemah tentang Cahaya dan Suara dari Langit
Diriwayatkan oleh Salamah bin Shabīb dalam kitab Faḍā’il Ramaḍān:
Ibrāhīm bin al-Ḥakam meriwayatkan dari ayahnya, dari Farqad, bahwa beberapa sahabat pernah berada di masjid dan mendengar suara dari langit serta melihat cahaya dan pintu yang terbuka di langit pada bulan Ramadan.
Mereka melaporkan hal ini kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau bersabda:
> "Adapun cahaya itu adalah cahaya Rabb Yang Maha Mulia, sedangkan pintu itu adalah pintu langit, dan suara itu adalah suara para nabi. Setiap bulan Ramadan, kondisi ini selalu terjadi, tetapi malam ini adalah malam di mana tabirnya tersingkap."
Hadis ini mursal dan dha‘īf (lemah), sehingga tidak dapat dijadikan dalil kuat untuk menetapkan bahwa Lailatul Qadar selalu terjadi pada malam ke-27.
---
Kesimp**an
1. Tidak ada dalil qath‘ī (pasti) bahwa Lailatul Qadar selalu jatuh pada malam ke-27.
2. Hadis-hadis shahih hanya menunjukkan bahwa Lailatul Qadar terjadi di sepuluh malam terakhir, khususnya malam-malam ganjil (21, 23, 25, 27, atau 29).
3. Sebagian ulama menduga malam ke-27 lebih utama berdasarkan tanda-tanda alam dan pengalaman orang saleh, tetapi ini bukan kepastian.
4. Cara terbaik adalah menghidupkan seluruh sepuluh malam terakhir dengan ibadah, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah ﷺ.
Bagaimana Menghidupkan Malam Lailatul Qadar
Telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
> "Barang siapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan iman dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Amalan-Amalan yang Dianjurkan di Malam Lailatul Qadar
1. Menghidupkan malam dengan shalat dan tahajud
Amalan terbaik di malam ini adalah shalat malam (qiyamullail) dan membaca Al-Qur’an.
Nabi ﷺ jika membaca ayat tentang rahmat, beliau memohon rahmat kepada Allah; jika membaca ayat tentang azab, beliau memohon perlindungan kepada Allah.
Ini menunjukkan bahwa cara terbaik menghidupkan malam Lailatul Qadar adalah dengan menggabungkan shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa, dan merenung.
2. Memperbanyak doa
Diriwayatkan bahwa Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha pernah bertanya:
"Ya Rasulullah, jika aku mengetahui malam mana yang merupakan Lailatul Qadar, apa yang harus aku ucapkan?"
Maka beliau bersabda:
> "Ucapkanlah: اللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عني (Ya Allah, Engkau Maha Pengampun dan mencintai ampunan, maka ampunilah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Sufyan Ats-Tsauri berkata:
"Berdoa di malam itu lebih aku sukai daripada shalat."
Maksudnya, memperbanyak doa lebih utama daripada shalat yang tidak disertai banyak doa. Namun, yang paling baik adalah menggabungkan bacaan Al-Qur’an dengan doa.
3. Beribadah di siang harinya sebagaimana di malamnya
Imam Syafi’i dalam pendapatnya yang lama berkata:
"Disunnahkan untuk bersungguh-sungguh beribadah di siang harinya sebagaimana di malamnya."
Asy-Sya’bi berkata:
"Siangnya seperti malamnya," artinya ibadah dan kesungguhan dianjurkan sepanjang waktu di malam itu.
---
Kerinduan Para Pecinta terhadap Malam-Malam Terakhir
Para pecinta Allah melihat malam-malam sepuluh hari terakhir bukan sebagai malam biasa, tetapi sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, mereka menghitung hari-hari dengan penuh kerinduan demi menanti malam-malam tersebut.
Sebagaimana diungkapkan dalam bait syair:
قد مزق الحب قميص الصبر ... وقد غدوت حائرا في أمري
Cinta telah mengoyak baju kesabaran … dan aku kini kebingungan dalam urusanku.
آه على تلك الليالي الغر ... ما كن إلا كليالي القدر
Oh, betapa rindunya aku pada malam-malam indah itu … yang tiada lain seperti malam-malam Lailatul Qadar.
إن عدن لي من بعد هذا الهجر ... وفيت لله بكل نذر
Jika malam-malam itu kembali padaku setelah perpisahan ini … niscaya aku akan menunaikan segala nazarku kepada Allah.
وقام بالحمد خطيب شكري
Dan seorang khatib pun berdiri untuk menyampaikan pujian dan syukurku.
---
Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar
Banyak ulama yang berpendapat bahwa malam Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-27, dengan berbagai dalil dan pengalaman yang telah mereka rasakan.
1. Matahari terbit tanpa sinar yang menyilaukan
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata:
> "Tanda yang diberikan oleh Rasulullah ﷺ adalah matahari terbit di pagi harinya tanpa sinar yang menyilaukan." (HR. Muslim).
2. Air laut terasa tawar
Diriwayatkan bahwa ‘Abdah bin Abi Lubabah pernah mencicipi air laut di malam ke-27 dan mendapati bahwa airnya terasa tawar.
3. Para malaikat terlihat di langit
Sebagian ulama salaf yang sedang thawaf di Ka’bah pada malam ke-27 melihat para malaikat melayang di udara di atas kepala para jamaah.
4. Peristiwa-peristiwa luar biasa terjadi
Diriwayatkan bahwa pada malam ke-27, ada seorang laki-laki yang lumpuh berdoa kepada Allah, lalu tiba-tiba ia bisa berjalan kembali.
Seorang laki-laki di Basrah yang telah bisu selama 30 tahun berdoa di malam ke-27, lalu Allah membukakan lisannya sehingga ia bisa berbicara.
---
Kesimp**an
Malam Lailatul Qadar adalah malam yang penuh berkah, dan ibadah di dalamnya lebih baik daripada ibadah selama seribu bulan. Maka, sudah sepatutnya kita bersungguh-sungguh dalam beribadah, baik di malam maupun siang harinya.
Namun, semua tanda-tanda ini tidak menjamin kepastian malam Lailatul Qadar, sehingga yang terbaik adalah mencari dan menghidupkan seluruh malam-malam ganjil dalam sepuluh hari terakhir Ramadan.
Sebagaimana kata seorang ulama:
يا يعقوب الهجر قد هبت ريح يوسف الوصل
Wahai Ya’qub yang merasakan perpisahan, kini telah berhembus angin Yusuf yang membawa pertemuan kembali.
Aku dulu memiliki hati yang dengannya aku hidup...
Namun kini ia hilang dalam gelombang perubahannya.
Wahai Tuhanku, kembalikanlah ia kepadaku...
Karena kesabaranku telah habis dalam mencarinya.
Tolonglah aku selama nyawa masih ada...
Wahai Penolong bagi mereka yang meminta pertolongan kepada-Nya.
Jika para pendosa berdiri di waktu sahur dengan penuh kerendahan diri,
Lalu mereka mengangkat surat pengampunan yang isinya:
> "Wahai Aziz, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesulitan, dan kami datang dengan barang dagangan yang sedikit, maka sempurnakanlah takaran bagi kami dan bersedekahlah kepada kami." (QS. Yusuf: 88)
Maka akan tampak di hadapan mereka tanda persetujuan atas permohonan itu:
> "Tidak ada celaan terhadap kalian pada hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian, dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang." (QS. Yusuf: 92)
Aku mengadu kepada Allah sebagaimana dahulu anak-anak Ya'qub mengadu kepada Yusuf...
Aku telah ditimpa kesusahan, dan Engkaulah yang mengetahui keadaanku dan melihat posisiku.
Hartaku yang sedikit membutuhkan kemurahan hati dari Dzat yang Maha Pemurah dan Setia.
Maka, si miskin ini datang berharap curahan kebaikan-Mu...
Kasihanilah kehinaannya dan limpahkanlah kasih sayang kepadanya.
Sempurnakanlah takaranku dan bersedekahlah kepadaku...
Sungguh aku hanyalah seorang miskin yang lemah dan tak berdaya.
---
Doa Malam Lailatul Qadar
Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya kepada Nabi ﷺ:
"Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku mengetahui malam mana yang merupakan Lailatul Qadar, apa yang harus aku ucapkan?"
Maka beliau bersabda:
> "Ucapkanlah: اللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عني (Ya Allah, Engkau Maha Pengampun dan mencintai ampunan, maka ampunilah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Makna Nama Allah "Al-'Afuw" (Maha Pemaaf)
"Al-'Afuw" adalah salah satu nama Allah yang menunjukkan sifat-Nya yang menghapus dosa hamba-hamba-Nya tanpa meninggalkan bekas.
Allah mencintai sifat pemaaf, maka Dia memaafkan hamba-hamba-Nya dan juga menyukai jika hamba-hamba-Nya saling memaafkan.
Jika seseorang memaafkan orang lain, Allah pun akan memperlakukannya dengan ampunan-Nya yang lebih besar.
Nabi ﷺ sering berdoa:
> "Aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu, dan aku berlindung dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu."
Kasih Sayang Allah Lebih Besar dari Hukuman-Nya
Seorang ulama besar, Yahya bin Mu'adz, berkata:
"Jika ampunan bukanlah sesuatu yang paling dicintai Allah, maka Dia tidak akan menguji hamba-Nya yang paling mulia dengan dosa."
Artinya, Allah menguji banyak wali dan kekasih-Nya dengan dosa-dosa kecil,
agar mereka merasakan nikmatnya ampunan-Nya, karena Allah mencintai sifat pemaaf-Nya.
Seorang ulama salaf berkata:
"Jika aku mengetahui amalan yang paling dicintai Allah, niscaya aku akan mencurahkan seluruh tenagaku untuk melakukannya."
Lalu dalam mimpinya, seseorang berkata kepadanya:
"Engkau mencari sesuatu yang tidak akan terjadi. Allah mencintai untuk memaafkan dan mengampuni, maka seluruh hamba-Nya berada dalam ampunan-Nya. Tidak ada satu pun dari mereka yang bisa mengandalkan amalnya untuk selamat."
---
Empat Orang yang Tidak Mendapatkan Ampunan di Malam Lailatul Qadar
Dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Nabi ﷺ bersabda:
> **"Sesungguhnya Allah melihat kepada kaum mukminin dari umat Muhammad ﷺ di malam Lailatul Qadar, lalu mengampuni mereka dan merahmati mereka, kecuali empat orang:
1. Orang yang kecanduan khamr (minuman keras),
2. Orang yang durhaka kepada kedua orang tua,
3. Orang yang menyimpan kebencian dalam hatinya terhadap sesama Muslim,
4. Orang yang memutuskan tali silaturahmi."**
Hanya Ampunan Allah yang Menyelamatkan
Ketika orang-orang arif mengenal keagungan Allah, mereka tunduk dan merendahkan diri.
Ketika para pendosa mendengar tentang luasnya ampunan Allah, mereka berharap.
Tidak ada yang menyelamatkan kecuali ampunan Allah atau neraka.
Jika para pendosa tidak memiliki harapan dalam ampunan Allah, pasti hati mereka akan terbakar dalam keputusasaan.