30/11/2025
BAB 104
"Mama!" panggil Sabrina berjalan cepat menghampiri wanita yang tubuhnya terlihat lebih kurus. Sabrina meraih telapak tangan ibu Renata, mencium punggung tangan takzim, lalu dengan penuh kerinduan, ibu Renata memeluk tubuh menantunya.
"Sabrina, terima kasih, Nak... terima kasih udah datang ke sini lagi. Terima kasih ...."
Dalam pelukan, ibu Renata menangis. Darren dan ibu Anita yang menyaksikan terharu melihat kedekatan ibu Renata dengan Sabrina.
"Mama sakit apa? Kenapa Mama sampai 'diinfus begini, Maa?" Sabrina duduk bersimpuh di bawah kedua kaki ibu mertua. Ibu Anita mempersilakan Sabrina agar duduk di sofa tempatnya supaya lebih dekat ibu Renata.
"Terima kasih, Tante."
"Sama-sama, Sabrina. Darren, Renata, kalau begitu saya p**ang dulu. Udah malam juga,"
ucap ibu Anita yang tak mau mengganggu kebersamaan mereka. Ibu Anita tahu kalau ibu Renata sangat menginginkan kedatangan Darren dan istrinya.
"Mama mau aku anterin p**ang?"
Ibu Anita terkejut mendengar Darren yang masih menyebut dirinya Mama padahal bukan menantunya lagi.
"Enggak usah, Darren. Mama bawa mobil sendiri. Renata, cepat sembuh ya?"
"Iya. Terima kasih, Anita. Kamu hati-hati."
Ibu Anita menganggukkan kepala. Pamit p**ang ke rumahnya. Sekarang di rumah ibu Anita sudah terbiasa seorang diri. Rasa sepi yang sebelumnya ia rasakan, sudah menjadi suatu hal yang biasa.
"Sama-sama, Sabrina. Darren, Renata, kalau begitu saya p**ang dulu. Udah malam juga,"
ucap ibu Anita yang tak mau mengganggu kebersamaan mereka. Ibu Anita tahu kalau ibu Renata sangat menginginkan kedatangan Darren dan istrinya.
"Mama mau aku anterin p**ang?"
Ibu Anita terkejut mendengar Darren yang masih menyebut dirinya Mama padahal bukan menantunya lagi.
"Enggak usah, Darren. Mama bawa mobil sendiri. Renata, cepat sembuh ya?"
"Iya. Terima kasih, Anita. Kamu hati-hati."
Ibu Anita menganggukkan kepala. Pamit p**ang ke rumahnya. Sekarang di rumah ibu Anita sudah terbiasa seorang diri. Rasa sepi yang sebelumnya ia rasakan, sudah menjadi suatu hal yang biasa.
"Sama-sama, Sabrina. Darren, Renata, kalau begitu saya p**ang dulu. Udah malam juga,"
ucap ibu Anita yang tak mau mengganggu kebersamaan mereka. Ibu Anita tahu kalau ibu Renata sangat menginginkan kedatangan Darren dan istrinya.
"Mama mau aku anterin p**ang?"
Ibu Anita terkejut mendengar Darren yang masih menyebut dirinya Mama padahal bukan menantunya lagi.
"Enggak usah, Darren. Mama bawa mobil sendiri. Renata, cepat sembuh ya?"
"Iya. Terima kasih, Anita. Kamu hati-hati."
Ibu Anita menganggukkan kepala. Pamit p**ang ke rumahnya. Sekarang di rumah ibu Anita sudah terbiasa seorang diri. Rasa sepi yang sebelumnya ia rasakan, sudah menjadi suatu hal yang biasa.
"Sama-sama, Sabrina. Darren, Renata, kalau begitu saya p**ang dulu. Udah malam juga,"
ucap ibu Anita yang tak mau mengganggu kebersamaan mereka. Ibu Anita tahu kalau ibu Renata sangat menginginkan kedatangan Darren dan istrinya.
"Mama mau aku anterin p**ang?"
Ibu Anita terkejut mendengar Darren yang masih menyebut dirinya Mama padahal bukan menantunya lagi.
"Enggak usah, Darren. Mama bawa mobil sendiri. Renata, cepat sembuh ya?"
"Iya. Terima kasih, Anita. Kamu hati-hati."
Ibu Anita menganggukkan kepala. Pamit p**ang ke rumahnya. Sekarang di rumah ibu Anita sudah terbiasa seorang diri. Rasa sepi yang sebelumnya ia rasakan, sudah menjadi suatu hal yang biasa.
"Darren, terima kasih udah mau datang ke sini. Terima kasih, Nak," ujar ibu Renata menatap buah hatinya penuh cinta. Darren hanya menganggukkan kepala.
"Lho, ada kalian? Sejak kapan datang?" Pak Sugeng yang baru keluar dari ruang kerja datang menghampiri mereka. Ikut gabung bersama anak dan menantunya.
"Baru saja, Pa," jawab Sabrina tersenyum tipis.
Pak Sugeng duduk di sofa samping kiri istrinya, sedangkan Sabrina duduk di sebalah kanan.
"Tuh, Ma. Sekarang mereka udah datang. Kamu jangan nangis terus," kata pak Sugeng memecah keheningan yang terjadi beberapa saat.
"Iya, Pa. Terima kasih banyak."
"Iya. Darren, selagi kamu di sini, Papa mau kasih tau kamu tentang laporan proyek di Bali. Barusan Mr Whang kirim laporannya. Ikut Papa ke ruang kerja!" ajak pak Sugeng yang ingin membiarkan ibu Renata dan menantunya bicara empat mata. Darren yang masih agak canggung dengan ibu Renata bernapas lega. Seenggaknya dia tidak berbasa-basi dengan mamanya saat ini. Darren belum siap dan belum ada topik pembicaraan.
"Baik, Pa."
Darren dan pak Sugeng meninggalkan mereka, langsung menuju ruang kerja.
"Mama, udah makan?" tanya Sabrina menatap ibu Renata penuh kasih sayang.
"Belum. Nanti saja makannya, Mama belum lapar," kata ibu Renata tersenyum tipis.
"Udah malam, Ma... biar saya suapin," kata Sabrina sambil beranjak, tanpa ingin mendengar tanggapan ibu Renata. Wanita tua itu menarik napas panjang, bibirnya menyunggingkan senyum bahagia. Pada akhirnya Darren dan Sabrina datang menjenguk. Semoga saja pasangan suami istri itu mau tinggal di rumahnya lagi. Aamiin.
Enam bulan berlalu. Kandungan Sabrina sudah mendekati kelahiran. Ibu Renata sangat protektif pada menantunya itu. Dia benar-benar menjaga Sabrina bahkan untuk makan saja disuruh makan di dalam kamar. Makanan diantar ke kamar oleh Mbak Tuti.
***
Sejak malam itu, Darren dan Sabrina sudah memutuskan tinggal bersama ibu Renata dan pak Sugeng lagi. Ia ingin membuat kedua orang tuanya bahagia. Semenjak itu p**a, sikap ibu Renata berubah jauh lebih baik. Dia semakin perhatian pada Sabrina, semakin menujukkan kasih sayang pada menantunya.
"Sabrina, ini susu ibu hamil," ucap ibu Renata ketika Sabrina membuka pintu kamar. Ibu Renata sengaja membuatkan susu ibu hamil untuk menantunya.
"Mbak Tuti kemana, Ma?" tanya Sabrina setelah menyuruh ibu mertua masuk ke dalam kamar. Sudah dua malam Darren p**ang telat. Dia sering lembur karena memasuki akhir bulan dan akhir tahun. Darren tidak masalah. Yang penting, tidak ditugaskan keluar kota.
"Mbak Tuti ada di kamarnya. Mama emang sengaja yang bikinin susu buatmu."
"Ya Allah, Ma ... saya jadi repotin," kata Sabrina tak enak hati. Mereka duduk di sofa depan televisi.
"Enggak. Mama enggak ngerasa kamu repotin."
"Terima kasih, Ma." Sabrina meneguk susu ibu hamil hingga tandas. Sambil menunggu Darren p**ang, ibu Renata menemani Sabrina berbincang.
"Sabrina, kalau enggak salah besok jadwal chek up kandunganmu, ya?" Ibu Renata tiap bulan selalu mengantar Sabrina ke dokter kandungan. Mengingat Darren tidak bisa mengantar. Itu bukan karena Darren tidak mau mengantar istrinya chek up kandungan ke rumah sakit tapi karena ibu Renata yang melarang.
"Iya, Ma. Besok jadwalnya jam sembilan pagi."
"Ya udah, besok Mama yang anterin kamu lagi. Darren lagi sibuk di kantor. Buktinya sekarang belum juga p**ang," kata ibu Renata mengingat pekerjaan Darren yang semakin menumpuk.
"Iya, Ma."
"Bulan kemarin, prediksi lahiran kamu tanggal berapa, Sabrina?"
"Prediksi akhir tahun. Ya semoga saja bisa lebih cepat ya, Ma?" harap Sabrina yang tak sabar ingin melihat buah hatinya lahir ke muka bumi. Menurut hasil USG, bayi yang dikandung Sabrina kembar.
"Aamiin. Tapi enggak apa-apa akhir tahun juga. Yang penting kamu dan dua calon cucu Mama lahir dengan selamat dan sehat."
"Iya, Ma."
Hampir satu jam, keduanya berbincang. Banyak sekali pembahasan yang mereka obrolkan. Dari mulai perlengkapan bayi, acara syukuran nanti, aqiqah dan lain-lain. Sabrina tak banyak protes, dia hanya mengikuti semua rencana yang telah disusun ibu Renata.
Ditempat lain, di sebuah gubuk kecil pinggiran kota seorang wanita berwajah kusam, pakain kumal sedang menyantap sebungkus nasi untuk mengganjal perutnya. Wanita itu sekarang sudah tidak cantik lagi. Badannya tercium bau busuk yang berasal dari salah satu alat vitalnya. Namun, kondisinya yang demikian tidak membuat wanita yang tengah lahap menghabiskan nasi bungkus sisa semalam itu tak merasa malu. Kubungan lalat sudah menjadi teman akrab. Di tengah menyantap nasi bungkus, tiba-tiba saja perutnya sakit. Mungkin karena memakan nasi yang sudah basi. Dengan kasar, wanita yang sekarang bernama Wati itu membuang nasi, mengambil kantong plastik hitam, lalu membuang kotorannya di pinggiran sungai yang dipenuhi sampah.
Perut Wati sudah mulai merasa lebih baik. Hanya satu bagian tubuhnya yang mulai membusuk. Namun, ia tak peduli. Sudah terhitung empat bulan Wati tinggal di tempat kumuh.
Sebelumnya ia pernah tinggal di Jogyakarta, di Bali bahkan sempat di kota Batam. Tujuannya berpindah tempat untuk menghindari kejaran polisi hingga akhrirnya ia memutuskan kembali ke Jakarta. Uang yang dimiliki sudah sangat menipis. Maksud hati ingin menemui ibu Anita, wanita itu rupanya sudah tidak tinggal di rumah masa kecilnya. Rumahnya sekarang kosong. Wati tak tahu lagi hendak kemana?
Sekali-kali Wati atau Angelica berdiri di dekat rumah keluarga Wirawan. Rasa rindu ingin tinggal di rumah keluarga Wirawan semakin kuat. Dia pun sering melihat ibu Renata dan Sabrina berbincang di kursi teras depan rumah. Jika mengingat kondisinya sekarang, Angelica alias Wati sangat membenci Sabrina. Seperti pagi ini, Angelica sudah merencakan sebuah rencana jahat pada keluarga Wirawan terutama pada Sabrina dan ibu Renata. Ia berpikir, dua wanita itulah yang telah membuat kehidupannya hancur berantakan sampai ia menjadi gelandangan di kotanya sendiri.
Terhitung sudah satu Minggu, Angelica mengasah pisau yang dulu ia gunakan untuk menusuk perut Andre. Sekarang pisau itu akan digunakannya lagi untuk membunuh Sabrina dan calon anak kembarnya.
"Sabrina, sudah cukup kebahagiaan yang kamu rasakan selama menjadi bagian keluarga Wirawan. Mulai hari ini, kamu harus m4mpus bersama kedua anakmu, hahhahaha...." gumam Wati alias Angelica sembari memerhatikan kilatan pisau di depan matanya. Setelah puas menatap pisau, ia masukkan benda tajam itu ke dalam tas usang. Angelica berencana akan masuk ke dalam halaman rumah itu lewat jalan samping. Menaiki pintu gerbang belakang rumah yang jarang sekali dijaga oleh security. Kalau lewat pintu gerbang depan rumah, rasanya mustahil. Sebab penjagaan di gerbang depan begitu ketat. Lalu, apakah rencana Angelica untuk menghabisi nyawa Sabrina dan calon anaknya berhasil?
BERSAMBUNG BAB 105