Catatan Kisahku

Catatan Kisahku Buat Yg Sudah Follow, Like, Dan Komen, Semoga Rezekinya Lancar & Sehat selalu.

BAB 104"Mama!" panggil Sabrina berjalan cepat menghampiri wanita yang tubuhnya terlihat lebih kurus. Sabrina meraih tela...
30/11/2025

BAB 104

"Mama!" panggil Sabrina berjalan cepat menghampiri wanita yang tubuhnya terlihat lebih kurus. Sabrina meraih telapak tangan ibu Renata, mencium punggung tangan takzim, lalu dengan penuh kerinduan, ibu Renata memeluk tubuh menantunya.

"Sabrina, terima kasih, Nak... terima kasih udah datang ke sini lagi. Terima kasih ...."

Dalam pelukan, ibu Renata menangis. Darren dan ibu Anita yang menyaksikan terharu melihat kedekatan ibu Renata dengan Sabrina.

"Mama sakit apa? Kenapa Mama sampai 'diinfus begini, Maa?" Sabrina duduk bersimpuh di bawah kedua kaki ibu mertua. Ibu Anita mempersilakan Sabrina agar duduk di sofa tempatnya supaya lebih dekat ibu Renata.

"Terima kasih, Tante."

"Sama-sama, Sabrina. Darren, Renata, kalau begitu saya p**ang dulu. Udah malam juga,"

ucap ibu Anita yang tak mau mengganggu kebersamaan mereka. Ibu Anita tahu kalau ibu Renata sangat menginginkan kedatangan Darren dan istrinya.

"Mama mau aku anterin p**ang?"

Ibu Anita terkejut mendengar Darren yang masih menyebut dirinya Mama padahal bukan menantunya lagi.

"Enggak usah, Darren. Mama bawa mobil sendiri. Renata, cepat sembuh ya?"

"Iya. Terima kasih, Anita. Kamu hati-hati."

Ibu Anita menganggukkan kepala. Pamit p**ang ke rumahnya. Sekarang di rumah ibu Anita sudah terbiasa seorang diri. Rasa sepi yang sebelumnya ia rasakan, sudah menjadi suatu hal yang biasa.

"Sama-sama, Sabrina. Darren, Renata, kalau begitu saya p**ang dulu. Udah malam juga,"

ucap ibu Anita yang tak mau mengganggu kebersamaan mereka. Ibu Anita tahu kalau ibu Renata sangat menginginkan kedatangan Darren dan istrinya.

"Mama mau aku anterin p**ang?"

Ibu Anita terkejut mendengar Darren yang masih menyebut dirinya Mama padahal bukan menantunya lagi.

"Enggak usah, Darren. Mama bawa mobil sendiri. Renata, cepat sembuh ya?"

"Iya. Terima kasih, Anita. Kamu hati-hati."

Ibu Anita menganggukkan kepala. Pamit p**ang ke rumahnya. Sekarang di rumah ibu Anita sudah terbiasa seorang diri. Rasa sepi yang sebelumnya ia rasakan, sudah menjadi suatu hal yang biasa.

"Sama-sama, Sabrina. Darren, Renata, kalau begitu saya p**ang dulu. Udah malam juga,"

ucap ibu Anita yang tak mau mengganggu kebersamaan mereka. Ibu Anita tahu kalau ibu Renata sangat menginginkan kedatangan Darren dan istrinya.

"Mama mau aku anterin p**ang?"

Ibu Anita terkejut mendengar Darren yang masih menyebut dirinya Mama padahal bukan menantunya lagi.

"Enggak usah, Darren. Mama bawa mobil sendiri. Renata, cepat sembuh ya?"

"Iya. Terima kasih, Anita. Kamu hati-hati."

Ibu Anita menganggukkan kepala. Pamit p**ang ke rumahnya. Sekarang di rumah ibu Anita sudah terbiasa seorang diri. Rasa sepi yang sebelumnya ia rasakan, sudah menjadi suatu hal yang biasa.

"Sama-sama, Sabrina. Darren, Renata, kalau begitu saya p**ang dulu. Udah malam juga,"

ucap ibu Anita yang tak mau mengganggu kebersamaan mereka. Ibu Anita tahu kalau ibu Renata sangat menginginkan kedatangan Darren dan istrinya.

"Mama mau aku anterin p**ang?"

Ibu Anita terkejut mendengar Darren yang masih menyebut dirinya Mama padahal bukan menantunya lagi.

"Enggak usah, Darren. Mama bawa mobil sendiri. Renata, cepat sembuh ya?"

"Iya. Terima kasih, Anita. Kamu hati-hati."

Ibu Anita menganggukkan kepala. Pamit p**ang ke rumahnya. Sekarang di rumah ibu Anita sudah terbiasa seorang diri. Rasa sepi yang sebelumnya ia rasakan, sudah menjadi suatu hal yang biasa.

"Darren, terima kasih udah mau datang ke sini. Terima kasih, Nak," ujar ibu Renata menatap buah hatinya penuh cinta. Darren hanya menganggukkan kepala.

"Lho, ada kalian? Sejak kapan datang?" Pak Sugeng yang baru keluar dari ruang kerja datang menghampiri mereka. Ikut gabung bersama anak dan menantunya.

"Baru saja, Pa," jawab Sabrina tersenyum tipis.

Pak Sugeng duduk di sofa samping kiri istrinya, sedangkan Sabrina duduk di sebalah kanan.

"Tuh, Ma. Sekarang mereka udah datang. Kamu jangan nangis terus," kata pak Sugeng memecah keheningan yang terjadi beberapa saat.

"Iya, Pa. Terima kasih banyak."

"Iya. Darren, selagi kamu di sini, Papa mau kasih tau kamu tentang laporan proyek di Bali. Barusan Mr Whang kirim laporannya. Ikut Papa ke ruang kerja!" ajak pak Sugeng yang ingin membiarkan ibu Renata dan menantunya bicara empat mata. Darren yang masih agak canggung dengan ibu Renata bernapas lega. Seenggaknya dia tidak berbasa-basi dengan mamanya saat ini. Darren belum siap dan belum ada topik pembicaraan.

"Baik, Pa."

Darren dan pak Sugeng meninggalkan mereka, langsung menuju ruang kerja.

"Mama, udah makan?" tanya Sabrina menatap ibu Renata penuh kasih sayang.

"Belum. Nanti saja makannya, Mama belum lapar," kata ibu Renata tersenyum tipis.

"Udah malam, Ma... biar saya suapin," kata Sabrina sambil beranjak, tanpa ingin mendengar tanggapan ibu Renata. Wanita tua itu menarik napas panjang, bibirnya menyunggingkan senyum bahagia. Pada akhirnya Darren dan Sabrina datang menjenguk. Semoga saja pasangan suami istri itu mau tinggal di rumahnya lagi. Aamiin.

Enam bulan berlalu. Kandungan Sabrina sudah mendekati kelahiran. Ibu Renata sangat protektif pada menantunya itu. Dia benar-benar menjaga Sabrina bahkan untuk makan saja disuruh makan di dalam kamar. Makanan diantar ke kamar oleh Mbak Tuti.

***

Sejak malam itu, Darren dan Sabrina sudah memutuskan tinggal bersama ibu Renata dan pak Sugeng lagi. Ia ingin membuat kedua orang tuanya bahagia. Semenjak itu p**a, sikap ibu Renata berubah jauh lebih baik. Dia semakin perhatian pada Sabrina, semakin menujukkan kasih sayang pada menantunya.

"Sabrina, ini susu ibu hamil," ucap ibu Renata ketika Sabrina membuka pintu kamar. Ibu Renata sengaja membuatkan susu ibu hamil untuk menantunya.

"Mbak Tuti kemana, Ma?" tanya Sabrina setelah menyuruh ibu mertua masuk ke dalam kamar. Sudah dua malam Darren p**ang telat. Dia sering lembur karena memasuki akhir bulan dan akhir tahun. Darren tidak masalah. Yang penting, tidak ditugaskan keluar kota.

"Mbak Tuti ada di kamarnya. Mama emang sengaja yang bikinin susu buatmu."

"Ya Allah, Ma ... saya jadi repotin," kata Sabrina tak enak hati. Mereka duduk di sofa depan televisi.

"Enggak. Mama enggak ngerasa kamu repotin."

"Terima kasih, Ma." Sabrina meneguk susu ibu hamil hingga tandas. Sambil menunggu Darren p**ang, ibu Renata menemani Sabrina berbincang.

"Sabrina, kalau enggak salah besok jadwal chek up kandunganmu, ya?" Ibu Renata tiap bulan selalu mengantar Sabrina ke dokter kandungan. Mengingat Darren tidak bisa mengantar. Itu bukan karena Darren tidak mau mengantar istrinya chek up kandungan ke rumah sakit tapi karena ibu Renata yang melarang.

"Iya, Ma. Besok jadwalnya jam sembilan pagi."

"Ya udah, besok Mama yang anterin kamu lagi. Darren lagi sibuk di kantor. Buktinya sekarang belum juga p**ang," kata ibu Renata mengingat pekerjaan Darren yang semakin menumpuk.

"Iya, Ma."

"Bulan kemarin, prediksi lahiran kamu tanggal berapa, Sabrina?"

"Prediksi akhir tahun. Ya semoga saja bisa lebih cepat ya, Ma?" harap Sabrina yang tak sabar ingin melihat buah hatinya lahir ke muka bumi. Menurut hasil USG, bayi yang dikandung Sabrina kembar.

"Aamiin. Tapi enggak apa-apa akhir tahun juga. Yang penting kamu dan dua calon cucu Mama lahir dengan selamat dan sehat."

"Iya, Ma."

Hampir satu jam, keduanya berbincang. Banyak sekali pembahasan yang mereka obrolkan. Dari mulai perlengkapan bayi, acara syukuran nanti, aqiqah dan lain-lain. Sabrina tak banyak protes, dia hanya mengikuti semua rencana yang telah disusun ibu Renata.

Ditempat lain, di sebuah gubuk kecil pinggiran kota seorang wanita berwajah kusam, pakain kumal sedang menyantap sebungkus nasi untuk mengganjal perutnya. Wanita itu sekarang sudah tidak cantik lagi. Badannya tercium bau busuk yang berasal dari salah satu alat vitalnya. Namun, kondisinya yang demikian tidak membuat wanita yang tengah lahap menghabiskan nasi bungkus sisa semalam itu tak merasa malu. Kubungan lalat sudah menjadi teman akrab. Di tengah menyantap nasi bungkus, tiba-tiba saja perutnya sakit. Mungkin karena memakan nasi yang sudah basi. Dengan kasar, wanita yang sekarang bernama Wati itu membuang nasi, mengambil kantong plastik hitam, lalu membuang kotorannya di pinggiran sungai yang dipenuhi sampah.

Perut Wati sudah mulai merasa lebih baik. Hanya satu bagian tubuhnya yang mulai membusuk. Namun, ia tak peduli. Sudah terhitung empat bulan Wati tinggal di tempat kumuh.

Sebelumnya ia pernah tinggal di Jogyakarta, di Bali bahkan sempat di kota Batam. Tujuannya berpindah tempat untuk menghindari kejaran polisi hingga akhrirnya ia memutuskan kembali ke Jakarta. Uang yang dimiliki sudah sangat menipis. Maksud hati ingin menemui ibu Anita, wanita itu rupanya sudah tidak tinggal di rumah masa kecilnya. Rumahnya sekarang kosong. Wati tak tahu lagi hendak kemana?

Sekali-kali Wati atau Angelica berdiri di dekat rumah keluarga Wirawan. Rasa rindu ingin tinggal di rumah keluarga Wirawan semakin kuat. Dia pun sering melihat ibu Renata dan Sabrina berbincang di kursi teras depan rumah. Jika mengingat kondisinya sekarang, Angelica alias Wati sangat membenci Sabrina. Seperti pagi ini, Angelica sudah merencakan sebuah rencana jahat pada keluarga Wirawan terutama pada Sabrina dan ibu Renata. Ia berpikir, dua wanita itulah yang telah membuat kehidupannya hancur berantakan sampai ia menjadi gelandangan di kotanya sendiri.

Terhitung sudah satu Minggu, Angelica mengasah pisau yang dulu ia gunakan untuk menusuk perut Andre. Sekarang pisau itu akan digunakannya lagi untuk membunuh Sabrina dan calon anak kembarnya.

"Sabrina, sudah cukup kebahagiaan yang kamu rasakan selama menjadi bagian keluarga Wirawan. Mulai hari ini, kamu harus m4mpus bersama kedua anakmu, hahhahaha...." gumam Wati alias Angelica sembari memerhatikan kilatan pisau di depan matanya. Setelah puas menatap pisau, ia masukkan benda tajam itu ke dalam tas usang. Angelica berencana akan masuk ke dalam halaman rumah itu lewat jalan samping. Menaiki pintu gerbang belakang rumah yang jarang sekali dijaga oleh security. Kalau lewat pintu gerbang depan rumah, rasanya mustahil. Sebab penjagaan di gerbang depan begitu ketat. Lalu, apakah rencana Angelica untuk menghabisi nyawa Sabrina dan calon anaknya berhasil?

BERSAMBUNG BAB 105

27/11/2025

Hidupku Hanya Untuk Ibu

, , , , , , , , ,

BAB 103Darren dan pak Sugeng tercenung mendengar ucapan Sabrina. Yang dikatakan kembaran Jessi itu ada benarnya. Jika hu...
27/11/2025

BAB 103

Darren dan pak Sugeng tercenung mendengar ucapan Sabrina. Yang dikatakan kembaran Jessi itu ada benarnya. Jika hubungan Darren dengan keluarganya renggang, Angelica pasti bahagia. Bisa saja tujuan Angelica memang demikian.

"Mas ...." panggil Sabrina lembut, menyentuh telapak tangan sang suami.

"Nanti aku pikirkan lagi," kata Darren meninggalkan Sabrina dan pak Sugeng yang duduk di ruang tamu. Darren masuk ke dalam kamar, merenungi ucapan istrinya.

"Sabrina, enggak apa-apa, Nak. Kamu jangan bersedih. Papa yakin, sebentar lagi Darren mau kembali lagi ke rumah," kata pak Sugeng melihat kesedihan di raut wajah Sabrina. Wanita itu menganggukkan kepala. Tersenyum tipis.

"Aamiin. Semoga saja, Pa. Saya juga kasihan pada mama."

"Ya sudah, Papa berangkat ke kantor sekarang."

Pak Sugeng beranjak, keluar dari apartemen menuju kantor.

Setelah kepergian pak Sugeng, Sabrina masuk kamar. Terlihat Darren sedang mengenakan dasi. Sabrina berdiri di hadapan Darren, membantu suaminya mengenakan dasi.

"Mas, mau pergi ke kantor sekarang?" tanya Sabrina, sekadar basa-basi.

"Enggak. Nunggu Jessi datang ke sini, aku baru berangkat," jawab Darren, mengenakan jas-nya.

"Mas, saya enggak enak kalau terus-terusan merepotkan Jessi."

"Jessi enggak merasa kamu repotin."

Maksud Sabrina berkata demikian supaya mereka kembali tinggal di rumah utama. Kalau tinggal di rumah itu, tidak akan meminta bantuan Jessi untuk menemaninya.

Suara bel apartemen terdengar. Darren sudah menduga jika yang datang adalah Jessi. Lelaki itu lantas mengambil tas kerja, memasukkan handphone ke dalam saku jas, keluar kamar yang diikuti Sabrina.

"Hai, Sabrina! Aku udah dataaang," sapa Jessi riang. Wanita yang akan menikah dengan Mr. Whang itu cipika-cipiki pada kembarannya.

"Assalamu'alaikum, Jessi," timpal Sabrina merengut.

"Waalaikumsalam, Sabrina. Sorry aku lupa ngucapin salam," kata Jessi sambil berjalan ke ruang meja makan. Duduk, dan mengolesi roti panggang dengan selai.

"Sayang, aku berangkat sekarang. Assalamu'alaikum," ucap Darren mengecup kening Sabrina. Wanita itu mencium punggung tangan sangat suami.

"Waalaikumsalam. Hati-hati, Mas."

Setelah kepergian Darren, Sabrina menghampiri kembarannya.

"Aku boleh sarapan di sini kan?" tanya Jessi menggigit roti panggangnya. Mbak Tuti yang berdiri tak jauh darinya mengulum senyum, menggelengkan kepala.

"Sudah dimakan baru izin. Jes, saya minta maaf udah sering repotin kamu. Gara-gara saya kamu jadi mondar-mandir ke sini," kata Sabrina duduk di kursi samping saudara kembarnya. Jessi menoleh, menggelengkan kepala.

"Aku enggak ngerasa direpotin. Justru aku senang kalau ada di sini. Ada temen ngobrol."Jessi mengelak anggapan Sabrina.

Wanita itu tampak santai mengunyah sarapannya.

"Non Jessi, ini susu cokelat hangatnya." Mbak Tuti menyodorkan segelas susu yang masih mengepul.

"Wah, makasih banyak, Mbak. Hm... Mbak Tuti udah pengertian nih!" seru Jessi menggeser segelas susu putih hangat ke hadapan.

"Sama-sama, Non. Ini susu buat Non Sabrina.

Susu ibu hamil." Segelas susu ibu hamil disodorkan mbak Tuti di depan Sabrina.

"Terima kasih, mbak."

"Sama-sama, Non."

Setelah itu, Mbak Tuti pergi meninggalkan Sabrina dan Jessi. Keduanya tampak khusyu menyantap sarapan. Tidak ada lagi yang bicara sampai sarapan mereka selesai.

Usai sarapan, Sabrina bercerita tentang kedatangan pak Sugeng ke apartemen tadi pagi.

Jessi tampak santai menanggapi.

"Saya jadi bingung, cara membuat mas Darren mau diajak pindah ke rumah itu lagi, Jes," keluh Sabrina menatap sendu kedepan.

"Darren bersikap kayak gitu karena terlalu sayang dan mencemaskanmu, Sabrina."

"Ya tapi saya kasihan sama mama."

*****

"Bagaimana keadaanmu, Renata?" tanya pak Sugeng saat p**ang dari kantor. Ibu Renata yang masih diinfus menoleh sendu.

"Sudah lebih baik. Mas, apa Darren mau pindah lagi ke sini?"

Mendengar pertanyaan ibu Renata, pak Sugeng menghela napas berat.

"Iya. Mungkin besok dia akan kembali lagi ke sini."

"Mungkin?" Ibu Renata meragukan.

"Ya. Udahlah, kamu jangan terlalu memikirkan hal itu. Kita berdoa saja. Di mana pun Darren dan Sabrina tinggal, semoga Tuhan melindunginya."

Setelah mengucapkan kata itu, pak Sugeng beranjak, membersihkan diri.

Sekitar pukul tujuh malam, ibu Anita datang menjenguk ibu Renata yang duduk di ruang keluarga. Ia tak mau di dalam kamar terus.

"Astaga Renata, kenapa kamu sakit-sakitan terus?" tanya ibu Anita duduk di samping sahabatnya.

"Kamu ada apa datang ke sini? Anakmu membuat masalah lagi?" terka ibu Renata dan mengabaikan pertanyaan wanita yang duduk di sampingnya.

Ibu Anita jadi bingung menjawab. Satu sisi dia tidak ingin bercerita, mengingat kondisi ibu Renata yang tak enak badan. Sisi lain, dia tak tahu lagi pada siapa akan bercerita? Ibu Anita butuh teman bicara.

"Kalau kamu ingin cerita, cerita saja. Aku akan mendengarkannya," sambung ibu Renata seolah tahu yang ada di dalam pikiran ibu Anita.

Ibu Anita berdehem, ia mengubah posisi duduk, lebih menghadap sahabatnya.

"Rupanya ada kamu di sini, ibu Anita," ucap pak Sugeng yang tiba-tiba datang ke ruang keluarga. Ibu Anita mendongak, tersenyum tipis.

"Maaf kalau kedatangan saya mengganggu."

"Enggak. Justru saya berterima kasih. Kalau kamu ada di sini, istri saya pasti mau bicara. Ya sudah, saya mau ke ruang kerja dulu."

"Iya."

Pak Sugeng meninggalkan dua wanita yang sudah lama bersahabat itu. Berharap kedatangan ibu Anita dapat menghibur kesedihan istrinya.

"Kamu lagi banyak pikiran?" telisik ibu Anita melihat raut wajah sahabatnya yang tak lagi berbincar seperti biasa.

"Enggak juga."

"Jangan begitulah, Renata. Kita udah bersahabat lama. Selama ini aku terus yang cerita sama kamu. Kamu jarang sekali," kata ibu Anita menatap iba pada wanita yang tengah dirundung kerinduan pada anak dan menantunya.

Sebulir air mata membasahi wajah. Sekarang dia merasakan apa yang dirasakan ibu Anita saat Angelica tinggal di rumah ini. Ibu Anita hanya tinggal seorang diri. Suami yang jarang p**ang dan anak yang tinggal di rumah suaminya.

"Aku kesepian, Anita."

Kening ibu Anita mengkerut mendengar keluhan wanita yang tengah diinfus itu.

"Kesepian kenapa? Apa Darren dan Sabrina belum kembali ke rumah ini?"

Ibu Renata menggelengkan kepala. Dia menyeka lelehan air mata yang membasahi wajah.

"Aku kangen mereka, Anita. Rasa bersalah dan penyesalan semakin kurasakan. Aku bingung, harus bagaimana lagi meminta mereka agar kembali ke rumah ini. Aku bingung, Anita ...." Tangisan ibu Renata pecah. Ibu Anita merangkul wanita yang dulu pernah jadi besannya itu penuh kasih sayang. Kasih sayang seorang sahabat.

"Sabar, Renata ... kadang seseorang itu perlu waktu untuk menenangkan hati dan pikirannya. Kamu jangan begini terus. Kamu sendiri yang menyuruhku agar tetap sehat dan semangat. Kenapa sekarang kamu kayak gini, Renata?"

Berkat ibu Renata, sekarang ibu Anita menjadi perempuan yang kuat, sehat dan semangat. Hati ibu Anita sangat bersedih melihat keadaan ibu Renata yang sekarang.

"Kamu benar. Mestinya aku tetap semangat dan sehat. Terima kasih, Anita." Dengan lembut, ibu Renata menyeka lelehan air matanya.

"Sekarang kamu mau cerita apa?" Ibu Renata berusaha tetap tegar. Ia tahu, sahabatnya itu sangat memerlukan seseorang yang mendengar ceritanya.

"Hm... anakku sekarang jadi buronan polisi."

"Apa?" Tentu saja ibu Renata terkejut. Namun, raut wajah ibu Anita tampak biasa-biasa saja.

"Atas kasus apa, Anita?"

"Dia membunuh pacarnya."

"Astaga! Mem... membunuh?" Tidak menyangka, kalau Angelica berani melakukan perbuatan jahat itu.

"Iya. Semuanya sudah terjadi. Aku juga sudah menyuruh Angelica pergi dari rumah. Aku enggak mau, rumahmu jadi tempat penangkapan dia. Oh ya, Renata. Aku mau tanya."

"Mau tanya apa?"

"Apa benar, kamu punya saudara satu ayah beda ibu yang namanya Regina?"

Kedua mata ibu Renata membeliak mendengar nama itu disebut.

"Kamu ... kamu tau dari siapa kalau dia saudaraku satu ayah beda ibu?"

Kedua pundak ibu Anita menurun. Kalau ibu Renata bertanya demikian, berarti benar.

"Regina datang sendiri. Orang yang dibunuh anakku, anak dia."

Pandangan ibu Renata beralih ke depan. Ia kembali teringat sosok Regina yang pernah ditemuinya.

"Dia minta apa ke kamu?"

"Enggak minta apa-apa. Dia cuma ingin menangkap Angelica. Ya udah aku biarin aja."

Obrolan mereka terhenti ketika terdengar suara bel. Mbok Darmi yang sebelumnya di dapur tergopoh-gopoh ke depan, melihat siapa yang datang.

"Siapa yang datang malam-malam begini?" gumam ibu Renata.

"Emang kamu enggak ada janji dengan seseorang?"

"Enggak ada."

Tidak berselang lama, Mbok Darmi menghampiri ibu Renata sembari tersenyum lebar.

"Siapa yang datang, Mbok?" tanya ibu Renata penasaran.

"Nyonya, yang datang Tuan Darren dan Non Sabrina."

BERSAMBUNG BAB 104
_______________________________________

25/11/2025

IBU YANG MALANG

BAB 102"Nanti aku coba bicara dengan Darren.Sudahlah, kamu jangan bersedih lagi, Renata.Jadikan apa yang udah terjadi su...
25/11/2025

BAB 102

"Nanti aku coba bicara dengan Darren.

Sudahlah, kamu jangan bersedih lagi, Renata.

Jadikan apa yang udah terjadi suatu pelajaran. Jangan mudah terpancing emosi. Emosi hanya membuatmu menyesal." Peringatan yang diucapkan pak Sugeng hanya ditanggapi anggukkan kepala.

Kepergian Darren dan Sabrina benar-benar membuat ibu Renata kesepian dan menderita.

Selama ini dia tidak terbiasa ditinggal Darren berhari-hari kecuali jika Darren keluar kota. Itu pun masih bisa berkomunikasi lewat handphone. Tapi, sekarang? Sama sekali tidak ada kabar dari anak semata wayangnya.

"Sekarang aku mau makan dulu."

"Iya, Mas."

Ibu Renata mengantar suaminya ke ruang meja makan. Di sana ada beberapa lauk pauk yang diinginkan Sabrina beberapa jam lalu tapi sayangnya hanya dimakan sedikit saja.

****

Setelah kepergian Angelica, ibu Anita bernapas lega. Tidak akan ada penangkapan di rumah ini. Biar bagaimana pun, rumah yang ditempatinya sekarang sudah menjadi milik keluarga Wirawan atau ibu Renata. Ia tak mau mencoreng rumah ini dengan penangkapan Angelica. Dengan langkah gontai, ibu Anita masuk ke dalam kamar. Membersihkan diri.

Usai mandi dan mengenakan pakaian ganti, ibu Anita keluar kamar. Ia bermaksud mengisi perutnya yang belum makan sejak siang tadi. Namun, langkah kakinya terhenti ketika mendengar suara bel.

Asisten rumah tangga ibu Anita tergopoh-gopoh ke depan, membuka pintu. Ibu Anita melanjutkan langkah, ke ruang meja makan. Baru saja ia menyendok nasi, asisten rumah tangganya itu datang kembali.

"Ada apa, Bi?"

"Nyonya, di depan ada wanita yang tadi pagi mencari non Lica."

Kening ibu Anita mengkerut, berpikir sejenak.

"Suruh dia menunggu. Saya akan menemuinya," titah ibu Anita pada bibi.

"Baik, Nyonya."

Ibu Anita ingin mengganjal perutnya dulu. Ia tak mau jatih sakit. Seperti saran sahabatnya, ibu Anita harus sehat, harus kuat dan harus semangat. Tidak boleh terlihat lemah di hadapan orang-orang yang telah menyakitinya.

Usai makan, ibu Anita bergegas ke depan, menemui wanita yang tadi pagi sempat mencari Angelica.

"Selamat sore," sapa ibu Anita berdiri di depan pintu rumah.

Ibu Regina menoleh, menelisik penampilan istri pertama Adyatama.

"Sore. Kenalkan, saya Regina."

Ibu Regina menyodorkan telapak tangan kanan ke hadapan ibu Anita. Wanita itu menyambut hangat.

"Saya Anita."

"Apa kamu istrinya Adyatama dan ibu dari Angelica?" telisik ibu Regina setelah gamitan tangannya terlepas.

Ibu Anita menarik napas panjang, duduk di kursi teras depan rumah. Diikuti ibu Regina.

"Saya udah bukan istri Adyatama."

"Oh, kalian udah bercerai?"

Pertanyaan itu serupa cibiran.

"Kamu siapa? Kenapa kamu tiba-tiba datang ke sini? Mau cari siapa?"

Ibu Regina tersenyum sinis, mengalihkan pandangan ke depan.

"Aku cukup tau informasi tentangmu. Selain kamu mantan istri Adyatama dan ibu kandung Angelica, ternyata kamu juga sahabat dekat Renata, saudara kandungku tapi beda ibu."

Ibu Anita terkejut mendengar penuturan ibu Regina. Ia baru tahu kalau sahabatnya itu punya saudara dari ibu yang berbeda. Selama ini ibu Renata tidak pernah bercerita perihal wanita yang duduk di kursi sampingnya.

"Sebenarnya kamu siapa? Mau apa kamu ke sini? Di rumah ini enggak ada Renata. Kalau kamu mau cari tau tentang keberadaan Renata, salah alamat!"

Entah mengapa, ibu Anita merasakan firasat buruk bertemu dengan ibu Regina. Ya, dia memang selalu peka tentang firasat yang dialami. Setiap merasakan firasat buruk, pasti akan terjadi sesuatu yang buruk p**a.

Ibu Regina terkekeh mendengar ucapan ibu Anita yang tampak sekali tidak menyukai kehadirannya. Ibu Regina menoleh, membalas tatapan ibu Anita.

"Aku ke sini bukan ingin mencari RehaĊ‚a tapi ingin bertemu dengan anakmu. Angelica!"

Kepala ibu Anita ke belakang. Terkejut, mendengar maksud kedatangan wanita yang baru ia temui.

"Angelica juga enggak ada di sini. Dia udah enggak menganggapku ibunya lagi."

"Masa?" Ibu Regina tentu saja tidak percaya. Wanita itu sudah mencari keberadaan Angelica di rumah sewa yang alamatnya didapat dari buku catatan Andre tapi kata pemilik rumah itu, Angelica sudah angkat kaki. Ia pun menemui alamat rumah ini dari kartu nama yang ada di dalam dompet Andre.

"Aku yakin, kamu menyembunyikan Angelica karena kamu tau... kalau anakmu itu sekarang menjadi pembunuh!"

Sontak, ibu Anita terkejut. Kedua matanya membeliak, seperti hendak melompat. Sesaat, tenggorokan ibu Anita terasa tercekat. Tak menduga sedikit pun kalau ibu Regina mengetahui perbuatan anaknya.

Melihat ekspresi raut wajah ibu Anita, ibu Regina mencebik. "Jangan pura-pura kaget! Kamu udah tau kan kelakuan busuk anakmu itu. Tadi kamu tanya, siapa aku?" sorot mata ibu Regina begitu tajam.

"Iya. Kamu siapa? Kenapa kamu memfitnah anakku?"

"Hah? Fitnah? Hahahahaha...." Gelak tawa ibu Regina berderai mendengar pertanyaan wanita yang telah melahirkan Angelica.

"Aku enggak fitnah! Sekarang pihak kepolisian sedang mencari bukti tentang perbuatan anakmu yang telah menghabisi nyawa anakku!"

Lagi, ibu Anita terkejut mendengar pengakuan ibu Regina. Jadi, wanita yang datang-datang mencari keberadaan Angelica adalah ibu dari seorang lelaki yang dilihat ibu Anita di dalam mobil itu.

Ibu Anita menghela napas berat, berusaha menetralisir perasaan dan sikapnya.

"Kalau memang terbukti Angelica membunuh anakmu, silakan saja penjarakan dia. Aku juga udah enggak peduli dengan keadaannya." Ibu Anita sangat santai menimpali perkataan ibu Regina.

"Kamu juga bisa diseret ke penjara kalau berusaha menyembunyikannya," tandas ibu Regina menunjukkan emosi.

"Aku enggak menyembunyikannya. Kalau kamu enggak percaya, silakan geledah rumahku! Ada atau enggak dia di rumah ini?"

"Oke. Tapi, aku bisa pastikan, Angelica akan membusuk di penjara!"

Setelah mengucapkan kalimat itu, tanpa menunggu tanggapan ibu Anita, ibu Regina pergi.

Kepergian ibu Regina membuat ibu Anita semakin bingung. Dia tidak mau anaknya di penjara tapi sisi lain, ibu Anita juga tidak mau Angelica terus-menerus membuat masalah.

"CCTV harus aku matikan! Harus aku buat rusak! Aku enggak mau ikut terjerat ke dalam penjara gara-gara Angelica sempat tinggal di rumah ini. Enggak, aku enggak mau!"

***

Pagi sekali, pak Sugeng mendatangi apartemen Darren. Sabrina sangat bahagia menyambut kedatangan papa mertua.

"Papa sendirian? Mama enggak ikut?" telisik Sabrina melongokkan kepala keluar pintu apartemen.

"Enggak, Sabrina. Mamamu enggak berani ke sini karena takut suamimu marah-marah."

Jawaban pak Sugeng menohok hati Darren. Sabrina merunduk, melirik pada Darren yang duduk di kursi meja makan, sedang sarapan.

"Ada apa, Pa? Pagi-pagi datang ke sini?" tanya Darren tampak tak s**a dengan kedatangan papanya.

"Mas, jangan bilang gitu...." desis Sabrina memegang lengan suaminya. Darren menoleh, menganggukkan kepala.

"Enggak apa-apa, Sabrina," timpal Pak Sugeng tersenyum tipis.

"Kalian sarapan saja dulu. Papa nunggu di sana." Pak Sugeng menuju sofa depan televisi sambil menenteng tas kerja. Tujuannya datang ke apartemen Darren, tiada lain ingin membujuk anak dan menantunya agar mau tinggal bersamanya lagi.

Usai menyantap sarapan, Darren dan Sabrina menghampiri pak Sugeng yang tengah menonton televisi.

"Kamu enggak ke kantor lagi, Darren?" tanya pak Sugeng mengawali pembicaraan.

"Ke kantor. Nanti saja jam sembilan. Aku mau nunggu Jessi datang dulu. Kalau dia udah datang menemani Sabrina, barulah aku pergi."

Sabrina dan Darren duduk di sofa yang sama. Sedangkan pak Sugeng, duduk di sofa tunggal.

"Darren, mamamu sekarang lagi sakit. Semalaman dia demam. Pagi tadi dia diinfus karena demamnya enggak turun-turun. Makanya Papa pagi-pagi ke sini. Barang kali saja, kalian kasihan sama dia, ingin menjenguknya."

Sabrina memegang lengan suaminya. Mengusap perlahan, memberi isyarat agar Darren mau menjenguk ibu Renata.

"Mungkin karena pergantian musim. Memasuki musim hujan, makanya mama demam, Pa." Jawaban Darren membuat kedua pundak Sabrina menurun. Hatinya begitu sedih, mendengar kabar tentang ibu mertua yang sedang tak enak badan.

"Ya mungkin saja. Tapi, mamamu bilang ... dia merasa kesepian sejak kalian pergi dari rumah. Darren, apa kamu enggak bisa memaafkan dan melupakan perbuatan buruk mamamu pada Sabrina? Apa kamu enggak bisa, memberinya kesempatan untuk menyayangi istrimu?"

Sebisa mungkin pak Sugeng membujuk anaknya agar kembali ke rumah utama. Dia pun tak tega melihat raut wajah ibu Renata yang tampak kehilangan semangat hidup.

Darren tak menjawab. Raut wajahnya begitu masam.

Sabrina berdehem lalu berkata, "Mas, mama berbuat buruk karena enggak tau kalau itu bukan saya. Saya jadi berpikir, mungkin memang inilah tujuan Mbak Angelica mengirimkan video itu. Ingin hubungan keluarga kita terpisah. Ingin kondisi mama memburuk. Ingin kedekatan Mas dan mama menjadi renggang. Menurut saya, lebih baik kita kembali lagi ke sana. Mama juga udah minta maaf dan berjanji enggak akan mengulangi perbuatan buruk lagi. Kalau keluarga kita kayak gini, saya yakin Mbak Angelica sedang tertawa. Dia sedang bahagia karena... karena rencana buat ngehancurin kebahagiaanmu, kebahagiaan saya, kebahagiaan mama dan papa, telah berhasil."

BERSAMBUNG BAB 103

22/11/2025

Aku Malu Punya Anak Kamu


, , ,

BAB 101"Iya, polisi akan menangkapmu!" Kedua mata ibu Anita melotot menjawab pertanyaan anak semata wayangnya."Mama kok ...
22/11/2025

BAB 101

"Iya, polisi akan menangkapmu!" Kedua mata ibu Anita melotot menjawab pertanyaan anak semata wayangnya.

"Mama kok jawabnya gitu? A-aku kan takut, Ma ...." Suara Angelica terdengar bergetar. Jantungnya pun berdetak lebih cepat membayangkan hidup di dalam jeruji besi.

"Makanya sekarang kamu cepat pergi dari rumah ini!"

"O-oke, Ma! Aku pergi sekarang. Aku mau ... mau kemana, ya? Ma, tolongin aku. Aku harus pergi ke mana?"

Pada akhirnya Angelica memelas, meraih kedua telapak tangan ibu Anita, memohon pertolongan pada wanita yang telah melahirkannya. Namun, genggaman tangan Angelica dihempas begitu saja. Sekarang ibu Anita tidak tahu harus berbuat apa? Pikirannya benar-benar kacau. Tidak bisa berpikir jernih.

"Terserah kamu. Mama juga bingung."

"Maaa

"Sudahlah, Lica! Sekarang kamu udah dewasa. Kamu sendiri yang bikin masalah ini. Makanya jadi manusia itu sedikit berguna! Jangan selalu mencari masalah, buat orang susah!" geram ibu Anita menatap tajam wajah anaknya yang sendu.

Angelica terdiam, mematung di depan ibu Anita.

"Tapi, dia udah jahat sama aku, Ma. Masa aku diam saja mau dibunuh orang? Enggak kan?"

Ibu Anita menggelengkan kepala berulang. Ia benar-benar tidak bisa berpikir jernih, setidaknya untuk saat ini.

"Cepat kamu pergi dari sini. Cari persembunyian yang sekiranya aman. Mama enggak mau polisi datang, kamu masih ada di sini! Bawa mobil waktu kamu belum nikah!" Ibu Anita menyodorkan kunci mobil saat Angelica belum menjadi istri Darren dulu. Mau tak mau, Angelica mengambil kunci mobil itu.

"Ma ....."

"Pergi! Mama bilang pergi dari sini!" sentak ibu Anita. Emosinya semakin meninggi. Walaupun dimarahi, kali ini Angelica tak membalas. Hanya bibirnya saja yang merengut.

Membuka pintu depan rumah, Angelica melongok kanan dan kiri. Khawatir ada polisi yang mengintai. Lalu, setengah berlari menuju mobil yang terparkir di bagasi. Benar kata mamanya, Angelica harus segera pergi dari rumah itu. Kalau tidak? Dia bisa ditangkap. Sebab ibu Regina sudah tahu alamat rumah kedua orang tua Angelica.

Ibu Anita menjerit di dalam kamar Angelica.

Hatinya begitu cemas dan hancur bersamaan.

Anak satu-satunya kini menyjadi buronan polisi.

Anglica sungguh bodoh. Kenapa p**a harus membunuh orang? Sekarang entah akan pergi kemana anak itu? Ibu Anita sudah tidak peduli.

Sore hari, saat pak Sugeng baru tiba di rumah dan menemui ibu Renata, ia terkejut melihat sang istri tampak kelelahan.

"Kamu habis dari mana?" tanya Pak Sugeng duduk di samping istrinya. Kedua mata ibu Renata yang sebelumnya terpejam, langsung terbuka.

"Kamu udah p**ang, Mas?" tanya ibu Renata tersenyum tipis pada suaminya. Mbok Darmi yang sedari tadi memijat kedua kaki nyonya besarnya pamit undur diri, tak ingin mengganggu kebersamaan pak Sugeng dan ibu Renata.

"Sudah. Pekerjaanku udah selesai, jadi langsung p**ang saja," jawab pak Sugeng sambil melonggarkan dasinya.

Sebetulnya pak Sugeng sudah ingin tidak bekerja lagi. Dia ingin menghabiskan masa tuanya di rumah bersama Renata dan cucu-cucunya nanti. Tapi, sementara waktu, keinginan itu belum terwujud karena Darren masih disibukkan menjaga istrinya yang sedang hamil.

"Kamu mau minum kopi atau teh hangat?" Ibu Renata membantu pak Sugeng melepaskan jas kerjanya.

"Aku mau mandi dulu. Setelah itu mau makan. Oh ya, tadi kamu belum jawab pertanyaanku."

"Pertanyaan yang mana?" kening ibu Renata mengerut, mendengar pertanyaan sang suami.

"Kamu kecapekan habis dari mana?"

"Kata siapa aku kecapekan? Biasa aja," elak ibu Renata tak ingin pak Sugeng mencemaskannya.

"Jangan bohong. Aku tau betul sifatmu. Kalau Mbok Darmi mijitin kakimu, berarti kamu kelelahan. Habis dari swalayan?" terka pak Sugeng yang amat mencintai ibu Renata. Walau wanita itu sifatnya sangat tempramental.

"Enggak. Seharian ini aku di rumah. Aku emang kecapekan. Mungkin karena tadi habis masakin makanan kes**aan Sabrina," jawab ibu Renata mengawali cerita tentang kedatangan menantunya.

"Sabrina? Maksudmu dia ke sini?" Pak Sugeng mengubah posisi duduk, lebih menghadap ibu Renata yang memandang lurus ke depan.

"Iya. Tadi pagi dia datang tapi tanpa sepengetahuan Darren. Katanya kalau Darren sampai tau, pastilah Darren akan melarangnya atau marah-marah." Ibu Renata teringat omongan Jessi agar dirinya tak memberitahu orang lain terkait kedatangan Sabrina di rumah itu. Tapi, Ibu Renata tak bisa menutupi sesuatu di depan suaminya.

"Terus? Waktu Sabrina ke sini kamu marahi lagi?"

"Enggaklah, Mas!" Ibu Renata langsung tersinggung akan pertanyaan pak Sugeng. "Justru aku udah masak banyak buat dia. Udah mau ngabulin keinginannya, yang ingin dimasakin beberapa lauk pauk olehku. Mungkin tadi itu... Sabrina lagi ngidam kali ya, Mas? Soalnya udah minta dimasakin banyak, eh dimakannya malah sedikit, keburu Sabrina muntah-muntah lagi."

Jujur saja, pak Sugeng heran dengan tingkah Sabrina yang berani meminta sesuatu pada ibu Renata. Apa mungkin yang datang tadi adalah... Jessica alias Jessi?

Pelbagai tanya memenuhi isi kepala pak Sugeng. Lelaki tua itu bukan tak senang akan kedatangan Sabrina di rumah ini tapi kenapa Sabrina berani melanggar perintah Darren? Bukankah selama ini dia selalu patuh akan perintah suaminya?

"Mas!" Ibu Renata menyenggol lengan suaminya. "Eh, Mas! Mas Sugeng!!" panggil ibu Renata dengan intonasi tinggi. Ibu Renata gelagapan.

"Eh-i-iya, apa? Ada apa?"

"Kok ada apa? Aku tadi tanya, apa mungkin Sabrina lagi ngidam pengen makan hasil masakanku?"

"Ya mungkin saja lagi ngidam. Ya sudah, aku mau mandi dulu." Pak Sugeng pamit, tak ingin membahas persoalan Sabrina lagi.

11.38

"Iya, Mas."

Ibu Renata menarik napas panjang, berjalan ke ruang meja makan, hendak menyiapkan makan bersama suami tercinta. Namun, tiba-tiba saja ibu Renata teringat Sabrina dan Darren yang makan di kursi yang bersebrangan dengan mereka. Entah sampai kapan, Darren dan Sabrina tinggal di tempat lain? Sudah dapat dibayangkan, hari-hari ibu Renata akan terasa sepi dan sunyi.

Setelah hampir tiga puluh menit, pak Sugeng baru keluar dari toilet kamar. Pak Sugeng sempat terkejut melihat istrinya yang tengah meletakkan tas kerja pak Sugeng ke meja kerja yang terletak di sudut kamar.

"Mas, apa kamu tau, sampai kapan Darren dan Sabrina tinggal di sana? Apa mereka enggak akan tinggal di sini lagi?" tanya ibu Renata. Suaranya terdengar sarat akan kesedihan.

"Aku enggak tau. Mungkin iya, mungkin tidak," jawab pak Sugeng sekenanya.

Hatinya masih kesal pada ibu Renata jika mengingat perbuatannya pada Sabrina. Beruntung, kandungan Sabrina masih bisa diselamatkan. Kalau tidak? dapat dipastikan Darren dan pak Sugeng akan marah besar pada ibu Renata.

"Mas, aku mohon ... suruhlah Darren dan Sabrina tinggal di sini lagi. Aku selalu kangen sama mereka. Kalau mereka masih enggak mau tinggal di rumah ini, lambat laun aku akan mati dalam kesepian, Mas."

Perkataan yang keluar dari mulut ibu Renata membuat pak Sugeng tersentak. Lelaki itu menoleh, menatap lekat wanita yang selama ini telah melahirkan buah hati untuknya.

"Kamu jangan bilang begitu, Renata."

"Terus aku mau bilang apa?" tuntut ibu Renata berurai air mata. Sekarang ibu Renata jadi lebih sering menangis.

Pak Sugeng hanya menghela napas berat, merunduk. Tidak satu katapun yang keluar dari mulutnya menjawab pertanyaan ibu Renata.

"Mas, bicaralah, Mas... Bicara sama Darren dan istrinya. Aku sungguh kesepian. Aku ingin ada Sabrina dan Darren di rumah ini lagi! Aku mohon dengan sangat, tolong bujuk Darren dan Sabrina agar mau kembali tinggal bersama kita lagi. Aku mohon, Mas... aku mohon ...."

BERSAMBUNG BAB 102

Address

Jalan KH ABDUL KARIM NO 7
East Jakarta
52254

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Catatan Kisahku posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share

Category