Catatan Kisahku

Catatan Kisahku Buat Yg Sudah Follow, Like, Dan Komen, Semoga Rezekinya Lancar & Sehat selalu.

26/09/2025

Rela Menikah Dengan Kakek Tua Kaya Raya Demi Masa Depan Sejahtera

𝗕𝗔𝗕. 80"Astaghfirullah ya Allah," desis Sabrina memegang sebelah p**inya yang terasa sangat nyeri. Telinga Sabrina semak...
17/09/2025

𝗕𝗔𝗕. 80

"Astaghfirullah ya Allah," desis Sabrina memegang sebelah p**inya yang terasa sangat nyeri. Telinga Sabrina semakin berdengung. Air liur ibu Renata mengenai kerudung Sabrina, diseka pelan dengan ujung jilbab.

"Mama! Tenang, Ma... apa yang Mama lakukan? Mama enggak boleh bersikap kasar pada Sabrina!"

Pak Sugeng tak bisa berdiam diri. Walau dia sudah melihat wajah Sabrina di dalam video tersebut, tapi hatinya tak yakin kalau itu adalah Sabrina.

Ibu Renata menyentak cekalan tangan Pak Sugeng, menoleh, menatap nyalang lelaki yang sangat mencintainya itu.

"Apa kamu buta? Kamu sendiri lihat video itu. Anak kita dikhianati lagi, Mas! Dia ini munafik! Pakeannya saja islami padahal busuk! Lepas jilbabmuuuuuu! Lepas, Sabrinaaaa!"

Ibu Renata menarik paksa jilbab yang dikenakan Sabrina hingga rambut istri kedua Darren itu terurai. Jilbab Sabrina dibuang cukup jauh. Sabrina terkejut, berusaha meraih jilbabnya. Dia merangkak, tubuhnya gemetar hebat. Sabrina benar-benar tak mengerti, penyebab kemarahan ibu mertua.

Mbok Darmi dan Mbak Tuti yang mengintip di dinding pembatas antara ruang keluarga dan ruang meja makan menangis berpelukan, melihat kemarahan ibu Renata.

"Jangan kau pakai lagΓ­ jilbabmu, J414ng!"

Tangan Ibu Renata menarik rambut Sabrina hingga kepala wanita itu mendongak ke atas.

"A-ampun, Maaaa... a-ampuuunn ... S-saya salah apaaa?" Air mata berlinang membasahi wajah putihnya. Suara Sabrina bergetar.

"Salah apa? Kamu udah bercinta dengan lelaki lain, sekarang kamu tanya salah apa? DASAR MUNAFIIIKKK! PLAAAK, PLAAAK!" Penuh luapan emosi, ibu Renata kembali menampar Sabrina bolak-balik.

Darah segar keluar dari sudut bibir Sabrina. Tubuhnya terjerembab ke belakang. Ambruk ke atas lantai. Sabrina pasrah. Telinganya semakin berdengung, p**i kebas, kepala terasa sangat pusing. Sabrina yang belum sarapan, tubuhnya terasa lemas. Sangat lemas. Detak jantungnya berpacu lebih cepat.

Ibu Renata sama sekali tak memberikan kesempatan pada Sabrina untuk bicara. Ia justru hendak melakukan kekerasan lagi, namun Pak Sugeng menahan pinggangnya.

"Cukup, Renata! Cukup! Kamu bisa bvnuh dia! Kamu bukan orang jahat, Renata! Kamu ibu yang baik!" Sentak pak Sugeng. Menahan trubuh istrinya agar tidak menyiksa Sabrina lagi.

Pak Sugeng pun Memberi isyarat pada kedua asisten rumah tangganya agar membawa Sabrina ke dalam kamar. Mbok Darmi dan Mbak Tuti bergegas keluar dari persembunyiannya. Mengangkat tubuh ringkih itu ke dalam kamar mereka.

"Lepasin aku, Mas! Lepasin! Lepasin!"

"Diam kau, Renata! Jangan sampai aku menamparmu!"

Mendengar ancaman sang suami, Ibu Renata terdiam. Namun, kemarahannya semakin memuncak. Dia betul-betul geram karena pak Sugeng tidak berpihak padanya. Dirasa mulai tenang, barulah pak Sugeng melepaskan tubuh ibu Renata.

Tubuh tua itu berjalan gontai ke sofa ruang keluarga. Air mata perlahan membasahi wajah keriputnya. Ibu Renata meratapi nasib. Nasib yang menimpa kehidupan anak semata wayangnya yang selalu dikhianati istri.

Pak Sugeng menggelengkan kepala, menghampiri ibu Renata yang pandangannya kosong, lurus ke depan.

Perlahan, pak Sugeng meraih telapak tangan istrinya.

"Renata, sudah, Renata ...." Pak Sugeng memeluk tubuh ibu Renata. Bukan saat yang tepat menasehati istrinya. Ia harus membiarkan pikiran ibu Renata tenang lebih dulu. Membiarkan istrinya sendiri yang bercerita.

***

"Astaghfirullahalazim, Nduk ... malang nian nasibmu, Ndukkk...," ratap Mbok Darmi membersihkan darah segar di sudut bibir Sabrina. Wanita yang tengah mengandung itu jatuh pingsan saat ibu Renata menampar kedua p**inya sangat keras.

Mbak Tuti masuk ke dalam kamar setelah sebelumnya mengambil baskom berisi air serta handuk kecil untuk mengompres kening Sabrina.

"Sebenarnya ada masalah apa, Mbok? Kenapa Nyonya besar sangat marah pada Non Sabrina? Lihat, Mbok ... tubuh Non Sabrina sampai menggigil. Badannya panas sekali, Mbok."

Berlinang air mata, Mbak Tuti bertanya. Menempelkan handuk kecil di atas kening Sabrina.

Mbok Darmi menyeka lelehan air matanya.
Menggelengkan kepala.

"Mbok juga ndak tau. Kenapa Nyonya besar seperti kesetanan. Gusti ya Allah... ada apa lagi dengan Nyonya Renata?" Batin Mbok Darmi terasa pedih menyaksikan dengan mata kepala sendiri, kekerasan yang dilakukan ibu Renata pada menantu keduanya.

"Menurutku sikap Nyonya besar sangat keterlaluan, Mbok. Andai saja tadi Mbok enggak menghalangiku, mungkin Non Sabrina enggak kena tamparan kedua kalinya," ucap Mbak Tuti yang memang tadi hendak menarik Sabrina dari hadapan ibu Renata. Mbok Darmi yang duduk dekat Mbak Tuti menyentuh pundaknya.

"Sampeyan harus eling, Tuti. Kita ini cuma pembantu, cuma babu. Ndak adab kalau ikut campur urusan majikan," tandas Mbok Darmi.

Mbak Tuti menarik napas panjang. Membelai wajah Sabrina. Mereka sudah menganggap Sabrina bagian dari keluarga. Kebaikan gadis desa itu meluluhkan hati Mbok Darmi dan Mbak Tuti.

"Kasihan Non Sabrina, Mbok. Baru saja Nyonya besar baik dan perhatian padanya, sekarang tiba-tiba...." Kalimat Mbak Tuti terpotong dengan suara bel.

"Tuti, buka dulu pintunya."

"I-Iya, Mbok."

Mbak Tuti keluar kamar. Melewati ruang keluarga, Pak Sugeng dan Ibu Renata sudah tidak ada di sana. Mendadak, Mbak Tuti mulai tak s**a dengan perilaku ibu Renata.

"Non Angelica?" sapa Mbak Tuti ketika membuka pintu. Wanita itu tersenyum manis, membalas sapaan salah satu asisten rumah tangga keluarga Wirawan.

"Apa kabar, Tuti? Baik kan?"

"Alhamdulillah baik. Non Angelica mau ketemu Nyonya besar?" Mbak Tuti malas berbasa-basi dengan mantan majikannya itu.

"Iya. Apa Nyonya besarmu udah bangun? Atau jangan-jangan, baru saja terjadi sebuah tragedi yang menyedihkan? Tragedi yang mengenaskan?"

Wajah Mbak Tuti mundur ke belakang, keningnya mengkerut. Merasa heran, kenapa Angelica bisa menduga ada keributan di rumah ini?

"Hm, maaf, Non. Saya enggak tau. Silakan duduk!" Mbak Tuti mempersilakan Angelica agar duduk di kursi teras depan rumah. Angelica menoleh, mengikuti tangan Mbak Tuti yang mengarah pada kursi teras rumah.

"Kamu nyuruh saya duduk di sana? Enggak mempersilakan saya masuk ke dalam?" Pertanyaan Angelica membuat Mbak Tuti jadi serba salah.

"Mohon maaf, Non. S-saya hanya mengikuti perintah Nyonya besar. Katanya kalau Non Angelica datang ke rumah ini, enggak boleh masuk ke dalam rumah."

Meski sangat tersinggung dengan ucapan Mbak Tuti, tapi Angelica berusaha menahan. Ia menghela napas berat.

"Baiklah, Saya tunggu di sini saja. Cepat, kau panggilkan nyonya besarmu!" titah Angelica bersikap seolah dia masih majikannya Mbak Tuti.

Wanita berusia tiga puluh tahunan itu tak menanggapi, menutup pintu lalu berjalan ke kamar ibu Renata dan Pak Sugeng.

Di depan pintu kamar, Mbak Tuti sedikit ragu. Dia jadi bingung. Apa harus menyampaikan kalau di depan ada Angelica atau .....

Mbak Tuti tidak berani mengetuk pintu, dia justru menuju kamar, hendak menyuruh Mbok Darmi.

"Mbok," panggil Mbak Tuti.

"Siapa yang datang, Tuti?" telisik Mbok Darmi menyeka lelehan air matanya. Sabrina masih tergolek lemah. Jilbab yang sebelumnya dilepas paksa ibu Renata, kini sudah dikenakan kembali. Mbok Darmi yang mengenakannya di kepala Sabrina.

"Non Angelica. Dia katanya pengen ketemu nyonya besar. Nyonya dan Tuan lagi di kamar kayaknya, Mbok. Saya enggak berani ganggu," kata Mbak Tuti lirih. Mbok Darmi mengerti. Tubuhnya yang tambun dan sudah menua, berdiri.

"Ya sudah, kamu tungguin Non Sabrina dulu. Biar Mbok yang kasih tau Nyonya dan Tuan."

Mbak Tuti menganggukkan kepala, membiarkan Mbok Darmi keluar kamar.

Sampai di depan pintu kamar ibu Renata dan Pak Sugeng, Mbok Darmi mengetuk pintu beberapa kali. Tak berselang lama, Pak Sugeng yang membuka pintu. Lelaki itu telah berpakaian kantor.

"Ada apa, Mbok?"

"Di depan Ada Non Angelica. Katanya ingin bertemu dengan Nyonya besar."

Pak Sugeng terkejut mendengar kedatangan mantan menantunya itu.

"Baiklah, biar saya saja yang menemuinya."

"Iya, Tuan."

Pak Sugeng menoleh ke dalam, melihat keadaan istrinya yang duduk bersandar di kepala r4njang sembari memejamkan kedua mata.

Lelaki itu keluar kamar tanpa menyampaikan keinginan Angelica pada ibu Renata. Ia tak mau Ada keributan di pagi buta untuk kedua kalinya.

Membuka pintu depan, terlihat Angelica sedang tersenyum sendiri.

"Ada apa, Angelica?"

Suara berat pak Sugeng menyentak Angelica. Wanita itu menoleh, tersenyum tipis.

"Selamat pagi, Pa," sapa Angelica berdiri, sekadar berbasa-basi.

"Pagi. Mau apa kamu pagi-pagi datang ke sini?

Terlihat sekali jika pak Sugeng tidak menyukai kedatangannya.

"Hm... Aku ke sini hanya ingin bersilaturahmi dengan Mama Renata. Apa Mama keadaannya baik-baik saja?"

Pak Sugeng sudah menduga tujuan kedatangan Angelica ke rumahnya pagi-pagi ingin menertawakan keadaan keluarga Wirawan. Angelica pasti sudah membayangkan reaksi ibu Renata setelah melihat video yang dikirimnya.

Pak Sugeng masih berdiri di tempat, sikapnya sangat tenang.

"Keadaan istri saya sangat baik. Apalagi ketika mendengar Sabrina sedang hamil. Hubungan mereka juga sudah jauh lebih baik. Istri saya sangat menyayangi Sabrina dan sangat perhatian padanya."

Mendengar jawaban pak Sugeng, senyum di wajah Angelica seketika hilang. Keningnya mengkerut karena terkejut. Ia tercenung sejenak, lalu merogoh ponsel dari dalam tas. Memastikan kalau video itu sudah terkirim ke nomor ibu Renata.

"Kalau enggak ada yang ingin kamu ketahui lagi, silakan pergi, Angelica. Kami mau menyantap sarapan bersama."

BERSAMBUNG - BAB 81
KLIK AJA LINK DI KOLOM KOMENTAR ⬇️⬇️⬇️

𝗕𝗔𝗕. 79Darren berdehem sebelum menjawab, menyudahi makan malamnya."Mohon maaf, Mr. Enggak ada wanita yang menarik di mat...
29/08/2025

𝗕𝗔𝗕. 79

Darren berdehem sebelum menjawab, menyudahi makan malamnya.

"Mohon maaf, Mr. Enggak ada wanita yang menarik di mata saya kecuali istri saya. Kalau begitu, saya permisi. Selamat malam."

Senyum yang mengembang di bibir Mr. Whartg hilang seketika. Lelaki itu menyambut uluran tangan Darren dengan raut wajah masam. Ternyata Darren sama dengan papanya, lelaki yang setia.

Sepanjang jalan menuju penginapan, Darren ingin menghubungi Sabrina, menyampaikan kalau ada wanita yang mirip dengannya. Nama wanita itu juga sama, Jessi. Apa mungkin saudara kembar Sabrina wanita malam? Wanita panggilan?

Lebih baik Darren mencari tahu dulu tentang siapa Jessi itu sebelum memberitahu istrinya.

***

Setelah minum obat. seperti biasa rasa nyeri pada tubuh Angelica mulai berkurang. Ia mengganti pakaian, ingin melihat keadaan keluarga Wirawan. Ada kabar apa di sana? Sebelum menjalankan rencana untuk memfitnah Sabrina, Angelica harus melihat keadaan rumah keluarga konglomerat itu lebih dulu.

Handphone di dalam tas Angelica berdering.
Wanita itu segera melihat siapa yang menelponnya. Ternyata nomor baru.

"Hallo?" sapa Angelica ketika mengangkat sambungan telepon itu.

"Hallo, Angelica. Lica, ini Papa, Nak. Kamu sekarang tinggal di mana, Lica?"

Bukannya senang atau terkejut mendengar suara papanya lagi, Angelica justru memutar bola mata malas.

"Mau ngapain Papa nanyain tempat tinggal aku?" Suara Angelica terdengar sangat dingin. Tampak sekali ia tak peduli dengan lelaki yang amat menyayanginya. Bibir pak Adyatama yang sebelumnya tersenyum, memudar seketika. Walau hanya mendengar suaranya saja, tapi pak Adyatama tahu kalau Angelica tak s**a ia mengetahui tempat tinggalnya. Pak Adyatama tetap berpikir positif.

"Kalau boleh, Papa ingin tinggal sama kamu, Lica." Akhirnya keinginan itu terucap jua. Pak Adyatama beberapa hari belakangan ingin sekali menghubungi anak semata wayangnya untuk mengungkapkan keinginan tinggal bersama. Namun, ia selalu mengurungkannya. Baru malam ini ia mengungkapkan karena rindu kebersamaan dengan Angelica dan ibu Anita. Di panti asuhan, Pak Adyatama merasa asing. Dia jarang bersosialisasi padahal pak Soleh selalu berusaha mengajaknya bergabung.
Namun, lelaki bertubuh tambun itu selalu menolak. Lebih s**a menyendiri.

"Apa?" Angelica terkejut. "Papa mau tinggal sama aku? Bukannya Papa tinggal sama istri baru Papa itu? Udahlah, Pa... tinggal di sana saja. Lagi p**a tempat tinggalku sekarang enggak besar. Dah ya, aku lagi sibuk."

Tanpa menunggu tanggapan pak Adyatama, Angelica mematikan sambungan telepon. Dia juga memblokir nomor kontak papanya, tak ingin dihubungi lelaki itu lagi.

Sepanjang jalan menuju rumah keluarga Wirawan, Angelica teringat kebersamaannya dulu dengan ibu Anita dan Pak Adyatama. Sebetulnya mereka orang tua yang baik dan sering kali memanjakannya. Apapun yang diminta Angelica, selalu dikabulkan. Tanpa disadari, sebulir air mata lolos, membasahi p**i Angelica. Ia lantas menyekanya kasar. Menggelengkan kepala, berharap kenangan bersama keluarganya tak melintas lagi.

Di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi, Angelica menghentikan kendaraannya. Ia tercenung sejenak, melihat kondisi kediaman keluarga terhormat itu. Rumah yang dahulu sempat ditinggali Angelica.

Wanita berpakaian seksi itu turun dari mobil. Mengetuk gerbang, menunggu security menghampiri.

Wanita berpakaian seksi itu turun dari mobil. Mengetuk gerbang, menunggu security menghampiri.

"Non Angelica?" desis pak Joko salah satu security rumah itu.

"Pak Joko apa kabar?" tanya Angelica di luar gerbang.

"Saya baik, Non. Ada apa malam-malam begini Non ke sini? Mau ketemu siapa, Non?"

Angelica berpikir sejenak. Dia mesti tahu ada siapa aja di rumah itu malam ini.

"Hm, memangnya di rumah ini ada siapa saja? Apa mereka enggak jalan-jalan keluar negeri untuk merayakan kehamilan Sabrina? Aku dengar Sabrina lagi hamil kan?" pancing Angelica. Hatinya berharap security itu memberikan informasi yang membahagiakan padanya.

"Benar, Non. Sekarang Non Sabrina lagi hamil. Tapi, keluarga Wirawan ada di dalam semua kecuali Tuan Darren. Beliau lagi di Bali."

Kedua mata Angelica membeliak sempurna mendengar Darren sedang ada di luar kota. Senyumnya sontak mengembang. Angelica merasa ada lampu hijau yang membuatnya harus melakukan rencana yang telah disusun bersama Andre.

"Oh Darren lagi di Bali. Hm, boleh enggak saya ketemu sama Sabrina?" tanya Angelica masih berusaha mencari tahu tentang kondisi keluarga Wirawan.

"Kayaknya enggak bisa, Non. Kalau mau ketemu Non Sabrina, lebih baik besok saja. Maaf, Non. Saya harus kembali ke post."

Pak Joko tak enak jika terus saja berbincang dengan Angelica. Ia tak mau ketahuan ibu Renata atau yang lainnya. Pak Joko sudah tahu kalau hubungan keluarga Wirawan sudah tidak baik lagi.

"Baik, Pak. Terima kasih."

Kali ini Angelica harus mengalah, tidak boleh terkesan terburu-buru. Angelica ingin rencananya sekarang harus berhasil.

Anak kandung ibu Anita dan pak Adyatama itu kembali masuk ke dalam mobil. Setelah mobil melaju Angelica menghubungi Andre.

"Ada apa, Sayang?"

"Dre, besok pagi kita kirim rekaman video itu ke mama Renata. Darren lagi keluar kota. Ini kesempatan bagus. Aku juga akan datang ke rumah itu membawa hard copy rekaman video tersebut," ucap Angelica menggebu-gebu.

Di ujung telepon, Darren tersenyum sinis.

"Ok. Sekarang juga aku akan kirim rekaman video itu. Biar kamu saja yang mengirim videonya ke Nyonya Renata."

"Oke."

*******

Tubuh ibu Renata menegang melihat layar ponselnya yang menampilkan rekaman video m3svm seorang wanita dengan lelaki yang tak terlihat wajahnya. Kemarahanya semakin meluap ketika video itu menampilkan wajah yang amat dikenali.

"Sabrinaaaaaa!!! Sabrinaaa!"

Pak Sugeng yang masih terlelap di bawah selimut terkejut setengah mati. Ia sampai terlonjak dari tempat tidur. Berjalan cepat, menyusul ibu Renata yang sudah keluar kamar, menuju kamar Sabrina.

Dugh! Dugh! Dugh!

"Sabrina, buka pintunya! Sabrinaaaa!" teriakan ibu Renata membuat semua orang yang ada di dalam rumah itu terkejut.

Mbak Tuti dan Mbok Darmi yang baru saja selesai melaksanakan salat Subuh langsung ke luar kamar, melongok apa gerangan yang terjadi?

"Ma, Mama kenapa teriak-teriak?" tanya pak Sugeng saat berdiri di samping wanita yang dicintainya.

Ibu Renata enggan menjawab, menyodorkan video yang dikirim Angelica.

"Mama percaya kalau ini Sabrina?" tanya pak Sugeng setelah menonton sedikit video tersebut.

"Kenapa masih tanya! Wajahnya sangat mirip, Pa! Itu memang Sabrina," sentak ibu Renata menatap tajam lelaki yang berdiri di sampingnya. Pak Sugeng menggelengkan kepala.

"Ma, tenang, Ma... bisa jadi ini cuma editan. Lebih baik kita tanyakan dulu pada Pak Surya. Sebentar, Papa telepon dulu."

Pak Sugeng pergi meninggalkan ibu Renata yang sudah terbakar emosi. Pintu amar terbuka, terlihat Sabrina yang masih mengenakan mukena.

"Maaf, Ma. Saya lama buka pintunya. Tadi saya lagi salat Subuh."

Ibu Renata geram. Memerhatikan penampilan Sabrina dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Sekarang kamu ganti pakaian. Mama tunggu di ruang keluarga!" Intonasi suara ibu Renata terdengar sangat ketus.

Dahi Sabrina mengkerut mendengar ucapan ibu Renata yang tak biasa. Seolah sikapnya itu sama dengan sewaktu ia baru datang ke dalam keluarga Wirawan.

Ibu Renata pergi tanpa menunggu tanggapan Sabrina. Istri Darren itu masuk ke dalam kamar, membuka mukena dan melipatnya.

Wanita yang tengah mengandung itu keluar kamar, menuju ruang keluarga.

Di ruang keluarga ternyata sudah ada pak Sugeng dan juga ibu Renata.

"Ma, Pa," sapa Sabrina membungkukkan sedikit tubuh.

"Duduklah, Sabrina!" titah Pak Sugeng. Raut wajah lelaki itu tampak tegang. Begitu p**a ibu Renata. Ia tampak masam dengan pandangan lurus ke depan.

"Bagaimana, Pa? Udah ada kabar dari Pak Surya?" tanya ibu Renata tanpa menoleh pada suaminya yang beberapa menit lalu mengirimkan video tersebut pada pakar telematika, ingin memastikan apakah video tersebut rekayasa atau memang asli?

"Belum, Ma. Mungkin sebentar lagi. Bagaimana kalau kita sarapan dulu?" ucap pak Sugeng berusaha setenang mungkin. Ibu Renata menggelengkan kepala.

"Kalau kamu mau sarapan, sarapan saja. Aku mau nunggu kabar pak Surya," kata ibu Renata dingin.

Sabrina semakin tak mengerti akan sikap ibu Renata dan pak Sugeng. Sebetulnya ada apa?

Suara dering handphone terdengar. Ibu Renata langsung merebut handphone dari tangan suaminya. Ia sudah dapat menerka, siapa yang menelepon.

"Apa hasilnya, Pak Surya?" tanya ibu Renata tak sabar.

"Nyonya Renata?"

"Ya, saya. Katakan yang sebenarnya, apakah video itu asli atau hanya rekayasa? Katakan sekarang!"

Kedua pundak Sabrina sampai terlonjak mendengar ibu Renata membentak seseorang yang ada di ujung telepon.

"Baik, Nyonya. Hm... video ini asli. Sembilan puluh sembilan koma sembilan persen asli tanpa editan sama sekali."

Tangan ibu Renata menggenggam handphone sangat erat. Giginya gemeletuk. Kedua mata terpejam, dengan napas yang memburu.

"Baik, terima kasih."

Sambungan telepon terputus. Ibu Renata menarik napas panjang. Sementara pak Sugeng sangat khawatir kalau istrinya itu bertindak kasar pada Sabrina.

"Ma, tenang dulu. Kita bisa tanyakan baik-baik pada Sabrina," bisik Pak Sugeng merangkul pundak sang istri. Namun, rangkulan itu dihempas kasar oleh wanita yang usianya sudah lebih setengah abad.

Ibu Renata menoleh pada Sabrina yang tampak sekali kebingungan melihat prilaku ibu Renata dan pak Sugeng.

Dengan kedua tangan mengepal kuat, urat di sekitar wajah ibu Renata terlihat jelas karena kemarahan yang sudah menguasai diri. Lalu, ia melangkah pelan menghampiri menantunya. Sabrina masih bingung, kenapa ekspresi wajah ibu Renata tampak membenci?

"Ma, ada apa? Mama kenapa, Ma?" tanya Sabrina yang tak tahu masalah apa yang menimpa ibu Renata. Wanita yang kini sudah berdiri di hadapan Sabrina, terlihat sangat jijik pada istri kedua Darren itu.

Tak jua mendapat jawaban, Sabrina pun berdiri, mensejajarkan dengan ibu Renata. Kedua tangan Sabrina hendak terulur menyentuh bahu ibu Renata namun belum menyentuh, sebelah tangan Ibu Renata terangkat ke udara dan ...

PLAAAAKK!

"WANITA MUR4H4N! MUNAFIIIKKK! CUIHH!

BERSAMBUNG - BAB 80
KLIK AJA LINK DI KOLOM KOMENTAR ⬇️⬇️⬇️

𝗕𝗔𝗕. 78"Ya penting buatmu. Apa kamu masih mau menjadi bagian dari keluarga Wirawan?" telisik Andre sebelum menjelaskan l...
28/08/2025

𝗕𝗔𝗕. 78

"Ya penting buatmu. Apa kamu masih mau menjadi bagian dari keluarga Wirawan?" telisik Andre sebelum menjelaskan lebih panjang maksud ucapannya..

"Masih. Tapi, tapi aku udah ditalak tiga. Katanya kalau udah ditalak tiga enggak bisa balikan lagi kecuali masing-masing udah nikah," jawab Angelica sembari memaparkan keadaan rumah tangganya.

"Soal itu gampang diatur. Kalau kamu masih mau menjadi bagian keluarga itu, kamu harus mengirimkan rekaman video ini ke Nyonya Renata. Biar dia lihat sendiri kalau menantu keduanya s3lingkuh seperti menantu pertamanya. Hahahahahah ...."

Walau agak tersinggung dengan ucapan Andre, tapi Angelica tidak marah. Dia justru memikirkan pemaparan kekasih gelapnya itu.

"Maksudmu, kita jalankan rencana pertama yang dulu sempat gagal?"

Angelica masih belum paham maksud ucapan Andre. Lelaki di seberang telepon membenarkan pertanyaan Angelica.

"Oke juga. Ya udah, kamu kirim rekamannya ke aku. Nanti aku kirim ke nenek peot itu sekalian mau aku buatkan berbentuk hardcopy. Biar mereka semua kaget kalau menantunya yang selama ini dianggap baik, ternyata busuk. Hahahahah...."

Hati Angelica sangat bahagia. Membayangkan ekspresi kemarahan ibu Renata. Wanita tua itu pastilah sangat kecewa dan bersedih. Angelica berharap ibu Renata langsung terkena serangan jantung ketika melihat rekaman video Jessi dan Andre.

"Jangan gegabah dulu, Lica." Gelak tawa Angelica terhenti. Ia berdehem, lalu kembali menyimak ucapan Andre.

"Rencanamu mau gimana?"

Andre berdecih, tersenyum miring mendengar pertanyaan Angelica.

"Sebelumnya aku mau tanya dulu. Kalau rencana kita berhasil, Sabrina berhasil kita singkirkan dari keluarga itu dan kamu bisa menjadi bagian keluarga Wirawan lagi, berapa uang yang bisa aku dapatkan? Seratus? Dua ratus? atau tiga ratus?"

Terkejut, Angelica sangat terkejut mendengar permintaan Andre. Seratus? Tidak mungkin Andre minta imbalan seratus ribu. Pastilah seratus juta. Kalau seratus juta, sangat kemahalan.

"Masalah itu gampang, Dre. Kalau aku udah bisa menguasai keluarga itu lagi, berapapun yang kamu minta, akan aku kasih," tandas Angelica meyakinkan Andre yang mengharapkan uang darinya.

"Tapi, Lica. Aku masih berharap bisa main sama kamu. Peminat tubuhmu lumayan banyak. Penjualan video denganmu juga lebih besar dengan pemeran wanita lainnya. Kapan kamu mau main lagi, Sayang?"

Angelica menelan saliva mendengar ucapan Andre. Wanita itu hanya menghela napas, bingung menjawab. Tak tahu harus menceritakan yang sebenarnya atau menyembunyikan. Tetapi jika Angelica menceritakan tentang kesehatannya sekarang pada Andre, dia takut lelaki itu akan menghindar lagi. Sebaiknya dirahasiakan saja. Begitu pikir Angelica.

"Nantilah kalau aku udah selesai datang bulan. Ya sudah, besok aku mau ke rumah keluarga Wirawan. Ingin melihat keadaan di sana. Aku akan berusaha membuat Sabrina keluar malam lagi. Enggak perlu dia sampai melakukan hal itu denganmu, kita buat fitnah saja."

Andre terkekeh mendengar rencana yang baru saja diucapkan Angelica.

"Oke. Aku ikuti permainanmu. Yang penting, bayaranmu sesuai dengan keinginanku, Sayang."

Angelica memejamkan kedua mata sejenak, muak sebetulnya ia dengan ucapan Andre tapi mau bagaimana lagi? Angelica kini hanya punya Andre. Kedua orang tuanya dia pikir sudah tak peduli lagi.

********

"Sayang, aku baru masuk mobil. Mau ke penginapan dulu. Satu jam lagi aku baru ketemu klien. Kamu lagi ngapain?" ucap Darren pada saat sambungan telepon dengan Sabrina terhubung.

"Alhamdulillah, kalau Mas udah sampai. Saya lagi bantuin Mbok Darmi menyiapkan makan malam. Mas, jangan lupa makan malam, ya?"

Bibir Darren tersenyum. Sangat menyukai perhatian yang terkesan perhatian kecil tapi sebetulnya sangat membuat Darren bahagia.

"Iya, Sayang. Paling nanti aku makan malam bersama klien. Kamu kenapa ngebantuin Mbok Darmi? Emang Mbak Tuti kemana?"

"Mbak Tuti diajak ke swalayan sama Mama. Tapi, sampai sekarang belum sampe rumah. Tadi waktu saya telepon, kata Mama masih di jalan."

"Oh ... aku heran, kenapa sekarang mama jadi rajin ke swalayan? Biasanya juga paling malas keluar rumah."

"Enggak apa-apa, Mas. Mungkin mama bosan di rumah terus."

"Ya bisa jadi. Sayang, aku udah masuk ke halaman penginapan. Kamu jangan keluar rumah. Kalau mau keluar rumah, jangan sendirian. Harus ditemani mama atau Mbak Tuti. Oke, Sayang?"

"Iya, Mas. Mas juga hati-hati, ya?"

"Iya, Sayang."

Sambungan telepon terputus. Sabrina memasukkan ponsel ke dalam saku gamis, lalu melanjutkan menata lauk pauk ke atas meja makan.

"Sabrina, mama kamu mana?" Suara Pak Sugeng menghentikan gerakan tangan Sabrina.

"Mama belum p**ang, Pa. Tadi pergi ke swalayan bareng Mbak Tuti. Tapi, katanya sekarang udah jalan p**ang."

"Oh ya sudah. Darren sudah telepon kamu belum?" telisik pak Sugeng. Meyakinkan kalau anak tunggalnya itu sudah sampai Bali atau masih di perjalanan. Pak Sugeng bertanya pada Sabrina sebab dia yakin, orang pertama yang akan dihubungi Darren saat tiba di Bali pastilah Sabrina.

"Baru aja telepon, Pa. Mas Darren bilang tadi udah masuk ke penginapan. Satu jam lagi mau ketemu klien," jawab Sabrina lembut. Pak Sugeng menganggukkan kepala, lalu berjalan ke kamarnya.

Tidak lama pak Sugeng ke kamar, ibu Renata dan Mbak Tuti memasuki rumah. Sabrina cepat-cepat membuatkan Jus Alpukat untuk ibu mertua. Ibu Renata pasti sangat lelah dan kehausan.

Mbak Tuti dan Pak Kadir yang sibuk memasukkan barang belanjaan, dibuatkan jus juga oleh Sabrina. Mereka tampak senang dan berterima kasih pada menantu keluarga Wirawan itu.

"Mama pasti capek, ya? Boleh saya pijatin kakinya?" tanya Sabrina setelah meletakkan jus Alpukat di atas meja ruang keluarga. Ibu Renata yang sebelumnya memejamkan kedua mata sambil menyandarkan kepala di sofa menoleh.

"Enggak usah. Mama enggak terlalu capek. Itu.. jus buat Mama?" tanya ibu Renata melihat segelas jus di atas meja.

"Iya, Ma." Sabrina mengangkat gelas berisi jus Alpukat, menyodorkan pada ibu mertua. Wanita tua itu langsung meneguknya hingga setengah gelas.

"Terima kasih, Sabrina. Oh ya, papa udah p**ang belum?"

"Udah, Ma."

"Ya sudah, Mama mau bersih-bersih dulu. Keperluanmu sudah disimpan di depan pintu kamar sama Mbak Tuti. Nanti kalau mau dimasukin ke kamar, kamu minta bantuan Mbak Tuti saja."

"Iya, Ma. Terima kasih banyak."

******

Darren sudah bertemu dengan pengusaha yang berasal dari Singapore. Mr. Whang Shu adalah sahabat lama pak Sugeng. Lelaki yang berasal dari China dan fasih berbahasa Indonesia itu ingin membangun resort di Bali. Daya tarik wisatawan di Bali sangat membludak apalagi rencana pembangunan resort itu di kawasan yang strategis. Mr. Whang tak ingin salah memilih partner kerja.

"Kenapa tak papa kau saja yang ke Bali, Darren?" tanya Mr. Whang sambil menikmati steak di salah satu restoran mewah.

"Papa sibuk di Jakarta, Mr. Papa hanya titip salam saja."

"Ah, iya. Besok jam sepuluh, aku ingin kau langsung cek lokasi. Aku ingin temanya romantis, Darren. Kau buatlah design dengan tema seperti itu." Permintaan lelaki bermata sipit itu sudah dapat diprediksi oleh Darren dan Pak Sugeng. Sebelum berangkat ke Bali, pak Sugeng sudah memberitahu Darren kalau mr. Whang s**a hal-hal yang romantis.

"Oke, Mr. Untuk konsepnya udah saya design."

"Ya sudah, besok saja kau tunjukan. Malam ini aku ingin happy-happy dulu. Ah, kau perlu mainan tak, Darren?" bisik mr. Whang mengedepankan tubuhnya.

"Mainan? Maksud Mr?"

"Hahahaha... kau ini macam Sugeng saja. Payah kali tak tau mainan itu. Wanita, Darren. Kau di sini jauh dari istri, perlu kehangatan. Kalau kau mau, aku bisa rekomendasikan. Hahahahaha ...."

Gelak tawa Mr. Whang membahana. Darren sekarang mengerti, ia menghela napas berat, kedua matanya mengitari sekeliling. Beruntung tak banyak pengunjung di restoran ini.

"Bagaimana, kau mau tak? Ah, wait, wait ... aku panggilkan satu contohnya dulu."

"Enggak usah, Mr. Enggak usah. Saya enggak butuh mereka. Saya hanya ingin fokus mengerjakan projek ini."

Mr. Whang yang sudah menghubungi seseorang tak menggubris ucapan Darren. Lelaki itu tertawa lagi setelah menutup sambungan telepon.

"Kau belum lihat saja, Darren. Nantilah kau lihat dulu pemainnya. So hot and so beautiful."

Darren meringis, melanjutkan makan malam dan ingin segera pergi dari restoran itu. Toh meeting masalah pekerjaannya baru dimulai besok. Malam ini hanya penyambutan dan makan malam saja.

Tidak berselang lama, seorang wanita berpakaian modis nan seksi memasuki restoran yang dikunjungi Darren. Wanita itu tersenyum menggoda ketika mr. Whang menyuruhnya menghampiri.

"Hai, Sweety ... you're very beautiful."

"Thank you, Mr ..." Wanita itu menclum mesra Mr. Whang di depan Darren yang terkejut melihat wajah wanita panggilan itu mirip dengan Sabrina.

"Darren, wanita ini yang aku maksud. Namanya Jessi. Bagaimana, Darren? Apa kau tak tertarik padanya, heuh? "

BERSAMBUNG - BAB 79
KLIK AJA LINK DI KOLOM KOMENTAR ⬇️⬇️⬇️

𝗕𝗔𝗕. 77Sore hari, Darren sudah siap-siap akan berangkat ke luar kota. Pak Sugeng yang hari ini masuk kantor sudah menghu...
25/08/2025

𝗕𝗔𝗕. 77

Sore hari, Darren sudah siap-siap akan berangkat ke luar kota. Pak Sugeng yang hari ini masuk kantor sudah menghubunginya, menyuruh Darren segera berangkat.

"Nanti malam kliennya datang. Kalau kamu belum tiba di Bali, sedangkan Klien udah ada di sana, enggak enak Ren," jelas Pak Sugeng di ujung telepon.

Kalau bukan proyek besar, Pak Sugeng tidak mungkin menyuruh anaknya keluar kota untuk menangani proyek tersebut. Klien yang berasal dari Singapore itu sudah mempercayai perusahaan Wirawan yang bergerak dalam bidang property untuk menangani.

Darren yang duduk di sisi ranjang, di sampingnya ada Sabrina hanya merunduk lesu. Tidak ada semangat. Sabrina meraih telapak tangan suaminya, mencium punggung tangan Darren lembut lalu memberikan senyuman manis.

"Iya, Pa. Sebentar lagi berangkat."

"Hubungi Papa kalau udah tiba di sana."

"Iya, Pa."

Sambungan telepon terputus. Darren menoleh pada Sabrina. Mereka saling memandang sepersekian menit, lalu menghapus jarak cukup lama.

"Mas, udah ya? Berangkat sekarang. Nanti terlambat," kata Sabrina mengingat kembali obrolan sang suami dengan papa mertua.

"Kamu lihat, Sayang. Dia bangun...." ujar Darren, pandangannya tertuju pada salah satu bagian tubuhnya. Sabrina merunduk malu, tersenyum.

"Enggak ada waktu, Mas. Nanti keburu mama marah-marah."

Benar saja, belum satu menit Sabrina bicara, suara ketukan pada pintu kamar mereka dibarengi suara ibu Renata terdengar.

Darren dan Sabrina menoleh ke arah pintu. Dengan langkah gontai, Darren menarik koper menuju pintu kamar. Sabrina sendiri membetulkan pakaian dan jilbabnya.

"Kamu harus berangkat sekarang, Darren!" cetus ibu Renata menatap nyalang anak semata wayangnya.

"Iya, Ma."

Sabrina berjalan di samping Darren, mengikuti langkah kaki ibu Renata yang berjalan lebih dulu.

"Sayang, aku berangkat sekarang. Kamu hati-hati di rumah. Aku pasti sangat merindukanmu," ucap Darren ketika di depan teras rumah, berdiri menghadap istrinya. Ibu Renata yang berdiri membelakangi mereka hanya menghela napas berat, menggelengkan kepala mendengar ucapan Darren.

"Iya, Mas. Di rumah ini kan banyak orang. Insya Allah saya aman. Jangan khawatir, ya?" timpal Sabrina tersenyum manis. Darren mendekatkan wajah, mengecup singkat bibir mungil Sabrina.

"Cepetan, Darren!" sentak ibu Renata membuat Darren menarik diri. Lelaki itu mengusap tengkuk, melangkah menuju mobil.

"Ma, nitip Sabrina. Jangan marahin dia. Kalau Mama mau marahin Sabrina, Mama mesti ingat di dalam kandungan Sabrina ada cucu Mama." Pesan Darren sebelum masuk ke dalam mobil.

"Cerewet! Cepetan masuk mobil!" titah ibu Renata melotot. Darren tak dapat mengelak lagi. Malas-malasan dia masuk ke dalam mobil. Kaca jendela mobil di buka lebar. Kedua matanya memandang Sabrina yang berdiri di belakang tubuh mamanya.

"Sayang, kamu geser ke sebelah kiri," pinta Darren sebelum mobil melaju. Ibu Renata menoleh ke belakang, sedangkan Sabrina tak mengerti maksud suaminya.

"Maksudnya geser ke sebelah kiri begini, Mas?"

"Nah iya. Tadi kamu ketutupan Mama. Aku enggak bisa lihat kamu dengan jelas," kata Darren selalu beralasan. Ibu Renata semakin kesal, turun dari teras, menghampiri mobil yang ditumpangi Darren, berdiri di samping kemudi.

"Pak Kadir, cepatan jalan! cepat!"

"Ba-baik, Nyonya."

"Ya elah, Ma. Penerbangannya masih satu jam lagi. Dari pada nunggu di bandara, mending nunggu di sini."

Ucapan Darren tak ditanggapi, kendaraan itu sudah melaju meninggalkan halaman rumah mewah keluarga Wirawan.

"Sabrina, ayok masuk!" titah ibu Renata melihat Sabrina masih memandang kendaraan yang ditumpangi suaminya padahal sudah tidak terlihat di depan mata.

"I-iya, Ma."

Bukan hanya Darren, sebetulnya Sabrina juga sangat berat berpisah dengan lelaki cinta pertamanya itu..

"Sabrina, saya mau berangkat ke swalayan. Kamu mau nitip apa? Apa svsv ibu hamil kamu masih ada?" tanya ibu Renata pada menantunva.

"Masih ada dua bungkus lagi, Ma."

Jawaban Sabrina membuat langkah kaki ibu Renata terhenti, menoleh ke belakang.

"Kenapa baru bilang? Harusnya kamu bilang ke Mama atau ke Darren waktu sisa lima bungkus lagi. Astaga, Sabrina. Jangan sampai calon cucu Mama kelaparan di dalam rahimmu!"

"Maaf, Ma. Dua bungkus juga masih bisa untuk semingguan."

"Ya udah Mama mau berangkat sekarang. Kamu jangan keluar rumah walaupun duduk di teras depan. Kamu hanya boleh berkeliaran di dalam rumah saja. Mengerti, Sabrina?"

Ibu Renata berbicara sungguh-sungguh.

"Iya, Ma. Saya enggak akan kemana-mana. Mama hati-hati, ya?" kata Sabrina tersenyum manis. Entah mengapa ibu Renata merasa tenang jika melihat raut wajah menantunya itu. Pantas saja Darren sangat mencintai dan tak mau jauh-jauh dari Sabrina. Pesona Sabrina memang menenangkan hati.

"Iya," timpal ibu Renata mengalihkan pandangan lalu berteriak memanggil, "Mbak Tutiiiii... Mbak Tutiiiiii... Mbak, anterin saya ke swalayan!"

*****†**

Andre masih saja menelisik rekaman video. dirinya dengan Jessi. Dia baru sadar kalau wajah Jessi mirip dengan istri kedua Darren.

"Ya benar, wajahnya mirip Sabrina. Hanya saja, ada titik tanda lahir di atas bibir Jessi. Apa mungkin Jessi itu adalah Sabrina? Atau mungkin sebenarnya mereka kembar?" gumam Andre mulai yakin kalau wajah Jessi memang sangat mirip dengan Sabrina. Hanya sikapnya saja yang berbeda.

Andre mencari handphone, ingin memastikan kecurigaannya pada Angelica.

"Hallo, Dre? Ada apa?" Suara Angelica terdengar seperti baru bangun tidur. Andre melirik jam dinding di kamar, baru jam sembilan malam tapi Angelica sudah tertidur. Tidak biasanya.

"Tumben jam segini kamu udah tidur?"

"Tadi aku habis minum obat. Ngantuk banget. Ada apa?"

"Minum obat? Obat apa? Kamu sakit apa?"

Mendengar rentetan pertanyaan Andre, Angelica baru sadar keceplosan. Seketika, rasa kantuknya hilang, kedua ma matanya membeliak, mengubah posisi jadi duduk.

"Eu... a-aku sakit kepala doang. Mungkin.... gara-gara semalam enggak tidur. Balik dari hotel, aku enggak bisa tidur," jawab Angelica sekenanya.

"Hahahahaha... apa kamu masih terbayang adeganku dengan Jessi, hem?" goda Andre mengingat raut wajah Angelica yang tampak cemburu melihat dia bercinta dengan Jessi.

"Ck, jangan dibahas lagi! Ada apa kamu telepon? Perlu bantuan buat ngerekam lagi? Kalau peran wanitanya si Jessi, aku enggak mau!" Angelica langsung menolak. Andre terkekeh, duduk bersandar di sofa. Posisi sangat santai.

"Enggak. Jessi udah balik lagi ke Bali. Katanya dia ada job di sana. Aku telepon kamu mau tanya sesuatu."

Kening Angelica mengkerut, menghela napas berat.

"Tanya sesuatu apa?" Suara Angelica terdengar sangat datar.

Andre membungkukkan badan, memerhatikan lagi videonya dengan Jessi.

"Kamu sadar enggak, kalau wajah Jessi mirip dengan istri keduanya Darren?"

Pertanyaan Andre membuat Angelica tersenyum sinis.

"Kamu baru sadar?" Pertanyaan Angelica seperti mengejek. Andre menarik napas panjang, mengusap tengkuk.

"Wah berarti kamu tau ya? Aku emang baru sadar kalau wajah Jessi mirip Sabrina. Lica, kalau Jessi adalah Sabrina, berarti keinginanku dulu berc1nt4 dengannya, udah terpenuhi. Ternyata dia jauh lebih hot dari pada kamu. Pantas saja Darren lebih memilihnya. Enggak cuma hot, tapi sangat menjepit. Hahahaha...."

Bagi Angelica, gelak tawa Andre bagai suatu hinaan. Secara tidak langsung, Andre telah membandingkannya dengan Jessi.

"Bagaimana kalau Jessi bukan Sabrina tapi orang lain yang wajahnya kebetulan mirip atau bisa saja Jessi adalah saudara kembar Sabrina."

Gelak tawa Andre terhenti. Tampak berpikir.

"Kalau Jessi bukan Sabrina ya enggak masalah. Cuma aku enggak yakin kalau kemiripan itu hanya kebetulan. Justru aku curiga kalau Sabrina adalah saudara kembar Jessi. Ya mungkin dulunya mereka berpisah kayak di film-film."

Angelica mendecih, memalingkan wajah ke arah lain.

"Jadi kamu telepon aku malam-malam cuma mau ngebahas si Jessi dan Sabrina? Enggak penting banget!" Angelica sangat kesal. Sedang enak-enak tidur, ditelepon Andre. Awalnya Angelica pikir, Andre telepon malam-malam karena merindukannya atau akan datang ke tempat dia. Ternyata ....

"Menurutku penting buatmu," timpal Andre langsung. Angelica terkejut, memicingkan kedua mata.

"Penting buatku? Maksudmu?"

BERSAMBUNG - BAB 78
KLIK AJA LINK DI KOLOM KOMENTAR ⬇️⬇️⬇️

Address

Jalan KH ABDUL KARIM NO 7
East Jakarta
52254

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Catatan Kisahku posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share

Category