17/09/2025
πππ. 80
"Astaghfirullah ya Allah," desis Sabrina memegang sebelah p**inya yang terasa sangat nyeri. Telinga Sabrina semakin berdengung. Air liur ibu Renata mengenai kerudung Sabrina, diseka pelan dengan ujung jilbab.
"Mama! Tenang, Ma... apa yang Mama lakukan? Mama enggak boleh bersikap kasar pada Sabrina!"
Pak Sugeng tak bisa berdiam diri. Walau dia sudah melihat wajah Sabrina di dalam video tersebut, tapi hatinya tak yakin kalau itu adalah Sabrina.
Ibu Renata menyentak cekalan tangan Pak Sugeng, menoleh, menatap nyalang lelaki yang sangat mencintainya itu.
"Apa kamu buta? Kamu sendiri lihat video itu. Anak kita dikhianati lagi, Mas! Dia ini munafik! Pakeannya saja islami padahal busuk! Lepas jilbabmuuuuuu! Lepas, Sabrinaaaa!"
Ibu Renata menarik paksa jilbab yang dikenakan Sabrina hingga rambut istri kedua Darren itu terurai. Jilbab Sabrina dibuang cukup jauh. Sabrina terkejut, berusaha meraih jilbabnya. Dia merangkak, tubuhnya gemetar hebat. Sabrina benar-benar tak mengerti, penyebab kemarahan ibu mertua.
Mbok Darmi dan Mbak Tuti yang mengintip di dinding pembatas antara ruang keluarga dan ruang meja makan menangis berpelukan, melihat kemarahan ibu Renata.
"Jangan kau pakai lagΓ jilbabmu, J414ng!"
Tangan Ibu Renata menarik rambut Sabrina hingga kepala wanita itu mendongak ke atas.
"A-ampun, Maaaa... a-ampuuunn ... S-saya salah apaaa?" Air mata berlinang membasahi wajah putihnya. Suara Sabrina bergetar.
"Salah apa? Kamu udah bercinta dengan lelaki lain, sekarang kamu tanya salah apa? DASAR MUNAFIIIKKK! PLAAAK, PLAAAK!" Penuh luapan emosi, ibu Renata kembali menampar Sabrina bolak-balik.
Darah segar keluar dari sudut bibir Sabrina. Tubuhnya terjerembab ke belakang. Ambruk ke atas lantai. Sabrina pasrah. Telinganya semakin berdengung, p**i kebas, kepala terasa sangat pusing. Sabrina yang belum sarapan, tubuhnya terasa lemas. Sangat lemas. Detak jantungnya berpacu lebih cepat.
Ibu Renata sama sekali tak memberikan kesempatan pada Sabrina untuk bicara. Ia justru hendak melakukan kekerasan lagi, namun Pak Sugeng menahan pinggangnya.
"Cukup, Renata! Cukup! Kamu bisa bvnuh dia! Kamu bukan orang jahat, Renata! Kamu ibu yang baik!" Sentak pak Sugeng. Menahan trubuh istrinya agar tidak menyiksa Sabrina lagi.
Pak Sugeng pun Memberi isyarat pada kedua asisten rumah tangganya agar membawa Sabrina ke dalam kamar. Mbok Darmi dan Mbak Tuti bergegas keluar dari persembunyiannya. Mengangkat tubuh ringkih itu ke dalam kamar mereka.
"Lepasin aku, Mas! Lepasin! Lepasin!"
"Diam kau, Renata! Jangan sampai aku menamparmu!"
Mendengar ancaman sang suami, Ibu Renata terdiam. Namun, kemarahannya semakin memuncak. Dia betul-betul geram karena pak Sugeng tidak berpihak padanya. Dirasa mulai tenang, barulah pak Sugeng melepaskan tubuh ibu Renata.
Tubuh tua itu berjalan gontai ke sofa ruang keluarga. Air mata perlahan membasahi wajah keriputnya. Ibu Renata meratapi nasib. Nasib yang menimpa kehidupan anak semata wayangnya yang selalu dikhianati istri.
Pak Sugeng menggelengkan kepala, menghampiri ibu Renata yang pandangannya kosong, lurus ke depan.
Perlahan, pak Sugeng meraih telapak tangan istrinya.
"Renata, sudah, Renata ...." Pak Sugeng memeluk tubuh ibu Renata. Bukan saat yang tepat menasehati istrinya. Ia harus membiarkan pikiran ibu Renata tenang lebih dulu. Membiarkan istrinya sendiri yang bercerita.
***
"Astaghfirullahalazim, Nduk ... malang nian nasibmu, Ndukkk...," ratap Mbok Darmi membersihkan darah segar di sudut bibir Sabrina. Wanita yang tengah mengandung itu jatuh pingsan saat ibu Renata menampar kedua p**inya sangat keras.
Mbak Tuti masuk ke dalam kamar setelah sebelumnya mengambil baskom berisi air serta handuk kecil untuk mengompres kening Sabrina.
"Sebenarnya ada masalah apa, Mbok? Kenapa Nyonya besar sangat marah pada Non Sabrina? Lihat, Mbok ... tubuh Non Sabrina sampai menggigil. Badannya panas sekali, Mbok."
Berlinang air mata, Mbak Tuti bertanya. Menempelkan handuk kecil di atas kening Sabrina.
Mbok Darmi menyeka lelehan air matanya.
Menggelengkan kepala.
"Mbok juga ndak tau. Kenapa Nyonya besar seperti kesetanan. Gusti ya Allah... ada apa lagi dengan Nyonya Renata?" Batin Mbok Darmi terasa pedih menyaksikan dengan mata kepala sendiri, kekerasan yang dilakukan ibu Renata pada menantu keduanya.
"Menurutku sikap Nyonya besar sangat keterlaluan, Mbok. Andai saja tadi Mbok enggak menghalangiku, mungkin Non Sabrina enggak kena tamparan kedua kalinya," ucap Mbak Tuti yang memang tadi hendak menarik Sabrina dari hadapan ibu Renata. Mbok Darmi yang duduk dekat Mbak Tuti menyentuh pundaknya.
"Sampeyan harus eling, Tuti. Kita ini cuma pembantu, cuma babu. Ndak adab kalau ikut campur urusan majikan," tandas Mbok Darmi.
Mbak Tuti menarik napas panjang. Membelai wajah Sabrina. Mereka sudah menganggap Sabrina bagian dari keluarga. Kebaikan gadis desa itu meluluhkan hati Mbok Darmi dan Mbak Tuti.
"Kasihan Non Sabrina, Mbok. Baru saja Nyonya besar baik dan perhatian padanya, sekarang tiba-tiba...." Kalimat Mbak Tuti terpotong dengan suara bel.
"Tuti, buka dulu pintunya."
"I-Iya, Mbok."
Mbak Tuti keluar kamar. Melewati ruang keluarga, Pak Sugeng dan Ibu Renata sudah tidak ada di sana. Mendadak, Mbak Tuti mulai tak s**a dengan perilaku ibu Renata.
"Non Angelica?" sapa Mbak Tuti ketika membuka pintu. Wanita itu tersenyum manis, membalas sapaan salah satu asisten rumah tangga keluarga Wirawan.
"Apa kabar, Tuti? Baik kan?"
"Alhamdulillah baik. Non Angelica mau ketemu Nyonya besar?" Mbak Tuti malas berbasa-basi dengan mantan majikannya itu.
"Iya. Apa Nyonya besarmu udah bangun? Atau jangan-jangan, baru saja terjadi sebuah tragedi yang menyedihkan? Tragedi yang mengenaskan?"
Wajah Mbak Tuti mundur ke belakang, keningnya mengkerut. Merasa heran, kenapa Angelica bisa menduga ada keributan di rumah ini?
"Hm, maaf, Non. Saya enggak tau. Silakan duduk!" Mbak Tuti mempersilakan Angelica agar duduk di kursi teras depan rumah. Angelica menoleh, mengikuti tangan Mbak Tuti yang mengarah pada kursi teras rumah.
"Kamu nyuruh saya duduk di sana? Enggak mempersilakan saya masuk ke dalam?" Pertanyaan Angelica membuat Mbak Tuti jadi serba salah.
"Mohon maaf, Non. S-saya hanya mengikuti perintah Nyonya besar. Katanya kalau Non Angelica datang ke rumah ini, enggak boleh masuk ke dalam rumah."
Meski sangat tersinggung dengan ucapan Mbak Tuti, tapi Angelica berusaha menahan. Ia menghela napas berat.
"Baiklah, Saya tunggu di sini saja. Cepat, kau panggilkan nyonya besarmu!" titah Angelica bersikap seolah dia masih majikannya Mbak Tuti.
Wanita berusia tiga puluh tahunan itu tak menanggapi, menutup pintu lalu berjalan ke kamar ibu Renata dan Pak Sugeng.
Di depan pintu kamar, Mbak Tuti sedikit ragu. Dia jadi bingung. Apa harus menyampaikan kalau di depan ada Angelica atau .....
Mbak Tuti tidak berani mengetuk pintu, dia justru menuju kamar, hendak menyuruh Mbok Darmi.
"Mbok," panggil Mbak Tuti.
"Siapa yang datang, Tuti?" telisik Mbok Darmi menyeka lelehan air matanya. Sabrina masih tergolek lemah. Jilbab yang sebelumnya dilepas paksa ibu Renata, kini sudah dikenakan kembali. Mbok Darmi yang mengenakannya di kepala Sabrina.
"Non Angelica. Dia katanya pengen ketemu nyonya besar. Nyonya dan Tuan lagi di kamar kayaknya, Mbok. Saya enggak berani ganggu," kata Mbak Tuti lirih. Mbok Darmi mengerti. Tubuhnya yang tambun dan sudah menua, berdiri.
"Ya sudah, kamu tungguin Non Sabrina dulu. Biar Mbok yang kasih tau Nyonya dan Tuan."
Mbak Tuti menganggukkan kepala, membiarkan Mbok Darmi keluar kamar.
Sampai di depan pintu kamar ibu Renata dan Pak Sugeng, Mbok Darmi mengetuk pintu beberapa kali. Tak berselang lama, Pak Sugeng yang membuka pintu. Lelaki itu telah berpakaian kantor.
"Ada apa, Mbok?"
"Di depan Ada Non Angelica. Katanya ingin bertemu dengan Nyonya besar."
Pak Sugeng terkejut mendengar kedatangan mantan menantunya itu.
"Baiklah, biar saya saja yang menemuinya."
"Iya, Tuan."
Pak Sugeng menoleh ke dalam, melihat keadaan istrinya yang duduk bersandar di kepala r4njang sembari memejamkan kedua mata.
Lelaki itu keluar kamar tanpa menyampaikan keinginan Angelica pada ibu Renata. Ia tak mau Ada keributan di pagi buta untuk kedua kalinya.
Membuka pintu depan, terlihat Angelica sedang tersenyum sendiri.
"Ada apa, Angelica?"
Suara berat pak Sugeng menyentak Angelica. Wanita itu menoleh, tersenyum tipis.
"Selamat pagi, Pa," sapa Angelica berdiri, sekadar berbasa-basi.
"Pagi. Mau apa kamu pagi-pagi datang ke sini?
Terlihat sekali jika pak Sugeng tidak menyukai kedatangannya.
"Hm... Aku ke sini hanya ingin bersilaturahmi dengan Mama Renata. Apa Mama keadaannya baik-baik saja?"
Pak Sugeng sudah menduga tujuan kedatangan Angelica ke rumahnya pagi-pagi ingin menertawakan keadaan keluarga Wirawan. Angelica pasti sudah membayangkan reaksi ibu Renata setelah melihat video yang dikirimnya.
Pak Sugeng masih berdiri di tempat, sikapnya sangat tenang.
"Keadaan istri saya sangat baik. Apalagi ketika mendengar Sabrina sedang hamil. Hubungan mereka juga sudah jauh lebih baik. Istri saya sangat menyayangi Sabrina dan sangat perhatian padanya."
Mendengar jawaban pak Sugeng, senyum di wajah Angelica seketika hilang. Keningnya mengkerut karena terkejut. Ia tercenung sejenak, lalu merogoh ponsel dari dalam tas. Memastikan kalau video itu sudah terkirim ke nomor ibu Renata.
"Kalau enggak ada yang ingin kamu ketahui lagi, silakan pergi, Angelica. Kami mau menyantap sarapan bersama."
BERSAMBUNG - BAB 81
KLIK AJA LINK DI KOLOM KOMENTAR β¬οΈβ¬οΈβ¬οΈ