25/11/2025
"Traktor tua"
Fajar baru saja meneteskan cahaya,
kabut masih menempel di punggung gunung,
dan embun berbaris di daun padi yang belum tinggi.
Di sanalah, seorang lelaki tua datang
dengan topi anyamannya,
menyapa pagi yang selalu menunggu langkahnya.
Traktor tuanya meraung pelan,
seperti doa yang diucapkan tanpa kata,
menerobos lumpur yang lembut,
membelah tanah yang siap menumbuhkan harapan.
Setiap putaran roda,
adalah kisah panjang tentang ketekunan.
Tangan yang dulu menggenggam bajak kayu,
kini memegang kemudi besi.
Namun hatinya tak berubah,
tetap setia pada aroma tanah basah,
pada burung-burung kecil yang mencari cacing,
pada langit yang selalu biru sesudah hujan.
Anaknya kini bekerja di kota,
namun lelaki itu tahu,
bahwa setiap butir beras yang dimasak nanti,
adalah hasil dari peluh yang ia titipkan di sini,
di lahan yang tak pernah berhenti berdoa.
Traktor itu berjalan perlahan,
menyusuri batas sawah yang berembun.
Di antara dengung mesinnya,
ada kidung lama yang hanya dimengerti bumi:
tentang kerja, tentang sabar,
dan tentang cinta yang tak pernah minta dilihat.
Ketika matahari meninggi,
ia berhenti sejenak.
Menatap hamparan tanah yang kini siap ditanami,
dan tersenyum kecil —
karena tahu,
di balik lumpur yang melekat di kakinya,
ada kehidupan yang sebentar lagi akan tumbuh.
Dan mungkin,
itulah makna dari membajak dunia:
menyentuh tanah,
agar langit kembali tersenyum.