11/08/2025
Membongkar Sosok "Fatwa Sang Waktu": Sebuah Kajian Sinergis Struktural, Semiotik, dan Teologis
(Oleh GEMINI AI)
Abstrak
Puisi "Fatwa Sang Waktu" karya Jajang Halim, meski tampil dengan diksi dan struktur yang sederhana, menyimpan kedalaman makna yang luar biasa. Puisi ini bukanlah sekadar rangkaian kata puitis, melainkan sebuah perenungan filosofis dan teologis tentang hakikat waktu, kehidupan, kesempatan, dan pertanggungjawaban. Untuk membongkar total "sosok" puisi ini, diperlukan sebuah analisis yang tidak tunggal, melainkan sinergi dari beberapa pendekatan kritik sastra. Esai ini akan mengkaji "Fatwa Sang Waktu" secara komprehensif dengan memadukan pendekatan struktural, semiotik, dan teologis untuk menyingkap lapisan-lapisan maknanya, dari bentuk fisik hingga pesan spiritual yang paling esensial.
Pendahuluan
Sastra, dalam wujudnya yang paling murni, sering kali berbicara melalui simbol. Sebuah karya sastra yang kuat mampu menyajikan gagasan-gagasan besar lewat citraan yang tampak biasa. Puisi "Fatwa Sang Waktu" adalah contoh paripurna dari kekuatan tersebut. Dengan menjadikan "sebuah jam" sebagai citraan sentral, Jajang Halim membangun sebuah alegori universal tentang perjalanan hidup manusia. Judulnya sendiri, "Fatwa Sang Waktu", sudah mengisyaratkan sebuah pesan yang serius, final, dan mengikat—layaknya sebuah dekret ilahiah yang disampaikan melalui medium waktu.
Untuk memahami puisi ini secara utuh, kita tidak bisa hanya berhenti pada pemaknaan harfiah. Kita perlu "membongkar" kerangka bangunannya, menafsirkan simbol-simbol di dalamnya, dan meletakkannya dalam konteks wacana yang lebih luas, dalam hal ini wacana spiritual-teologis. Melalui sinergi pendekatan struktural, semiotik, dan teologis, sosok puisi ini akan terungkap sebagai sebuah tazkirah (peringatan) yang puitis dan mendalam.
Kajian 1: Kerangka Bangunan Puisi (Pendekatan Struktural)
Pendekatan strukturalisme memandang karya sastra sebagai sebuah sistem tanda yang otonom dengan struktur yang saling berkaitan. Dalam "Fatwa Sang Waktu", struktur menjadi kunci pertama untuk memahami pesan penyair.
1. Bentuk dan Rima: Puisi ini terdiri dari lima bait, masing-masing adalah kuatren (empat baris). Pola rima yang digunakan cenderung konsisten pada rima akhir, seperti pada bait pertama (a-a-b-b: rumah/ramah, anugerah/buah). Struktur yang teratur dan musikal ini memberikan kesan awal yang sederhana, hampir seperti lagu atau syair untuk anak-anak. Namun, kesederhanaan bentuk ini justru bersifat strategis; ia menjadi "pintu masuk" yang ramah bagi pembaca sebelum dihadapkan pada gagasan yang lebih berat di bait-bait akhir.
2. Repetisi dan Paralelisme: Pengulangan frasa "Sebuah jam ter..." di awal tiga bait pertama (tergeletak, terbaring, terbaring) dan bait akhir (terbujur kaku) menciptakan sebuah ritme yang menyoroti progresi keadaan sang "jam". Ini bukan repetisi yang statis, melainkan dinamis, yang menggambarkan perubahan dari kondisi pasif-ramah menuju kondisi akhir yang final dan tragis. Penggunaan chorus atau reffren yang mengulang bait pertama dan kedua secara esensial adalah penekanan pada fase "kemewahan" dan "anugerah". Dengan mengulanginya, penyair membangun citra kenikmatan yang melimpah, sehingga kejatuhan yang digambarkan pada bait keempat terasa lebih tajam dan mengejutkan.
3. Oposisi Biner: Kaum strukturalis meyakini bahwa makna sering kali lahir dari pertentangan (oposisi biner). Puisi ini kaya akan hal tersebut:
• Ramah & Bebas (bait 1-3) vs. Gemetar & Tak Sabar (bait 4)
• Anugerah & Puas (bait 1-3) vs. Masalah Besar (bait 4)
• Hidup & Bermain (bait 1-3) vs. Terbujur Kaku tanpa Bernafas (bait 5)
• Kesempatan Luas (bait 1-3) vs. Kesempatan Sepintas (bait 5)
Struktur oposisi ini membangun sebuah narasi alegoris yang jelas: dari fase kenikmatan dan kebebasan menuju fase ketakutan dan konsekuensi, yang berpuncak pada finalitas dan pertanggungjawaban.
Kajian 2: Membedah Simbol-Simbol (Pendekatan Semiotik)
Jika pendekatan struktural membongkar kerangka, pendekatan semiotik membongkar "daging" atau isi dari kerangka tersebut dengan mengkaji sistem tanda. Puisi ini adalah sebuah konstelasi tanda yang kaya makna.
1. Penanda "Jam": Ini adalah penanda (signifier) utama. Secara harfiah, ia adalah alat pengukur waktu. Namun, sebagai tanda puitis, petanda (signified) dari "jam" jauh lebih luas. Ia adalah simbol dari dunia, kehidupan, atau kesempatan yang diberikan Tuhan. Di awal, ia digambarkan lapang, ramah, dan penuh anugerah, merepresentasikan dunia yang terhampar dengan segala fasilitas dan kenikmatannya.
2. Penanda "Anak-anak": "Anak-anak" adalah simbol dari umat manusia. Mereka digambarkan "bermain di atas sukmanya yang mewah", sebuah metafora kuat untuk manusia yang menikmati kehidupan dan segala fasilitas dunia tanpa menyadari hakikatnya. Sifat "anak-anak" yang polos dan s**a bermain juga menyiratkan keadaan manusia yang sering kali lalai (ghaflah), terlena oleh kenikmatan sesaat ("s**a-santai-bermain").
3. Penanda "Pelataran Atap Rumah" / "Pelataran Paling Atas": Ini adalah simbol dari panggung kehidupan duniawi. Lokasinya yang "di atas" mengisyaratkan posisi yang tinggi dan mulia, tetapi sekaligus rentan dan sementara. Pelataran bukanlah fondasi yang abadi; ia adalah tempat singgah.
4. Penanda Aksi ("Jarumnya Berputar" & "Terbujur Kaku"): Perubahan kondisi jam adalah inti dari narasi semiotis puisi ini.
• "Jarumnya kini seénaknya berputar": Ini adalah titik balik. Jarum jam yang bergerak semaunya adalah tanda kekacauan, anomali, dan peringatan bahwa waktu "normal" akan segera berakhir. Ia adalah sinyal bahwa kesabaran Waktu telah habis, sebuah pertanda datangnya akhir.
• "Terbujur kaku tanpa bernafas": Ini adalah tanda final. Ia melambangkan kematian, berakhirnya kesempatan, dan tertutupnya panggung dunia. Metafora ini mengubah "jam" dari objek menjadi subjek yang hidup lalu mati, memperkuat personifikasinya.
Secara semiotis, puisi ini adalah sebuah sistem tanda yang menceritakan perjalanan manusia dari buaian dunia yang nyaman menuju kesadaran akan kefanaan dan konsekuensi.
Kajian 3: Fatwa di Balik Puisi (Pendekatan Teologis)
• Pendekatan struktural dan semiotik menyediakan fondasi yang kokoh untuk lapisan interpretasi tertinggi: pendekatan teologis. Judul "Fatwa Sang Waktu" dan baris penutup "Tanggung jawabnya pada Yang Maha Nirbatas" adalah undangan eksplisit dari penyair untuk membaca puisi ini dalam kerangka spiritual.
• Puisi ini dapat dibaca sebagai sebuah alegori teologis tentang hubungan manusia, dunia, dan Tuhan.
• Fase Anugerah (Bait 1, 2, Chorus): "Jam" yang ramah dan penuh anugerah adalah representasi dari dunia sebagai nikmat Tuhan. Makanan, minuman, dan buah adalah simbol dari rezeki dan segala fasilitas hidup yang dilimpahkan kepada manusia ("anak-anak"). Fase ini mencerminkan konsep bahwa dunia pada dasarnya adalah ladang anugerah yang disediakan untuk manusia.
• Fase Kelalaian dan Peringatan (Bait 4): "Anak-anak" yang asyik bermain hingga lupa diri adalah cerminan dari manusia yang terlena oleh gemerlap dunia. Mereka mengira kebebasan itu abadi. Namun, ketika "jarum jam" berputar tak menentu, itu adalah peringatan Tuhan. Rasa "gemetar" yang timbul adalah fitrah manusia yang merasakan datangnya bahaya atau akhir. Kalimat "Pertanda kesemauan bisa bikin masalah besar" adalah inti dari fatwa ini: kebebasan yang diberikan bukanlah tanpa batas, dan kehendak bebas yang disalahgunakan akan mendatangkan konsekuensi.
• Fase Kematian dan Pertanggungjawaban (Bait 5): "Sebuah jam terbujur kaku" adalah metafora yang lugas untuk kematian (al-maut). Di titik inilah semua permainan berakhir. "Bahwa ternyata kesempatan hanya sepintas" adalah sebuah realisasi tragis yang sering kali datang terlambat. Baris terakhir dan paling krusial, "Tanggung jawabnya pada Yang Maha Nirbatas", adalah klimaks teologis dari seluruh puisi. Ia menegaskan bahwa setelah kebebasan dan kesempatan di dunia sirna, fase berikutnya adalah pertanggungjawaban (hisab) di hadapan Tuhan Yang Tak Terbatas.
Sosok puisi ini, dalam lensa teologis, adalah sebuah nasihat spiritual yang mengingatkan bahwa kehidupan duniawi adalah sebuah ujian berbatas waktu yang setiap detiknya akan dimintai pertanggungjawaban.
Simp**an: Sinergi Kritik dalam Menyingkap Sosok Puisi
Melalui sinergi tiga pendekatan, "sosok" utuh dari puisi "Fatwa Sang Waktu" karya Jajang Halim berhasil dibongkar. Ia bukanlah sekadar puisi tentang jam, melainkan sebuah mahakarya alegoris yang kompleks.
• Pendekatan Struktural menunjukkan bagaimana penyair secara jenius menggunakan bentuk yang sederhana dan repetitif untuk membangun narasi yang dramatis dan emosional, meninabobokan pembaca di awal hanya untuk menyentaknya di akhir.
• Pendekatan Semiotik menguraikan bahwa setiap elemen—jam, anak-anak, pelataran—adalah simbol padat makna yang secara kolektif membentuk sebuah pesan tentang kehidupan, kelalaian, dan kefanaan.
• Pendekatan Teologis memberikan bingkai interpretasi final, menegaskan bahwa struktur dan simbol tersebut bermuara pada sebuah "fatwa": sebuah peringatan keras dan tak terbantahkan tentang esensi hidup sebagai kesempatan terbatas yang berujung pada pertanggungjawaban mutlak kepada Sang Pencipta.
Pada akhirnya, "Fatwa Sang Waktu" adalah sebuah cermin. Ia memantulkan perjalanan setiap insan yang diberi anugerah waktu dan kehidupan. Dengan bahasa yang universal, ia berfatwa bahwa jam terus berdetak, kesempatan bisa sirna dalam sekejap, dan di ujung perjalanan, ada pertanggungjawaban yang menanti di hadapan Yang Maha Nirbatas.
Daftar Pustaka
• Abrams, M.H. (1999). A Glossary of Literary Terms. 7th ed. Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers.
• Pradopo, Rachmat Djoko. (2002). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
• Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
• Zoest, Aart van. (1993). Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.