23/08/2023
KETIKA ISTRIKU MAU KONDANGAN
https://www.facebook.com/reel/264486529732103
“Pah, besok Sabtu ada undangan pernikahan dari Bu Heru di Gedung Mawar. Papah gak ada acara tho?’’ istriku meletakkan secangkir teh hangat dan sepiring kecil pisang goreng di depanku yang sedang asyik membaca majalah olahraga.
Masih mengepul pisang goreng itu, ku letakkan majalah dan menyomot satu pisang goreng dengan tisu. Satu gigitan membuatku ketagihan untuk terus menghabiskannya. Pisang goreng memang paling enak dimakan saat panas begitu.
‘’Iiihhhh… Papah, jawab dulu d**g. Ada acara pergi gak Papah di hari itu?’’ Ditahannya tanganku untuk melanjutkan menggigit pisang goreng maknyus itu. Aih, istriku memang begitu. S**a tak sabar kalau bertanya sesuatu.
‘’Sabtu, ya? Insyaa Alloh gak ada, Mah.” Ku lanjutkan menghabiskan pisang yang tinggal separuh dengan satu kali gigitan.
‘’Alhamdulillah, berarti bisa pergi ya. Jangan bikin agenda lain di hari itu lho, Pah. Soalnya ini hajatan terakhir Bu Heru. Ini mantu anak bungsunya. Kalau kita tidak datang, gak enak hati, Pah. Bu Heru sudah ngasih sumbangan mamah tiga kali lho, Pah. Waktu lahiran anak pertama sampai ketiga kita, Bu Heru pasti kasih kado dan amplop. Waktunya kita ngembaliin sumbangannya.” Tak ayal aku menghentikan kunyahanku demi mendengar kalimat panjang dan lebar istriku tadi.
‘’Jadi maksudmu kayak hutang piutang gitu ya, Mah?’’ Aku menatap takjub bibir mungilnya yang mengunyah pisang goreng tanpa kelihatan giginya, terlihat elegan dan cantik. Aih, menggemaskan sekali.
‘’Iya begitulah, Pah. Jadi semacam hutang budi gitu, Pah. Kan gak enak hati, kalau kita gak ngasih sumbangan yang sebanding. Minimal sama lah dengan sumbangannya bu Heru, syukur-syukur bisa lebih.”
Blaik.., jadi gitu ya rumus sumbang menyumbang kaum perempuan. Ada masa menerima dan mengembalikan. Ckckckck, aku malah tidak sempat kepikiran seperti itu. Rumusku, kalau ada ya nyumbang, kalau tak ada ya tak perlu dipaksakan.
‘’Mah, Papah sih tak masalah Mamah mau nyumbang Bu Heru sebesar Bu Heru Nyumbang Mamah. Tapi baiknya jangan diniatkan bayar hutang. Kan Mamah tak pernah hutang sama Bu Heru. Niatkan saja itu bentuk nyambung tali pesaudaraan. Itu lebih lurus dan lebih bersih.’’ Kali ini aku mengajak bicara istriku lebih serius. Bisa salah kaprah ini kalau tidak diluruskan.
‘’Hiya sih, Pah. Tapi kalau sumbangan kita tak seimbang dengan yang sudah kita terima, kok kesannya tidak tahu berterima kasih. Rasanya tak enak hati, Pah.” Sepertinya tipe istriku ini mewakili tipe semua wanita, ya. S**a tidak enakan hati.
‘’Kalau pas ada uang sih, gak papa Mah. Tapi kalau pas tak ada terus dipaksakan itu namanya mendholimi diri sendiri. Terlalu mengada-adakan padahal sebenarnya tak ada. Bisa-bisa malah terjerat hutang karena pingin mengembalikan sumbangan. Nah, malah memberatkan, kan?’’ Tinggal tersisa pisang goreng sebiji di piring, ketika aku hendak mengambilnya, tangan istrikupun ternyata juga terhulur untuk mengambilnya. Diarahkan pisang itu ke mulutku untuk kugigit, lalu ia menggigit sisanya. Hmmm, istri manjaku ini memang romantis luar biasa.
‘’Jadi, kalau Mamah mau nyumbang Bu Heru sebesar Bu Heru nyumbang Mamah, niatkan untuk nyambung tali persaudaraan, sekedar membantu untuk meringankan pengeluaran hajatan. Itupun hukumnya tidak wajib. Kalau sedang punya uang berlebih, bolehlah Mamah kasih lebih. Kalau sedang ada keperluan yang lebih penting untuk didahulukan, tidak ada salahnya meyumbang sesuai kekuatan.” Istriku pindah tempat duduk di depanku, diambilnya gawai yang bergetar karena pesan whatsapp masuk.
‘’Ya Alloh, Pah. Ini ada pesan dari Bu Tohir. Katanya ada titipan undangan dari Bu Heny. Masih seminggu lagi sih. Jadi seminggu ini kita keluarkan uang untuk nyumbang dua kali, Pah. Wah, bakalan lumayan menguras kantong nih, Pah.” Sedikit gusar istriku membaca pesan whatsap itu.
‘’Ini juga hajatan terakhir Bu Heny, Pah. Setelah ini kita tidak nyumbang beliau lagi. Kalau Bu Heny sih, seingat Mamah baru nyumbang dua kali ke kita. Saat anak kedua kita lahir, Bu Heny sedang berkunjung ke anaknya yang di Gresik selama tiga bulanan itu.” Dalam hati aku tertawa cekikikan, apa memang setiap wanita begini, hal-hal kecil bahkan dengan detailnya tak terlupakan dalam memorinya.
‘’Jadi kalau hitungan Mamah berapa duit buat nyumbang dua orang itu dalam seminggu, Mah.” Tanyaku mencoba menelisik kegamangan hatinya.
Aku hampir tersedak saat menyeruput teh bersamaan dengan istriku memberi jawaban. Ia sebutkan nominal uang yang harus ia keluarkan. Rumusnya ia jumlahkan berapa sumbangan yang pernah ia terima dari dua orang itu selama bertetangga. Lumayan banyak mengingat gajiku sebagai pegawai negeri dengan pangkat rendah.
Sebenarnya kami belum pernah punya hajat. Cuma karena kami selama tinggal disini, istriku sudah melahirkan tiga kali. Makanya tetangga pun jadi tiga kali nyumbang. Sebenarnya kami tak pernah berharap untuk menerima sumbangan. Bahkan dari awal kami tolak. Tetapi yang namanya tetangga, sudah ditolak masih juga diselipin di bawah bantal bayi kami atau dibawain kado yang tak mungkin kami menolaknya.
“Mamah ada uang segitu?” Aku menanyainya yang terlihat gamang.
Dia tak langsung menjawab tanyaku, malah mencubit lenganku berkali-kali. ‘’Aduh, Mamah apa-apaan, sih. Kok malah aku dicubitin. Sakit tau?’’ aku mengelus lenganku, terlihat merah bekas cubitannya disana. Dasar macan. Eh, Mamah Cantik.
‘’Habis Papah, sih.” Menggemaskan sekali melihat ia mengerucutkan bibir. ‘’Harusnya aku yang nanya Papah, Papah ada gak uang segitu?’’
‘’Mamah gak ada tabungan?” Aku menanyainya hati-hati tapi langsung tak kasih solusi “ Kalau gak ada, ya biar nanti pakai uang aku saja. Tapi saranku kita nyumbang sesuai kemampuan saja, ya. Ini baru pertengahan bulan, gajian masih lama.”
Aku agak trauma kalau bertanya masalah uang, biasanya istriku lebih sensitif. Pernah dulu aku tanya kenapa jatah bulanannya sudah habis sebelum tanggal, eh… dianya malah menangis tersedu-sedu. Dia bilang aku tak percaya padanya. Dia bilang dia memang istri yang tak pandai menjaga harta. Dia bilang dia memang istri yang tak pandai bersyukur. Padahal aku kan cuma bertanya, kenapa uangnya lebih cepat habis dari biasanya. Alhasil malam itu kami harus tidur terpisah, istriku pilih tidur dengan anak perempuanku, alasannya kasihan anak gadisnya tidur sendirian. Jyah… apa malah tidak kasihan kalau suaminya yang tidur sendirian?.
‘’Alhamdulillah kalau Papah ada uang. Aku ada sih, tapi sedikit Pah. Lagian mau tak pakai beli baju buat kondangan nanti. ” dia berkata begitu dengan muka polosnya… tanpa dosa.
“ Astaghfirullohal adziem!! tambah anggaran d**g, Mah?” aku yang malah mau pingsan bak orang penuh dosa.
‘’Habis gimana lagi, Pah. Semua baju yang kupunya sudah pernah tak pakai semua buat kondangan ke hajatan tetangga. Waktu itu malah aku perginya barengan sama Bu Heru dan Bu Heny. Nanti dikiranya gak pernah ganti baju, jadinya kan gak enak hati aku Pah.” Ia menggelayut manja di lenganku.
‘’Tenang, Pah. Aku nanti cuma mau beli baju dua biji saja kok. Nanti jilbab, tas dan sepatunya tak padu padankan dengan yang sudah ada saja. Biar agak ngirit habisnya.”
What?? Apa selalu begitu kaum perempuan, beli baju harus senada dengan jilbab, tas dan sepatu??? Oh, Tuhan… betapa unik Engkau menciptakan makhlukmu ini.
‘’Lagian juga kalau aku terlihat cantik dan terawat, itu semua kan juga demi menjaga nama baik Papah di mata tetangga. Punya suami kok begitu memperhatikan kebutuhan istrinya. Kan so sweet, Pah.’’ Ia mencubit pipiku, kemudian tidur di pangkuanku. Oh so sweetnya kaum perempuan kalau sedang punya mau.
Ya Tuhan, semoga mulai bulan depan setiap hajatan menyisipkan kalimat “Tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun” di setiap surat undangannya. Aamiin.