Indah nya Berbagi

Indah nya Berbagi √ Kabar Artis Terkini
√ No Hoax
√ kabar Random

07/10/2025

Orang terkaya temani putrinya ke penghargaan, lalu tahu penindasnya kekasih sang istri!! >.< ☺

**ar #2025

~KURSI KEDUA~Sebuah cerita pendek yang ditulis Umay Mutiara Cullen (Dilarang copas tulisan ini, harap gunakan fitur shar...
19/08/2025

~KURSI KEDUA~

Sebuah cerita pendek yang ditulis Umay Mutiara Cullen

(Dilarang copas tulisan ini, harap gunakan fitur share untuk membagikan. Terima kasih 🙏)

🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Dapur rumahku sore ini tidak terlalu ramai, tapi aroma bawang goreng dan bumbu rendang memenuhi ruang seperti kabut tipis yang melayang-layang. Aku berdiri sendirian di depan meja marmer, mengiris bawang merah dengan gerakan perlahan. Pisau yang kupakai sedikit berkarat di pangkalnya, oleh kenangan, mungkin, bukan waktu.

Tenda sudah hampir selesai dipasang di halaman depan. Kain putihnya menjuntai seperti tirai pengantin yang malu-malu turun dari langit. Di kursi dekat pintu, ada kotak-kotak kue berlabel "Terima Kasih Telah Hadir". Nama kami tercetak di situ: namaku dan dia, laki-laki yang kutemui dua tahun setelah perceraianku.

Tapi bukan tentang dia aku sedang berpikir.

Aku berpikir tentang seseorang yang akan datang sebagai tamu.
Seseorang yang dulu kubangunkan setiap pagi untuk minum vitamin kesuburan.
Yang dulu menemaniku menatap langit-langit ruang tunggu rumah sakit, tangan kami saling menggenggam, seperti dua orang asing yang berpura-pura kuat di tengah reruntuhan.

Namanya Reza.

Mantan suamiku.
Orang yang paling lama kutinggali dalam hidup, lebih lama dari siapa pun.
Sepuluh tahun.

---

Aku tahu ia akan datang. Sudah dari seminggu lalu kami bertukar pesan. Ia bertanya soal katering, tentang sewa kipas angin, tentang kemungkinan hujan, dan aku menjawab dengan emoji daun dan payung dan kata-kata datar yang kami sama-sama tahu, menyimpan sesuatu yang lebih dari itu.

Ia bilang akan datang untuk membantu persiapan acara.

Dulu, tiap ada acara RT, dia yang paling sigap urus dekorasi dan tenda. Tak pernah membiarkanku repot. Kadang kami tertawa saat tali-tali tenda kusut, kadang berantem karena aku terlalu cerewet soal warna taplak. Tapi kami selalu selesai sebagai dua orang yang saling mau mengerti.

Hari ini dia akan datang. Bukan sebagai suami, tapi sebagai tamu yang tahu betul bagian mana dari rumah ini yang biasanya bocor saat hujan turun.

---

Pintu depan berderit pelan.

Suara sandal jepit. Langkah kaki pelan yang khas. Seperti tahu ia bukan pemilik rumah ini lagi, tapi juga bukan orang asing.

Aku tak menoleh.

“Zea,” katanya pelan, dari arah ruang tamu. “Kipasnya ditaruh mana?”

Aku mengusap tangan ke celemek, lalu keluar dari dapur. Ia berdiri di dekat pintu, memegang kardus berisi kabel gulung dan satu kipas besar. Kaosnya basah di bagian dada. Rambutnya lebih panjang sekarang, sedikit bergelombang. Tapi tatapannya masih sama: teduh dan kaku dalam waktu bersamaan.

Di belakangnya, langit mendung. Listrik sempat mati sebentar, lalu hidup lagi.

“Kamu kehujanan?” tanyaku.

Dia mengangguk kecil. “Dikit.”

Kami terdiam beberapa detik. Lalu aku tunjuk ke arah lorong samping.

“Kipasnya taruh deket kulkas dulu. Biar gak ngganggu jalan masuk.”

Dia mengangguk lagi, lalu melangkah pelan melewatiku. Saat kami berpapasan, aromanya menyusup pelan ke ingatanku, sabun mandi yang sama. Mungkin dia juga belum mengganti mereknya.

---

Aku kembali ke dapur. Melanjutkan irisanku.

Pisau menyentuh bawang. Air mata sedikit keluar. Tak tahu karena apa, mungkin cuma bawang. Atau kenangan. Atau keduanya bersatu, tak bisa dibedakan.

Dari jendela, aku bisa melihat dia menyalakan kipas, lalu duduk sebentar di kursi plastik dekat tenda.

Lalu ponselku bergetar.

Pesan darinya:
"Kalau nanti kamu capek, istirahat bentar."

Aku tersenyum tipis.
Bukan karena pesannya manis. Tapi karena ia masih tahu cara menyentuhku, bahkan dari jarak yang sudah tidak lagi sah.
Sambil menatap punggung Reza yang basah oleh keringat karena ikut membantu persiapan pernikahanku, maka mau tak mau, ingatan ini melayang ke masa itu. Ke moment pagi, siang, dan malamku bersama dia.

Aku ingat ...

Pagi itu seperti pagi-pagi lainnya. Suara panci di dapur, baju kerja yang sudah tersetrika rapi, dan Reza yang duduk di sofa sambil membaca ulang email dari kantornya. Rambutnya sedikit basah, wangi sabun masih tinggal samar di udara. Aku membuat dua gelas teh manis, seperti biasa.

Kami seperti dua aktor dalam drama rumah tangga yang panjang. Bukan karena berpura-pura. Tapi karena peran ini sudah sangat menyatu. Terlalu menyatu, mungkin. Sampai-sampai kami lupa sejak kapan adegan menanti anak itu mulai kehilangan tanya.

Sepuluh tahun.

Itu waktu yang cukup untuk mencintai dengan segala bentuk cinta, dari yang meledak-ledak sampai yang diam dan tinggal.

Aku tidak bisa bilang rumah tangga kami sempurna. Tapi kami baik-baik saja.
Saling tertawa, saling menghormati, saling menggenggam tangan kalau nonton berita buruk tentang dunia.

Hanya saja .…
Tak semua cinta bisa tumbuh jadi pohon lengkap dengan buahnya. Kadang ia hanya jadi akar panjang yang terus menyusup ke tanah, diam-diam menguatkan. Tapi tak ada tunas, apalagi bunga.
---

Kami sudah ke dokter terbaik.
Sudah coba pengobatan herbal, rukiah, yoga, sampai metode tak masuk akal yang kami tertawakan di tengah malam, tapi tetap coba juga. Karena harapan adalah makhluk keras kepala.

"Hasilmu bagus, Zea," kata dokter. "Rahimmu sehat."

"Reza juga subur," kata hasil lab.

Tapi setiap bulan, darah haid tetap datang, seperti tamu yang tak diundang tapi hafal betul alamat rumah ini.

Kami mulai berhenti berharap dengan cara yang aneh.
Membeli baju bayi yang tidak pernah kami buka.
Menamai boneka sebagai latihan.
Tersenyum saat teman-teman pamerkan USG tiga dimensi.
Dan p**ang ke rumah dengan pelukan, seperti dua anak yang kalah dalam lomba, tapi masih saling beri selimut.
---

Malam itu, kami tak saling menyentuh. Tapi pelukan itu terasa paling dalam.

Cahaya lampu tidur menyala lembut. Kaus putih Reza menyerap sedikit keringat karena cuaca panas. Tangannya membelai rambutku pelan, dan kami bicara, bukan seperti pasangan yang akan bercerai, tapi seperti dua orang sahabat yang akan saling menjaga rahasia selamanya.

“Zea ....”

“Hmm?”

“Tetep jadi sodara, ya?”

Aku mengangguk kecil. Hidungku menempel di dadanya. Degupnya masih sama. Lambat dan tenang.

“Tentu saja.”

“Ini kesepakatan?”

“Ya, ini kesepakatan, Reza.”

“Kamu bahagia selama berumah tangga denganku?”

Aku tersenyum, tak perlu berpikir.

“Tentu saja. Jangan konyol.”

“Aku juga bahagia. Kamu tau itu.”

“Aku TAU.”

---

Kalau kau tanya kenapa kami berpisah padahal sebahagia itu, aku tak bisa menjawab dengan logika. Karena memang tidak ada alasan yang jelas.

Kami hanya ... lelah.

Lelah menanti sesuatu yang tak pasti.
Lelah menerima ucapan “sabar ya” dari dunia.
Lelah berdoa dengan mata basah.
Lelah pura-pura kuat.
Lelah saling menyemangati tapi juga saling menahan air mata.

Dan pada akhirnya, cinta juga butuh ruang untuk sembuh dari lelahnya sendiri.

---

Perceraian kami mengejutkan banyak orang.

“Lho, kok cerai? Bukannya mereka akur banget?”

Kedua keluarga kami bahkan bukan tipe orang tua yang menuntut keturunan. Mereka santai. Sering datang ke rumah cuma buat makan tahu isi dan nonton sinetron bareng.

Tak ada konflik. Tak ada perselingkuhan. Tak ada drama rebutan harta. Kami hanya ingin membuka kemungkinan. Menyisakan harapan di tempat lain.

Kami masih sering bertemu. Reza kadang datang kalau ada listrik yang korslet, atau sekadar membawa martabak kalau tahu aku lagi begadang nulis laporan.

"Kayak ga cerai aja," kata tetangga.
Dan memang, rasanya begitu.
Kami hanya berhenti menunggu keajaiban dari rahim yang lelah.
---

Pintu pertama dibuka dariku.
Aku mengenal seorang pria baru. Solih. Hangat. Tulus. Namanya tidak perlu disebut, tapi ia datang dengan cara yang sangat dewasa.

Aku bilang ke Reza.

“Dia baik. Aku udah coba cari tahu. Dia laki-laki baik, Zea,” katanya sambil menatapku. “Aku merestui.”

Di hari pernikahanku, Reza sibuk ngurus tenda. Dia ikut cek sound system, menyiapkan snack, bahkan bantu atur letak kursi.

Dia menyaksikan ijab kabulku. Dia duduk di kursi kedua, menatapku lekat.
Tak menangis, tapi matanya sembab. Setelah selesai, dia memeluk ayahku dan bilang, “Terima kasih udah tetap sayang Zea.”

Sebulan setelah itu, aku hamil.
Dan dia orang pertama yang kutelpon.

---
Setahun setelah aku melahirkan, Reza menikah.
Pemberitahuan itu datang bukan lewat media sosial, bukan p**a kabar dari tetangga. Tapi dari suara yang sangat kukenal, mengetuk di ujung telepon, dengan nada yang selalu hati-hati kalau bicara tentang hidupnya sendiri.

“Zea … aku mau minta tolong sesuatu.”

Kupikir ia akan memintaku mencarikan tukang cat lagi, atau menanyakan toko mainan edukatif buat ponakan jauhnya yang tak kukenal. Tapi suara itu ragu, dan terlalu hening.

“Aku mau menikah.”

Aku diam.
Bukan karena kaget, bukan karena sedih. Tapi seperti mendengar nama kita sendiri disebut dari kejauhan. Sebuah gema yang nyaris tak teraba, tapi menancap dalam.

“Kalau kamu sibuk, gak papa … tapi aku ingin kamu datang. Kalau kamu bisa, bantuin juga.”

Aku tertawa kecil. “Reza .…”

“Iya?”

“Aku yang bikinin kue pengantinnya, ya? Aku tau kamu s**a cake lemon. Boleh yaaa? Jangan order ke orang lain loh!"

Ia tertawa. Tidak panjang, tidak ringan. Tapi hangat, seperti sore yang turun perlahan setelah hujan reda.
Dan seperti sore itu, perasaan ini pun datang dengan damai.

Aku bantu mengatur dekorasi kecil di rumahnya. Istrinya, yang manis, sabar, dan canggung, menyambutku dengan senyum bingung yang jujur.

Kami bersalaman lama. Tak ada kecanggungan, hanya perasaan aneh yang sulit diberi nama. Mungkin ini yang dinamakan persaudaraan yang lahir dari luka yang sama.
Kami sama-sama tahu, Reza bukan memulai dari kosong. Ada sepuluh tahun masa lalu yang akan tetap jadi batu fondasi, bukan penghalang. Dan perempuan ini tak sedang menggantikan aku. Dia menulis bab baru. Dengan tinta sendiri.

Ijab kabul itu berlangsung cepat, seperti semuanya yang sederhana tapi tak kekurangan makna.
Aku menyaksikan dari kursi kedua. Di barisan perempuan. Tanganku menggenggam tangan anakku, yang tertidur di pangkuanku, tak tahu apa-apa.

Tapi aku tahu.
Aku tahu ini babak yang indah.

Sebulan kemudian, Reza menelepon.

“Zea…”

“Iya?”

“Kami akan punya anak.”

Kupeluk anakku lebih erat. Suara di ujung sana nyaris tak terdengar, padahal koneksinya jernih.
Aku mengulum senyum, mencoba menjawab perlahan.

“Akhirnya, ya?”

“Akhirnya .…”

Dan malam itu, aku menangis. Bukan karena kehilangan. Tapi karena perpisahan kami benar. Karena cinta yang tidak saling memiliki, tetap bisa saling menjaga. Karena bahagia ternyata bisa begitu luas, bahkan setelah segalanya berakhir.

Karena kami mungkin tak lagi saling memiliki rumah yang sama,
tapi kami pernah saling menjadi rumah,
dan itu .…
tak pernah hilang.

~Selesai

Coba dulu
19/08/2025

Coba dulu

“Tatapan kosong itu adalah milik anak-anak yang baru saja kehilangan sosok paling berharga dalam hidupnya, ibunda tercin...
18/08/2025

“Tatapan kosong itu adalah milik anak-anak yang baru saja kehilangan sosok paling berharga dalam hidupnya, ibunda tercinta. Mereka hanya bisa memandang tumpukan tanah yang masih basah tempat sang ibu beristirahat untuk selamanya. Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkan sakitnya kehilangan seorang ibu, hanya doa dan air mata yang mengiringi kepergianmu.

16/08/2025

Film horor ✅
Part 1
Vina

Ini lagi ulah netizen..
30/07/2025

Ini lagi ulah netizen..






Address

Gulukguluk

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Indah nya Berbagi posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share