05/08/2025
Dahulu kala, di sebuah desa yang terletak di p**au Nias, hiduplah seorang pemuda bernama Lahagu. Ia bukanlah putra kepala suku, bukan p**a keturunan prajurit, namun semangat dan keberaniannya sudah terdengar sampai ke desa-desa seberang.
Di desanya, ada sebuah tradisi kuno yang sangat sakral — Lompat Batu, atau Fahombo. Sebuah ritual yang menandai kedewasaan seorang pemuda dan kesiapan untuk membela sukunya. Setiap pemuda harus melompati batu setinggi dua meter tanpa menyentuhnya. Jika gagal, ia akan dianggap belum pantas menjadi prajurit. Jika berhasil, ia akan dihormati bak kesatria.
Namun, Lahagu memiliki satu rintangan besar — ia adalah anak yatim miskin, dan banyak tetua yang tidak percaya bahwa ia bisa melompati batu suci itu.
“Lahagu? Anak penggembala itu? Dia lebih cocok menggiring kambing daripada menjadi prajurit!” ejek salah satu pemuda desa.
Namun Lahagu tidak gentar. Setiap pagi, ia berlatih melompati batang pohon, batu kecil, bahkan parit sungai. Ia melatih tubuh dan hatinya. Setiap malam, ia berbicara pada bintang-bintang, memohon kekuatan dari roh leluhur dan burung garuda — pelindung langit.
Hingga tibalah hari ujian besar.
Desa berkumpul. Gong dipukul. Lahagu berdiri di hadapan batu besar yang kokoh seperti gunung. Matanya menatap lurus, tubuhnya mantap. Dengan satu teriakan yang menggema ke seluruh lembah, ia berlari dan — melayang di udara seperti garuda terbang — dan mendarat dengan sempurna di sisi lain batu.
Semua terdiam. Lalu sorak-sorai pecah. Bahkan tetua suku mengangkat tangan dan berseru, “Mulai hari ini, engkau bukan lagi anak penggembala. Engkau adalah Garuda dari Nias!”
Sejak hari itu, Lahagu menjadi lambang keberanian. Dan batu tempat ia melompat? Kini dikenal sebagai Batu Garuda, tempat para pemuda datang untuk membuktikan keberanian mereka — seperti Lahagu, si anak desa yang mengajarkan dunia bahwa yang besar bukanlah tubuh, tapi tekad di dalam dada.