31/10/2025
Aku Terpaksa Pura-pura Gila di Depan Banyak Orang. Lalu Menikahi Gadis Malang yang Dicampakkan oleh Keluarganya. Setelah Itu Aku Menunjukkan Wajah Asliku Sebagai Putra Seorang Sultan Kaya Raya.
Aku masih ingat hari ketika semua orang menatapku dengan j1jik.
Rambutku yang gimbal, bajuku yang lusuh, dan sikapku yang dianggap tidak waras, semua itu bagian dari peranku.
Aku harus melakukannya, karena hanya dengan cara itu aku bisa menemukan arti cinta yang tidak memandang harta dan pangkat.
Dan hari itu, aku menikahi Aisya, gadis malang yang bahkan oleh keluarganya sendiri anggap sebagai beban.
Dari sudut pandangnya, aku tahu aku tampak seperti orang gila. Rumahku terlihat seperti sarang hantu, penuh sampah plastik dan dedaunan kering. Itu semua kubiarkan, agar orang-orang tetap percaya bahwa aku benar-benar ODGJ.
“Tolong jangan apa-apa kan aku, Kang Bidin!” suaranya bergetar ketakutan.
Aku tersenyum tipis. “Aku suamimu, mana mungkin aku menyakitimu.”
Matanya berkaca-kaca. “Aku terpaksa menikah denganmu karena disuruh bapakku.”
Aku menggenggam pergelangan tangannya pelan. “Tapi sekarang kamu istriku, Aisya.”
Dia berusaha menepis tanganku. Aku tahu dia takut. Tapi justru karena itulah aku ingin menjaganya — bukan karena kasihan, melainkan karena aku pernah melihat ketulusan di matanya.
Saat dia mulai menatap sekeliling rumah, aku tahu Aisya mulai ragu.
Rumah yang tampak kumuh dari luar itu sebenarnya rapi di dalam.
Kasur empuk, seprai navy, lemari berisi buku-buku dan laptop yang buru-buru kusimpan saat dia datang.
“Mulai sekarang kamu tidur di sini, bersamaku,” kataku.
Aisya menelan ludah.
Aku bisa melihat ketakutannya, tapi aku hanya menepuk bahunya pelan.
“Tenang saja. Aku tidak akan menyentuhmu sebelum kamu siap.”
Dia menatapku seperti sedang mencoba menebak, apakah aku benar-benar gila… atau hanya berpura-pura.
Keesokan harinya aku sengaja membeli makanan mahal dan dua porsi nasi Padang, juga iPhone terbaru. Aku ingin melihat reaksinya.
Saat kuberikan ponsel itu, matanya langsung melebar.
“Kang Bidin maling, ya?” tanyanya polos.
Aku tertawa pelan. “Tidak, Aisya. Aku cuma orang yang tidak s**a pamer.”
Aku membiarkannya menebak-nebak, karena itu bagian dari rencanaku.
Aku ingin tahu — berapa lama dia akan menilai seseorang hanya dari penampilan?
***
Diam-diam aku memperhatikannya saat dia berjalan ke kamar belakang, membuka pintu yang sedikit terbuka.
Dari celah itu, dia akan melihat rak-rak buku bisnis, kitab, sertifikat, dan piagam penghargaan perusahaan luar negeri.
Semuanya asli. Tapi untuk saat ini, biarlah dia mengira itu milik seseorang yang kutemukan di jalan.
Aku mendengar desah takjubnya pelan, “Siapa sebenarnya Kang Bidin…?”
Aku tersenyum dari balik bayangan. Belum saatnya dia tahu.
***
Sore hari, rumah kami digedor ramai-ramai. Suara teriakan dari luar membuat Aisya panik.
Keluarganya datang, membawa warga kampung. Mereka menuduhku menculik Aisya.
“Kembalikan anak kami, Kang Bidin! Dia bukan untukmu!”
"Kemarin kami menikahkan kalian hanya untuk memberi pelajaran kepada Aisya saja, biar dia tidak bandel."
Aku keluar dengan langkah tenang — lalu berpura-pura mengamuk.
Kuraih galah bambu, aku teriak seperti orang kesurupan. Orang-orang menjerit ketakutan dan berlari tunggang-langgang.
Dari balik jendela, aku tahu Aisya melihatku dengan mata gemetar. Tapi sebelum dia sempat menutup tirai, aku menatapnya balik.
Sengaja — dengan tatapan sadar penuh kesadaran.
Aisya terpaku.
Aku bisa lihat dari wajahnya: kini dia mulai ragu. Antara takut, atau mulai curiga bahwa aku bukan orang gila seperti yang dikatakan semua orang.
**
Malam itu, aku menatap langit-langit kamar sendirian.
Aku tahu waktuku hampir tiba.
Sudah cukup lama aku bersembunyi di balik topeng kegilaan.
Sudah cukup lama aku menanggung hinaan semua orang, hanya untuk satu tujuan: menemukan orang yang mau mencintaiku tanpa memandang aku siapa.
Aku berjalan ke kamar belakang, menatap brankas besi besar yang tersimpan rapi di balik rak buku.
Tanganku menyentuh permukaannya pelan.
Aku tersenyum samar.
“Sebentar lagi, Sayang,” bisikku lirih. “Sebentar lagi kamu akan tahu siapa sebenarnya suamimu.”
Brankas itu berbunyi klik…
Lalu lampu tiba-tiba mati.
Suara langkah kaki mendekat perlahan dari belakangku.
“Kang Bidin…” suara Aisya bergetar di kegelapan, “Kamu… siapa sebenarnya?”
Aku tidak langsung menjawab.
Aku menoleh perlahan — dan senyumku hanya tampak samar di antara cahaya remang lilin yang mulai menyala.
“Apakah kamu siap, untuk tahu segalanya?”
Seruuu banget, selengkapnya baca di kbmapp
judul : Suamiku Kurang Waras
Karya : Nurudin Fereira