Drama Update

Drama Update k*mpulan drama indo seru

Aku lihat Erin keluar dari lift, pakai sweater tebal warna abu, rambut digerai. Dia ngelihat HP, lalu ngelihat sekitar. ...
25/12/2025

Aku lihat Erin keluar dari lift, pakai sweater tebal warna abu, rambut digerai. Dia ngelihat HP, lalu ngelihat sekitar. Aku menahan napas. Dia langsung menuju parkiran, masuk mobilnya, dan pergi.

Aku sedikit lega. Tapi Ainun? Tangannya kupeluk. Aku meremas lembut. Tapi dia tidak membalas. Diam. Tangannya kaku.

Sakitnya? Jangan ditanya. Kayak digampar kenyataan. Dia kecewa. Pasti.

aku cuma bisa ngomong lewat hati, "Nun, gue bakal buktikan gue berubah… pelan-pelan. Gue mohon, sabar sama gue."

Begitu Erin pergi, aku mengajaknya turun. Kami masuk lift diam-diam. Masih dalam sunyi yang menekan. Langkah kami di lorong apartemen juga sunyi.

Begitu pintu terbuka, hawa di dalam kamar berbeda total dari tadi malam di kafe.

Tidak ada hangat.
Tidak ada candaan.
Tidak ada senyum kecil Ainun.

Hening. Ainun langsung masuk ke kamarnya, menutup pintu hampir tertutup. Aku refleks menahan dengan tangan.

“Aku ikut masuk,” kataku.

Dia terkejut menoleh.
“Mas—”

“Apa? Semalam kita tidur barengan, masa sekarang gue dilarang masuk?”

Aku sengaja pake nada cengengesan biar dia rileks sedikit. Dia malah menunduk, jalan kembali ke ranjangnya, membuka cadarnya pelan-pelan.

Aku mendekat. Jongkok di depan dia. Setinggi pinggangnya. Biar kami sejajar.

Dia tetap diam. Tapi matanya… matanya merah.

“Kamu marah gara-gara Erin tadi, sayang?” bisikku.

______
Judul: KEN
Penulis: Ina Shalsabila
Tamat di KBM app
______

Ramein postingan yang lain juga yah. Nanti malam aku up lagi bab kelanjutannya 🥰🥰

HAH? Warisan?Kata itu tak hanya mendarat di telinga, tapi juga meledak di dalam benak. Kata yang terasa asing dan tak pa...
25/12/2025

HAH? Warisan?
Kata itu tak hanya mendarat di telinga, tapi juga meledak di dalam benak. Kata yang terasa asing dan tak pantas bersanding dengan kondisi jiwa yang baru saja remuk redam. Atau seperti permata yang jatuh ke dalam kubangan, sama sekali tidak pada tempatnya.

Bukankah ia seharusnya milik mereka yang terlahir dengan sendok perak di mulut; milik para pangeran dan putri berdarah biru; pun milik mereka yang namanya terukir di atas pohon silsilah keluarga kokoh dan berpucuk pada mahligai tahta?

Lantas, bagaimana bisa kata yang sedemikian megah disandingkan dengan seorang pembantu, yang seluruh harta dunianya hanya muat di dalam satu tas kain usang?

​Aku berupaya berdiri gagah, memaksakan keseimbangan pada kaki yang goyah. Panas dan dingin menyatu merambati sekujur tubuhku yang teramat lelah. Sedangkan di seberangku, Tuan Awang menatap dalam. Alisnya yang tebal dan menyatu membingkai sepasang mata yang memancarkan iba. Bukan iba yang merendahkan, melainkan iba yang tulus, yang melihat langsung ke dalam lukaku. Kelembutan dalam tatapannya adalah balsam yang menenangkan perih, meski hanya untuk sesaat.

Dengan punggung tangan, kuusap jejak air mata. Biarlah pedih akibat kata-kata tajam Bibi menguap sejenak. Kini, ada benih lain yang tumbuh di dalam diriku, sebuah rasa penasaran yang mengusik untuk dipuaskan.

​"Boleh saya tahu, warisan apa yang Tuan maksudkan?" Suaraku parau seolah kerongkongan kerontang tak suah basah.

​Tuan Awang menghela napas panjang, embusannya terdengar berat di tengah keheningan. Isyarat kepalanya menyuruhku untuk mengikutinya. Aku mengekor dengan langkah pelan dan hati-hati, seakan takut lantai marmer yang dingin ini akan pecah ketika kuinjak, kontras dengan derap sepatu kulitnya yang manekan kuat. Bersama, kami menuju ruang kerja almarhum Tuan Zamaluddin.

Pintu kayu besar yang berat itu berderit pelan saat terbuka, membaurkan tiga aroma berbeda: wangi setanggi yang menenangkan dari luar, bercampur bau kertas-kertas tua dan jejak samar parfum cendana kes**aan majikanku dari dalam ruangannya. Sementara, duka yang masih pekat menggantung di udara, terasa seperti selubung tebal yang menyelimuti setiap perabotnya.

Di dalam sana, sudah ada dua orang menanti. Dua keponakan Tuan Zamaluddin, yakni Zafrel dan Sofea.

Lelaki berumur enam puluhan itu melangkah masuk dan duduk di sofa kulit berwarna cokelat gelap. Kakinya bersilang dengan anggun, dan dengan gerakan tangan yang sopan, ia mempersilakanku duduk di sebelahnya.

"Ape hal bibik tuh disuruh duduk?"

"Eh, Bik ... buatkan kami berdua minum."

"Zafrel, Sofea ... Mahsuri bukan lagi bibik di rumah ini. Jadi, sekiranya kalian haus, sila buat sendiri," ungkap Tuan Awang.

Aku bukan lagi pembantu di sini?

Maksudnya masa kerjaku telah habis sebab tiadanya Tuan Zamaluddin?

"Mahsuri, kemari," pinta Tuan Awang dan sekali lagi menepuk sofa di sebelahnya.

Antara ragu dan bimbang, sofa itu adalah singgasana. Tak pernah sekali pun aku berani mendudukinya. Namun, tatapan Tuan Awang semacam titah maharaja, membuatku tak punya pilihan.

Aku duduk dengan canggung di ujung sofa, menjaga jarak sedepak di antara kami, seolah takut mengotori kain mahal itu dengan keberadaanku.

Hening sekian jenak, memberikan kesempatan untuk mataku berkelana. Ruangan ini adalah museum kenangan. Aku mengingat hal-hal yang biasa kulihat.

Semisal, di rak buku yang menjulang hingga hampir mencecah ke langit-langit itu, Tuan Zamaluddin biasa berdiri membaca buku dengan bantuan kacamata tuanya. Atau di atas meja kerjanya yang masih tergeletak sebuah pena dan buku catatan yang terbuka, membuatku membayangkannya masih duduk bersandar setelah seharian menulis habis segala macam kerja.

Setiap sudut menyimpan kehangatan dan kebaikannya, sosok dermawan yang telah menarikku dari jurang keputusasaan. Dialah yang meyakinkanku bahwa aku bukan sekadar onggokan daging tak berguna yang dicap lacur oleh orang sekampung. Dialah yang membuatku kembali merasa sebagai manusia. Rasa manis dan getir berkelindan di dalam dada: Manis karena kehangatan dan kebaikan sosok majikanku yang dermawan itu; Getir sebab kini wujudnya telah tiada, bersisa nama.

"Saya di sini sebagai lawyer daripada Tuan Zamaluddin, akan membacakan surat wasiat yang allahyarham tulis sebelum berpulang. Ada pun kiranya nanti pihak-pihak yang tak bersetuju, bisa mengajukan keberatan lewat mahkamah. Namun, saya bisa pastikan pihak tersebut tiada apa diterima selain kekalahan. Dan sebelum itu, ada hal lain yang nak saya beritahukan kepada kamu semua." Tuan Awang memandang kedua ponakan majikanku yang duduk di depannya, kemudian beralih memandangku. "Mahsuri ...."

Suaranya yang dalam sedikit banyak membuatku gugup. "I-iya, Tuan Awang."

"Awak mesti faham bahwa Tuan Zamaluddin sangat menyayangi awak."

Aku mengangguk menanggapi. Itu benar adanya, tak terbantahkan. Selama bekerja dengan Tuan Zamaluddin, melimpah ruah yang aku terima. Bukan semata nilai materi, melainkan juga kehangatan seorang ayah, perhatian seorang sahabat, dan perlindungan seorang wali. Ia telah mengisi kekosongan jiwa yang selama ini mengangakan. Tuan Zamaluddin berbuat terlalu banyak.

"Sayang kepada Bibik? Ape nih Tuan Awang?" protes Sofea. "Pak usu tuh terlalu baek, sampaikan seorang bibik pun boleh die sayang. Ini dah melampau."

"Awaklah yang melampau, Sofea!"

Kami tersentak. Baru ini kudengar Tuan Awang membentak. "Saya kira awak boleh diam sekejap sampai saya selesai membacakan seluruh putusan?"

Sofea berdecih sinis.

"Yang satu orang lagi tak datang?" tanya Zafrel.

"Dia lagi dicari."

"Menyusahkan! Kalau ada namanya di surat wasiay itu, hapus saja, Tuan Awang."

"Justru nama awak yang bisa dihapus dari penerima warisan ini, Zafrel."

Lelaki muda itu kaget tak terima. "Mana bisa! Saya ini keponakan asli. Lain macam bibik satu ini."

Dia memandangku dengan sorot tajam dan menghina.

"Sudah, biarkan saya selesaikan apa yang telah saya mulakan," kata Tuan Awang. Lagi, dia memandangku lembut. "Mahsuri, awak adalah orang yang paling rajin, paling jujur, dan paling menjaga privasi Tuan Zamaluddin. Awak juga teramat dekat dengannya, sehingga tak menghairankan bila awak diangkat anak olehnya."

Seketika, udara di dalam paru-paruku seakan membeku. "Anak angkat?"

Berita macam apa ini? Sejak kapan? Aku bukannya hanya seorang pembantu?

"Saya tak terima!" Zafrel berdiri, diikuti Sofea.

"Saya juga tak terima."

Tuan Awang menunjuk keduanya secara bergantian. "Sekiranya kamu berdua tak terima, sila berembus. Saya adalah lawyer Tuan Zamaluddin. Saya tahu apa yang dikehendakinya dan saya sedang melaksanakan tugas."

Tanpa sepatah kata lagi, Zafrel beranjak. Sofea mengambil tasnya dan ikut pergi.

"Tuan Awang, saya ...."

Dengan gerak tangan, dia memintaku untuk tetap tenang.

Namun, degup di jantungku s**ar untuk dinormalkan setelah pemberitahuannya tadi.

Tangan Tuan Awang bergerak ke arah tas kerjanya yang tergeletak di meja. Bunyi klik dari kuncinya terdengar begitu keras di ruangan yang bertukar sunyi. Ia mengeluarkan secarik kertas tebal dan menggesernya di atas meja ke arahku.

"Sila tengok borang pengesahan ini."

Tanganku bergegar hebat saat meraih kertas itu. Kertasnya tipis, namun seakan berat. Pandanganku menelusuri deretan huruf-huruf resmi yang tercetak rapi. Di sana, tertulis dengan jelas sebuah perjanjian pengesahan hubungan ayah dan anak angkat, dilegalisasi oleh negara, lengkap dengan stempel dan tanda tangan.

Ya, dua tanda tangan. Yang goresan tintanya tegas, milik Tuan Zamaluddin, sedangkan satu lagi goresan yang malu-malu dan sedikit canggung, tak lain adalah milikku.

"Saya sungguh anak angkat Tuan Zamaluddin?"

Selengkapnya baca di kbmapp

Penulis: Kalishgan
Judul: Mahsuri (Anak Perempuan Gila)

"Melati, kamu dari mana saja? Mas mencarimu ke mana-mana, mas mengkhawatirkanmu, Melati," ucapku sambil mendekapnya ke d...
23/12/2025

"Melati, kamu dari mana saja? Mas mencarimu ke mana-mana, mas mengkhawatirkanmu, Melati," ucapku sambil mendekapnya ke dalam pelukanku.

Melati bersikap biasa saja, ia tidak membalas pelukanku. Melati hanya diam saja menunggu sampai aku melepas pelukan.

Setelah aku melepas pelukan, Melati mengambil ponselnya, lalu memainkannya. Ia benar-benar tidak menghiraukanku.

"Melati, mas mau bicara denganmu. Tolong itu hp ditaruh dulu."

Melati menatapku sejenak, lalu meletakkannya ponselnya di atas meja.

"Sekarang jelaskan pada mas, kamu dari mana saja, hah?

"Barusan kamu dari mana? Kenapa kamu gak nyambut mas? Hanya ada ibu dan Mbak Santi yang menyambut kepulangan mas. Kamu dari mana saja sih, Mel?" Biarpun aku kesal padanya, tapi aku masih berusaha bersikap baik.

"Dari rumah Mbak Anita," jawabnya sekenanya.

"Dari rumah Mbak Anita? Ngapain kamu ke situ? Mas bela-belain cari kamu sampai ke warung, tahu-tahunya kamu ada di sebelah. Apa yang kamu lakuin di rumah Mbak Anita, Mel? Sampai-sampai suami pulang gak disambut."

"Enggak ngapa-ngapain, sih! Cuma ngobrol aja. Kan udah ada ibu dan Mbak Santi yang nyambut Mas. Lagian, oleh-oleh juga udah dikasih sama mereka semua tuh! Jadi untuk apa aku menyambut kepulanganmu kalau kamu sendiri tidak peduli padaku?"

Melati menatapku ta-jam, jelas mengisyaratkan kemarahan di matanya.

"Aku dijatah habis-habisan, sementara ibumu diberikan u4ng bulanan serta bonus. Mbak Santi juga dapat gamis super bagus dari kamu. Lah, aku dapat apa? Hanya dapat predikat babu gratis."

Astaga! Ternyata Melati sudah mengetahui kalau oleh-oleh yang kubawa diambil oleh ibu dan juga Mbak Santi.

"Melati, kamu jangan ngomong seperti itu, d**g! Mas sayang padamu dan mas tidak pernah menganggapmu sebagai babu. Kamu istri mas, Melati. Asal kamu tahu, gamis itu mas belikan untukmu, tapi Mbak Santi mengambilnya." Aku berusaha membujuknya.

"Masa sih? Yang benar? Tapi aku enggak percaya, tuh! Jangankan beli gamis mahal untukku, beli perlengkapan bayi saja pelitnya minta ampun. Ngotot pinjam perlengkapan bayi punya Mbak Santi yang sudah tidak layak pakai itu. Saking pelitnya jadi suami!"

Sungguh aku merasa tertohok dengan kata-kata Melati tersebut. Sakit!

"Melati, jangan ngomong gitu, d**g! Mas sakit dengarnya."

"Biarin aja, biar kamu sadar kalau kamu telah menomor sekiankan diriku, Mas. Kamu selalu royal untuk keluargamu. Sedangkan untuk aku, mana? Aku hanya minta uang untuk periksa kandungan, namun kamu tidak pernah memberikannya. Saat aku kesakitan, aku mengajakmu periksa ke bidan namun kamu tidak peduli. Kamu lebih sayang uang daripada istri dan calon anakmu sendiri, Mas. Kamu jah4t!"

Semua kata-kata yang keluar dari mulut Melati terasa seperti cak4ran harimau yang menc4bik-c4bik hatiku. Perih. Namun apa yang dikatakan Melati itu memang benar adanya.

"Oke, mas minta maaf jika ada salah. Sekarang mas mohon lupakan semua itu. Lebih baik kita buka lembaran baru. Mas janji akan memperbaiki semuanya." Aku meraih tangan Melati, namun ia menepisnya.

"Ini mas ada u4ng. Kamu simpen ya, atau kalau kamu mau beli sesuatu juga boleh. Tapi dengan syarat semua kebutuhan kita sudah terpenuhi." Aku menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah ke tangannya.

Melati menerima u4ng dariku, lalu menghitungnya. Seketika bibirnya tertarik ke atas saat menghitung u4ng tersebut. Apa ada yang salah ya?

"Nih, u4ngnya buatmu saja, Mas. Aku enggak mau nerima ini. Mulai sekarang, aku enggak akan terima u4ng dari kamu lagi," ucapnya sambil mengembalikan uang tersebut padaku.

"Kamu sudah gak menghargai mas, Melati?"

Melati hanya tersenyum sinis mendengar pertanyaanku.

"U4ng yang kamu berikan masih sama dengan jumlah sebelumnya, Mas, jadi aku tidak mau terima. Asal kamu tahu, gaji b4bu saja lebih besar dari itu. Jadi ambil saja u4ngmu itu. Satu hal yang harus kamu tahu, mulai sekarang silakan handle sendiri kebutuhan rumah ini. Mulai dari listrik, air PAM, kebutuhan dapur dan lainnya karena aku sudah tidak peduli." Melati berlalu begitu saja dari hadapanku sambil memb4nting pintu kamar. Entah setan apa yang merasukinya.

Apa mungkin ini semua karena Mbak Anita, ya? Apa Mbak Anita yang telah menghasut Melati sehingga berani bersikap seperti itu padaku? Rasanya aku sudah kehilangan sosok Melati yang dulu. Yang lembut, sopan dan santun.

***

Pagi-pagi sekali, aku sudah mengendus aroma minyak wangi dari kamar sebelah. Kamar yang ditempati oleh Melati semalam. Ya, semalam Melati memilih tidur di kamar sebelah. Padahal aku masih kangen padanya, namun apa boleh buat, Melati memilih untuk tidur di kamar satu lagi.

Aku memutar knop pintu dengan pelan untuk mencari tahu apa yang sedang dilakukan Istriku di dalam sana.

Saat pintu terbuka, terlihat Melati sedang mengoles lipstik di bibirnya.

Wow, apa aku tidak salah lihat? Melati cantik sekali mengenakan gamis dan jilbab senada.

"Mel, kamu mau ke man pagi-pagi begini? Kok udah rapi?" tanyaku. Jujur aku bingung melihat tingkah istriku ini. Biasanya Melati hanya memakai daster rumahan, namun kali ini beda. Melati terlihat cantik sekali, dan aku s**a.

"Hari ini Mas libur. Kita jalan-jalan, yuk," ajakku sambil langsung memeluknya dari belakang, lalu mencivm punggungnya. Sudah lama aku tidak mengajak istriku jalan-jalan. Pasti ia s**a kuajak jalan-jalan.

Namun Melati malah langsung melepas pelukanku dan berjalan menjauhiku.

"Mel, kamu kenapa, sih? Apa Mas udah gak boleh meluk kamu? Kok' kamu jadi berubah gini, sih? Kalau mas ada salah katakan! Jangan seperti ini!"

Akhirnya mel3dak juga emosi yang sudah kutahan dari semalam. Padahal aku sudah berusaha meredamnya, namun Melati kembali memancing am4rahku.

"Aku pamit dulu, Mas. Permisi!"

Melati langsung mengambil tas selempang, lalu berjalan ke luar kamar. Memang benar-benar istri enggak ada akhlak!

"Tunggu!" Aku mencekal pergelangan tangannya.

"Lepasin!" bentaknya.

"Tidak akan! Katakan dulu, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?"

Ia hanya menatapku ta-jam, tak ada jawaban.

"Mas tau kamu jenuh di rumah. Hari ini Mas akan ajak kamu jalan-jalan. Tunggu sebentar biar Mas mandi dulu."

"Kenapa baru sekarang? Jalan-jalan aja sendiri!"

Hah? Bahkan diajak jalan-jalan juga tidak mau? Aduh! Istriku ini maunya apa, sih?"

"Aku pamit dulu. Permisi!"

"Sebelum kamu mau mengatakan mai kemana, jangan harap mas izinin kamu keluar dari sini!"

"Kerja," jawabnya cuek.

"Kerja?" Keningku mengernyit mendengar jawabannya.

"Iya, kerja. Apa ucapanku kurang jelas?"

"Pantas saja kamu sudah berani sama mas. Ternyata ini jawabannya. Sekarang katakan, apa kamu merasa sudah hebat sampai sudah tidak mau menerima u4ng dari mas, iya?"

"Iya. Soalnya gajiku jauh lebih besar daripada nafkah yang kamu berikan itu. Sekarang lepaskan tanganku, aku mau kerja!" Melati menarik paksa tangannya dan akhirnya terlepas dari cengkeramanku.

Bersambung ✍️
Yang penasaran dengan lanjutannya yuk lanjut baca di KBM app.
Judul: Luka Di Hati Istriku
Penulis: Ade Esriani

Link cerita ada di kolom komentar

"Aku datang memintamu agar jadi wali nikah putri kita, Mas!"Aku terkejut mendengar suara Tiffany yang menembus gen dang ...
23/12/2025

"Aku datang memintamu agar jadi wali nikah putri kita, Mas!"

Aku terkejut mendengar suara Tiffany yang menembus gen dang telingaku. Bukan sebab kaget atas permintaannya, melainkan merasa terheran-heran atas penampilannya kini.

Tiffany, perempuan yang aku ceraikan tujuh tahun lalu kini nampak anggun dengan balutan gamis berwarna hijau sage dan wajahnya kini seperti awet muda sebab dipoles make up tipis. Malah terkesan berbanding terbalik dengan Meizani---istri mudaku yang kunikahi 8 tahun lalu.

Dulu, aku menceraikan Tiffany dan mengu sirnya secara tidak hormat karena dia tidak bisa memberikan keturunan anak laki-laki, sementara keluarga Wicaksono butuh penerus untuk mewarisi perusahaan yang bergerak di bidang industri tekstil dan pakaian. Dan Tiffany tidak bisa memberikan itu, keluarga pun menganggap dia bukan wanita normal karena terus menerus melahirkan anak berjenis kela min perempuan sampai lima kali.

"Mas, aku juga menginginkan anak laki-laki, tetapi mungkin Tuhan belum berkehendak. Aku rela kalaupun harus ha mil lagi disaat usia Maisarah baru satu tahun, asal kamu sabar sebentar dan tidak menceraikan aku."

"Harus sabar sampai kapan, Tiffany? Lihatlah, kamu sudah punya lima anak dan semua berjenis kela min perempuan?" Bentakku waktu itu.

Tiffany hanya menunduk dan menyeka sudut matanya yang telah berair. Dia, dia tidak mau aku ceraikan karena dia sangat mencintaiku, bahkan dia sendiri rela meninggalkan tempat kelahirannya demi tinggal bersamaku.

"Aku baru sadar, ternyata apa yang ibu katakan memang benar, Tiffany. Kamu bukan wanita normal dan hanya bisa melahirkan anak perempuan. Tak bisa memberikan aku keturunan laki-laki, padahal anak lelaki yang sangat dibutuhkan untuk mewarisi kekayaan keluarga Wicaksono ini."

"Kamu jangan meremehkan anak perempuan, Mas. Mereka juga anak kamu, ada dar ah kamu yang mengalir di tubuhnya. Semua dila hirkan bertaruh ny awa ----- "

"Tetapi tetap tidak berguna karena tak bisa jadi pewa ris kekayaan keluarga Wicaksono, Tiffany!" Potongku segera agar tidak terus menerus mendengar ocehannya yang terasa merob ek gendang telinga.

"Mulai besok, Meizani akan tinggal di rumah ini. Jadi kamu sediakan kamar terbaik dan masak sebanyak-banyaknya. Libatkan anak-anakmu yang sudah mirip grup qasidah itu untuk menyambut dia."

Mata Tiffany tampak membulat, mungkin dia terkejut dengan sebuah nama yang aku sebutkan baru saja. Pasalnya, aku tidak pernah menyinggung nama wanita mana pun selama pernikahan kami.

"Meizani? Siapa dia, Mas?"

"Dia istri keduaku, Tiffany. Kami menikah secara siri satu tahun yang lalu. Dan sekarang, dia sedang ham il tujuh bulan dengan janin berjenis kela min laki-laki. Meizani menuntut untuk aku segera nikahi secara sah di mata huk*m agama dan negara agar anaknya punya status yang jelas. Jadi, kamu harus menghormati dia dan jangan sekali-kali membuatnya tidak betah tinggal di rumah ini."

"Jadi kamu sudah duakan aku, Mas!"

"Jangan cengeng, Tiffany. Salah siapa kamu tidak bisa melahirkan anak laki-laki? Jadi sekarang kamu harus terima di madu dan sadar kalau istriku bukan cuma satu. Jadi, jangan merajuk kalau aku memperlakukan Meizani lebih istimewa, karena dia sedang mengandu ng putra mahkota."

"Mas, kamu bisa hadir, Kan? Sebentar saja sekedar untuk jadi wali nikahnya Marwah?"

Teguran Tiffany berhasil menariku dari pusaran bayangan masa lalu. Aku yang tersadar langsung mengerjapkan mata beberapa kali dan menarik napas dalam-dalam.

"Oke, aku akan datang. Kapan ijab qobulnya dilangsungkan?"

"Besok, Mas! Kamu datang saja ke hotel Edelweiss. Pesta pernikahannya akan dilangsungkan di sana!" Ujarnya seraya menyodorkan sebuah amplop tebal.

Untuk yang kedua kalinya, aku dibuat terkejut dengan kabar lokasi pernikahan anak sulungnya. Setahuku, hotel itu bukan hotel abal-abal yang bisa di booking oleh kaum menengah ke bawah. Tetapi hotel khusus yang biasa di pakai para pengusaha untuk meeting atau sekedar melepas penat setelah sibuk mengurus pekerjaan. Tentunya harganya pun sangat fantastis dan cukup aneh kalau sampai Tiffany berani menyewa hotel itu untuk acara pernikahan yang pasti membutuhkan bia ya tidak sedikit.

"Permisi, Mas!"

Aku tak menghiraukan Tiffany yang berlalu setelah menyampaikan tujuannya datang ke kantorku. Aku lebih tertarik membuka amplop yang ternyata berisi sebuah undangan pernikahan.

Marwah Putri Yuditama--- Nama mempelai wanita yang tertera jelas pada surat undangan, itu nama putri pertamaku dengan Tiffany yang aku taksir usianya sudah mencapai 25 tahun. Dulu saat aku memutuskan berpisah, usai Marwah baru 19 tahun dan masih duduk di bangku SMA.

Tidak ada yang menarik dalam surat ini selain kertasnya berbahan mahal serta poto-poto prewedding bertema pertanian membuatku langsung memas**annya pada laci meja secara asal. Aku lebih memilih untuk datang saja biar tahu keadaan mereka yang sebenarnya. karena jujur, selama tujuh tahun setelah berpisah aku sama sekali tidak pernah menjenguk mereka. Tak juga mencari tahu beritanya lewat sosial media karena aku yakin Tiffany dan anak-anaknya kurang update. Toh, Tiffany murni sebagai ibu rumah tangga saat masih bersamaku, dia sama sekali tidak faham main ponsel apalagi sampai berselancar di media sosial.

Jadi, aku yakin penampilannya sekarang yang nampak elegant cuma cassing untuk menutupi kemelaratannya. Dan itu salah satu cara dia untuk membuatku tertarik dan mau datang untuk jadi wali nikah putrinya.

***

"Ada apa ini, Mah? Kok banyak anak-anak diluar rumah?"

Aku yang panik karena ibu-ibu komplek merongrong kediamanku dengan Meizani kembali terjadi. Nampak Aditama---putra semata wayangku tengah bersembunyi di balik punggung ibunya.

"Dia difi tnah bikin ulah sama ibu-ibu kompleks, Mas!" Adu Meizani.

"Kami tidak fit nah, Pak Yudit. Dia memang sudah bikin ulah di sekolah, anak saya yang jadi kor bannya sampai-sampai kakinya ced era gara-gara si Adit, Anak kesayangan bapak itu." Omel ibu-ibu berbadan tambun, Bu Endang namanya.

"Ya, anakku juga sering di palak biar setor u ang jajan setiap harinya sama si Adit. Sekarang dia sudah seminggu tak mau sekolah gara-gara takut uan g sakunya di ambil paksa sama bocah ingusan so jadi pre man itu." Timpal yang lainnya membuatku jengah.

"Ya, betul. Dia sering bikin onar. Anak gadisku trauma bawa bekal ke sekolah, gara-gara dilem par kotoran makanannya sama anak yang s**a belagu digadang-gadang pewaris perusahaan itu."

Berbagai ragam aduan yang meluncur dari mulut emak-emak kompleks ini membuat kepalaku semakin pening. Pulang kerja bukannya disambut hangat, minimal ada makanan atau adem ayem tanpa ada rongrongan ibu-ibu. Tetapi yang ada malah keributan yang melibatkan banyak pihak. Bukan hanya sekali, tetapi sudah berkali-kali aku menyaksikan pemandangan memuakan saat pulang kerja. Dan rata-rata mereka mengadukan hal yang sama, yakni Aditama bikin onar.

"Oke, tenang ibu-ibu semuanya. Kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin, tidak usah ribut dan main de mo segala ---- "

"Heh, Pak Yudit. Mau sampai kapan kami sabar dengan ulah anakmu yang kelewat batas itu, Hah? Kami sudah mu ak, bukan cuma satu kali atau dua kali. Dia sudah melakukan kejah atan berkali-kali dan bukan hanya pada satu orang saja, Pak Yuditama."

"Namanya juga anak kecil, Ibu-ibu!" Ujarku berusaha lembut, padahal sebenarnya ingin sekali kusumpal mulut cer ewet itu.

"Halah, anak kecil con gormu. Pokonya kami gak mau tau, kalian harus mempertanggung jawabkan perbuatan anakmu atau kami bawa ka sus ini ke jalur hu k*m."

"Jangan, tolong jangan adukan perbuatan anak saya ke jalur huk*m. Dia masih kecil, masih harus belajar dan jangan sampai hak-haknya untuk sekolah tera m pas." Ujar Meizani mengiba, air matanya merembes hingga ke dagu.

"Lalu, Kamu fikir hak belajar anak kami tidak terampas gara-gara ulah bocah kesayangan kalian, Hah?" Sewot Bu Endang menggebu-gebu.

"Tenang, tenang semuanya! Saya akan bertanggungjawab dan saya akan membiayai pengobatan anak yang sakit gara-gara ulah anak saya. Jadi saya mohon, berhenti geruduk rumah saya, saya baru pulang kerja dan saya sangat lelah, saya ingin segera istirahat."

Akhirnya dengan berat hati, aku harus kembali menggelontorkan sejumlah uan g untuk membungkam mulut mereka agar tidak bikin rusuh di depan rumahku. Termasuk menanggung bia ya pengobatan anak yang konon ceder a akibat ulah Aditama, dan itu bukan nominal yang sedikit.

Lama-lama, semua tabun ganku terkuras hanya untuk mengobati mereka yang jadi kor ban kenak alan Aditama. Tak hanya simpanan, tetapi semua perabotan mahal di rumah pelan-pelan dikor bankan untuk memba yar kerugian. Tak hanya finansial, mental pun lama-lama capek kalau terus menerus seperti ini siklusnya. Aku jadi tidak sabar, seperti apa kehidupan Tiffany dan keempat anakku.
Bersambung

Cerita ini bisa di baca sampai tamat di aplikasi KBM app
Penulis : Naima Jelita
Judul : Kabar Istri Dan Anak-anakku
Link di sematkan ke kolom komentar ya

Malam itu, aku duduk di beranda rumah kecilku. Udara dingin menu suk tulang. Aku memeluk lutut, menatap jalan sepi yang ...
21/12/2025

Malam itu, aku duduk di beranda rumah kecilku. Udara dingin menu suk tulang. Aku memeluk lutut, menatap jalan sepi yang hanya diterangi lampu jalan redup. Sejak kejadian di pelaminan tadi, pikiranku tidak berhenti berputar. Wajah Ardi, tangisan Marni, bisikan taj am para tamu—semuanya masih berputar seperti kaset rusak di kepalaku.

Aku baru saja hendak masuk ketika suara langkah kaki terdengar mendekat. Tu buhku refleks menegang.

“Ani .…” Suara itu lirih, begitu kukenal.

Aku mend**gak. Ardi berdiri di depan pagar bambu, wajahnya sayu, jas pengantinnya sudah berganti dengan kemeja kusut. Sejenak aku ingin menutup pintu dan mengusirnya. Tapi tanganku justru terhenti di udara.

“Ada apa lagi? Mau apa kamu datang ke sini malam-malam?” Suaraku bergetar, antara marah dan lelah. “Mau balikin u ang itu?”

Ardi menunduk, lalu membuka pagar perlahan. “Aku cuma… aku cuma mau ngomong sama kamu. Sekali ini saja, Ni. Tolong.”

Aku menahan napas. Bagian dari diriku ingin mendengarnya, bagian lain ingin menutup telinga selamanya. Tapi akhirnya aku duduk kembali, dengan wajah sinis menatapnya.

“Cepat. Aku nggak punya banyak waktu.”

Ardi duduk di kursi bambu di depanku. Sekilas aku melihat matanya merah, entah karena menangis atau karena rasa bersalah.

“Aku… aku minta maaf, Ni,” katanya pelan. “Semua yang terjadi ini… aku khilaf. Aku nggak pernah niat ninggalin kamu. Aku bingung, aku takut kamu nggak pulang-pulang. Aku—”

“Cukup!” potongku tajam. “Jangan sekali-kali kamu sebut ‘khilaf’ sebagai alasan. Itu penghi naan buatku. Kamu sadar, Ardi? Kamu menikahi sahabatku dengan u angku sendiri! Apa ada pengkhia natan yang lebih kej am dari itu?”

Ardi menunduk dalam-dalam. Tangannya mere mas paha, tu buhnya bergetar. “Aku tahu… aku tahu aku salah besar. Tapi aku nggak bisa kehilangan kamu, Ni. Aku masih cinta sama kamu.”

Aku tertawa getir, air mataku kembali jatuh. “Cinta? Apa arti cintamu? Cinta yang tega menghancurkan sahabat dan pacar dalam satu waktu? Jangan bodohi aku dengan kata-kata itu, Ardi!”

Ia mengangkat wajahnya, sorot matanya memohon. “Dengarkan aku dulu. Aku menikahi Marni karena terpak sa. Keluargaku… keluarganya… semuanya mendesak. Aku nggak bisa menolak saat semuanya sudah dipersiapkan. Tapi, Ni, sumpah, hatiku masih buat kamu. Aku janji… aku janji akan tetap mengutamakan kamu, meski kamu jadi istri keduaku.”

Aku terdiam. Ucapan itu menu suk telingaku lebih ta jam daripada pi sau.

“Kamu gil a, Di?” suaraku meninggi. “Kamu pikir aku akan sudi jadi istri keduamu? Setelah semua pengkhia natan ini? Setelah kamu ram pas masa depanku? Kamu kira aku perempuan hi na yang bisa kamu simpan di belakang istri resmimu?”

Ardi tergagap. “Bukan begitu, Ni. Aku sungguh-sungguh. Aku siap bahagiain kamu lebih dari Marni. Aku tahu aku salah, tapi aku akan buktikan. Aku nggak mau kamu pergi dari hidupku. Aku rela melakukan apa saja, asal kamu tetap jadi milikku.”

Aku berdiri, tubuhku bergetar hebat. “Milikmu?! Jangan mimpi, Ardi! Kamu datang ke sini bukan karena cinta. Kamu datang karena takut aku bawa masalah ini ke polisi. Kamu takut a ibmu terbongkar. Itu saja!”

Ardi buru-buru bangkit, mencoba meraih tanganku. “Demi Allah, bukan itu, Ni. Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku tahu aku pengecut, aku tahu aku jahat, tapi tolong kasih aku kesempatan. Kamu… kamu satu-satunya yang selalu aku pikirin.”

Aku menepis tangannya dengan kasar. “Kesempatan? Kesempatan itu sudah habis, Ardi. Habis saat kamu membiarkan aku kerja siang malam demi ta bungan yang akhirnya kamu gunakan buat pesta dengan dia. Dan sekarang, kamu datang menawariku jadi istri kedua? Itu penghin aan terakhir buatku.”

Air mataku jatuh deras, tapi suaraku tetap lantang. “Aku lebih baik hidup mis kin, sendirian, daripada harus jadi istri kedua lelaki pengkhian at sepertimu.”

Ardi memejamkan mata, menahan sesak. “Jadi… benar-benar nggak ada jalan lagi, Ni?”

Aku menggeleng, tegas. “Tidak ada. Yang kamu harus lakukan sekarang cuma satu: balikin u angku. Biar aku bisa perbaiki rumah Ibu, biar aku bisa mulai lagi hidupku dari nol. Soal cinta, soal pernikahan… lupakan. Kamu sudah ma ti buatku.”

Ardi mencoba bicara lagi, tapi aku langsung menunjuk ke pagar. “Pergi, Ardi. Kalau kamu masih punya sedikit harga diri, jangan pernah in jak rumah ini lagi.”

Beberapa detik hening. Lalu dengan langkah gontai, Ardi keluar dari pagar, bahunya jatuh, wajahnya tak lagi menyimpan sisa kebanggaan. Malam itu, aku menatap punggungnya yang menjauh, punggung yang dulu kuanggap sandaran hidupku.

Aku menutup mulut dengan tangan, tu buhku akhirnya runtuh ke kursi. Tangisanku pecah tanpa bisa ditahan.

“Ya Allah…” bisikku serak. “Kenapa orang yang paling aku percaya justru menus ukku sedalam ini? Kenapa aku harus belajar arti pengkhian atan dengan cara seke jam ini?”

Tapi di balik air mata, aku tahu satu hal: aku sudah menolak jebakan yang akan semakin menghan curkanku. Aku sudah berdiri, meski dengan kaki gemetar, melawan bujuk rayu pengkhia nat.

“Ni, tadi Ardi kan?”

Aku terlonjak mendengar suara ibu. Aku belum mengatakan apapun dan ternyata Ibu juga memang tidak tahu soal pernikahan. Marni dan Ardi, andai tahu pasti ibu tidak akan diam.

“Iya, Bu.”

“Kenapa nggak disuruh masuk? Dia pasti kangen juga sama kamu.”

Ibu sepertinya memang tidak tahu kabar Marni yang menikah dengan Ardi, ibu bukan orang yang s**a bergosip dengan tetangga. Pasti akan ketinggalan berita

“Aku sama Ardi udah pisah kok, Bu.”

Ibu terbelalak. “Kok bisa? Sejak kapan?”

“Udah lama, Bu.” Aku sengaja berdusta agar tidak membuat ibu sakit hati.

“Kamu nggak bohongin Ibu kan?” tanya ibu dengan sorot mata sayu.

“Nggak, Bu. Buktinya aku udah punya pacar baru.”

“Benarkah? Kalau memang iya bawa dia secepatnya ke hadapan Ibu.”

Ma ti aku! Kenapa aku bilang punya pacar baru. Kemana aku harus cari laki-laki buat pura-pura jadi pacarku.

Judul : Dikira Honorer Ternyata Miliuner
Penulis : EmbunGavesha
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App.

Address

Jakarta Selatan

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Drama Update posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Drama Update:

Share