25/12/2025
HAH? Warisan?
Kata itu tak hanya mendarat di telinga, tapi juga meledak di dalam benak. Kata yang terasa asing dan tak pantas bersanding dengan kondisi jiwa yang baru saja remuk redam. Atau seperti permata yang jatuh ke dalam kubangan, sama sekali tidak pada tempatnya.
Bukankah ia seharusnya milik mereka yang terlahir dengan sendok perak di mulut; milik para pangeran dan putri berdarah biru; pun milik mereka yang namanya terukir di atas pohon silsilah keluarga kokoh dan berpucuk pada mahligai tahta?
Lantas, bagaimana bisa kata yang sedemikian megah disandingkan dengan seorang pembantu, yang seluruh harta dunianya hanya muat di dalam satu tas kain usang?
Aku berupaya berdiri gagah, memaksakan keseimbangan pada kaki yang goyah. Panas dan dingin menyatu merambati sekujur tubuhku yang teramat lelah. Sedangkan di seberangku, Tuan Awang menatap dalam. Alisnya yang tebal dan menyatu membingkai sepasang mata yang memancarkan iba. Bukan iba yang merendahkan, melainkan iba yang tulus, yang melihat langsung ke dalam lukaku. Kelembutan dalam tatapannya adalah balsam yang menenangkan perih, meski hanya untuk sesaat.
Dengan punggung tangan, kuusap jejak air mata. Biarlah pedih akibat kata-kata tajam Bibi menguap sejenak. Kini, ada benih lain yang tumbuh di dalam diriku, sebuah rasa penasaran yang mengusik untuk dipuaskan.
"Boleh saya tahu, warisan apa yang Tuan maksudkan?" Suaraku parau seolah kerongkongan kerontang tak suah basah.
Tuan Awang menghela napas panjang, embusannya terdengar berat di tengah keheningan. Isyarat kepalanya menyuruhku untuk mengikutinya. Aku mengekor dengan langkah pelan dan hati-hati, seakan takut lantai marmer yang dingin ini akan pecah ketika kuinjak, kontras dengan derap sepatu kulitnya yang manekan kuat. Bersama, kami menuju ruang kerja almarhum Tuan Zamaluddin.
Pintu kayu besar yang berat itu berderit pelan saat terbuka, membaurkan tiga aroma berbeda: wangi setanggi yang menenangkan dari luar, bercampur bau kertas-kertas tua dan jejak samar parfum cendana kes**aan majikanku dari dalam ruangannya. Sementara, duka yang masih pekat menggantung di udara, terasa seperti selubung tebal yang menyelimuti setiap perabotnya.
Di dalam sana, sudah ada dua orang menanti. Dua keponakan Tuan Zamaluddin, yakni Zafrel dan Sofea.
Lelaki berumur enam puluhan itu melangkah masuk dan duduk di sofa kulit berwarna cokelat gelap. Kakinya bersilang dengan anggun, dan dengan gerakan tangan yang sopan, ia mempersilakanku duduk di sebelahnya.
"Ape hal bibik tuh disuruh duduk?"
"Eh, Bik ... buatkan kami berdua minum."
"Zafrel, Sofea ... Mahsuri bukan lagi bibik di rumah ini. Jadi, sekiranya kalian haus, sila buat sendiri," ungkap Tuan Awang.
Aku bukan lagi pembantu di sini?
Maksudnya masa kerjaku telah habis sebab tiadanya Tuan Zamaluddin?
"Mahsuri, kemari," pinta Tuan Awang dan sekali lagi menepuk sofa di sebelahnya.
Antara ragu dan bimbang, sofa itu adalah singgasana. Tak pernah sekali pun aku berani mendudukinya. Namun, tatapan Tuan Awang semacam titah maharaja, membuatku tak punya pilihan.
Aku duduk dengan canggung di ujung sofa, menjaga jarak sedepak di antara kami, seolah takut mengotori kain mahal itu dengan keberadaanku.
Hening sekian jenak, memberikan kesempatan untuk mataku berkelana. Ruangan ini adalah museum kenangan. Aku mengingat hal-hal yang biasa kulihat.
Semisal, di rak buku yang menjulang hingga hampir mencecah ke langit-langit itu, Tuan Zamaluddin biasa berdiri membaca buku dengan bantuan kacamata tuanya. Atau di atas meja kerjanya yang masih tergeletak sebuah pena dan buku catatan yang terbuka, membuatku membayangkannya masih duduk bersandar setelah seharian menulis habis segala macam kerja.
Setiap sudut menyimpan kehangatan dan kebaikannya, sosok dermawan yang telah menarikku dari jurang keputusasaan. Dialah yang meyakinkanku bahwa aku bukan sekadar onggokan daging tak berguna yang dicap lacur oleh orang sekampung. Dialah yang membuatku kembali merasa sebagai manusia. Rasa manis dan getir berkelindan di dalam dada: Manis karena kehangatan dan kebaikan sosok majikanku yang dermawan itu; Getir sebab kini wujudnya telah tiada, bersisa nama.
"Saya di sini sebagai lawyer daripada Tuan Zamaluddin, akan membacakan surat wasiat yang allahyarham tulis sebelum berpulang. Ada pun kiranya nanti pihak-pihak yang tak bersetuju, bisa mengajukan keberatan lewat mahkamah. Namun, saya bisa pastikan pihak tersebut tiada apa diterima selain kekalahan. Dan sebelum itu, ada hal lain yang nak saya beritahukan kepada kamu semua." Tuan Awang memandang kedua ponakan majikanku yang duduk di depannya, kemudian beralih memandangku. "Mahsuri ...."
Suaranya yang dalam sedikit banyak membuatku gugup. "I-iya, Tuan Awang."
"Awak mesti faham bahwa Tuan Zamaluddin sangat menyayangi awak."
Aku mengangguk menanggapi. Itu benar adanya, tak terbantahkan. Selama bekerja dengan Tuan Zamaluddin, melimpah ruah yang aku terima. Bukan semata nilai materi, melainkan juga kehangatan seorang ayah, perhatian seorang sahabat, dan perlindungan seorang wali. Ia telah mengisi kekosongan jiwa yang selama ini mengangakan. Tuan Zamaluddin berbuat terlalu banyak.
"Sayang kepada Bibik? Ape nih Tuan Awang?" protes Sofea. "Pak usu tuh terlalu baek, sampaikan seorang bibik pun boleh die sayang. Ini dah melampau."
"Awaklah yang melampau, Sofea!"
Kami tersentak. Baru ini kudengar Tuan Awang membentak. "Saya kira awak boleh diam sekejap sampai saya selesai membacakan seluruh putusan?"
Sofea berdecih sinis.
"Yang satu orang lagi tak datang?" tanya Zafrel.
"Dia lagi dicari."
"Menyusahkan! Kalau ada namanya di surat wasiay itu, hapus saja, Tuan Awang."
"Justru nama awak yang bisa dihapus dari penerima warisan ini, Zafrel."
Lelaki muda itu kaget tak terima. "Mana bisa! Saya ini keponakan asli. Lain macam bibik satu ini."
Dia memandangku dengan sorot tajam dan menghina.
"Sudah, biarkan saya selesaikan apa yang telah saya mulakan," kata Tuan Awang. Lagi, dia memandangku lembut. "Mahsuri, awak adalah orang yang paling rajin, paling jujur, dan paling menjaga privasi Tuan Zamaluddin. Awak juga teramat dekat dengannya, sehingga tak menghairankan bila awak diangkat anak olehnya."
Seketika, udara di dalam paru-paruku seakan membeku. "Anak angkat?"
Berita macam apa ini? Sejak kapan? Aku bukannya hanya seorang pembantu?
"Saya tak terima!" Zafrel berdiri, diikuti Sofea.
"Saya juga tak terima."
Tuan Awang menunjuk keduanya secara bergantian. "Sekiranya kamu berdua tak terima, sila berembus. Saya adalah lawyer Tuan Zamaluddin. Saya tahu apa yang dikehendakinya dan saya sedang melaksanakan tugas."
Tanpa sepatah kata lagi, Zafrel beranjak. Sofea mengambil tasnya dan ikut pergi.
"Tuan Awang, saya ...."
Dengan gerak tangan, dia memintaku untuk tetap tenang.
Namun, degup di jantungku s**ar untuk dinormalkan setelah pemberitahuannya tadi.
Tangan Tuan Awang bergerak ke arah tas kerjanya yang tergeletak di meja. Bunyi klik dari kuncinya terdengar begitu keras di ruangan yang bertukar sunyi. Ia mengeluarkan secarik kertas tebal dan menggesernya di atas meja ke arahku.
"Sila tengok borang pengesahan ini."
Tanganku bergegar hebat saat meraih kertas itu. Kertasnya tipis, namun seakan berat. Pandanganku menelusuri deretan huruf-huruf resmi yang tercetak rapi. Di sana, tertulis dengan jelas sebuah perjanjian pengesahan hubungan ayah dan anak angkat, dilegalisasi oleh negara, lengkap dengan stempel dan tanda tangan.
Ya, dua tanda tangan. Yang goresan tintanya tegas, milik Tuan Zamaluddin, sedangkan satu lagi goresan yang malu-malu dan sedikit canggung, tak lain adalah milikku.
"Saya sungguh anak angkat Tuan Zamaluddin?"
Selengkapnya baca di kbmapp
Penulis: Kalishgan
Judul: Mahsuri (Anak Perempuan Gila)