Drama Update

Drama Update menerima promo bermacam novel 😊
semoga terhibur ���

"Arika, kamu nggak usah pergi yah, kalau kamu pergi, mobil nggak muat," ucap Mbak Eva kepadaku saat baru saja selesai me...
16/07/2025

"Arika, kamu nggak usah pergi yah, kalau kamu pergi, mobil nggak muat," ucap Mbak Eva kepadaku saat baru saja selesai memakai baju.

Aku langsung menoleh ke arahnya.

"Iya ih, kita nggak muat nanti, Mbak. Kamu nggak usah ikut aja," sambung Elin adik iparku.

"Tapi kan aku sudah siap, Mbak," jawabku pelan.

"Ya ganti saja lagi bajumu, toh nggak susah. Kalau kamu nggak pergi pun nggak ada pengaruhnya untuk acara ini, jadi nggak usah deh, mobil penuh nanti," jawab Mbak Eva lagi.

Kali ini aku menoleh kepada Mas Daud, suamiku.

"Iya, kamu nggak usah pergi dulu yah, nanti aja acara selanjutnya," jawab Mas Daud.

Hatiku yang semula bahagia kini langsung berganti dengan nyesek.

"Kenapa, Mas?" tanyaku.

"Lihat badanmu! Mana muat di mobil!" Ibu mertua langsung menyambung.

Sejak melahirkan anak pertama memang badanku sedikit besar, tapi aku tidak malu sedikitpun.

Aku melihat badanku.

"Sudah yah, kami pergi dulu," ucap Mas Daud yang langsung keluar dari rumah, disusul ibu mertuaku dan kedua iparku, ada satu lagi iparku, laki-laki, sudah menikah juga.

Aku hanya menatap mereka dari jendela kamar dengan perasaan kecewa yang begitu besar.

Untuk menenangkan hatiku yang sangat sakit, kucoba untuk ke dapur dan memasak, hanya ini yang bisa mengobati hatiku yang sangat galau setelah ditinggal putri kecilku empat bulan yang lalu untuk menghadap sang Pemilik kehidupan.

Kukeluarkan semua amarahku dengan mengiris daging ayam, tangisanku pecah.

Kenapa aku selalu menjadi bahan hinaan mereka? Bukan kemauanmu badanku jadi seperti ini!

Kenapa aku yang selalu mendapatkan hukuman atas hal yang bukan kesalahan.

Bahkan suamiku pun tidak ada sedikitpun membelaku.

Hatiku seperti ditusuk pisau.

Sakit sekali Tuhan.

Aku peluk tubuhku sendiri. Kulonggarkan dadaku yang terasa sesak dengan menangis, lalu kuberikan senyum untuk diri sendiri.

Kamu kuat! Ya, kita kuat! Harus bisa!

Setelah tenang, aku kembali memasak makanan kes**aanku, hingga pintu rumahku diketuk.

"Arika! Kamu di dalam?" Itu suara Miranti, tetanggaku yang sekaligus menjadi tempat keluh kesahku selama ini.

"Iya, Mir. Masuk aja."

"Loh, kamu nggak pergi? Kenapa? Bukannya itu acara keluarga suamimu?" tanya Mirani yang langsung mengambil piring.

Aku menunduk.

"Mereka menghina kamu lagi ya?"

Aku memgangguk.

"Bod*h kamu, Ka. Itu mobilmu, ini rumahmu, tapi kamu tidak mau melawan. Jahat kamu pada dirimu," celetuk Miranti membuatku seperti tertampar, pipiku panas.

Apa yang dikatakan Miranti benar. Mobil, rumah, fasilitas yang mereka pakai adalah milikku.

"Loh Mir. Ini bukannya mantan istri suamimu?" tanya Miranti yang memperlihatkan faceb**k kepadaku.

Aku langsung merampas ponsel Miranti.

Ya Allah, sakit banget hatiku.

Mantan istri Mas Daud ikut bersama mereka dengan warna baju senada dengan mereka juga.

Mbak Husni duduk di samping Mas Daud, tersenyum saat melakukan selfi bersama Mas Daud dan keluarganya.

Aku memeriksa aku faceb**k milikku. Tidak bisa menemukan akun milik Ibu mertua dan semua saudara iparku, termasuk Mas Daud.

*Foto bersama Menantu Kesayangan*

Caption yang ditulis ibu mertuaku.

*Nggak gendut yah, cantik dan berkelas, bukan seperti dugong. Hahahaha ....* komentar Elin.

*Jelas d**g, ini mah ipar terbaik, kalau yang di rumah itu dugong." Balasan Mbak Eva.

Mereka saling membalas komentar.

*Udah gend*t, jelek lagi.* ibu mertua ikut komentar.

*Untung banyak uangnya, Ma. Hahahah.* Kali ini akun dengan nama Husni Lestari ikut mengomentari.

"Kamu masih mau diam saja setelah dihina seperti ini, hah?" sentak Miranti sambil megguncangkan bahuku.

Aku diam sejenak lalu menggeleng.

Air mataku tidak mengalir lagi, entah kenapa hatiku sakit tapi tidak bisa menangis.

"Ayuk kita nyusul mereka," ucapku yang langsung berdiri dan mengganti pakaianku lagi, juga memakai semua emas yang kumiliki.

Aku punya dua mobil, hanya saja mobil yang satu ini dipakai adik iparku untuk sekolah, dan karena mereka pergi memakai mobilku yang satunya lagi, sehingga mobil Hon*a Ja** ini tertinggal di rumah.

Miranti menemaniku pergi ke pesta tersebut.

Tunggu saja kamu, Mas. Habis ini kamu akan berlutut meminta maaf kepadaku.

Saat aku dan Miranti sampai, acara sudah berlangsung, banyak yang melihat ke arah kami berdua termasuk suamiku, mertuaku dan saudara iparku.

"Wah banyak sekali emasmu," ucap tantenya Mas Daud.

"Terima kasih, Tante," jawabku lalu berjalan mendekati Mas Daud.

"Kenapa kamu kemari?" tanya Mas Daud gugup karena saat aku pertama kali melihatnya dia sedang mengandeng tangan Mbak Husni.

"Aku kemari mau mengambil mobilku, juga untuk mengantarkan pakaian kalian semua. Nanti sisanya bisa aku antarkan lagi ke rumah lama kalian, dan oh yah Mbak Husni, kalung yang ada di leher Mbak Husni itu adalah kalungku yang diambil Mas Daud tanpa seizinku, kembalikan padaku, karena kalung itu tidak cocok di badanmu!" tukasku dengan suara lamtang dan menunjuk kalungku yang dipakai Mbak Husni ....

Semua terdiam melihatku, lalu ....

Plak!

*******

Hoooooooolllllllaaaa Maaaaaaaakkk
Judul:DIBLOKIR MERTUA DAN IPAR
Sudah tamat di kbm app
Akun Chie_Amoy08. BAB 1
Link di kolom komentar yah

K U KIRA S4TPAM TERNYATA SUAMIKU SULTAN "Jadi," bisik Kinanti perlahan sambil menoleh ke arah Zayyan, "kamu ini sebenarn...
16/07/2025

K U KIRA S4TPAM TERNYATA SUAMIKU SULTAN "Jadi," bisik Kinanti perlahan sambil menoleh ke arah Zayyan, "kamu ini sebenarnya utusan dari kantor pusat, ya?"

Zayyan hanya menoleh dengan senyum tipis. Tidak mengiyakan, tidak p**a membantah. Senyumnya seolah menyimpan makna yang sulit ditebak.

Kinanti mengangguk kecil, seperti merasa dugaannya tak jauh dari kenyataan. “Aku dengar dari beberapa teman, katanya kantor sedang melakukan evaluasi kinerja. Bahkan akan ada audit minggu depan, dan mungkin juga penataan ulang pegawai. Dan kamu … kamu jelas bukan petugas keamanan biasa.”

Tatapan Zayyan tetap tenang, lembut, dan tak mengintimidasi. Tapi ada sesuatu di balik sorot matanya yang membuat Kinanti merasa pria itu bukan sosok biasa. Ia hanya membalas dengan senyum samar, lalu me me-gangi perutnya sambil menghela napas ringan.

“Lapar?” tanya Kinanti refleks, penuh ke pe-dulian.

Zayyan mengangguk sedikit. “Lumayan.”

Kinanti tersenyum hangat. “Kebetulan aku bawa b e-kal agak banyak hari ini.”

Ia membuka kotak makan siangnya, lalu me nyo-dorkan satu sendok kepada Zayyan. Meski sempat ragu, pria itu akhirnya menerimanya dengan tenang. Mereka pun makan bersama dari satu wadah, duduk berdampingan di bangku taman. Sederhana, namun terasa akrab dan menenangkan.

Sambil menyendokkan nasi dan sayur, Kinanti menoleh pa-danya lagi. “Tenang saja, aku nggak akan cerita ke siapa-siapa soal ini. Aku paham, kadang perusahaan memang perlu melihat langsung kondisi di lapangan tanpa banyak diketahui.”

Zayyan menatapnya lama, seolah menimbang-nimbang. Namun lagi-lagi, ia hanya mem ba-las dengan senyum yang tenang.

Kinanti melanjutkan, “Jadi kamu bisa bekerja dengan tenang. Aku pun nggak akan banyak bertanya. Soalnya, kalau orang-orang tahu kamu dari pusat, bisa-bisa semuanya langsung berubah sikap dan nggak menunjukkan yang sebenarnya.”

Zayyan tertawa kecil, suara tawanya ringan. “Jadi menurutmu aku sedang menga-m a ti diam-diam?”

“Bukan meng4mati dalam arti buruk,” jawab Kinanti cepat. “Lebih ke mengamati dengan tujuan memahami. Bedanya tipis, tapi penting.”

Zayyan mengangguk pelan, lalu bertanya, “Tapi kamu nggak khawatir?”

Kinanti menoleh, bingung. “Maksudnya?”

“Kalau kamu tahu aku dari pusat, dan ternyata ada hal-hal yang kurang dalam pekerjaan kamu atau rekan-rekanmu?”

Kinanti berpikir sejenak sebelum menjawab, “Kalau memang kami sudah bekerja sesuai aturan, insya Allah nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi kalau memang ada kekurangan, ya semoga bisa segera diperbaiki. Aku percaya, kamu bisa melihat semuanya dengan bijak.”

Zayyan menatapnya lebih lama dari biasanya. Tatapannya kini lebih hangat, seperti menemukan sesuatu yang tulus.

---

selengkapnya di KBM App

Judul: Kukira S4tpam, Ternyata Suamiku Sultan

Penulis: Fairy Tia

16/07/2025

Pacarku tiba-tiba berbadan dua?
[Drama Update]


[ Leon, Nenek sedikit lagi sampai ke rumah barumu ya. Lupa tadi ada barang buat kalian, sekalian mau nginep ]SERIUS?!Aku...
16/07/2025

[ Leon, Nenek sedikit lagi sampai ke rumah barumu ya. Lupa tadi ada barang buat kalian, sekalian mau nginep ]
SERIUS?!

Aku menatap layar ponsel kayak habis baca pesan dari polisi bahwa aku masuk daftar buronan. Nenek mau nginep? Malam ini?? Di rumah ini? Nggak! Nggak bisa!

Langsung kutekan tombol hijau. Panggilan ke Nenek.

“Angkat… angkat… ayo d**g, Nek…”

Tuutt… Tuutt… Dan…

“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.”

“NEK! Kenapa sinyal selalu mati di saat hidupku juga lagi mati begini sih?!”

Tanpa pikir panjang, aku langsung turun ke lantai satu. Nyaris kepleset karena pakai kaos kaki di lantai keramik.

“Sabila!” teriakku dari tangga.

Dia lagi nyapu ruang tamu sambil nyenandungkan sholawat pelan, kayak nggak ada apa-apa yang darurat. Damai. Tenang. Beda banget sama hatiku yang kayak pasar malam.

Dia menoleh lembut. “Iya, Mas ada apa?”

“Aku… kita… kita dalam bahaya besar.”

Dia berhenti nyapu. “Bahaya? Apa, Mas?”

“Nenek. Nenekku. Tadi WA. Katanya dia bentar lagi sampai sini… dan dia mau nginep.”

“Wah, Alhamdulillah. Rezeki tamu," balasnya dengan santai.

Rezeki apanya?! Aku buru-buru dekati dia.

“Dengerin. Ini serius. Rumah ini cuma punya dua kamar. Yang satu aku tempatin. Satunya kamu. Kalau nenek tidur di kamar satunya… kita…” Aku menelan ludah. “…kita terpaksa sekamar.”

Dia mematung. Aku juga. Lalu dia jawab pelan, “…yaudah, Mas. Apa salahnya?"

“Tapi kan kita belum siap! Maksudku, aku belum siap! Kamu juga kan… ya… kamu ngerti kan maksudku?!” Tanganku muter-muter sendiri di udara. Kayak nelayan yang bingung cari jaring.

Dia diam sebentar. Lalu pelan-pelan senyum kecil. “Mas takut ya?”

“Bukan takut!” potongku cepat. “Cuma... ya aku nggak mau Nenek salah paham. Nanti dia kira kita udah, ya gitu. Padahal kita kan belum, ya belum apa-apa…”

Dia masih tenang. “Yaudah, Mas. Aku bawa aja barang-barangku ke kamar Mas. Kita atur aja posisinya. Aku bisa di sofa lipat, atau... Mas yang tidur di sofa...”

“HAH? Aku yang tidur di sofa?”

Dia ngangkat alis. “Mas sendiri yang panik tadi.”

Aku mendecak pelan. “Ya ampun… ini semua salah Nenek kenapa tiba-tiba muncul. Harusnya ada notifikasi 24 jam sebelumnya…”

Aku langsung mundur, terus melirik ke arah tangga. “Ayo. Sekarang. Angkut semua barang kamu. Kita harus terlihat kayak pasangan harmonis yang udah siap tidur satu atap secara sah dan beretika.”

Dia mengangguk, mulai jalan ke kamarnya.

Aku ngelus dada. Oke. Tarik napas. Tarik napas panjang.

Tak lama kemudian.

Baru juga aku naruh koper terakhir di kamar atas, suara bel rumah nyaring banget.

TING TONG!

Glek. Aku langsung tahu siapa itu. Nenek Rana. Tanganku reflek ambil ponsel, masih berharap nomor beliau bisa aktif sekarang tapi nihil. Tetap mati. Dan sekarang… sudah di depan rumah.

Dengan langkah berat, aku turun ke lantai satu dan membuka pintu.

“Assalamu’alaikum!” suara itu ceria banget.

“Waalaikumussalam, Nek.”

Wanita yang berdiri di depanku bukan nenek-nenek keriputan seperti kebanyakan. Nenek Rana itu masih terlihat segar. Rambutnya tertata rapi, pakai sweater rajut, dan celana longgar. Gayanya kayak tante-tante sosialita. Tapi tetap... dialah yang nemenin aku selama enam tahun terakhir, sejak Mama masuk penjara karena kasus barang haram.

Waktu itu aku masih SMA. Hidupku jungkir balik. Aku dititipkan ke Nenek Rana, adik dari kakekku yang bahkan gak terlalu akrab sama keluargaku. Tapi... dia yang urus aku, biayain sekolah, masak, bahkan dateng ke acara wisuda kuliah waktu teman-temanku bawa orang tua.

Dia juga yang hadir di pernikahanku tadi siang. Duduk di kursi terdepan, senyum paling lebar, paling tulus. Dan sekarang dia berdiri di depan pintu rumah baruku. Bawa koper dan senyuman.

“Nenek nginep ya malam ini,” katanya, masuk begitu saja. “Rumah barunya lucu juga. Lumayan buat cucu Nenek yang keras kepala ini.”

Aku nutup pintu pelan. “Nek, kenapa nggak bilang dulu? Rumahnya masih... belum rapi. Belum ada dispenser atau kulkas.”

“Justru karena belum rapi, Nenek datang. Biar bisa bantuin. Kayak dulu waktu kamu pindah kos dari asrama, siapa yang beberes? Nenek juga kan?”

Aku garuk belakang kepala, kikuk. “Tapi, Nek, maksudku—”

Sabila muncul dari arah tangga. Masih dengan gamis dan cadarnya. Langkahnya tenang, suara sandalnya pelan.

“Assalamu’alaikum, Nek.”

“Waalaikumussalam!” Nenek Rana tersenyum cerah.

Aku hanya menghela nafas panjang. Tak tahu harus menganggap seperti apa lagi.

"Leon, Bila, sini dulu! Nenek bawa makanan. Kita makan malam bareng, ya."

Sabila menoleh cepat, tapi cuma sedetik sebelum kembali menunduk dan melangkah pelan ke dapur. Gamisnya bergerak anggun, langkahnya tetap ringan kayak biasa.

Aku menghela napas dan ikut menyusul.

Di meja makan, Nenek Rana udah buka beberapa kotak besar dari tas jinjing pink-nya yang legendaris. Aroma ayam bakar langsung menusuk hidung, disusul semur jengkol, tumis kangkung, dan... sambal mangga.

Perutku bunyi. Kenceng.

“Nenek pikir kalian belum sempat makan layak,” katanya sambil menyiapkan piring. “Tadi siang pasti sibuk banget ngurus akad, ya kan?”

“Iya, Nek,” ucapku buru-buru. “Makasih ya, udah repot-repot.”

“Nggak repot, sayang. Kamu cucu yang Nenek rawat, masa malam pertama makan mie instan?”

Sabila duduk di seberangku tanpa banyak bicara. Gerakannya sopan, kalem, dan tetap... tertutup. Dia sempat melirikku sebentar sebelum mengambil nasi.

"Makan yang banyak ya, Leon. Kamu juga, Billa" Nenek Rana mulai membagi lauk. "Tenaga kalian bakal kepake banget mulai malam ini."

Aku langsung terbatuk. Nyaris kesedak.

“Nenek?…”

“Apa? Emang salah?” Nenek Rana malah cekikikan. “Tenang aja. Nenek ngerti. Awal-awal pasti canggung, tapi lama-lama juga kalian bakal jadi pasangan yang saling lengket kayak lem.”

Aku pura-pura fokus ngunyah ayam, walau lidah rasanya hilang rasa. Salsabila diam saja, tapi aku yakin dia senyum di balik cadarnya atau mungkin itu cuma ilusi akibat sambal yang terlalu pedas.

Makan malam berlanjut dalam keheningan yang... anehnya nyaman. Nenek Rana sesekali melontarkan guyonan, tertawa sendiri, dan makan dengan semangat luar biasa.

“Oh ya, Nenek hampir lupa!” katanya semangat, mengeluarkan amplop kecil dari tasnya. “Nenek udah siapin tiket bulan madu kalian. Berangkat minggu depan!”

KRUKK!

Air yang baru masuk tenggorokan langsung nyasar. Aku tersedak. Parah.

Penasaran dengan lanjutannya?
Yuk ke aplikasi KBM app
Judul: Batal Nikah Kontrak
Penulis: Queensunrise

15/07/2025

Cowok ini manusia atau bukan?

15/07/2025

Cewek ini jadi simpanan orang penting

"Ngapain datang? Kasihan yah, ditinggal nikah!" ucap Susan offuce girl yang bekerja di perusahaan Ayahku, dan aku bekerj...
15/07/2025

"Ngapain datang? Kasihan yah, ditinggal nikah!" ucap Susan offuce girl yang bekerja di perusahaan Ayahku, dan aku bekerja juga di situ sebagai kepala divisi yang berbeda dengan offoce girl.

Aku dan Ika yang baru saja ingin memberikan selamat kepada kedua mempelai pun menghentikan langkah.

"Maaf, kamu barusan menyinggung aku?" ucapku dengan gaya andalanku.

"Menurut kamu?" ucap Susan lagi.

Ikan yang berada di sampingku mulai meradang, panas, dingin, butuh aqu*.

"Beraninya kamu!" ucap Ika dengan mata melotot.

"Berani d**g, toh sebentar lagi Ani akan menjadi pemimpin perusahaan, dan aku akan diangkat menjadi wakilnya," ucap Susan dengan polosnya, sedangkan aku yang mendengar hal itu langsung tertawa tepingkal-pingkal.

"Diangkat pakai apa? Keranda? Kalian pikir itu perusahaan nenek moyang dia? Wadau, kalau iya, artinya, Ayahku nenek moyang, aku tante moyang d**g, eh! Ya sudah nih, aku kasih naik jabatan yah, wakil pun lewat!" ucapku sambil memegang perut karena tertawa.

Dihadapan Susan aku menelpon bagian Office Boy dan Girl.

"Diana, segera pecat Susan, Ani dan Vivi, yah," ucapku.

Terlihat Susan dan Vivi tetap cuek dengan tatapan mengejek sambil melipat kedua tangan mereka di dada masing-masing.

"Kami, nggak takut, santai aja tuh, toh sebentar lagi kamu akan terbuang, kasihan yah, pasti stres tuh," ejek Vivi kepadaku.

"Stress? Nggak tuh, buktinya aku tetap santai melihat suamiku bersanding di sana, oh yah, kalian tunggu di sini yah, aku punya pengumuman penting," ucapku setengah berbisik.

Mereka berdua memalingkan wajah, sedangkan aku dan Ika lanjut berjalan ke atas pelaminan.

Mereka semua melihatku, Mas Urip yang melihatku nampak tegang, sedangkan si Ani langsung bergelayut mesraaaaa di lengan Mas Urip.

"Kamukah itu, Mas?" tanyaku saat di hadapan mereka berdua.

"Tentu saja, Mas Urip kan mencintaiku, kan, Maaass?" ucap Ani yang manjalita bagai angin sepoi yang membuat rasa kantuk menyerang.

"Nanti Papa jelaskan, Ma," ucap Mas Urip.

"Oh, tenang, Mas, aku tidak akan menuntut penjelasan, kok, tapi, ya, aku hanya merasa tersinggung," ucapku sedikit memberikan ekspresi miris.

"Maksud Mama, apa?" tanya Mas Urip heran.

"Dia bukan sainganku, Mas," ucapku sambil memegang rambut Ani dengan ujung telunjuk dan Ibu jariku.

Wajah Ani memerah, menegang, dan matanya melotot.

"Heh! Makanya, jadi istri itu, kalau service suami harus mantap, goy*ngan harus mantap, seperti aku," ucap Ani berapi-api sambil berkacak pinggang.

"Loh ... loh ... loh, aku kan bukan pela*ur yang harus menggoda suami orang dengan goya**n seperti kamu! Kamu terlalu rendah, bahkan tidak pantas berada dibaw*h telapak send*lku!" ucapku kepada Ani dengan senyum mengejek.

Ani yang mendengar hal itu semakin tersulur emosi.

"Sudahlah, Ma, kita bicarakan ini di rumah," ucap Mas Urip.

"Baiklah, tapi, aku mau menyumbangkan sebuah lagu untuk kalian, yah," ucapku tersenyum centil sambil berlalu menuju ke panggung tempat bernyanyi.

"Tes ... tes ... tes ... terima kasih untuk suamiku yang mengizinkanku menyumbangkan satu buah lagu untuk kalian berdua, oh yah, selamat datang di duniaku, Ani, maduku, semoga kita akan menjadi partner yang baik yah, tapi, aku menyumbangkan lagu, sebagai Direktur utama perusahaan Intan Berlian yang saat ini tempat Ani dan Suamiku, Mas Urip, eh sudah menjadi suami Ani juga, bekerja. Saat datang kemari, aku sudah memecat dua orang office girl yang kebetulan adalah teman Ani, yaitu Susan dan Vivi, khayalan kalian terlalu tinggi jika Ani yang akan memimpin perusahaanku," terangku.

Dari sudut mata, tertangkap Mas Urip yang langsung berdiri mendekatiku.

"Ma, apa maksud kamu? Jangan bikin malu di sini! Aku pimpinan di perusahaan!" seru Mas Urip.

"Sekarang bukan lagi, Pa, Ayahku sudah membuat keputusan baru saja," ucapku dengan santai dan mulai bernyanyi.

Sebuah lagi dari Cristina Perri-A Thousand Year yang aku nyanyikan hingga habis.

"Ani, aku tau, kamu tidak tau artinya lagu yang kubawakan kan? Kasihan," ucapku menggunakan mikrofon sebelum turun dari panggung.

Sebelum benar-benar pergi, aku mengambil foto Mas Urip dan Ani yang sedang merajuk karena ulahku, lalu, kukirimkan kepada Ayahku.

[Menantu kesayangan Ayah,] pesanku.

Ting!

[Astaga, sekarang bergeser, menjadi musuh! Enak saja dia menikah lagi, sedangkan aku nggak!] balasan Ayah dengan emotic ngakak.

Astagfirulah, Ayahku niat selingkuh. Langsung saja kukirim hasil screen shoot percakapanku dan Ayah kepada Ibu, lalu, beberapa menit kemudian.

Panggilan video masuk.

Panggilam dari Ayah, dan Ibu, tersambung menjadi tiga. Aku, Ayah, dan Ibu.

"He do*ol, kenapa kamu kirim ke Ibumu?" tanya Ayah.

"Loh, kenapa panggilannya terpisah? Ayah di mana?" tanyaku.

"Di rumah," jawab Ayah santai.

"Ibu di mana?" tanyaku lagi.

"Di rumah juga, di samping Ayahmu, nih," jawab Ibu sambil memperlihatkan mereka berdua yang sedang memegang ponsel masing-masing.

"Et dah! Ngapain teleponnya terpisah gini?" tanyaku.

"Suka-s**a kita d**g, ape lu? Ape lu?" ucap Ayah.

Ika yang ada di sampingku pun hanya bisa menggeleng-geleng.

"Kamu sakit hati?" tanya Ayah.

"Tentang?" tanyaku balik.

"Suamimu menikah lagi," ucap Ayah.

"Memangnya aku robot, tentu saja sakit hati, tapi, sudahlah," ucapku.

"Bagus! Kamu kasih pelajaran aja ke mereka," ucap Ayah.

"Gampang, Yah, ini sekarang sedang kulakukan," ucapku.

"Baiklah, rapat hari ini sudahi dulu, kalau kamu banyak bicara nanti Ayah tidak dapat jatah malam," ucap Ayah.

"Jatah apa, Yah?" tanyaku.

"Jatah kopi, Ibumu ini kalau merajuk, dia kunci lemari penyimpan makanan, di sana ada kopi Ayah," terang Ayah dengan wajah serius.

Nah kan, jangan salah pikir.

"Ya sudah, bujuk aja bidadari kita," ucapku memutuskan panggila tersebut.

"Ma, kenapa aku nggak bisa transfer uang? Aku harus melunasi sisa bayaran decor dan make up nih," ucap Mas Urip yang datang mendekatiku.

Belum sempat aku menjawab, sudah ada yang lebih dulu bersuara.

"Mau apa kamu di sini?" suara yang ku kenali, Ibu Mertuaku.

Seru nih.

******

Hoooooooolllllllaaaa Maaaaaaaakkk
Judul: BUKAN MERTUA BIASA
Sudah tamat di kbm app
Akun Chie_Amoy08. BAB 1
Link di kolom komentar yah

Senyum istriku hilang saat aku p**ang membawa perempuan lain sebagai madunya. Dia kira, aku menikah lagi karena dia m4nd...
15/07/2025

Senyum istriku hilang saat aku p**ang membawa perempuan lain sebagai madunya. Dia kira, aku menikah lagi karena dia m4ndul dan aku menginginkan seorang anak. Padahal aku...

"Asalamualaikum,"

Dinda baru saja p**ang dari mencari kos, namun sudah mendapati Arsen menunggu di ambang pintu.

"Kemana aja kamu, Dinda?!" Arsen terdengar galak. "Aku hubungi nggak bisa!"

"Jawab salamku Mas!"

"Walaikumsalam,"

Dinda melangkah masuk ke dalam rumah, namun ia merasakan hawa panas yang membuat hatinya tiba-tiba sakit.

"Kamar mana yang tadi kalian gunakan?" tanya Dinda, melirik Nisa, yang duduk di sofa ruang tamu.

Arsen terdiam, tangannya gemetar menahan rasa takut yang luar biasa. Wajahnya pucat pasi, dan tidak mampu menjawab apa yang Dinda tanyakan.

"Apa maksud kamu?" tanya Arsen.

"Kalian gunakan kamar yang mana? Karena aku nggak akan mau memasukinya. Dan tolong, jangan berbohong!"

"Dinda maafkan aku, aku—"

"MAS!" Dinda berteriak di depan wajah Arsen. "Aku capek dengar kamu minta maaf terus Mas! Itu nggak akan mengubah rasa sakit hati aku, nggak akan bisa membuat aku melupakan pengkhianatan ini!"

"Aku minta maaf, aku minta maaf, aku minta maaf, aku nggak akan bosan untuk mengatakan itu!"

Dinda diam. Ia menatap Arsen naik turun, lalu beralih menatap Nisa.

"Kenapa perempuan itu hanya diam?" tanya Dinda. "Apa dia sudah melayani kamu dengan baik?"

Seketika, sekujur tubuh Arsen terasa kaku. Wajahnya kembali pucat pasi, hingga tiba-tiba Arsen memegang tangan Dinda dengan sangat erat.

"Jangan tinggalin aku, aku cinta sama kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu, aku mohon...,"

Dinda semakin merasa curiga, jika mereka benar-benar sudah melakukan hubungan itu. Jika benar... Dinda jijik!

"Katakan Mas, kamar mana?"

Arsen bersujud dibawah kaki Dinda, berharap Dinda tidak melakukan tindakan apapun saat Arsen jujur padanya.

"KATAKAN! KATAKAN!" Dinda berteriak karena saking kesalnya.

Dinda menghela nafas berulang kali. Lalu dengan langkah pelan, ia duduk di sofa tepat di hadapan Nisa.

"Kamar mana Mas Arsen?" tanya Dinda berusaha untuk tenang.

"Kamar kita,"

Kalimat Arsen itu bagaikan panah yang menghunus jantung Dinda hingga membuat dadanya sesak dan lupa cara bernafas.

Kamar kita, katanya? Astaghfirullah, ya Allah. Dosa apa yang sudah aku lakukan sampai merasakan sakit hati yang begitu hebat ya Allah.

"Kamar kita? Kamar kita? KAMAR KITA?" teriak Dinda.

Dinda mengambil sebuah pot bunga, lalu meleparnya ke arah Arsen. Namun Dinda salah mengira, karena mereka ternyata saling melindungi. Nisa menghalangi Arsen, hingga kepalanya yang berdarah.

"Nisa, hei. Ya Allah," Arsen menyentuh kepala Nisa, dan memperhatikannya.

"Sakit," ucap Nisa pelan.

"Kalian sangat cocok!" sentak Dinda.

Arsen menatap Dinda tidak percaya, tapi jujur Arsen sangat takut sekarang. Ia tidak mau pernikahannya dengan Dinda kandas, Arsen mencintai Dinda.

"Aku pergi, nggak akan tinggal di rumah ini lagi!" tegas Dinda lalu melangkah keluar.

Untuk mengambil pakaian saja Dinda merasa jijik, sungguh kamar yang biasa mereka gunakan untuk bermanja, kini sudah digunakan untuk hal yang sangat menyakiti Dinda.

"Aku nggak akan izinkan!" Arsen menarik tangan Dinda. "Jangan sayang, aku mohon. Biar aku yang keluar, kamu jangan!"

"Kamu sangat menyukai perempuan itu kah? Untuk mengusir dan menyuruhnya menjadi gelandang aja kamu nggak mau!"

"Aku berjanji pada abahnya untuk menjaga dia,"

"Abahnya seorang kiyai?" tanya Dinda.

Arsen mengangguk pelan.

"Ya Allah, aku bodoh dalam hal agama. Tapi, cara ini memang dibenarkan? Berpoligami diam-diam? Jika iya, aku nggak sanggup dan nggak mau! Biarkan aku masuk neraka karena nggak menyetujui poligami ini!"

"Jangan pergi, aku mohon. Kalau kamu nggak mau tidur di kamar kita, kamu bisa tidur di kamar sebelah, akan aku bersihkan sekarang." Arsen menatap Dinda penuh harap.

"Lalu, perempuan itu?" Dinda menunjuk Nisa yang kepalanya terluka.

"Aku tidur dimana aja bisa Mbak," balas Nisa sangat pelan.

"Kalau gitu, suruh dia tidur di gudang penuh tikus, ulat, dan kelabang! Sekarang!"

Arsen dan Nisa terdiam.

"Jangan, kalian tidur di kamar biar aku yang tidur di gudang."

"Aku pergi Mas!"

"NGGAK BOLEH DINDA!"

Arsen mencoba mencari cara agar Dinda tidak pergi, namun tiba-tiba ditengah gerbang Marlina datang dengan seorang perempuan yang kemungkinan asisten rumah tangga.

"Assalamualaikum, Mas, Dinda. Mama sengaja mampir habis dari pasar,"

"Walaikumsalam," jawab Dinda dan Arsen bersamaan.

"Mama mau adakan syukurannya Mas Marsel, dia alhamdulillah naik pangkat. MasyaAllah,"

Arsen diam, perkataan Marlina sama sekali tidak masuk kedalam otaknya. Ia hanya fokus menatap punggung Dinda.

"Mas Arsen ada waktu kan? Mama mohon, soalnya banyak teman sejawat papa juga hadir, ya?"

"InsyaAllah Ma," balas Arsen.

"Dinda juga ya?" Marlina menatap Dinda dengan tidak enak. "Teman sejawat papa, ada yang kenal sama ayahnya Dinda, dia ingin ketemu sama Dinda. Ya Dinda ya?"

Dinda tidak merespon apapun.

"Kalian mau kemana?" tanya Marlina, wanita itu mendekati Arsen sambil berbisik. "Mama dengar lho teriakannya Nisa. Alhamdulillah ya,"

"Ma!" sentak Arsen.

"Iya iya, maaf." Marlina menahan senyum. "Mama p**ang ya, asalamualaikum,"

"Walaikumsalam,"

Setelah kepergian Marlina, Dinda kembali melanjutkan langkahnya.

"Jangan pergi Nda, kamu mau kemana? Sebentar lagi mau malam," Arsen bersikukuh tidak membiarkan Dinda pergi.

"Aku dengar apa yang mama katakan Mas, jadi aku nggak akan menginjakkan kaki dirumah ini lagi. Aku akan bekerja mulai besok, dan tinggal dekat tempat kerjaku!"

"Jangan bekerja Dinda, aku akan ikut kemanapun kamu pergi. Kamu mau ngekost dimana? Sudah bayar? Jangan kerja, pakai uangku."

"Nggak. Alhamdulillah sejak beberapa tahun lalu, Ayah dan kak Adnan membekali aku sejumlah tabungan. Aku akan pakai itu,"

"Dinda apa uangku nggak sebanyak keluarga kamu?"

"Kalau sudah tau nggak punya uang, jangan poligami!" sentak Dinda.

"Maafkan aku Dinda,"

Hanya itu yang bisa Arsen ucapkan, dan Dinda bergegas meninggalkan rumah ini, tidak mau mendengar apapun lagi dari Arsen. Untuk saat ini menyendiri adalah hal yang tepat untuk Dinda.

Ayah : Asalamualaikum, Dinda. Bagaimana kabar kamu nak?

Tangisan Dinda pecah di dalam mobil taksi, ia teringat dulu ayah dan kakaknya yang memilihkan Arsen untuknya. Padahal saat itu, Dinda sudah ingin mewujudkan banyak sekali mimpi bersama Mas Marsel.

Dinda tidak bisa berbuat apa-apa, tersakiti karena harus mengikhlaskan Mas Marsel, dan menikah dengan Arsen. Sekarang, sakitnya sangat luar biasa saat pilihan orang tua dan kakaknya yang di anggap baik dan paham agama, dan mampu membuat Dinda bahagia, ternyata menjadi senjata yang paling mem4tikan untuk Dinda.

"Mbak, sabar ya mbak. Apapun masalahnya, sabar ya mbak," ucap si supir taksi.

Dinda hanya tersenyum tipis.

Dinda : Walaikumsalam Yah. Alhamdulillah Dinda baik, ada apa, Yah?

Ayah : Besok, ada teman ayah yang datang ke acara keluarga mertuanya Dinda. Dinda bisa datang? Dia sengaja hadir untuk melihat kamu, Nak.

Dinda menghela nafas panjang.

Dinda : Insyaallah, bisa yah.

Judul: Istri Pertama (Bertahan atau Pergi)
Penulis: nana_niia
Baca di: KBM App

“Iya, Pak. Tapi Yasmin nggak berani minta ua_ng ke Mas Dion. Soalnya baru kemarin Mas Dion kasih ua_ng, dan ua_ng itu ud...
15/07/2025

“Iya, Pak. Tapi Yasmin nggak berani minta ua_ng ke Mas Dion. Soalnya baru kemarin Mas Dion kasih ua_ng, dan ua_ng itu udah Yasmin kasih ke Bapak.”

Saat aku keluar dari kamar bersama Olivia, suara Yasmin yang tengah berbicara di telepon menarik perhatianku.

Aku berhenti di ambang pintu. Raha_ngku menge_ras. Olivia yang berada di sampingku ikut mendengar percakapan itu dan langsung mendengus sin_is.

“Dion, ini namanya peme_rasan! Jangan mau dipe_ras sama wanita mis_kin itu.”

“Aku cuma kasih dia ua_ng bulanan. Terserah dia mau pakai ke mana uangnya. Kalau sekarang udah habis, ya nggak ada tambahan lagi.”

"Bagus!" Olivia tersenyum puas. “Kamu harus tegas. Jangan sampai dia terus manfaatin kamu. Sekarang makin yakin, kan. Kalau ba_yi yang ada di perut wanita itu bukan an_ak kamu? Ini pasti permain mereka aja, dia dengan ayahnya sama-sama krim_in4l. Kamu dijadikan tum_b4l.”

"Aku udah tahu dari awal. Makanya aku nggak mau ngakuin an_ak itu. Kalau aja bukan karena ayah, udah aku buang jauh-jauh wanita itu.”

Olivia meraih lenganku, suaranya semakin pelan, penuh keyakinan. “Sabar, Dion. Sebentar lagi juga dia mela_hir_kan. Setelah tes DNA, kebenaran akan terungkap. Aku semakin yakin 100% ba_yi itu bukan an_ak kamu.”

Aku mengangguk. “Ya udahlah, ayo kita pergi sekarang.”

Aku melangkah menuju pintu, tapi sebelum benar-benar keluar, aku menoleh ke Olivia.

“Kamu duluan aja ke mobil. Ada yang ketinggalan.”

" Oke. Jangan lama-lama, ya."

Aku kembali ke dalam rumah dan berjalan ke arah dapur. Dari jauh, aku bisa melihat Yasmin sedang duduk di meja makan, menunduk menatap beberapa potong roti panggang dan segelas susu.

Aku berdiri di depannya tanpa suara. Yasmin terkejut, lalu buru-buru mengangkat wajahnya.

“Ada yang bisa aku bantu, Mas?” tanyanya pelan.

Aku tidak menjawab, hanya mengambil sepotong roti panggang itu, menggigitnya tanpa bicara. Mataku menelisik wajahnya.

“Baru kemarin aku kasih ua_ng, kan?” ucapku akhirnya. “Nanti malam aku sama Olivia mau dinner di rumah. Pergi belanja dan masak makanan yang enak.”

Yasmin tampak kebingungan. Aku tahu alasannya. Dia pasti sudah memberikan semua ua_ngnya ke ayahnya, dan sekarang dia tidak punya sisa untuk belanja.

Aku memperhatikan ekspresi wajahnya yang semakin ragu-ragu.

“Kenapa diam? Kamu nggak punya ua_ng?” tanyaku tajam.

Yasmin menelan ludah. “Ada kok, Mas…”

Aku tersenyum miring. Jelas dia berbohong.

“Pasti ada, kan? Baru kemarin aku kasih ua_ng. Masa udah habis?”

Wajah Yasmin semakin gelisah, tapi dia tetap diam. Aku mengeluarkan dompet dari saku celana, mengambil beberapa lembar ua_ng, lalu menyodorkannya ke arahnya.

“Nih, aku kasih ua_ng buat belanja. Sisanya buat kamu.” Aku menatapnya tajam. “Tapi awas, kalau sampai aku tahu ua_ng ini kamu kasih lagi ke ayah kamu, nggak akan ada ja_tah bulanan lagi buat kamu. Paham?”

Yasmin hanya menunduk, mere_mas ujung bajunya. Setelah itu, aku berbalik pergi tanpa menunggu jawabannya.

***

Aku p**ang bersama Olivia, berharap melihat Yasmin di ruang tamu atau dapur seperti biasanya. Tapi rumah ini terasa lebih sepi.

Aku memanggilnya, “Yasmin?”

Tidak ada jawaban. Olivia duduk di meja makan, mengaduk makanan di piringnya dengan ekspresi meremehkan.

"Sayang banget ya, coba kalau dia ada. Kita bisa puas mengabaikan makanan ini. Dia udah capek-capek masak, tapi kita tadi udah makan di luar.”

Aku hanya diam. Tanpa banyak bicara, aku beranjak ke dapur. Langkahku terhenti begitu melihat sesuatu di lantai.

Da_r4h.

Tidak terlalu banyak, tapi cukup untuk membuat hatiku berdebar. Di sampingnya, ada pecahan mangkuk sup yang berserakan. Aku menatapnya beberapa detik, lalu tiba-tiba teringat sesuatu—teleponku.

Sejak tadi di kantor, Yasmin terus meneleponku. Berkali-kali. Aku sengaja tidak mengangkatnya karena lebih memilih menghabiskan waktu dengan Olivia. Tapi, apakah ada hubungannya dengan ini?

Aku buru-buru kembali ke meja makan, menatap Olivia yang masih asyik bermain dengan makanannya.

“Nggak ada Yasmin di sini, jadi rencana kita batal. Aku mau istirahat. Kamu nggak usah nginep di rumah malam ini.”

Olivia mengerutkan kening, bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat.

“Serius? Kamu yakin?” Tangannya melingkar di pinggangku, mencoba meng_go_da seperti biasa.

"Kita nggak bisa terus kayak gini, Liv. Lagip**a, aku nyuruh kamu ke sini buat ngerjain Yasmin. Tapi kalau dia nggak ada, buat apa?”

Olivia mendengus, lalu melepaskan tangannya. “Ya udahlah. Aku pergi dulu. Besok aku ke sini lagi."

Aku memastikan mobil Olivia benar-benar meninggalkan halaman rumah sebelum buru-buru keluar.

Dalam perjalanan, aku langsung menghubungi dokter Yogi. Begitu telepon tersambung, suaranya terdengar kesal.

“Akhirnya kamu telepon juga. Dari tadi aku nelpon ke mana aja?”

Aku tidak peduli. “Di mana Yasmin?”

Dokter Yogi terdengar menghela napas sebelum menjawab. “Dia di rumah sakit Rajawali.”

Aku langsung menutup telepon tanpa bertanya lebih lanjut, padahal dokter Yogi masih bicara.

Mobil melaju menuju rumah sakit dengan kecepatan tinggi. Pikiranku kacau, bayangan Yasmin jatuh atau terluka terus berputar di kepalaku.

Begitu sampai di lobi rumah sakit, aku keluar dari mobil dan langsung mencari Yasmin di IGD. Namun, langkahku terhenti saat melihatnya Yasmin bersama dengan pria lain.

Dia berjalan pelan bersama seorang pria. Tangannya bertumpu pada pria itu, seolah-olah sedang meminta perlindungan.

"Mas Dion? Kamu ngapain di sini?"

Suara Yasmin terdengar ragu saat melihatku berdiri di depannya. Dia menatapku dengan ekspresi terkejut, sementara tanganku mengepal erat menahan emosi.

"Aku ke sini buat jemput kamu. Ayo p**ang," kataku dengan nada datar.

Sesaat, Yasmin tersenyum kecil, seakan tersentuh dengan sikapku. Tetapi senyum itu segera pudar ketika aku tetap menatapnya tanpa ekspresi.

"Mas Rendy, aku p**ang dulu ya. Makasih atas bantuannya." Dia menoleh ke arah pria di sebelahnya

Rendy mengangguk sambil tersenyum. Aku tidak s**a caranya menatap Yasmin, seolah dia memiliki tempat dalam hidupnya.

Tanpa banyak bicara, aku meraih pergelangan tangan Yasmin dan membawanya pergi.

Kami masuk ke dalam mobil, dan aku langsung melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi.

Di tengah perjalanan, tepat saat kami melintasi jembatan sepi, aku menginjak rem mendadak.

"Keluar."

Yasmin menoleh dengan ekspresi bingung. "Kenapa, Mas?"

Aku menatapnya dingin. "Pulang jalan kaki. Itu hukuman buat kamu yang udah bikin makan malamku bersama Olivia berantakan."

Yasmin terdiam. Aku tahu dia ingin membela diri, tapi aku tak memberinya kesempatan.

"Tapi Mas, aku—"

"Keluar, Yasmin!" suaraku membentak ta_jam, memo_tong kalimatnya.

Aku membuka pintu mobil dan mendorong lengannya agar turun. Yasmin terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan.

Aku menutup pintu dengan ka_sar, lalu menekan pedal gas, melaju meninggalkannya di sana.

Dari kaca spion, aku melihat sosoknya berdiri kaku di tepi jalan, kecil dan rapuh di bawah lampu jalan yang redup.

***

Judul: Bukan Wanita Yang Kuinginkan
Karya: Aqila Nur
Baca sampai tamat di aplikasi KBM

Address

Jakarta Selatan

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Drama Update posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Drama Update:

Share