22/08/2025
Negeri yang Dijajah Anak Kandungnya
Konon, sejarah mencatat bangsa ini pernah terhimpit berabad-abad di bawah sepatu penjajah asing. Tapi hari ini, luka itu seakan terulang, hanya saja wajah penjajahnya berbeda. Bukan lagi berkulit putih atau berbahasa asingāmelainkan sebangsa, sejiwa, sewarna. Kita dijajah oleh anak kandung negeri sendiri.
Royalti bumi, emas, dan batubara yang seharusnya menghidupi rakyat, justru mengalir ke saku segelintir tuan baru. Sementara pajak merangsek sampai ke liang terkecil kehidupan: pedagang kaki lima, buruh bergaji pas-pasan, bahkan para pendakwah yang menyampaikan firman Tuhan pun tak luput dari PPh 21. Dakwah diperlakukan bagai komoditas, iman dipajaki seolah barang dagangan.
PPATK berdiri dengan gagah, mengusung nama besar pengawas keuangan. Namun sorot matanya lebih sering memburu transaksi receh rakyat kecil, sementara arus deras uang haram para penguasa lenyap di balik tirai kekebalan hukum.
Hukum itu sendiri⦠selalu sama: tajam menghujam ke bawah, tumpul tergenang ke atas. Seorang miskin yang mencuri sebungkus mi instan mendekam di jeruji, sedang maling miliaran rupiah bisa bersandar di kursi empuk ālapas mewahā, berfoto ria dengan senyum yang tak tahu malu.
Tanah pun tak luput dari rakusnya kebijakan. Atas nama ākepentingan negaraā, sawah petani diambil, rumah rakyat digusur, hutan adat dikuasai. Ironisnya, negara berdiri sebagai pemilik sah di atas air mata warganya sendiri.
Di sisi lain, menteri-menteri banyak dipilih bukan karena kualitas, melainkan karena kedekatan. Kursi jabatan menjadi hadiah politik, bukan amanah rakyat. Kebijakan lahir dari kompromi, bukan kecerdasan. Pejabat tak kompeten menandatangani keputusan yang menjerumuskan bangsa ke jurang, sementara rakyat menanggung akibatnya.
Birokrasi pun menjelma mesin mata duitan. Setiap izin, setiap dokumen, setiap pelayanan, selalu ada harga tak resmi yang harus dibayar. Uang pelicin menjadi bahasa yang lebih kuat daripada aturan tertulis.
Dan penegak hukumāmereka yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilanājustru tampil buram. Proses hukum penuh kabut, tidak transparan, seringkali seperti panggung sandiwara. Di mata rakyat, mereka nyaris kehilangan legitimasi; dipercaya hanya ketika menjerat yang lemah, tapi penuh tanda tanya saat berhadapan dengan yang berkuasa.
Koruptor pun berdiri gagah di pengadilan. Dengan setelan jas mewah, senyum tipis di depan kamera, seolah pahlawan yang dielu-elukan. Hukuman yang ringan, fasilitas sel yang nyaman, bahkan bisa bebas sebelum rakyat kecil selesai menebus nasibnya. Seakan-akan mencuri uang rakyat bukanlah kejahatan, melainkan prestasi.
Dan lebih getir lagi, aparat yang seharusnya melindungi rakyat sering menjelma alat politik. Suara-suara kritis dibungkam, mahasiswa dipukul, rakyat kecil dihalau dengan gas air mata. Sementara parade kekuasaan, pesta politik, dan barisan pejabat dilindungi dengan kawat berduri dan senjata lengkap.
Dan di atas panggung utama, berdirilah lembaga bernama Dewan Perwakilan Rakyat. Namanya indah, seolah lembaga luhur penampung suara jelata. Tetapi di balik tirai, mereka menari. Gaji pokok kecil hanyalah topeng, sebab tunjangan mereka menimbun hingga ratusan juta: rumah, beras, bensin, komunikasi, hingga fasilitas yang tak pernah habis dihitung. Ironinya, ketika rakyat menjerit oleh harga telur dan beras, mereka justru merengek minta tambahan tunjangan. Dan kala dikabulkan, mereka berjoget di ruang sidangātertawa, melompat, berpesta di atas punggung rakyat yang merintih lapar.
Maka pertanyaan menggantung di udara:
Negeri ini milik siapa?
Apakah milik jutaan rakyat yang bersusah payah menanggung beban,
atau milik segelintir penguasa, pejabat, birokrat, penegak hukum, dan wakil rakyat yang menari di atas penderitaan bangsa?
Hari ini kita mengerti, bahwa penjajahan tak selalu datang dari luar. Kadang, penjajah itu berwajah sebangsa, bersuara senada, dan mengaku wakil kita.
Dan itulah bentuk penjajahan yang paling getir:
dijajah oleh bangsanya sendiri.