
25/09/2025
Pernyataan Sikap Penerbit Independen Indonesia
(Terkait Buku-buku yang dijadikan Barang Bukti Penangkapan Kawan-kawan Aktivis)
Dalam dua pekan terakhir, sejumlah anak muda kritis ditangkap dengan tuduhan keterlibatan dalam aksi, dan aparat menjadikan buku-buku bacaan sebagai barang bukti. Kami menyatakan sikap tegas: praktik ini adalah kriminalisasi pikiran.
Begitu buku diekspose di meja barang bukti kejahatan, satu deret dengan batu dan molotov, seketika pengetahun tidak lagi didekati dengan pertanyaan “apa argumennya?” melainkan “apa bahayanya?” Adegan sederhana ini meruntuhkan fondasi pendidikan: warga tidak diajak mencari tahu, tapi dipaksa menghakimi dari sampul, warna, atau judul. Kekonyolan ketika, misalnya oleh Polda Jawa Barat, buku puisi patah hati atau poster demotivasi diperlakukan sebagai bukti kriminal tidak hadir sebagai ketidaksengajaan, melainkan konsekuensi logis dari penyelidikan berbasis prasangka.
Adegan itu bukan penegakan hukum, tapi teater kebebalan. Buku dipajang bersama batu agar publik lebih dulu takut, bukan lebih dulu berpikir. Teater seperti ini ingin mengajarkan bahwa kesan sama validnya dengan isi yang dipelajari dengan sungguh-sungguh. Bukti telanjang saat negara lebih memilih kecurigaan daripada argumen.
Puluhan buku yang disita itu memunculkan pertanyaan yang tak bisa dihindari: apakah penerbitnya kelak juga akan dipidanakan? Jika buku bisa diperlakukan sebagai barang bukti, apakah perpustakaan yang menyimpannya juga akan dianggap sarang kejahatan? Dan bagaimana dengan warga yang sekadar membacanya: apakah membaca buku yang sudah disita juga akan dijadikan tindak pidana? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan retorika kosong, melainkan pertanyaan yang harus segera dijawab sebelum hukum kembali membiasakan mengkriminalisasi pengetahuan; sesuatu yang, jika dibiarkan, akan menyeret siapa pun yang berani berpikir.