30/10/2025
Apa itu perdagangan kredit karbon?
Sederhananya, ini adalah mekanisme jual-beli “hak emisi”. Negara dan perusahaan wajib menurunkan emisi karbon sesuai target yang ditetapkan. Jika tak mampu, mereka bisa membeli kredit dari pihak yang berhasil mengurangi atau menyerap karbon, misalnya dari hutan yang lestari atau proyek energi bersih. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan 1 ton CO₂.
Indonesia sudah memiliki dasar hukumnya — Perpres No. 98 Tahun 2021 dan aturan OJK 2024 — dengan potensi nilai mencapai Rp 4.000 triliun per tahun. Sekitar 919 sektor ekonomi bisa memperdagangkan emisi, mulai dari energi, industri, hingga teknologi digital seperti pusat data. Semua aktivitas yang memakai listrik, bahan bakar, atau menghasilkan limbah karbon, masuk hitungan. Market kredit karbon adalah dunia dan kini sangat likuid . Harga terus naik.
Masalahnya, regulasi di Indonesia sering dilanggar. Lihat Bintan, Raja Ampat, Halmahera, dan Merauke — hutan mangrove, kawasan konservasi, dan tanah adat rusak dengan alasan “investasi hijau”. Padahal, itulah aset karbon kita yang seharusnya dilindungi.
Aturannya jelas, tapi praktiknya bebas tafsir.
Investasi hijau berubah jadi investasi abu-abu: nama “green” hanya untuk menutupi kerakusan lama.
***
Bayangkan jika dari luas hutan Indonesia yang mencapai 96 juta hektar, hanya 20 persen saja yang dikelola serius sebagai bisnis kredit karbon—penerimaan yang bisa diraih mencapai USD 67 miliar per tahun, atau sekitar Rp 1.000 triliun. Jumlah itu lebih besar daripada total dana transfer ke daerah yang dalam APBN 2025 hanya sekitar Rp 848 triliun. Artinya, hutan Indonesia menyimpan potensi fiskal yang melampaui kemampuan redistribusi anggaran nasional.
Namun potensi sebesar itu tidak boleh diserap sebagai pendapatan pusat. Uang hasil penjualan carbon credit harus menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD), langsung mengalir ke masyarakat yang tinggal dan menjaga hutan. Mereka yang setiap hari hidup di bawah kanopi pepohonan—yang tidak menebang, tidak membakar, dan tidak menjual kayu—harus menjadi penerima utama manfaat ekonomi hijau ini.
Jika skema ini dijalankan dengan tata kelola yang baik, rakyat di sekitar hutan bisa sejahtera tanpa mengubah ekosistemnya. Model seperti ini telah diuji dalam berbagai proyek pilot dunia—dari carbon polygons Rusia hingga community forest carbon projects di Kenya dan Laos. Prinsipnya sederhana: menjaga hutan lebih menguntungkan daripada menebangnya.
Masyarakat menjadi penjaga karbon, bukan penonton. Pemerintah daerah memperoleh PAD baru dari konservasi, bukan dari izin eksploitasi. Hutan tidak lagi dilihat sebagai komoditas kayu, tetapi sebagai aset ekologis yang menghasilkan dividen sosial dan fiskal.
Agar mimpi ini menjadi nyata, Indonesia memerlukan:
1. Lembaga karbon nasional yang independen, bertugas mengukur dan memverifikasi karbon hutan sesuai standar internasional, serta memastikan pendapatan karbon dicatat transparan di sistem fiskal daerah.
2. Regulasi kuat tentang distribusi manfaat, agar tidak ada lagi proyek “hijau” yang justru menyingkirkan masyarakat adat dan petani hutan.
3. Reformasi paradigma investasi, bahwa investasi hijau tidak berarti membuka hutan, tetapi membangun nilai ekonomi dari hutan yang tetap berdiri.
Penerimaan karbon seharusnya tidak menjadi pajak baru bagi negara, melainkan hak ekonomi baru bagi rakyat hutan. Bayangkan bila setiap keluarga di daerah menerima insentif bulanan setara Rp 5–10 juta, cukup dengan menjaga pepohonan agar tetap hidup. Itu bukan utopia—itu sistem ekonomi masa depan yang menjadikan konservasi sebagai sumber pendapatan yang bermartabat.
Hutan Indonesia bukan hanya paru-paru dunia, tetapi juga jantung ekonomi rakyat—selama uang dari pohon yang hidup, bukan yang tumbang, langsung mengalir kembali kepada manusia yang menjaganya. Ah, berkuasa untuk sejahterakan rakyat tidak sulit, yang sulit niat baik.