25/09/2025
Semboja, Kukar – detikborneo.com
Ribuan hektar kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, kian rusak parah akibat penjarahan besar-besaran yang dilakukan oleh para pendatang dari luar Kalimantan.
Ironisnya, meski secara administrasi kawasan konservasi ini tercatat seluas 61.850 hektar, faktanya isi hutan telah lama terkuras. Kayu-kayu bernilai tinggi seperti Ulin, Mahoni, dan Kamper habis ditebang, berganti dengan tanaman non-endemik seperti nanas, pisang, dan bahkan kebun sawit.
Dugaan Pembiaran Aparat Lokal
Masyarakat adat menuding ada pembiaran sistematis. Dari tingkat RT, lurah, kepala desa, hingga camat, sebagian besar pejabat lokal merupakan pendatang, sehingga diduga kuat ada kongkalikong yang melanggengkan praktik perusakan hutan.
Tokoh adat Dayak dari Balikpapan, Dr. Abriantinus, S.H., M.A., menegaskan bahwa penjarahan ini bukan peristiwa baru, melainkan sudah berlangsung lama.
“Tahura Bukit Soeharto sudah kurang-lebih 25 tahun dirambah dan dikuasai oleh sekelompok orang yang notabene para pendatang dari luar Kaltim. Tapi sama sekali tidak pernah ada tindakan, terus dibiarkan sampai hari ini,” tegas Dr. Abriantinus dengan nada keras.
Ia menambahkan, jika negara tidak mampu menertibkan, maka pihaknya bersama masyarakat adat Dayak akan menduduki lahan yang tersisa untuk menjaga hutan.
“Jika negara gagal menjaga, maka kami, masyarakat adat, akan berdiri di garis depan. Hutan adalah hidup kami,” ujarnya.
Ketua Umum Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Timur, Viktor Yuan, S.H., M.H., menyebut penjarahan hutan ini adalah kejahatan besar. Ia menegaskan akan menyerahkan pihak-pihak yang bertanggung jawab ke proses hukum adat maupun hukum negara.
“Ini bukan hanya perusakan hutan, tapi kejahatan terhadap kemanusiaan, flora, fauna, dan kelangsungan hidup generasi mendatang. Penjarahan ini juga berdampak pada berkurangnya ketersediaan oksigen. Pelakunya harus ditindak tegas,” ujar Viktor Yuan dengan penuh kemarahan.
Gerakan Pelestarian oleh Masyarakat Adat
Dukungan juga datang dari Noriah, Koordinator Kelompok Pelestarian Hutan Adat Dayak yang beranggotakan ratusan masyarakat adat. Mereka siap turun langsung menjaga kawasan hutan adat agar tidak habis dijarah.
“Kami sejalan dengan wacana Kementerian Kehutanan yang memberi peran masyarakat adat untuk menjaga hutan. Kami siap melakukannya,” tegas Noriah.
Pentingnya Bukit Soeharto
Tahura Bukit Soeharto bukan sekadar hutan, tapi penyangga utama ekosistem di Kalimantan Timur.
Dibentuk untuk melindungi biodiversitas dan mencegah kerusakan lingkungan.
Menjadi pusat riset ilmiah dan pendidikan tentang hutan tropis.
Lokasi ekowisata dengan potensi besar, mulai dari trekking hingga pengamatan satwa.
Menjadi bagian penting dari penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN), yang memerlukan keseimbangan ekosistem di tengah pembangunan besar-besaran.
Namun semua fungsi vital itu kini terancam hilang jika penjarahan dibiarkan.
Pemerintah Dinilai Gagal
Bagi masyarakat adat Dayak, hutan adalah bagian tak terpisahkan dari identitas dan kehidupan mereka. Pemerintah dianggap gagal melindungi aset berharga bangsa ini.
“Bukit Soeharto adalah paru-paru Kalimantan dan benteng hidup masyarakat adat. Jika hutan hilang, maka hilang p**a kehidupan kami,” tutup Dr. Abriantinus, S.H., M.A. ( Bajare007 ).