Lang S

Lang S 📧 [email protected]
Gambar dan Cerpen didominasi hasil AI/chatGPT

Selamat pagi dan selamat beraktivitas buat semuanya.Tetap semangat walaupun banyak pikiran😄 berat
11/08/2025

Selamat pagi dan selamat beraktivitas buat semuanya.

Tetap semangat walaupun banyak pikiran😄
berat

Malam hadir tanpa suara, membawa ketenangan yang tak mampu diberikan siang hari.”Imaji tusi..😄
06/07/2025

Malam hadir tanpa suara, membawa ketenangan yang tak mampu diberikan siang hari.”

Imaji tusi..😄

Akhir-akhir ini ada yang viral..Saya mau buat cerpen versi chatGPT tentang orasi dulu lah😄Dan ini sering terjadi. Jangan...
09/05/2025

Akhir-akhir ini ada yang viral..
Saya mau buat cerpen versi chatGPT tentang orasi dulu lah😄

Dan ini sering terjadi. Jangan tarik ke dirimu



“Suara yang Dibungkam Amplop”

Di tengah terik matahari siang yang menyengat, suara lantang seorang pemuda menggema di pelataran gedung dewan. Tangannya mengepal, keringat membasahi pelipisnya, namun semangatnya tak surut.

“Wahai para wakil rakyat! Kami di bawah ini menjerit! Harga sembako melambung, pendidikan mahal, dan kalian duduk nyaman dalam kursi empuk ber-AC!” serunya penuh amarah.

Namanya Rama, mahasiswa tingkat akhir jurusan Ilmu Politik. Ia menjadi simbol perlawanan bagi banyak rekan sejawatnya. Orasinya sering viral, bahkan media mulai meliriknya. Ia idealis, keras kepala, dan tak pernah takut berdiri melawan ketidakadilan.

“Negeri ini butuh perubahan! Dan perubahan dimulai dari suara-suara kecil seperti kita!” teriaknya lagi, disambut sorak-sorai dan tepukan dari puluhan mahasiswa yang memadati jalan.

Namun tak semua orang menyukai kelantangan Rama. Beberapa pihak merasa terusik. Termasuk salah satu anggota dewan yang baru saja disebut dalam orasi tadi—Bapak Herman, politikus tua yang lihai dan berpengalaman.



Dua hari setelah demonstrasi besar itu, Rama dipanggil oleh seseorang ke sebuah kafe di sudut kota. Datangnya undangan itu samar: hanya sepucuk surat dengan cap institusi tertentu dan pesan, “Ada yang ingin bicara empat mata.”

Rama datang dengan waspada. Di sana, ia disambut pria paruh baya dengan setelan rapi. Duduknya tenang, senyumnya manis, namun matanya tajam menelusuri Rama dari ujung kepala hingga kaki.

“Aku dengar orasimu menggelegar, Nak Rama,” ujarnya dengan nada santai. “Negara ini butuh orang muda yang vokal. Tapi juga… fleksibel.”

Rama hanya mengernyit.

Tanpa banyak basa-basi, pria itu membuka tas kecil di sampingnya. Mengeluarkan satu amplop cokelat tebal, lalu meletakkannya di atas meja.

“Sebagai bentuk apresiasi. Anggap saja, biaya perjuangan. Kami s**a kau terus berbicara… selama tahu batas.”

Rama terdiam. Tatapannya berpindah dari pria itu ke amplop tersebut. Ia bisa menebak isinya—uang, banyak. Mungkin cukup untuk membayar skripsi, cicilan kos, bahkan bantu ibunya di kampung.

Sunyi menyelimuti meja itu. Rama tak menjawab. Hanya memandangi amplop itu, lama.



Beberapa minggu berlalu.

Demo kembali digelar. Kali ini lebih besar. Tapi sesuatu terasa berbeda.

Massa menanti suara Rama. Namun ia hanya berdiri di belakang, dengan kemeja rapi dan wajah datar. Ketika mikrofon diberikan padanya, ia mengambilnya… lalu menghela napas.

“Teman-teman…” katanya pelan. “Mungkin kita juga harus belajar mendengarkan. Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan teriak. Ada waktunya kita duduk dan berdialog.”

Kerumunan bingung. Beberapa mulai mencibir. Sisanya saling berpandangan. Ini bukan Rama yang mereka kenal.

Orasinya selesai tak sampai dua menit. Tak ada kemarahan. Tak ada semangat. Hanya kalimat-kalimat lembut yang terdengar… kosong.

Seseorang di barisan belakang berbisik lirih, “Suara lantangnya sudah dibungkam amplop.”

Dan sejak hari itu, Rama tak pernah lagi memegang mikrofon. Ia sibuk di ruangan ber-AC, duduk berdampingan dengan orang-orang yang dulu pernah ia kritik habis-habisan.



Tamat

Note : Ini hanya cerita fiksi,kalau kalian merasa ini menyindir atau sebagainya,itu hak kalian

  : Hangat di Meja MakanSetiap sore, pukul enam tepat, aroma masakan Ibu memenuhi rumah kecil mereka. Nasi hangat, sayur...
05/05/2025

: Hangat di Meja Makan

Setiap sore, pukul enam tepat, aroma masakan Ibu memenuhi rumah kecil mereka. Nasi hangat, sayur bening bayam, tahu goreng, dan sambal terasi tersaji di meja kayu yang mulai kusam dimakan usia. Di sanalah keluarga kecil itu berkumpul: Ayah, Ibu, Dani, dan adik perempuannya, Rara.

Dani, anak kelas lima SD yang ceria namun agak pendiam, dulunya sering merasa tak dianggap. Di sekolah ia tak banyak bicara, dan di rumah, ia lebih senang mengurung diri di kamar, menonton video atau bermain game. Tapi semua berubah sejak Ayah memutuskan satu aturan baru: “Mulai sekarang, setiap malam kita makan bersama.”

Awalnya Dani merasa aneh. Ia terbiasa makan sambil menatap layar ponselnya. Tapi malam-malam itu, saat sendok-sendok bertemu piring dan suara tawa Ibu mengisi ruang makan, Dani mulai merasakan sesuatu yang lain: hangat.

“Ayah dulu juga s**a takut maju ke depan kelas, loh,” kata Ayah suatu malam, saat Dani mengeluh tentang presentasi kelompok.

“Serius, Yah?” Dani menatap Ayah dengan mata membelalak.

Ayah mengangguk sambil tertawa kecil. “Tapi Ibu Ayah waktu itu selalu bilang, ‘Jangan takut salah. Yang penting berani.’ Nah, sekarang giliran Dani yang berani.”

Malam itu, Dani tertidur lebih tenang. Bukan karena dia sudah siap presentasi, tapi karena ia tahu, ada orang-orang yang percaya padanya. Orang-orang yang setiap malam duduk bersamanya di meja makan yang sama.

Hari demi hari berlalu. Rara yang dulu s**a rewel, kini lebih sering tertawa. Dani yang tadinya pendiam, mulai rajin bercerita. Tentang teman barunya, tentang tugas sekolah, bahkan tentang cita-citanya menjadi penulis buku anak-anak.

Yang paling gembira adalah Ibu. Katanya, makan malam bersama seperti ini membuatnya merasa dicintai, didengar, dan tidak sendiri.

Suatu hari, guru kelas Dani memanggil Ibu ke sekolah.

“Bu, Dani banyak berubah. Ia lebih terbuka, percaya diri, dan jadi contoh yang baik di kelas.”

Ibu tersenyum. “Mungkin karena kami rajin makan malam bersama, Bu.”

Sang guru tertegun, lalu mengangguk pelan. “Ternyata hal sederhana bisa berdampak besar, ya.”

Makan malam bersama itu akhirnya menjadi kebiasaan sakral keluarga Dani. Bukan hanya soal makanan, tapi tentang cerita, tawa, dan cinta yang tak terucap. Dani pun tumbuh dengan penuh keyakinan, karena ia tahu: di balik semua tantangan hidup, ada meja makan yang selalu menunggunya pulang.

Cerpen : “Diskon Akal-akalan”“Diskon 90%!!! Cuma Hari Ini!!!”Tulisan itu menyala terang dengan huruf merah menyala di de...
04/05/2025

Cerpen : “Diskon Akal-akalan”

“Diskon 90%!!! Cuma Hari Ini!!!”
Tulisan itu menyala terang dengan huruf merah menyala di depan Toko “Murah Banget Mart”. Warga langsung berebut masuk seperti kerbau digiring ke kolam. Tangan-tangan penuh semangat meraih barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu mereka butuhkan.

Bu Tini, emak-emak paling update di komplek, sudah siap dengan tas belanja ukuran jumbo. “Lumayan, kalo bisa dapet 10 sabun, hemat banyak!” katanya pada suaminya yang terpaksa ikut jadi porter pribadi.

Di dalam toko, suasana seperti pasar malam bercampur arisan RT. Barang-barang ditumpuk tinggi dengan label “Harga Sebelum: Rp1.000.000 – Harga Sekarang: Rp99.999”. Padahal, barang itu seminggu lalu cuma dijual Rp110.000 di toko sebelah.

Tapi siapa peduli?

“Lihat ini, Pak! Blender 90 ribu aja! Diskon dari sejuta!” teriak Bu Tini, matanya berbinar seperti habis menemukan harta karun.
Pak Tini cuma mengangguk. “Kayaknya yang sama ini kita udah beli bulan lalu deh, Bu.”
“Lain ini! Ini seri baru. Ada gambar jeruknya!”

Sementara itu, pegawai toko hanya senyum-senyum. Mereka tahu benar rahasia di balik promo bombastis itu:
Harga dinaikkan dulu, baru dipotong ‘diskon’. Lalu dicetak besar-besar dan ditempel di setiap sudut toko. Hasilnya? Manusia-manusia yang haus potongan harga langsung percaya seolah diberi wahyu dari langit.

“Gila, rame banget ya, Mas,” kata salah satu pegawai sambil merapikan rak yang mulai kosong.
“Yaiyalah. Tulisan ‘Diskon Besar’ itu kayak mantra, bikin orang lupa cek harga asli.”

Di kasir, antrean panjang seperti antre sembako gratis. Sebagian orang bahkan tidak sadar bahwa mereka membeli tiga bungkus kopi instan dengan harga dua kali lipat dari harga biasa — semua karena tulisan “BELI 3 GRATIS 1!” yang ternyata cuma ilusi matematika belaka.

Sesampainya di rumah, Bu Tini membuka belanjaannya. Beberapa barang ternyata sudah mendekati tanggal kedaluwarsa. Tapi, dia tetap merasa puas.
“Pokoknya yang penting murah!” katanya mantap.

Pak Tini hanya bisa menghela napas. “Murah… atau cuma keliatannya murah?”

Sementara itu, di grup WhatsApp komplek, foto-foto belanjaan penuh ‘diskon’ memenuhi layar. Semuanya bangga telah ‘berhemat’.
Tidak ada yang sadar, mereka baru saja jadi korban permainan angka dan huruf besar berwarna merah.



Pesan Moral:
Kadang yang terlihat murah, justru membuat kita membayar lebih mahal — bukan cuma dengan uang, tapi juga dengan logika yang disandera kata-kata manis.

berat

Minggu baik buat kita semua.♥️“Orang yang hatinya bercabang tidak akan tenang dalam hidupnya.”— Yakobus 1:8Dalam kehidup...
04/05/2025

Minggu baik buat kita semua.♥️

“Orang yang hatinya bercabang tidak akan tenang dalam hidupnya.”
— Yakobus 1:8

Dalam kehidupan ini, kita sering berhadapan dengan orang-orang yang bermuka dua: mereka yang berpura-pura baik di depan orang lain, tetapi menyimpan niat atau sikap yang berbeda di balik layar. Bahkan, tanpa disadari, kita sendiri bisa tergoda untuk menjadi seperti itu — menampilkan kesalehan di depan umum, tetapi hidup dalam dosa secara diam-diam.

Tuhan tidak berkenan pada kepura-puraan. Yesus sangat keras terhadap kaum Farisi, bukan karena mereka beragama, tetapi karena mereka munafik. Mereka tahu firman, tetapi tidak melakukannya dengan tulus. Mereka menuntut orang lain menaati hukum, sementara mereka sendiri hidup dengan standar ganda.

Hidup bermuka dua tidak hanya menyakiti orang lain, tapi juga merusak hubungan kita dengan Tuhan. Tuhan melihat hati, bukan hanya perbuatan luar. Ia rindu kejujuran, ketulusan, dan hati yang bersih.

^ gambar dihasilkan oleh AI ^

  Judul: “Cermin Retak di Dapur Kita”Dari semua sudut rumah ini, hanya dapur yang masih terasa hidup. Di sanalah ia dudu...
03/05/2025

Judul: “Cermin Retak di Dapur Kita”

Dari semua sudut rumah ini, hanya dapur yang masih terasa hidup. Di sanalah ia duduk pagi ini, dengan secangkir kopi yang tak lagi hangat, memandangi istrinya yang sibuk menekan layar ponselnya. Jemari itu lincah mengetik, matanya bersinar terang, bibirnya sesekali menyeringai—senang, mungkin karena ada bumbu baru dalam hidup orang lain.

“Anak si Ibu Rina hamil di luar nikah. Padahal baru lulus SMA!” katanya tanpa memandang wajah suaminya.

Ia hanya mengangguk. Tidak ada reaksi.

“Eh, kamu dengar nggak?” sergahnya, suaranya meninggi.

“Aku dengar,” jawab lelaki itu datar. “Tapi aku nggak peduli.”

Istrinya mengerutkan kening. “Kok ngomong gitu sih?”

Ia meletakkan cangkir kopinya perlahan, lalu menatap wanita yang dulu membuat hatinya bergetar. Tapi kini, tiap detik bersamanya terasa seperti mengunyah kerikil. Kering. Menyakitkan.

“Kamu tahu nggak, akhir-akhir ini kita hampir nggak pernah ngobrol… kecuali soal gosip orang lain.”

“Lho, aku cuma cerita. Supaya kita nggak ketinggalan kabar,” balas istrinya membela diri.

“Kabar siapa? Kabar tetangga yang bahkan nggak pernah nyapa kita duluan? Kabar artis yang kamu bahkan nggak tahu di mana rumahnya?” Suaranya mulai meninggi, tapi ia segera menekannya. “Kamu lebih sibuk ngurusin hidup orang lain daripada hidup kita sendiri.”

Hening menggantung di antara mereka. Istrinya menatapnya, sedikit tersinggung, tapi juga bingung.

“Kamu tahu nggak,” lanjutnya, “aku capek pulang ke rumah yang isinya cuma cerita soal kegagalan orang lain. Seolah-olah hidup kita sempurna. Padahal… kamu bahkan nggak tahu kalau aku sudah dua bulan terakhir lembur bukan karena pekerjaan, tapi karena aku butuh tenang. Butuh jauh dari ocehanmu yang nggak ada habisnya.”

Wajah istrinya mulai berubah. “Kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin?”

“Karena kamu nggak pernah nanya. Kamu terlalu sibuk cari bahan cerita buat teman arisanmu.”

Istrinya terdiam. Ponsel yang tadi begitu erat digenggam kini tergeletak di meja.

“Apa kamu masih sayang sama aku?” tanyanya pelan.

Suaminya tak langsung menjawab. Ia menatap keluar jendela, ke langit yang mendung, seolah mencari jawaban di antara awan.

“Aku nggak tahu,” jawabnya jujur. “Yang aku tahu, aku rindu perempuan yang dulu aku nikahi. Perempuan yang perhatiannya buat kita, bukan buat timeline gosip.”

Tangis mulai menetes di p**i wanita itu. Mungkin baru kali ini ia sadar betapa jauh ia tersesat dalam hidup orang lain, sampai lupa merawat hidupnya sendiri.

Suaminya berdiri, mengambil jaket, dan bersiap pergi.

“Mau ke mana?” tanya istrinya, panik.

“Mencari tenang. Mungkin di luar sana ada ruang yang lebih hening dari rumah ini.”

Pintu tertutup pelan. Tapi gema keheningannya mengguncang lebih keras dari bentakan mana pun.

03/05/2025

Judul: Semakin Dikejar, Semakin Jauh.

Angin sore berhembus pelan di pelataran kampus yang mulai lengang. Di bangku taman dekat perpustakaan, Reva duduk sendiri, memandangi layar ponselnya yang masih menampilkan chat terakhir dari Rangga.“Maaf, aku butuh waktu.”Hanya itu. Tanpa penjelasan, tanpa kejelasan.Padahal baru minggu lalu Rangga mengajaknya makan malam sambil tertawa, menggenggam tangannya seolah dunia hanya milik berdua. Tapi semuanya berubah dalam semalam. Sejak itu, Reva mengejar—mengirim pesan, menelepon, bahkan menunggu di tempat biasa mereka bertemu. Namun Rangga seolah lenyap. Semakin dia mencoba mendekat, semakin jauh lelaki itu menjauh.“Reva,” suara Citra, sahabatnya, membuyarkan lamunannya.Reva hanya mengangguk pelan.“Masih mikirin Rangga?”Reva menarik napas panjang. “Aku nggak ngerti. Apa salahku? Aku cuma pengin tahu kenapa dia berubah.”Citra duduk di sampingnya. “Kadang, orang nggak bisa dijelaskan dengan logika. Makin kamu kejar, makin dia lari.”“Aku nggak mau nyerah.”“Tapi kalau kejarannya bikin kamu capek sendiri, apa nggak lebih baik berhenti?”Malam itu, Reva pulang dengan kepala penuh tanya. Ia membuka kembali semua percakapan mereka, mencari petunjuk yang barangkali bisa menjelaskan kenapa Rangga menghilang. Namun yang ia temukan hanya potongan-potongan kenangan yang semakin menyakitkan.Hari demi hari berlalu. Reva mulai mengurangi pencariannya. Ia mulai menulis lagi, melakukan hobinya, mencoba kembali hidup seperti sebelum Rangga datang. Anehnya, justru saat dia berhenti mengejar, Rangga muncul kembali.“Reva, bisa kita bicara?” kata suara itu di depan kelas.Reva menoleh. Rangga berdiri di sana, wajahnya terlihat lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu.“Aku… aku bingung waktu itu. Takut. Tapi sekarang aku sadar, aku kangen kamu.”Reva tersenyum tipis. Ada kelegaan, tapi juga ketegasan dalam tatapannya. “Aku sudah nggak lari-lari lagi, Rangga. Kalau kamu benar-benar mau, kejar aku. Tapi jangan harap aku berhenti cuma buat nungguin kamu.”Rangga terdiam. Kali ini, dia yang harus mengejar. Dan Reva? Dia tak lagi berlari—dia berjalan mantap menuju dirinya sendiri.

berat #

Negeri Seribu KomentarDi sebuah negeri bernama Nusantaraland, rakyatnya sangat aktif di dunia maya. Mereka bukan hanya p...
03/05/2025

Negeri Seribu Komentar

Di sebuah negeri bernama Nusantaraland, rakyatnya sangat aktif di dunia maya. Mereka bukan hanya pencinta gadget, tapi juga pencinta komentar. Setiap pagi, sebelum sarapan, mereka membuka aplikasi biru dan merah untuk mencari hal-hal yang bisa dikomentari. Entah berita artis kawin cerai, video orang jatuh dari motor, atau sekadar foto makanan orang lain.

Saking semangatnya, mereka pun dijuluki warganet paling aktif se-Asia Tenggara. Tapi di balik semangat itu, ada sesuatu yang tumbuh dengan liar: racun.

“Apa sih, muka gitu doang ngaku artis!” komentar seorang netizen bernama di sebuah unggahan seleb baru.

“Dasar wanita nggak tahu diri, buka aurat biar viral!” timpal yang fotonya pakai peci tapi hobinya nonton konten joget.

Ketika ada berita duka, mereka muncul dengan belasungkawa… diiringi hujatan.

“Turut berduka cita, tapi ya wajar sih, orangnya juga sombong banget pas hidup!” tulis yang sebenarnya tidak pernah netral.

Netizen Nusantaraland punya keahlian luar biasa: bisa menguliti hidup seseorang hanya dari satu video berdurasi 15 detik. Mereka jadi hakim, jaksa, sekaligus eksekutor. Tanpa proses. Tanpa ampun.

Suatu hari, muncul seorang remaja bernama Mima yang mengunggah video dirinya menyanyi. Sederhana, tanpa filter, dengan suara agak fals tapi penuh percaya diri. Dalam sehari, videonya viral. Tapi bukan karena suara indahnya.

“Astaga, suara kayak tikus kejepit! Malu-maluin bangsa!”
“Udah jelek, berani tampil! Ini contoh generasi gagal!”

Mima menangis. Ia menghapus akun, mengurung diri di kamar. Tapi esok harinya, para netizen sudah lupa. Mereka pindah ke korban baru: seorang bapak yang salah sebut merek HP di podcast.

Sementara itu, pemerintah mengeluarkan peraturan: “Setiap komentar harus disertai KTP dan alamat rumah.”
Mendadak, komentar-komentar jadi sunyi. Mereka yang biasanya lantang, mendadak bijak. Tak ada lagi yang memanggil orang “bodoh”, “pelacur”, atau “kadrun” tanpa pikir panjang.

Namun, aturan itu hanya bertahan seminggu. Netizen kembali menemukan celah. Mereka membuat akun palsu, lengkap dengan nama yang terinspirasi tokoh-tokoh fiktif: , , .

Dan negeri itu kembali ramai. Bukan oleh tawa, bukan oleh diskusi sehat. Tapi oleh racun yang terus beranak-pinak, diternak oleh jempol yang terlalu ringan, dan pikiran yang terlalu malas bertanya sebelum menghakimi.



Akhir Cerita:
Di Nusantaraland, semua orang ingin didengar, tapi tak banyak yang ingin mendengar. Semua ingin terlihat benar, tapi tak banyak yang benar-benar tahu.

“Kesenjangan Sosial di Negeri Sendiri”Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, kenyataan sering kali bicara lain. ...
03/05/2025

“Kesenjangan Sosial di Negeri Sendiri”

Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, kenyataan sering kali bicara lain. Di satu sudut kota, gedung-gedung pencakar langit menjulang angkuh, dipenuhi orang-orang berjas rapi yang sibuk mengejar target dan profit. Namun hanya beberapa kilometer dari sana, di lorong-lorong sempit dan becek yang tak pernah tersentuh program kota, hidup puluhan keluarga dalam deretan rumah semi permanen yang dindingnya terbuat dari triplek dan seng berkarat.

Kesenjangan sosial di negeri ini bukan sekadar soal harta, tapi soal akses: akses pada pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan, bahkan sekadar air bersih dan makanan bergizi. Anak-anak di kampung padat sering kali harus putus sekolah demi membantu orang tua mencari nafkah, sementara di sisi lain, sekolah elite memasang tarif yang hanya bisa dijangkau segelintir orang.

Yang lebih menyakitkan, kemiskinan sering dianggap sebagai aib, bukan sebagai hasil dari sistem yang timpang. Orang miskin dicibir malas, sementara yang kaya dipuja sebagai sukses tanpa dipertanyakan bagaimana cara mereka mendapatkannya. Padahal, tak sedikit yang terjebak dalam kemiskinan struktural—tak diberi ruang untuk naik kelas karena sejak awal permainan sudah tidak adil.

Negeri ini seolah membangun dua dunia dalam satu tanah air. Yang satu berbicara tentang kemajuan, digitalisasi, dan pembangunan, sementara yang lain hanya ingin bertahan hidup hari ini untuk bisa makan esok hari. Selama jurang ini tidak dijembatani, selama kebijakan masih lebih berpihak pada kapital dibandingkan rakyat jelata, maka “kemajuan” yang dibanggakan hanya akan jadi kemewahan untuk yang segelintir, bukan untuk semua.

  Megahnya Kuburan daripada RumahDi ujung desa, di antara pohon-pohon jati yang sudah renta, berdirilah sebuah komplek p...
02/05/2025

Megahnya Kuburan daripada Rumah

Di ujung desa, di antara pohon-pohon jati yang sudah renta, berdirilah sebuah komplek pemakaman yang tak seperti kebanyakan. Bukan berupa nisan kayu atau batu sederhana, tapi makam-makam yang disusun bagai istana mini. Kubah marmer, ukiran ayat-ayat suci berlapis emas, dan taman bunga yang selalu segar menghiasi area itu.

Masyarakat menyebutnya “Kompleks Para Tuan.”

Setiap kali Samin lewat ke sana, ia selalu menggeleng. “Aneh benar manusia sekarang,” gumamnya. Tubuhnya kurus, pakaiannya lusuh, dan rumahnya hanya berdinding anyaman bambu yang mulai miring dimakan usia.

Ia tinggal bersama istrinya, Sari, dan dua anaknya yang masih duduk di sekolah dasar. Rumah itu tak punya kamar mandi. Dapur hanya berupa tungku di luar rumah, dan bila hujan deras, air dari atap bocor membasahi tikar tipis tempat mereka tidur.

Suatu sore, Samin duduk di warung kopi pinggir jalan bersama Pak Darto, tukang ojek yang sudah tua.

“Sam, tahu nggak, makam Pak Haji Suroso itu habis dua ratus juta,” ujar Pak Darto, menyesap kopinya.

Samin mengernyit. “Dua ratus juta? Untuk orang yang sudah mati?”

“Iya. Katanya biar kelihatan mulia. Biar orang-orang ingat jasa-jasa beliau.”

Samin tertawa getir. “Waktu masih hidup, tetangganya nggak pernah dikasih beras sekarung pun. Tapi setelah mati, dimuliakan seperti raja.”

Pak Darto mengangguk. “Ironis, ya. Rumah Pak Haji aja dulu cuma dua kamar. Tapi makamnya… megah betul.”

Malam itu, Samin tak bisa tidur. Ia memandang anak-anaknya yang sudah terlelap. Pikirannya melayang—berapa biaya untuk memperbaiki rumah? Untuk sekolah anak-anaknya? Untuk membangun masa depan? Lalu ia bandingkan dengan ratusan juta yang dihamburkan untuk seonggok jasad yang tak bisa merasakannya lagi.

Seminggu kemudian, ia diminta membantu membangun satu lagi makam di komplek itu. Kali ini untuk Bu Nyai, istri Pak Haji. Mereka ingin membuat makam kembar, katanya. Supaya kelak bisa “bertemu kembali dalam kemewahan.”

Samin berdiri di antara pekerja lainnya, memikul batu bata, mencampur semen, di bawah terik matahari. Tangannya kasar, punggungnya pegal, tapi upahnya hanya cukup untuk membeli beras dua hari.

Ia menatap bangunan makam yang semakin tinggi dan megah. “Andai rumahku setengah dari ini saja,” bisiknya dalam hati.

Tapi ia tahu, di dunia ini, kemegahan sering kali bukan untuk yang hidup, melainkan untuk yang sudah mati. Dan ironinya, yang membangunnya adalah mereka yang nyaris tak punya tempat tinggal layak.

1. “Mereka menyebut diri pejuang rakyat, tapi tangan mereka lebih sering menadah amplop daripada menolong sesama.” 2. “K...
02/05/2025

1. “Mereka menyebut diri pejuang rakyat, tapi tangan mereka lebih sering menadah amplop daripada menolong sesama.”
2. “Ketika preman berseragam ormas, hukum pun ragu untuk menegur—karena takut, bukan karena hormat.”
3. “Atas nama kebhinekaan, mereka merampas kebebasan. Atas nama persatuan, mereka menjual ketakutan.”
4. “Bila ‘keamanan’ harus dibayar ke ormas, maka kita bukan lagi hidup di negara hukum, tapi di pasar ketakutan.”
5. “Mereka berteriak bela bangsa, tapi yang mereka jaga hanya wilayah ‘setoran’ dan ‘jatah parkir’.”
6. “Ormas sejati membela rakyat. Tapi yang ini? Membela diri dari jerat hukum sambil menyandera nama besar persatuan.”

Address

Jakarta

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Lang S posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Lang S:

Share