05/05/2025
: Hangat di Meja Makan
Setiap sore, pukul enam tepat, aroma masakan Ibu memenuhi rumah kecil mereka. Nasi hangat, sayur bening bayam, tahu goreng, dan sambal terasi tersaji di meja kayu yang mulai kusam dimakan usia. Di sanalah keluarga kecil itu berkumpul: Ayah, Ibu, Dani, dan adik perempuannya, Rara.
Dani, anak kelas lima SD yang ceria namun agak pendiam, dulunya sering merasa tak dianggap. Di sekolah ia tak banyak bicara, dan di rumah, ia lebih senang mengurung diri di kamar, menonton video atau bermain game. Tapi semua berubah sejak Ayah memutuskan satu aturan baru: “Mulai sekarang, setiap malam kita makan bersama.”
Awalnya Dani merasa aneh. Ia terbiasa makan sambil menatap layar ponselnya. Tapi malam-malam itu, saat sendok-sendok bertemu piring dan suara tawa Ibu mengisi ruang makan, Dani mulai merasakan sesuatu yang lain: hangat.
“Ayah dulu juga s**a takut maju ke depan kelas, loh,” kata Ayah suatu malam, saat Dani mengeluh tentang presentasi kelompok.
“Serius, Yah?” Dani menatap Ayah dengan mata membelalak.
Ayah mengangguk sambil tertawa kecil. “Tapi Ibu Ayah waktu itu selalu bilang, ‘Jangan takut salah. Yang penting berani.’ Nah, sekarang giliran Dani yang berani.”
Malam itu, Dani tertidur lebih tenang. Bukan karena dia sudah siap presentasi, tapi karena ia tahu, ada orang-orang yang percaya padanya. Orang-orang yang setiap malam duduk bersamanya di meja makan yang sama.
Hari demi hari berlalu. Rara yang dulu s**a rewel, kini lebih sering tertawa. Dani yang tadinya pendiam, mulai rajin bercerita. Tentang teman barunya, tentang tugas sekolah, bahkan tentang cita-citanya menjadi penulis buku anak-anak.
Yang paling gembira adalah Ibu. Katanya, makan malam bersama seperti ini membuatnya merasa dicintai, didengar, dan tidak sendiri.
Suatu hari, guru kelas Dani memanggil Ibu ke sekolah.
“Bu, Dani banyak berubah. Ia lebih terbuka, percaya diri, dan jadi contoh yang baik di kelas.”
Ibu tersenyum. “Mungkin karena kami rajin makan malam bersama, Bu.”
Sang guru tertegun, lalu mengangguk pelan. “Ternyata hal sederhana bisa berdampak besar, ya.”
Makan malam bersama itu akhirnya menjadi kebiasaan sakral keluarga Dani. Bukan hanya soal makanan, tapi tentang cerita, tawa, dan cinta yang tak terucap. Dani pun tumbuh dengan penuh keyakinan, karena ia tahu: di balik semua tantangan hidup, ada meja makan yang selalu menunggunya pulang.