Lang S

Lang S 📧 [email protected]
Gambar dan Cerpen didominasi hasil AI/chatGPT

Selamat sore 😄
12/09/2025

Selamat sore 😄

Jadi penonton aja😄
05/09/2025

Jadi penonton aja😄

Selamat pagi🦺
27/08/2025

Selamat pagi🦺

Tetaplah luangkan waktumu untuk menikmati hidup,jangan terlalu duniawi😄Malam semuanya
25/08/2025

Tetaplah luangkan waktumu untuk menikmati hidup,jangan terlalu duniawi😄

Malam semuanya

Selamat hari minggu dari kami anak kost Senawangi.😄
24/08/2025

Selamat hari minggu dari kami anak kost Senawangi.😄

Selamat pagi dan selamat beraktivitas buat semuanya.Tetap semangat walaupun banyak pikiran😄 berat
11/08/2025

Selamat pagi dan selamat beraktivitas buat semuanya.

Tetap semangat walaupun banyak pikiran😄
berat

Malam hadir tanpa suara, membawa ketenangan yang tak mampu diberikan siang hari.”Imaji tusi..😄
06/07/2025

Malam hadir tanpa suara, membawa ketenangan yang tak mampu diberikan siang hari.”

Imaji tusi..😄

Akhir-akhir ini ada yang viral..Saya mau buat cerpen versi chatGPT tentang orasi dulu lah😄Dan ini sering terjadi. Jangan...
09/05/2025

Akhir-akhir ini ada yang viral..
Saya mau buat cerpen versi chatGPT tentang orasi dulu lah😄

Dan ini sering terjadi. Jangan tarik ke dirimu



“Suara yang Dibungkam Amplop”

Di tengah terik matahari siang yang menyengat, suara lantang seorang pemuda menggema di pelataran gedung dewan. Tangannya mengepal, keringat membasahi pelipisnya, namun semangatnya tak surut.

“Wahai para wakil rakyat! Kami di bawah ini menjerit! Harga sembako melambung, pendidikan mahal, dan kalian duduk nyaman dalam kursi empuk ber-AC!” serunya penuh amarah.

Namanya Rama, mahasiswa tingkat akhir jurusan Ilmu Politik. Ia menjadi simbol perlawanan bagi banyak rekan sejawatnya. Orasinya sering viral, bahkan media mulai meliriknya. Ia idealis, keras kepala, dan tak pernah takut berdiri melawan ketidakadilan.

“Negeri ini butuh perubahan! Dan perubahan dimulai dari suara-suara kecil seperti kita!” teriaknya lagi, disambut sorak-sorai dan tepukan dari puluhan mahasiswa yang memadati jalan.

Namun tak semua orang menyukai kelantangan Rama. Beberapa pihak merasa terusik. Termasuk salah satu anggota dewan yang baru saja disebut dalam orasi tadi—Bapak Herman, politikus tua yang lihai dan berpengalaman.



Dua hari setelah demonstrasi besar itu, Rama dipanggil oleh seseorang ke sebuah kafe di sudut kota. Datangnya undangan itu samar: hanya sepucuk surat dengan cap institusi tertentu dan pesan, “Ada yang ingin bicara empat mata.”

Rama datang dengan waspada. Di sana, ia disambut pria paruh baya dengan setelan rapi. Duduknya tenang, senyumnya manis, namun matanya tajam menelusuri Rama dari ujung kepala hingga kaki.

“Aku dengar orasimu menggelegar, Nak Rama,” ujarnya dengan nada santai. “Negara ini butuh orang muda yang vokal. Tapi juga… fleksibel.”

Rama hanya mengernyit.

Tanpa banyak basa-basi, pria itu membuka tas kecil di sampingnya. Mengeluarkan satu amplop cokelat tebal, lalu meletakkannya di atas meja.

“Sebagai bentuk apresiasi. Anggap saja, biaya perjuangan. Kami s**a kau terus berbicara… selama tahu batas.”

Rama terdiam. Tatapannya berpindah dari pria itu ke amplop tersebut. Ia bisa menebak isinya—uang, banyak. Mungkin cukup untuk membayar skripsi, cicilan kos, bahkan bantu ibunya di kampung.

Sunyi menyelimuti meja itu. Rama tak menjawab. Hanya memandangi amplop itu, lama.



Beberapa minggu berlalu.

Demo kembali digelar. Kali ini lebih besar. Tapi sesuatu terasa berbeda.

Massa menanti suara Rama. Namun ia hanya berdiri di belakang, dengan kemeja rapi dan wajah datar. Ketika mikrofon diberikan padanya, ia mengambilnya… lalu menghela napas.

“Teman-teman…” katanya pelan. “Mungkin kita juga harus belajar mendengarkan. Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan teriak. Ada waktunya kita duduk dan berdialog.”

Kerumunan bingung. Beberapa mulai mencibir. Sisanya saling berpandangan. Ini bukan Rama yang mereka kenal.

Orasinya selesai tak sampai dua menit. Tak ada kemarahan. Tak ada semangat. Hanya kalimat-kalimat lembut yang terdengar… kosong.

Seseorang di barisan belakang berbisik lirih, “Suara lantangnya sudah dibungkam amplop.”

Dan sejak hari itu, Rama tak pernah lagi memegang mikrofon. Ia sibuk di ruangan ber-AC, duduk berdampingan dengan orang-orang yang dulu pernah ia kritik habis-habisan.



Tamat

Note : Ini hanya cerita fiksi,kalau kalian merasa ini menyindir atau sebagainya,itu hak kalian

  : Hangat di Meja MakanSetiap sore, pukul enam tepat, aroma masakan Ibu memenuhi rumah kecil mereka. Nasi hangat, sayur...
05/05/2025

: Hangat di Meja Makan

Setiap sore, pukul enam tepat, aroma masakan Ibu memenuhi rumah kecil mereka. Nasi hangat, sayur bening bayam, tahu goreng, dan sambal terasi tersaji di meja kayu yang mulai kusam dimakan usia. Di sanalah keluarga kecil itu berkumpul: Ayah, Ibu, Dani, dan adik perempuannya, Rara.

Dani, anak kelas lima SD yang ceria namun agak pendiam, dulunya sering merasa tak dianggap. Di sekolah ia tak banyak bicara, dan di rumah, ia lebih senang mengurung diri di kamar, menonton video atau bermain game. Tapi semua berubah sejak Ayah memutuskan satu aturan baru: “Mulai sekarang, setiap malam kita makan bersama.”

Awalnya Dani merasa aneh. Ia terbiasa makan sambil menatap layar ponselnya. Tapi malam-malam itu, saat sendok-sendok bertemu piring dan suara tawa Ibu mengisi ruang makan, Dani mulai merasakan sesuatu yang lain: hangat.

“Ayah dulu juga s**a takut maju ke depan kelas, loh,” kata Ayah suatu malam, saat Dani mengeluh tentang presentasi kelompok.

“Serius, Yah?” Dani menatap Ayah dengan mata membelalak.

Ayah mengangguk sambil tertawa kecil. “Tapi Ibu Ayah waktu itu selalu bilang, ‘Jangan takut salah. Yang penting berani.’ Nah, sekarang giliran Dani yang berani.”

Malam itu, Dani tertidur lebih tenang. Bukan karena dia sudah siap presentasi, tapi karena ia tahu, ada orang-orang yang percaya padanya. Orang-orang yang setiap malam duduk bersamanya di meja makan yang sama.

Hari demi hari berlalu. Rara yang dulu s**a rewel, kini lebih sering tertawa. Dani yang tadinya pendiam, mulai rajin bercerita. Tentang teman barunya, tentang tugas sekolah, bahkan tentang cita-citanya menjadi penulis buku anak-anak.

Yang paling gembira adalah Ibu. Katanya, makan malam bersama seperti ini membuatnya merasa dicintai, didengar, dan tidak sendiri.

Suatu hari, guru kelas Dani memanggil Ibu ke sekolah.

“Bu, Dani banyak berubah. Ia lebih terbuka, percaya diri, dan jadi contoh yang baik di kelas.”

Ibu tersenyum. “Mungkin karena kami rajin makan malam bersama, Bu.”

Sang guru tertegun, lalu mengangguk pelan. “Ternyata hal sederhana bisa berdampak besar, ya.”

Makan malam bersama itu akhirnya menjadi kebiasaan sakral keluarga Dani. Bukan hanya soal makanan, tapi tentang cerita, tawa, dan cinta yang tak terucap. Dani pun tumbuh dengan penuh keyakinan, karena ia tahu: di balik semua tantangan hidup, ada meja makan yang selalu menunggunya pulang.

Cerpen : “Diskon Akal-akalan”“Diskon 90%!!! Cuma Hari Ini!!!”Tulisan itu menyala terang dengan huruf merah menyala di de...
04/05/2025

Cerpen : “Diskon Akal-akalan”

“Diskon 90%!!! Cuma Hari Ini!!!”
Tulisan itu menyala terang dengan huruf merah menyala di depan Toko “Murah Banget Mart”. Warga langsung berebut masuk seperti kerbau digiring ke kolam. Tangan-tangan penuh semangat meraih barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu mereka butuhkan.

Bu Tini, emak-emak paling update di komplek, sudah siap dengan tas belanja ukuran jumbo. “Lumayan, kalo bisa dapet 10 sabun, hemat banyak!” katanya pada suaminya yang terpaksa ikut jadi porter pribadi.

Di dalam toko, suasana seperti pasar malam bercampur arisan RT. Barang-barang ditumpuk tinggi dengan label “Harga Sebelum: Rp1.000.000 – Harga Sekarang: Rp99.999”. Padahal, barang itu seminggu lalu cuma dijual Rp110.000 di toko sebelah.

Tapi siapa peduli?

“Lihat ini, Pak! Blender 90 ribu aja! Diskon dari sejuta!” teriak Bu Tini, matanya berbinar seperti habis menemukan harta karun.
Pak Tini cuma mengangguk. “Kayaknya yang sama ini kita udah beli bulan lalu deh, Bu.”
“Lain ini! Ini seri baru. Ada gambar jeruknya!”

Sementara itu, pegawai toko hanya senyum-senyum. Mereka tahu benar rahasia di balik promo bombastis itu:
Harga dinaikkan dulu, baru dipotong ‘diskon’. Lalu dicetak besar-besar dan ditempel di setiap sudut toko. Hasilnya? Manusia-manusia yang haus potongan harga langsung percaya seolah diberi wahyu dari langit.

“Gila, rame banget ya, Mas,” kata salah satu pegawai sambil merapikan rak yang mulai kosong.
“Yaiyalah. Tulisan ‘Diskon Besar’ itu kayak mantra, bikin orang lupa cek harga asli.”

Di kasir, antrean panjang seperti antre sembako gratis. Sebagian orang bahkan tidak sadar bahwa mereka membeli tiga bungkus kopi instan dengan harga dua kali lipat dari harga biasa — semua karena tulisan “BELI 3 GRATIS 1!” yang ternyata cuma ilusi matematika belaka.

Sesampainya di rumah, Bu Tini membuka belanjaannya. Beberapa barang ternyata sudah mendekati tanggal kedaluwarsa. Tapi, dia tetap merasa puas.
“Pokoknya yang penting murah!” katanya mantap.

Pak Tini hanya bisa menghela napas. “Murah… atau cuma keliatannya murah?”

Sementara itu, di grup WhatsApp komplek, foto-foto belanjaan penuh ‘diskon’ memenuhi layar. Semuanya bangga telah ‘berhemat’.
Tidak ada yang sadar, mereka baru saja jadi korban permainan angka dan huruf besar berwarna merah.



Pesan Moral:
Kadang yang terlihat murah, justru membuat kita membayar lebih mahal — bukan cuma dengan uang, tapi juga dengan logika yang disandera kata-kata manis.

berat

Minggu baik buat kita semua.♥️“Orang yang hatinya bercabang tidak akan tenang dalam hidupnya.”— Yakobus 1:8Dalam kehidup...
04/05/2025

Minggu baik buat kita semua.♥️

“Orang yang hatinya bercabang tidak akan tenang dalam hidupnya.”
— Yakobus 1:8

Dalam kehidupan ini, kita sering berhadapan dengan orang-orang yang bermuka dua: mereka yang berpura-pura baik di depan orang lain, tetapi menyimpan niat atau sikap yang berbeda di balik layar. Bahkan, tanpa disadari, kita sendiri bisa tergoda untuk menjadi seperti itu — menampilkan kesalehan di depan umum, tetapi hidup dalam dosa secara diam-diam.

Tuhan tidak berkenan pada kepura-puraan. Yesus sangat keras terhadap kaum Farisi, bukan karena mereka beragama, tetapi karena mereka munafik. Mereka tahu firman, tetapi tidak melakukannya dengan tulus. Mereka menuntut orang lain menaati hukum, sementara mereka sendiri hidup dengan standar ganda.

Hidup bermuka dua tidak hanya menyakiti orang lain, tapi juga merusak hubungan kita dengan Tuhan. Tuhan melihat hati, bukan hanya perbuatan luar. Ia rindu kejujuran, ketulusan, dan hati yang bersih.

^ gambar dihasilkan oleh AI ^

  Judul: “Cermin Retak di Dapur Kita”Dari semua sudut rumah ini, hanya dapur yang masih terasa hidup. Di sanalah ia dudu...
03/05/2025

Judul: “Cermin Retak di Dapur Kita”

Dari semua sudut rumah ini, hanya dapur yang masih terasa hidup. Di sanalah ia duduk pagi ini, dengan secangkir kopi yang tak lagi hangat, memandangi istrinya yang sibuk menekan layar ponselnya. Jemari itu lincah mengetik, matanya bersinar terang, bibirnya sesekali menyeringai—senang, mungkin karena ada bumbu baru dalam hidup orang lain.

“Anak si Ibu Rina hamil di luar nikah. Padahal baru lulus SMA!” katanya tanpa memandang wajah suaminya.

Ia hanya mengangguk. Tidak ada reaksi.

“Eh, kamu dengar nggak?” sergahnya, suaranya meninggi.

“Aku dengar,” jawab lelaki itu datar. “Tapi aku nggak peduli.”

Istrinya mengerutkan kening. “Kok ngomong gitu sih?”

Ia meletakkan cangkir kopinya perlahan, lalu menatap wanita yang dulu membuat hatinya bergetar. Tapi kini, tiap detik bersamanya terasa seperti mengunyah kerikil. Kering. Menyakitkan.

“Kamu tahu nggak, akhir-akhir ini kita hampir nggak pernah ngobrol… kecuali soal gosip orang lain.”

“Lho, aku cuma cerita. Supaya kita nggak ketinggalan kabar,” balas istrinya membela diri.

“Kabar siapa? Kabar tetangga yang bahkan nggak pernah nyapa kita duluan? Kabar artis yang kamu bahkan nggak tahu di mana rumahnya?” Suaranya mulai meninggi, tapi ia segera menekannya. “Kamu lebih sibuk ngurusin hidup orang lain daripada hidup kita sendiri.”

Hening menggantung di antara mereka. Istrinya menatapnya, sedikit tersinggung, tapi juga bingung.

“Kamu tahu nggak,” lanjutnya, “aku capek pulang ke rumah yang isinya cuma cerita soal kegagalan orang lain. Seolah-olah hidup kita sempurna. Padahal… kamu bahkan nggak tahu kalau aku sudah dua bulan terakhir lembur bukan karena pekerjaan, tapi karena aku butuh tenang. Butuh jauh dari ocehanmu yang nggak ada habisnya.”

Wajah istrinya mulai berubah. “Kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin?”

“Karena kamu nggak pernah nanya. Kamu terlalu sibuk cari bahan cerita buat teman arisanmu.”

Istrinya terdiam. Ponsel yang tadi begitu erat digenggam kini tergeletak di meja.

“Apa kamu masih sayang sama aku?” tanyanya pelan.

Suaminya tak langsung menjawab. Ia menatap keluar jendela, ke langit yang mendung, seolah mencari jawaban di antara awan.

“Aku nggak tahu,” jawabnya jujur. “Yang aku tahu, aku rindu perempuan yang dulu aku nikahi. Perempuan yang perhatiannya buat kita, bukan buat timeline gosip.”

Tangis mulai menetes di p**i wanita itu. Mungkin baru kali ini ia sadar betapa jauh ia tersesat dalam hidup orang lain, sampai lupa merawat hidupnya sendiri.

Suaminya berdiri, mengambil jaket, dan bersiap pergi.

“Mau ke mana?” tanya istrinya, panik.

“Mencari tenang. Mungkin di luar sana ada ruang yang lebih hening dari rumah ini.”

Pintu tertutup pelan. Tapi gema keheningannya mengguncang lebih keras dari bentakan mana pun.

Address

Jakarta
11140

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Lang S posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Lang S:

Share