Short Video

Short Video KUMPULAN CERITA NOVEL

Tetangga mau pinjam rumahku buat hajatan, juga menyambut kedatangan mertuanya dari Jatim. Dia bilang cuma seminggu.Gil4!...
16/02/2025

Tetangga mau pinjam rumahku buat hajatan, juga menyambut kedatangan mertuanya dari Jatim. Dia bilang cuma seminggu.
Gil4! Seminggu dia bilang cuman. Terus, dia nyuruh aku sekeluarga nginap di rumah mertua. Enak aja!

"Alya, saya mau minta tolong." Teh Riani datang pagi-pagi sekali, bahkan saat aku belum sempat membuat sarapan untuk suami dan anakku. Dia pun langsung mengutarakan niatnya datang kemari.

Agaknya, aku bisa menebak. Biasanya, beliau ingin meminjam u-ang untuk bekal sekolah anak-anak-nya. Aku selalu memberikannya pin-ja-man kalau memang ada, karena Teh Riani bukan orang yang sulit memba-yar ut--ang.

Teh Riani malah menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku jadi khawatir. "Ada apa, Teh? Katakan," pintaku.

"Begini, Alya. Bulan depan, saya mau hajatan syukuran khitan si Bagas. Karena belum ada tempat tinggal yang layak, saya mau memin-jam rumahmu ini paling tidak 1 minggu." Ucapan Teh Riani kontan membuat mulutku menganga.

Apa? Pin-jam rumah?

"Bukannya halaman panglong lumayan luas, ya, Teh? Bisa untuk pasang tenda."

Teh Riani, suami dan kedua anaknya memang belum punya rumah. Mereka tinggal di tempat produksi pakan ternak milik ayahnya Teh Riani yang mereka sebut panglong. Memang tidak layak huni, sebetulnya. Aku sendiri heran, mengapa sampai saat ini mereka masih bertahan di tempat itu.

Dulu saat masih aktif-aktifnya, tempat produksi pakan ternak yang berada tepat di depan rumahku di seberang jalan itu selalu berisik. Ada beberapa karyawan yang bekerja di sana. Setiap hari, Asap mesin mengepul tebal di udara, belum lagi dedak lembut yang berterbangan. Jangan tanya ke mana limbah produksi mereka buang. Sudah pasti mencemari sungai di kampung ini.

Sekarang memang sudah tak lagi aktif berproduksi. Habis modal, kabarnya. Tempat itu dihuni oleh Teh Riani dan suaminya sejak awal menikah, sampai sekarang sudah memiliki dua anak. Anak pertamanya bahkan sudah kelas 3 SMP.

Bangunan semi permanen dengan dinding tripleks dan atap asbes itu disulap menjadi memiliki sebuah kamar berukuran kecil hanya muat 1 buah kasur dan 2 buah lemari plastik. Seiring berjalannya waktu, suami Teh Riani pun membuatkan dapur seperti dapur darurat di tempat bencana alam. Untuk kebutuhan air dan kebersihan, mereka rutin melakukannya di sungai terdekat.

"Mertua saya dari Jatim mau ke sini, Alya. Saya malu," jawab Teh Riani sembari terisak.

Suami Teh Riani memang bukan asli warga kampung sini. Kabar yang kudengar, Mas Sunarto--suaminya Teh Riani, berasal dari Jawa Timur dan dulunya adalah karyawan ayahnya Teh Riani. Selama 8 tahun aku menikah dengan A Raffi, belum sekalipun aku melihat orang tua Mas Sunarto datang mengunjungi anak menantunya di sini. Mungkin, ini kali pertama.

"Kenapa nggak menginap di rumah Pak Didin aja, Teh?" tanyaku hati-hati, takut menyinggung perasaannya.

Pak Didin adalah ayah Teh Riani yang rumahnya tak jauh dari sini. Masih satu kampung.

Teh Riani berdecak sambil menunduk. Apa dia kesal mendengar pertanyaanku?

"Di rumah bapak sudah ada dua adik saya beserta suami dan istri mereka. Belum lagi, anak-anaknya."

"Ya ... kan nggak setiap hari juga mertua Teteh ke sini. Apa salahnya, menginap di sana, sementara adik-adik Teteh suruh menginap di mertuanya," jelasku. Barangkali, Teh Riani tidak kepikiran ke arah sana.

"Kamu saja yang nginap di mertuamu, Al. Dekat gitu, lho." Telunjuknya mengarah ke rumah mertuaku, di sebelah rumah ini. "Biar aku pin-jam rumahmu, hanya seminggu, selama mertua saya di sini," sambungnya.

Ya Allah ... mengapa perasaanku jadi tidak enak begini. Serba salah. Kalau kubantu Teh Riani, bagaimana caraku bicara pada Mama Daniah?

Aku tak bisa menjawab apalagi memberikan kepastian. Bagaimana pun juga, rumah ini hak kami dan aku berhak memutuskan. Tapi kenapa rasanya sulit sekali untuk menolak permintaan Teh Riani.

"Gimana, Al? Boleh, ya? Hanya seminggu," mohon Teh Riani lagi, justru membuatku mematung gamang.

"Nanti aku bicara sama A Raffi ya, Teh," izinku dengan seulas senyuman.

"Si Raffi mah pasti ngizinin, tinggal kamunya saja pintar-pintar membujuk suami. Ayolah, Al, tolong saya."

Aku tak menjawab, bahkan mengangguk pun berat sekali. Hanya senyuman miris terpatri di wajah ini. Dan si-alnya, Teh Riani mengartikan ini sebagai persetujuan.

Beliau pulang sambil tersenyum senang. "Makasih banyak ya, Al. Saya pulang dulu," katanya, semringah.

Tak segera masuk ke dalam, aku terduduk lemah di kursi teras. Kutatap sekeliling rumah ini, sampai ke atapnya yang baru selesai dipasang plavon beberapa bulan lalu.

Bukan hal mudah bagiku dan A Raffi membangun rumah ini. Butuh perjuangan besar dan waktu yang lumayan lama untuk menyelesaikannya.

Di awal menikah, A Raffi memang sudah membeli tanah ini sebagai tabungan. Aku dan suamiku saat itu masih merantau di Ibukota dan bekerja di sebuah pabrik automotif bersama-sama. Sampai anak kami lahir, aku baru memutuskan berhenti bekerja dan diminta tinggal dengan mertua di kampung ini karena tidak mungkin tinggal dengan orang tuaku yang sudah tiada keduanya.

Mama Daniah sangat baik padaku, juga pada siapa pun, kurasa. Hanya saja, sedikit bawel dan s**a mengkritik orang. Saat A***n, putra kami baru berusia 1,5 tahun, Mama Daniah selalu menyinggung soal rumah yang terasa semakin berantakan.

Aku yang kala itu sedang tersinggung, tentu saja merengek pada suami di perantauan. Aku memintanya segera membangun rumah untuk aku dan anak kami, kalau memang dirinya masih betah bekerja di sana. Singkat cerita, A Raffi pun memin-jam u--ang di ba-nk untuk membangun rumah.

Sampai A***n berusia 3 tahun, rumah kami baru selesai dibangun. Itu pun belum pada tahap finishing. Masih berdinding bata merah dan lantai tanah, aku nekat mengajak anakku pindah ke rumah ini. Bahkan saat itu kami belum memiliki pintu dan daun jendela karena keterbatasan da-na.

Perlahan, kami berhasil menyelesaikan cicilan dan mulai menabung untuk melanjutkan pembangunan. Sampai pada beberapa bulan lalu, rumah ini baru benar-benar jadi dan terlihat lebih rapi. Dan di saat kami baru menarik napas lega, seseorang datang justru untuk memin-jam rumah.

"Mah, ngapain?"

Aku tersentak. A Raffi menyusulku keluar sudah dengan seragam kerjanya. Suamiku baru saja pulang kampung dan bekerja di sebuah agen travel dan umroh satu bulan ini.

"Eh, Yah. Sudah mau berangkat?" Aku mengernyit. Kemarin suamiku bilang, hari ini berangkat agak siang karena akan mengantar jamaah ke bandara keberangkatan sore.

"Iya. Mendadak si bos telpon, suruh tukar sama Pak Ganjar."

"Aku buat sarapan dulu ya, Yah." Aku segera masuk, tetapi A Raffi mencekal tanganku.

"Jangan pin-jamkan rumah ini pada siapa pun. Nggak mudah buat kita bisa seperti ini, Mah. Bukan sekadar materi. Ingat, berapa tahun kita harus berpisah jarak demi terwujudnya rumah impian kita?"

Sekali lagi aku tercengang. Bagaimana mungkin A Raffi tahu soal ini? Atau ... suamiku menguping sejak tadi.

Bersambung ...
Judul di KBM App : Ketika Rumahku Dipin-jam untuk Hajatan Tetangga
Penulis : Azzgha Fatih

"Permisi. Ibu kenal orang ini?" Wanita memakai daster itu menggeleng. Rambutnya kelihatan mengembang, seperti tak pernah...
14/02/2025

"Permisi. Ibu kenal orang ini?"

Wanita memakai daster itu menggeleng. Rambutnya kelihatan mengembang, seperti tak pernah disisir. Yang benar saja, tidak ada seorang pun yang mengenali wajah wanita yang katanya adalah ibu kandungku. Sama sekali tak mirip. Sudah puluhan desa dengan nama yang sama yang telah kudatangi. Merepotkan saja. Kalau bukan karena Papa dan Mama, aku tak mau bertemu mereka. Lebih baik, aku sekalian tak kenal mereka. Untuk apa coba, mereka tega menjualku untuk uang senilai sepuluh juta.

"Dik."

Seorang wanita penjaga warung melambai ke arahku.

"Nyari siapa?"

Demi mencoba peruntungan. Aku masuk ke dalam toko kelontong itu. Menghampiri si penjual.

"Ini. Ibu kenal?" Kutunjukkan foto dalam galeri ponsel.

"Oh, si As, kenal-kenal. Langganan dicari orang dia yo. Pasti Mbak mau nagih utang juga, iyo kan?"

Aku tak menjawab. Orang tuaku langganan utang? Yang benar saja?

"Itu, rumahnya di belakang musola Mbak. Jam segini orangnya pasti ndak ada. Paling-paling tahu jam-jamnya bank jeguk datang. Wong hutang di saya saja ndak dibayar Mbak!"

Bibir Ibu itu sampai maju lima senti. Aku terkena shock culture. Ibu ini sama sekali tak merasa berdosa telah membuka aib tetangganya ke orang asing? His, bisa kurus aku kalau punya tetangga seperti dia.

"Oke. Terima kasih, Bu."

"Yo, kalau ndak dibayar. Mbak sita saja barang berharganya, itu pun kalau ada. Oh iya Mbak, tadi yang Mbak tanyai itu orang gila. Untung Mbaknya ndak dijambak."

Tidak penting. Aku masuk ke dalam mobil broken white fj cruiser kesayanganku, mobil ini hadiah dari Papa di ulang tahunku kemarin. Tahun ini, entahlah, aku hanya ingin Papa dan Mama hidup lagi untuk memberiku selamat. Mustahil bukan?

Baru saja memarkir mobil di halaman depan rumah bercat hijau itu, suara pekikan terdengar jelas saat aku turun.

"Halah, jelas kamu ngerayu anakku! Anakmu ini, sok cantik, kecentilan. Aku ndak sudi yo punya mantu wong kere!"

Keributan terjadi di sana. Aku berhenti. Seorang gadis menangis di lantai, memeluk lutut seorang ibu tua. Kasihan sekali. Ada apa sebenarnya.

"Maaf. Maaf kalau genduk Tantri berbuat salah, Ning."

Aku hampir maju saat wanita sedikit gemuk itu menepis tangan si ibu tua. Jahat. Seorang pria muda kelihatan menarik-narik tangan wanita gendut itu. Oh, dia ibunya ya?

"Sudah, Buk. Ayo pulang, Tantri ndak salah. Aku yang salah, Buk."

"Ingat yo Tan. Jangan morotin anakku lagi. Jangan hubungan lagi sama anakku. Gibran bakal nikah sama orang kota yang punya pendidikan tinggi, jadi kamu jangan ngarep!"

Masih zaman ya melabrak-labrak dengan cara serendah itu? Ah, aku yang tak mengenal mereka semua serasa darah tinggi. Sebentar. Ibu tua itu, apa dia, kulihat foto Ibu Astiah di ponsel untuk memastikan dan memang, dia adalah ibuku. Berangkat kemari, aku sangat membenci keluarga itu, keluarga yang membuangku, tapi kini, ada keinginan besar untuk mengubah nasib mereka. Terlebih saat ibu gendut itu mendorong Ibu Astiah hingga terbentur tembok. Sabar. Sabar Selena. Masih hari pertama.

Aku kembali masuk ke dalam mobil. Kupakai kaca mata hitam saat ibu gendut itu melewati mobilku. Matanya terlihat mengawasi.

"Daripada buang-buang duit untuk perempuan jelek itu, mending kamu nabung biar kebeli mobil kayak gini." Perempuan itu mengomel. Tidak tahu saja kalau mobil ini milik anak dari keluarga yang baru saja ia hina.

Aku memakai kacamata hitam. Turun dari mobil. Tas slempang hitam di bahu mengayun seirama dengan langkah sepatu kets yang kukenakan. Ibu gendut tadi melihatku dari atas hingga bawah, dia lalu tersenyum padaku. Sayang sekali, ibu gendut itu akan masuk dalam daftar orang yang tak kus**ai.

Kedatanganku membuat keluarga itu buru-buru mengusap p**i dengan kerudung. Senyum mengembang.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Aduh ada tamu, mari-mari silakan masuk."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil. Kursi kayu berderit saat aku duduk. Kulepas kacamataku.

"Tantri, buatkan teh yo."

"Gak usa repot-repot, Bu," sanggahku. Gadis yang matanya masih sembab itu tersenyum lebar, sambil berkata, "Nggih, Mak."

Emak. Jadi panggilan ibuku di rumah ini Emak ya. Baiklah. Aku akan mulai mencoba memanggil beliau dengan sebutan itu.

"Tadi ada apa kok ramai-ramai, Mak?"

Beliau hanya menggeleng, dua tangannya memijit lutut. "Bukan apa-apa, genduk. Hem, ada apa ini kok sampai ada perempuan cantik bertamu di rumah Emak yang kumuh ini?"

Aku mengulurkan tangan.

"Saya Cahaya Selena, Mak, panggil saja Selen. Kebetulan saya sedang liburan di desa ini. Saya sedang mencari kontrakan atau kamar untuk saya tinggali. Mungkin, Mak punya kamar atau--"

"Biar setelah ini Mak bantu carikan yo. Di depan dusun banyak perumahan kosong."

Aku memainkan jemari. Ah, bagaimana caranya agar aku bisa tinggal di sini?

"Begini saja Mak. Saya ngekost di rumah Mak saja bagaimana?"

"Rumah ini keadaanya ndak layak kalau untuk ngekost, nduk."

"Saya bayar lima juta perbulan."

Emak menggeleng. Tantri, gadis itu datang membawa teh hangat.

"Jangan wes, nduk. Kamu ndak bakalan betah. Diminum dulu nduk, Mak janji bakal bantu mencari kost."

"Bagaimana kalau sepuluh juta?"

Emak dan Tantri saling pandang. Kali itu, kupegang tangan Emak yang dingin.

"Saya bukan kriminal, Mak. Bukan juga penipu." Kukeluarkan uang lima juta cash di meja. "Saya hanya wanita kota yang rindu suasana desa."

"Ya Allah, nduk. Jangan seperti ini, uang segini terlalu banyak. Kamu ndak usah bayar kalau memang kamu merindukan suasana desa. Insyaallah Emak bisa ngobati kangenmu itu, yo?" Uang itu disodorkan lagi kepadaku.

"Saya harus tetap bayar, Mak."

"Mak ndak narik uang, tapi kalau ingin bayar, samakan dengan harga kost di sekitar sini saja, nak."

"Berapa?"

"400 ribu sebulan."

"What, murah banget?" kataku, reflek.

Tantri tertawa kecil. "Mbak bisa tidur di kamarku saja nggih, Mbak. Lumayan layak untuk ditempati."

Baiklah, kita mulai hari baruku.

***

Semua ini tak akan pernah terjadi kalau Mama dan Papa tidak meninggal dalam sebuah insiden kecelakaan. Dokter ternama hingga manca negara tak dapat menyembuhkan Mama dan Papa. Luka berat di kepala mengakibatkan malfungsi berbagai organ dan aku harus menerima kenyataan bahwa kini aku yatim piatu.

Dua puluh tujuh tahun hidup. Aku baru mengerti makna kehilangan. Dua sosok hebat yang membesarkan, memberikan kehidupan mewah, mengajari sopan santun, dan mendidikku menjadi anak yang tak pendendam kini sudah kembali ke rengkuhan Tuhan.

Aku menatap jendela kantor Papa. Seminggu sejak kepergianmu, Pa, semua terasa hampa dan asing.

"Bu, pengacara dan notaris sudah tiba."

"Persilakan masuk."

"Baik Bu."

Setelah sekretaris keluar. Dua pria masuk ke dalam ruangan. Pria satu, tinggi tegap, masih kelihatan muda. Pakaiannya cenderung casual untuk ukuran seorang ahli hukum. Pria satu lagi, aku mengenalnya. Beliau pengacara kepercayaan Papa, Om Stefanus.

"Kantung matamu semakin kelihatan, nak."
Om Stefanus menarik kursi. Aku meletakkan dagu di tangan. Berusaha tersenyum.

"Kamu melewati hari-hari yang berat, nak. Sekarang tersenyumlah karena Papamu telah menitipkan sesuatu kepada Pak Alkana."

Alkana. Yang Om Stefanus maksud adalah notaris di sebelahnya. Laki-laki itu menatapku, tanpa senyuman! Dia langsung meletakkan kotak kayu ukiran bunga, dengan pelamir mengkilat dan gembok kecil menggantung di meja.

"Hak waris sepenuhnya jatuh ke tanganmu, nak. Tetapi Papamu ingin kamu tahu satu hal sebelum kamu mendapatkan semuanya." Om Stefanus tersenyum singkat ke arah pria angkuh bernama Alkana. Kemudian ia membuka kotak itu. Dia memiliki kuncinya.

"Aku tahu itu, Om. Sebelum kecelakaan, Papa pernah membahas soal itu." Ah, Papa. Padahal ceritamu belum selesai. Kenapa semua harus usai?

"Menurut surat wasiat yang Tn. Aliandra Mahmud titipkan kepada saya tiga tahun lalu, beliau menyerahkan seluruh kekayaan baik dalam bentuk konkret maupun tidak kepada putri semata wayang Tn. Aliandra Mahmud dan Ny. Aisyah Mahmud yaitu ananda Cahaya Selena Geolova Aliandra."

Aku sudah tahu itu.

"Kepemilikan akan sah apabila ananda Cahaya Selena Geolova Aliandra telah berusia di atas dua puluh lima tahun."

Usiaku bahkan sudah lebih. Dua puluh tujuh tahun!

"Dan telah menemukan keluarga kandungnya serta menghadiahkan sebagian hartanya untuk membantu kesusahan keluarga kandung sedarah yang diketahui bermukim di desa--"

"Cukup." Aku masih belum mengerti.

"Maaf, Pak Alkana. Anda tidak salah baca?"
Kutoleh Om Stefanus yang kini tersenyum tipis dan mengangguk.

"Bacalah. Surat ini dirahasiakan oleh Papa dan Mamamu sejak lama. Dan Om bangga kepada Papamu sejak memilikimu, nak. Dia pindah agama hanya agar dia tahu cara mendidikmu, karena kamu lahir dari rahim keluarga muslim. Papa dan Mamamu dengan s**a cita memeluk islam, hingga akhir hayatnya."

Dadaku hampir berhenti membaca larik demi larik surat yang Papa tulis. Jadi selama ini, aku hanya anak adopsi dari keluarga miskin?

~

Papa ingin kamu bertemu dengan mereka untuk menyampaikan terima kasih. Papa kira, Papa sudah sangat jahat karena mengambilmu dari keluarga itu walau kami sudah sepakat, dan Papa amat sangat menyesal telah kehilangan jejak mereka selama bertahun-tahun. Selena anak Papa Mama, sampai kapan pun kamu anak Papa Mama. Papa tak siap melihatmu menemui mereka dan kelak Selena membenci Papa Mama. Maka kelak, saat Papa kembali ke sisi Allah, kamu harus menunaikan tugas mulia ini. Sayangku, maaf yang besar dan terima kasih yang tinggi kepada keluarga kandungmu, Papa dan Mama bisa merasakan memiliki anak cantik dan baik mulia sepertimu, anakku, Cahaya Selena Geolova Aliandra.

—Aliandra Mahmud

Dan air mata itu menjadi awal aku menemukan mereka. Ya mereka, keluarga kandungku yang telah menukar kehidupanku dengan uang 10 juta.

♡♡♡

Judul d! KBM A-p-p: ANAK BERHARGA 10 JUTA
Penulis: Heraa_Kless

L@NJUT B@CA D!! KBM a-p-p

BABY SITTER RASA ISTRIBagian 1"Sepuluh juta!"Nilai nominal yang ditawarkan seorang pria pada gadis seksi berusia 22 tahu...
12/02/2025

BABY SITTER RASA ISTRI

Bagian 1

"Sepuluh juta!"

Nilai nominal yang ditawarkan seorang pria pada gadis seksi berusia 22 tahun bernama Sera. Ia baru saja lulus kuliah dan sudah mencari pekerjaan ke sana kemari, tapi belum satu pun yang memanggilnya untuk interview. Sampai terakhir ia memilih untuk menjadi pemandu lagu, sebuah pekerjaan yang membuatnya hampir menyerah karena godaan hidung belang yang luar biasa.

Pekerjaan sendiri itu atas rekomendasi temannya, ia yang putus asa karena orang tua menumpuk hutang, akhirnya menerima pekerjaan itu.

"Oke, baiklah! Hanya jaga dua anak anda saja tuan?"

"Panggil saya Arkan."

"Oke, Tuan Arkan!"

"Jangan pakai Tuan!"

"Lalu?"

"Terserah! Asal jangan panggilan itu," ucap pria bertubuh tinggi sekitar 180 cm, usianya 32 tahun dan seorang wiraswasta.

"Oke, baik!"

"Sebetulnya bukan dua anak, tapi tiga. Satu diantaranya masih bayi berusia dua bulan."

Sera mengangguk, sepertinya mengurus tiga anak bukan hal yang sulit, apalagi diketahui bila kedua anaknya sudah berusia sepuluh tahun. Sudah lebih dewasa dan akan lebih mudah diarahkan pikir Sera.

"Kamu tidak sendirian, ada dua asisten rumah tangga yang mengurus rumah, jadi tugasmu hanya menemani mereka saja."

"Oh, semudah itu ternyata," jawab

"Satu lagi persyaratannya."

"Apa itu?"

"Kamu harus menginap!"

Sera tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan, itu memang keinginannya, setidaknya ia bisa menghemat biaya makan dan kos. Harga kontrakan di Jakarta yang melangit.

"Setuju!"

"Baiklah, nanti saya siapkan surat kontraknya. Sekarang bisa ikut saya ke rumah untuk melihat situasinya. Tapi ...." Arkan menghentikan ucapannya dan melihat dari atas ke bawah ke arah Sera dan buru-buru mengalihkan pandangan.

"Ada persyaratan satu lagi."

"Apalagi, Pak?"

"Kamu jangan menggunakan pakaian kurang bahan seperti itu!"

Sera melihat dirinya, ia mengenakan kaos ketat dan rok pendek selutut, ia merasa tidak seksi apalagi kurang bahan.

"Aku harus pakai gamis?"

"Iya, kalau perlu!"

"Tapi, Pak?"

"Itu salah satu syarat, kalau kamu keberatan bisa ditolak."

"Oke! Baiklah! Saya setuju!"

***


Setelah membeli beberapa pakaian yang sesuai keinginan bosnya, ia pun dibawa ke rumah Arkan, sebuah rumah yang membuat Sera berdecak kagum, tidak hanya luas, tapi designnya benar-benar indah. Dari gerbang menuju pintu rumah panjang membentang, mungkin cukup untuk lima sampai sepuluh mobil, di sana pun lengkap dengan petugas keamanan dan pekerja lainnya, tak hanya asisten rumah tangga.

"Selamat datang, semoga betah, ya!" ucap salah satu pekerja bernama Tuti.

"Iya, semoga betah. Semenjak ibu meninggal dua bulan lalu, sudah ganti empat pengasuh," ujar salah satunya yang terlihat masih muda, namanya Aini.

Sera membelalakkan mata. Sesulit apa mengurus mereka yang membuat empat pengasuh angkat kaki dalam waktu dua bulan.

"Mereka jahil dan nakal, bukan hanya itu, mereka juga manja dan gak boleh dimarahin sedikitpun oleh neneknya."

Sera mengangguk paham, tak lama kemudian datang Arkan dan ketiga anaknya. Yang besar kembar laki-laki dan perempuan, sementara yang kecil juga perempuan. Tak hanya itu, ada seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan di sana. Terlihat dari cara berpakaiannya begitu elegan dan berkelas.

"Ini yang akan bersama kalian, namanya Tante Sera, kalian harus patuh dan hormat," ucap Arkan.

"Siap Ayah," ucap Kenzo anak laki-lakinya.

"Baik Ayah!" sahut Kezia anak perempuannya. Sementara si bungsu bernama Kalina.

"Kenalan dulu Tante," ucap Kenzo. Anak laki-laki itu mendekat mengulurkan tangannya. Sera berpikir mereka tak seseram yang dibicarakan.

Sera menerima dengan tangan mungil itu, tapi tidak disangka Kenzo menembakkan senjata air ke wajah Sera dan membuatnya basah.

"Kenzo!" Arkan sedikit berteriak.

"Jangan kasar sama anak," ucap ibu di sampingnya.

"Hey! Kamu! Gak sopan, ya!" Siapa yang ngajarin?" Teriak Sera. Sebelumnya tidak ada yang berani seperti ini pada si kembar.

"Heh! Kamu jangan bentak cucu saya!" Wanita bernama Haliza itu berteriak.

"Saya bukan sedang membentak, saya sedang mengajarinya."

"Tidak dengan begitu caranya, berani sekali kamu sama cucu saya! Apa hak kamu?"

Kenzo memeluk Omanya, berlindung dari murka Sera.

Sera menghela napas panjang. Si kembar sepertinya mendapatkan pola didik yang salah. "Tentu saya berhak, saya yang akan mengasuh mereka, secara tidak langsung saya juga yang mendidik mereka. Ingat, Bu! Kasih sayang memang menghasilkan kebaikan, tapi bila anak terlalu dimanja banyak dampak negatif yang akan ditimbulkan di masa depan. Apa anda cucu anda tidak berkualitas?"

"Kamu tidak perlu mengajari saya!"

Sera mendelik.

"Kamu dapat dia darimana? Cari pengasuh yang berpendidikan, jangan orang kampung seperti itu!" ujar Haliza pada Arkan.

"Hanya dia yang bersedia, Bu."

"Hati-hati! Biasanya dari kampung s**a pakai jurus guna-guna. Ibu gak mau anak-anak diobatin biar nurut."

Meski berbisik, Sera mendengar ucapan itu dan merasa geram. "Kalau perlu saya guna-guna juga anak ibu biar ikut nurut!"

"Jangan-jangan kamu pengasuh plus plus," ucap Haliza.

"Iya! Kenapa memang?" Sera benar-benar geram.

Cerita selanjutnya di KBM app

Judul : BABY SITTER RASA ISTRI
PENULIS : MEGA DEWI

BABY SITTER RASA ISTRI - Mega Dewi
Jangan lupa sub ya dan nantikan bagi- bagi koinnya. ini

seorang sarjana yang akhirnya memutuskan me...

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:
https://read.kbm.id/book/detail/feeb8f0a-455f-5a9c-c284-ae9d69280dd1?af=eb16f816-0fb2-b30a-7dd5-f1cedf0f4b5a

Uhhh, kok bisa sih enam bulan kutinggalkan istriku berlayar, saat pulang ke rumah, aku menemukan ja la n la hir istriku ...
04/02/2025

Uhhh, kok bisa sih enam bulan kutinggalkan istriku berlayar, saat pulang ke rumah, aku menemukan ja la n la hir istriku berbau bvsuk.

Saat ku periksakan ke UGD, ternyata istriku mengalami ... 😨😰😱

SEPULANGNYA AKU BERLAYAR

Bab 3

"Bukan hal seperti itu yang ingin aku ketahui, Nin! Aku mohon kejujuran mu! Ini untuk kebaikan kita berdua. Apa kamu selingkuh?" tanya Rizki to the point membuat Nina salah tingkah.

"Mas Rizki... Aku..."

Nina terdiam menatap Rizki yang tampak kacau. Dia menggenggam tangan suami nya.

"Aku tidak pernah selingkuh, aku sangat mencintai kamu, Mas!" ujar Nina sungguh-sungguh.

"Lalu darimana datangnya penyakit yang kamu alami ini? Aku juga tidak pernah selingkuh, Nin. Di kapal, aku berusaha menjaga iman ku dan selalu mengingatmu. Aku juga tidak pernah men ye n tuh perempuan lain."

Rizki menjeda kalimat nya sejenak.

"Apa kamu pernah tra ns fu si saat aku berlayar?" tanya Rizki lagi.

Nina menggeleng.

"Tidak, Mas."

"Lalu dari mana asal penyakit ini?" tanya Rizki.

Nina hanya bisa mengedikkan bahunya.

"Aku juga tidak tahu dari mana asalnya penyakit ini. Kalau aku bisa memilih, aku juga tidak ingin mengalami sakit seperti ini, Mas. Aku juga tidak mau membuat kamu cu ri ga," ujar Nina lirih.

Rizki merasakan ke pa lanya sakit. Selama tiga bulan dia menahan keinginan nya untuk melakukan hal itu dan menjaga kesetiaan nya dan berharap bisa disalurkan saat di rumah, tapi ternyata harapan nya hanya tinggal harapan. Istri nya terinfeksi penyakit yang men ji ji k kan.

Rizki menghela napas. 'Mana ada ma li ng ngaku. Kalau ma li ng ngaku, mungkin
pen ja ra sudah penuh,' batin Rizki. Dia akhirnya beringsut dari r an ja ng dan berjalan ke arah pintu kamar ruang rawat inap.

"Mas, kamu mau kemana? Temani aku di sini, Mas. Pinggang dan pe r ut aku sakit," pinta Nina.

Rizki menoleh ke arah istri nya sekilas. "Aku nyari udara segar di depan kamar," ujar Rizki dan berlalu begitu saja.

**

Rizki yang ketiduran di depan ruang rawat inap Nina, terbangun dan melihat ke ponsel nya.

"Wah, sudah jam 7 pagi. Gimana ya kondisi Nina?" gumam Rizki. Dia lalu masuk kembali ke kamar Nina.

Terlihat Nina masih tidur pulas. Rizki pun mencuci muka di wastafel kamar mandi lalu duduk di kursi sofa mungil di dalam kamar. Mendadak dia mendengar dering telepon ponsel Nina di atas nakas. Rizki segera meraih ponsel Nina. Terlihat di layar ponsel itu kontak atas nama 'papa' sedang menelepon.

Papa adalah ayah Rizki yang menjadi duda sejak tiga tahun yang lalu karena ibu Rizki me ni ng gal terkena serangan ja nt ung. Dan sampai sekarang, ayah Rizki memutuskan untuk tidak menikah lagi.

Dan Rizki memilih untuk mem be li rumah secara K P R dengan jarak 300 meter dari rumah papanya agar dia bisa menjenguk papanya dengan mudah saat libur berlayar, karena kedua kakak Rizki sudah berkeluarga dan ikut dengan suaminya.

"Halo, Pa?"

"Halo, lho, Rizki? Kamu sudah pulang dari berlayar, Nak?!" tanya Papanya dari seberang telepon.

"Iya, Pa. Ini Rizki. Aku memang sudah pulang."

"Kenapa nggak ngabarin papa, Riz?"

"Iya, Pa. Aku juga tidak memberi tahu Nina kok. Rencana nya ingin membuat kejutan dengan pulang lebih dulu dan sampai rumah jam sebelas malam. Ternyata Nina semalam harus ke rumah sakit," ujar Rizki.

"Lho, Nina sakit apa? Pantas saja jam segini dia belum mengantarkan sarapan untuk papa," ujar papa Rizki.

Rizki terdiam sejenak. Bingung harus menjelaskan penyakit istrinya pada papanya. "Hm, yah, belum tahu, nanti baru ketemu dengan dokter spesialis nya," ujar Rizki berbo h ong.

"Ya sudah, nanti papa jenguk. Papa mau nyari sarapan dulu. Tadinya papa telepon Nina untuk menanyakan dia masak nggak hari ini," ujar papanya.

"Iya, Pa. Ingat ya, kalau makan hati- hati, jangan pedas dan jangan santan, papa punya sakit lambung dan kolesterol," ujar Rizki mengingat kan.

"Iya, Riz. Papa tutup dulu ya telepon nya."

Baru saja Rizki mengakhiri panggilan telepon nya, terdengar suara salam dan pintu diketuk dari luar. Bersamaan dengan itu, Nina terbangun.

Rizki bergegas membuka pintu dan terlihat seorang perawat yang datang membawa kursi roda.

"Selamat, pagi, Pak. Pagi ini Bu Nina akan diperiksa ke ruangan dokter kulit dan
ke la min," ujar perawat itu ramah.

"Siap, Sus," ujar Rizki lalu menyingkir dan memberi ruang pada suster itu untuk masuk ke dalam kamar.

Tak membutuhkan waktu lama, Nina sudah berpindah dari ra nj ang pasien ke kursi roda. Suster itu lalu mendorong kursi roda melewati koridor menuju ke poli kulit dan ke la min.

Dokter perempuan cantik dan berjilbab itu dengan ramah mempersilahkan Nina untuk naik ke bed pasien. Lalu dokter itu mulai melakukan serangkaian pemeriksaan di dalam bilik yang ditutup tirai.

"Berdasarkan pemeriksaan fisik maupun laboratorium, pasien mengalami infeksi me n u lar se k ** l, pasien akan mendapatkan te ra pi a n t i b i o tik dan tidak diperkenankan sama sekali untuk ber hu bu n g an. Beruntung, infeksi belum terlalu parah," ujar dokter itu.

Rizki dan Nina berpandangan.

"Dokter, apa penyebab penyakit istri saya?" tanya Rizki.

Dokter perempuan itu menghentikan kegiatan menulis resep sejenak.

"PMS atau IMS disebabkan karena berganti- ganti pasangan, Pak, tra n s fusi dan penggunaan ja ru m sun ti k secara bergantian. Hm, apa bapak juga tidak mengalami gejala nyeri saat bu an g air kecil atau keluar na na h saat kencing dan nyeri saat ber sa ma istri?" tanya dokter itu.

Rizki menggeleng. "Sama sekali tidak, Dok."

Dokter itu menatap ke arah Nina yang menunduk dengan wajah prihatin.

"Kapan bapak bersama dengan istri terakhir kali?"

"Sekitar tiga bulan lalu. Kemudian saya berlayar, Dok. Jadi penyakit ini pasti karena istri saya selingkuh kan, Dok?"

Dokter itu menghela napas panjang. "Tentang masalah itu, silakan diselesaikan secara pribadi. Yang penting keluhan pasien diobati dulu," ujar dokter itu lalu menyerah kan kertas resep pada perawat yang mengantarkan Nina tadi.

Perawat itu lalu mengantarkan Nina kembali ke ruangannya.

"Nin, jujur saja padaku, kamu seli n gk uh dengan siapa?!" tanya Rizki setelah mereka kembali ke ruang rawat inap.

"Aku nggak selingkuh, Mas! Seharusnya kamu pun juga di cek ke laboratorium! Jangan- jangan kamu yang membawa penyakit itu dari luar tapi nggak mau ngaku. Bisa juga kan?" tanya Nina sengit.

"Hah? Apa?"

Next?

Judul : SEPULANGNYA AKU BERLAYAR
penulis ananda zhia

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App.

Address

Nangka
Jakarta

Telephone

+628881814811

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Short Video posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Short Video:

Share