
16/02/2025
Tetangga mau pinjam rumahku buat hajatan, juga menyambut kedatangan mertuanya dari Jatim. Dia bilang cuma seminggu.
Gil4! Seminggu dia bilang cuman. Terus, dia nyuruh aku sekeluarga nginap di rumah mertua. Enak aja!
"Alya, saya mau minta tolong." Teh Riani datang pagi-pagi sekali, bahkan saat aku belum sempat membuat sarapan untuk suami dan anakku. Dia pun langsung mengutarakan niatnya datang kemari.
Agaknya, aku bisa menebak. Biasanya, beliau ingin meminjam u-ang untuk bekal sekolah anak-anak-nya. Aku selalu memberikannya pin-ja-man kalau memang ada, karena Teh Riani bukan orang yang sulit memba-yar ut--ang.
Teh Riani malah menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku jadi khawatir. "Ada apa, Teh? Katakan," pintaku.
"Begini, Alya. Bulan depan, saya mau hajatan syukuran khitan si Bagas. Karena belum ada tempat tinggal yang layak, saya mau memin-jam rumahmu ini paling tidak 1 minggu." Ucapan Teh Riani kontan membuat mulutku menganga.
Apa? Pin-jam rumah?
"Bukannya halaman panglong lumayan luas, ya, Teh? Bisa untuk pasang tenda."
Teh Riani, suami dan kedua anaknya memang belum punya rumah. Mereka tinggal di tempat produksi pakan ternak milik ayahnya Teh Riani yang mereka sebut panglong. Memang tidak layak huni, sebetulnya. Aku sendiri heran, mengapa sampai saat ini mereka masih bertahan di tempat itu.
Dulu saat masih aktif-aktifnya, tempat produksi pakan ternak yang berada tepat di depan rumahku di seberang jalan itu selalu berisik. Ada beberapa karyawan yang bekerja di sana. Setiap hari, Asap mesin mengepul tebal di udara, belum lagi dedak lembut yang berterbangan. Jangan tanya ke mana limbah produksi mereka buang. Sudah pasti mencemari sungai di kampung ini.
Sekarang memang sudah tak lagi aktif berproduksi. Habis modal, kabarnya. Tempat itu dihuni oleh Teh Riani dan suaminya sejak awal menikah, sampai sekarang sudah memiliki dua anak. Anak pertamanya bahkan sudah kelas 3 SMP.
Bangunan semi permanen dengan dinding tripleks dan atap asbes itu disulap menjadi memiliki sebuah kamar berukuran kecil hanya muat 1 buah kasur dan 2 buah lemari plastik. Seiring berjalannya waktu, suami Teh Riani pun membuatkan dapur seperti dapur darurat di tempat bencana alam. Untuk kebutuhan air dan kebersihan, mereka rutin melakukannya di sungai terdekat.
"Mertua saya dari Jatim mau ke sini, Alya. Saya malu," jawab Teh Riani sembari terisak.
Suami Teh Riani memang bukan asli warga kampung sini. Kabar yang kudengar, Mas Sunarto--suaminya Teh Riani, berasal dari Jawa Timur dan dulunya adalah karyawan ayahnya Teh Riani. Selama 8 tahun aku menikah dengan A Raffi, belum sekalipun aku melihat orang tua Mas Sunarto datang mengunjungi anak menantunya di sini. Mungkin, ini kali pertama.
"Kenapa nggak menginap di rumah Pak Didin aja, Teh?" tanyaku hati-hati, takut menyinggung perasaannya.
Pak Didin adalah ayah Teh Riani yang rumahnya tak jauh dari sini. Masih satu kampung.
Teh Riani berdecak sambil menunduk. Apa dia kesal mendengar pertanyaanku?
"Di rumah bapak sudah ada dua adik saya beserta suami dan istri mereka. Belum lagi, anak-anaknya."
"Ya ... kan nggak setiap hari juga mertua Teteh ke sini. Apa salahnya, menginap di sana, sementara adik-adik Teteh suruh menginap di mertuanya," jelasku. Barangkali, Teh Riani tidak kepikiran ke arah sana.
"Kamu saja yang nginap di mertuamu, Al. Dekat gitu, lho." Telunjuknya mengarah ke rumah mertuaku, di sebelah rumah ini. "Biar aku pin-jam rumahmu, hanya seminggu, selama mertua saya di sini," sambungnya.
Ya Allah ... mengapa perasaanku jadi tidak enak begini. Serba salah. Kalau kubantu Teh Riani, bagaimana caraku bicara pada Mama Daniah?
Aku tak bisa menjawab apalagi memberikan kepastian. Bagaimana pun juga, rumah ini hak kami dan aku berhak memutuskan. Tapi kenapa rasanya sulit sekali untuk menolak permintaan Teh Riani.
"Gimana, Al? Boleh, ya? Hanya seminggu," mohon Teh Riani lagi, justru membuatku mematung gamang.
"Nanti aku bicara sama A Raffi ya, Teh," izinku dengan seulas senyuman.
"Si Raffi mah pasti ngizinin, tinggal kamunya saja pintar-pintar membujuk suami. Ayolah, Al, tolong saya."
Aku tak menjawab, bahkan mengangguk pun berat sekali. Hanya senyuman miris terpatri di wajah ini. Dan si-alnya, Teh Riani mengartikan ini sebagai persetujuan.
Beliau pulang sambil tersenyum senang. "Makasih banyak ya, Al. Saya pulang dulu," katanya, semringah.
Tak segera masuk ke dalam, aku terduduk lemah di kursi teras. Kutatap sekeliling rumah ini, sampai ke atapnya yang baru selesai dipasang plavon beberapa bulan lalu.
Bukan hal mudah bagiku dan A Raffi membangun rumah ini. Butuh perjuangan besar dan waktu yang lumayan lama untuk menyelesaikannya.
Di awal menikah, A Raffi memang sudah membeli tanah ini sebagai tabungan. Aku dan suamiku saat itu masih merantau di Ibukota dan bekerja di sebuah pabrik automotif bersama-sama. Sampai anak kami lahir, aku baru memutuskan berhenti bekerja dan diminta tinggal dengan mertua di kampung ini karena tidak mungkin tinggal dengan orang tuaku yang sudah tiada keduanya.
Mama Daniah sangat baik padaku, juga pada siapa pun, kurasa. Hanya saja, sedikit bawel dan s**a mengkritik orang. Saat A***n, putra kami baru berusia 1,5 tahun, Mama Daniah selalu menyinggung soal rumah yang terasa semakin berantakan.
Aku yang kala itu sedang tersinggung, tentu saja merengek pada suami di perantauan. Aku memintanya segera membangun rumah untuk aku dan anak kami, kalau memang dirinya masih betah bekerja di sana. Singkat cerita, A Raffi pun memin-jam u--ang di ba-nk untuk membangun rumah.
Sampai A***n berusia 3 tahun, rumah kami baru selesai dibangun. Itu pun belum pada tahap finishing. Masih berdinding bata merah dan lantai tanah, aku nekat mengajak anakku pindah ke rumah ini. Bahkan saat itu kami belum memiliki pintu dan daun jendela karena keterbatasan da-na.
Perlahan, kami berhasil menyelesaikan cicilan dan mulai menabung untuk melanjutkan pembangunan. Sampai pada beberapa bulan lalu, rumah ini baru benar-benar jadi dan terlihat lebih rapi. Dan di saat kami baru menarik napas lega, seseorang datang justru untuk memin-jam rumah.
"Mah, ngapain?"
Aku tersentak. A Raffi menyusulku keluar sudah dengan seragam kerjanya. Suamiku baru saja pulang kampung dan bekerja di sebuah agen travel dan umroh satu bulan ini.
"Eh, Yah. Sudah mau berangkat?" Aku mengernyit. Kemarin suamiku bilang, hari ini berangkat agak siang karena akan mengantar jamaah ke bandara keberangkatan sore.
"Iya. Mendadak si bos telpon, suruh tukar sama Pak Ganjar."
"Aku buat sarapan dulu ya, Yah." Aku segera masuk, tetapi A Raffi mencekal tanganku.
"Jangan pin-jamkan rumah ini pada siapa pun. Nggak mudah buat kita bisa seperti ini, Mah. Bukan sekadar materi. Ingat, berapa tahun kita harus berpisah jarak demi terwujudnya rumah impian kita?"
Sekali lagi aku tercengang. Bagaimana mungkin A Raffi tahu soal ini? Atau ... suamiku menguping sejak tadi.
Bersambung ...
Judul di KBM App : Ketika Rumahku Dipin-jam untuk Hajatan Tetangga
Penulis : Azzgha Fatih