17/08/2025
“Dan umat-Ku, yang atasnya nama-Ku disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari wajah-Ku, lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka“ (2 Tawarik 7: 14).
SAYA TAKUT dan benci terhadap rumah sakit. Saya mengenal mereka terlalu dekat. Sebagai seorang anak penderita asma parah di California yang berkabut, saya mengunjungi ruangan unit gawat darurat di Rumah Sakit St. Francis secara rutin sampai-sampai saya dan para perawat saling menyapa dengan nama satu
sama lainnya. Saya bahkan memilih untuk melahirkan kedua anak saya di rumah.
Jadi ketika saya baru-baru ini memeriksakan diri ke pusat medis setempat untuk menjalani operasi rawat jalan, itu dilalui dengan banyak keluh kesah dan ragu-ragu bercampur takut. Dokter anestesi bertanya apakah saya punya pertanyaan.
“Ya, benar,” saya meringis, saat seorang mahasiswa keperawatan bergulat dengan jarum infus seukuran kait rajutan ke pembuluh darah saya. “Saya tidak merokok atau minum alkohol atau makan daging, dan berat badan saya hanya 108 pon, dan saya sangat tidak menyukai obat, jadi mungkin semakin sedikit obat yang saya dapatkan, semakin baik.” Dia menjawab dengan serius, “Saya mengerti,” dan sebelum saya bisa menolak, dia sudah menuangkan isi spuit yang tampak besar itu ke dalam jarum. “Apa itu tadi?“ Saya bertanya dengan khawatir. “Hanya sedikit obat anti-cemas,” dia menenangkan.
Saat kepala saya mulai terasa hangat dan lembek serta ruangan menjadi terasa goyah, semua teori konspirasi yang telah saya tolak selama bertahun-tahun mengambil kemungkinan-kemungkinan baru yang menyeramkan. Pemikiran semirasional terakhir saya adalah mereka belum menidurkan saya—saya masih bisa melarikan diri!
Saya sering mendengar dikatakan bahwa gereja bukanlah tempat berkumpulnya orang-orang kudus melainkan rumah sakit bagi orang-orang berdosa. Saya
selalu menghargai analogi itu. Betapa benar bahwa masing-masing dari kita me
masuki persekutuan gereja yang rusak secara moral dan emosional, bahkan sakit,
dengan cara tertentu. Betapa tidak berhaknya kita memandang rendah sesama
pasien karena kekurangan mereka berbeda dengan (atau mencerminkan) keku
rangan kita.
Di sisi lain, saya juga berpikir bahwa jika gereja itu seperti rumah sakit, tidak
semua orang bisa menjadi pasien—setidaknya tidak setiap saat. Betapa bersyukur
saya bahwa ada orang-orang di rumah sakit itu yang sehat dan mampu. Betapa
menghiburnya melihat perawat saya duduk dengan setia di samping saya, berpa
kaian baik dan dalam keadaan waras, dengan spons di atas tongkat untuk memu
askan rasa haus saya, bibir saya yang kering.
Saya senang gereja menjadi tempat yang lebih aman bagi jiwa-jiwa yang terluka. Senang rasanya merasakan dinginnya penolakan secara legisme digantikan oleh kehangatan rohani dan kejujuran emosional. Saya harap kita tidak berhenti sejenak dalam perjalanan menuju pemulihan!
Tuhan, bantulah saya untuk menjadi penyembuh jiwa-jiwa yang terluka dalam keluarga, gereja, dan masyarakat!
LESLIE KAY