
10/08/2025
BATU EMAS DI KAKI GUNUNG
Namanya Lestari, gadis kampung sederhana yang hidup di tepian hutan Kalimantan. Sejak kecil ia akrab dengan suara air sungai, bau tanah basah, dan nyanyian burung enggang yang terbang rendah di pagi hari. Hidupnya tak pernah jauh dari kebun kecil milik keluarganya, hingga suatu sore, langkah kakinya membawanya ke sebuah gua tersembunyi di kaki gunung yang jarang dijamah orang.
Gua itu gelap dan lembap, dindingnya berlumut, dan udara di dalamnya berbau tanah tua. Tapi ketika matanya terbiasa dengan remang cahaya, ia melihat sesuatu yang memantulkan sinar keemasan dari sudut terdalam. Dengan hati-hati, ia mendekat dan menemukan batu sebesar kepala bayi, berwarna emas pekat, permukaannya kasar namun berkilau. Saat disentuh, batu itu terasa hangat, seakan menyimpan napas bumi di dalamnya.
Kabar tentang penemuan Lestari cepat menyebar. Warga kampung menatapnya dengan rasa takjub sekaligus curiga. Beberapa orang mulai bertanya-tanya, berapa nilai batu itu, siapa yang akan membelinya, dan bagaimana membaginya. Pemerintah desa memanggilnya, menawarkan âpenjagaanâ terhadap batu tersebut. Bahkan orang-orang asing yang belum pernah menginjakkan kaki di kampung itu tiba-tiba muncul, membawa kamera dan janji-janji manis.
Awalnya Lestari merasa semua ini adalah anugerah. Ia membayangkan bisa membangun jembatan bagi kampungnya, memperbaiki sekolah reyot, dan menyediakan air bersih untuk semua warga. Tapi perlahan, ia menyadari bahwa semakin banyak orang yang tahu, semakin banyak p**a yang ingin memiliki. Teman-teman dekatnya mulai menjaga jarak, keluarganya sering berselisih soal siapa yang âberhakâ atas batu itu.
Puncaknya, suatu malam batu emas itu hilang. Lestari mencarinya sampai fajar, menyusuri hutan, memanggil-manggil namanya seakan batu itu makhluk hidup. Tapi tak ada jejak. Yang tersisa hanya gua kosong dan gema langkah kakinya sendiri. Hatanya hancur bukan hanya karena kehilangan batu, tetapi karena rasa percaya yang runtuhâkepada orang-orang yang ia sayangi, dan kepada dirinya sendiri yang terlalu mudah percaya.
Hari-hari berikutnya ia lebih banyak menghabiskan waktu di hutan. Di sanalah ia bertemu dengan seorang nenek tua pembuat anyaman rotan. Nenek itu mendengarkan kisahnya tanpa menghakimi, lalu berkata pelan, âNak, emas yang sesungguhnya bukan yang kau genggam, tapi yang tinggal di hatimu setelah semua ini hilang.â Kata-kata itu menancap dalam, seperti akar pohon merambat ke tanah.
Sejak itu, Lestari mulai membangun kembali dirinya. Ia mengajak anak-anak kampung belajar membaca di bawah pohon besar dekat sungai. Ia membantu para ibu menanam sayur organik, mengajarkan cara menjaga air bersih, dan menanam pohon buah di tanah kosong. Tak ada batu emas lagi, tapi ada tawa, ada kebersamaan, ada rasa damai yang kembali mengisi kampung.
Tahun-tahun berlalu, gua di kaki gunung tetap sunyi. Orang-orang yang dulu sibuk mencari batu itu sudah pergi. Namun setiap kali Lestari melintas, ia akan berhenti sebentar, tersenyum, dan mengingat hari ketika ia belajar bahwa harta sejati bukanlah logam berkilau⌠melainkan hati yang tetap tulus, meski pernah terluka.