Novel Online

Novel Online Penulis Novel di Fizzo dan KBM

Apa cuman aku yang nggak s**a suamiku gemar sedekah? Suamiku sangat baik, tapi hanya sama orang lain, sedangkan denganku...
08/04/2025

Apa cuman aku yang nggak s**a suamiku gemar sedekah? Suamiku sangat baik, tapi hanya sama orang lain, sedangkan denganku dan anak-anaknya dia...

***

Bab 7 _ Jawaban atau Kesempatan

Keesokan harinya, saat aku sedang menyuapi si bungsu yang tidak puasa, ponselku berdering. Sebuah pesan masuk dari kepala sekolah.

Kepala Sekolah: "Bu Salsa, selamat! Anda terpilih sebagai perwakilan dalam program pertukaran guru teladan ke luar kota selama tiga bulan. Mohon segera konfirmasi kehadiran Anda."

Aku menatap pesan itu dengan mata membelalak. Pertukaran guru teladan? Aku bahkan lupa pernah mendaftarkan diri. Dengan tangan gemetar, aku segera membalas.p

Aku: "Terima kasih, Pak. Ini kesempatan yang luar biasa. Saya akan berdiskusi dulu dengan keluarga."

Setelah mengirim pesan itu, aku termenung. Ini bisa jadi kesempatan terbaikku untuk keluar dari rumah ini—meski artinya aku harus meninggalkan anak-anak sementara. Hatiku mencelos membayangkan mereka tanpa aku. Tapi jika aku tetap di sini, aku tidak akan bisa melindungi mereka dengan baik.

Aku meneguk ludah, lalu melirik Rijal yang duduk di ruang tamu, asyik bermain ponsel. Aku mengumpulkan keberanian dan berjalan mendekat. "Bang, aku dapat tawaran pertukaran guru teladan selama tiga bulan," ujarku hati-hati.

Rijal mengangkat alis tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. "Terus?"

"Aku harus pergi ke luar kota."

Kali ini, dia mendongak, menatapku dengan dahi berkerut. "Lah? Trus anak-anak gimana?"

“Kan biasanya juga sama pengasuh.”

“Lha, kan pengasuh biasanya cuman sampai sore. Terus malamnya bagaimana?”

"Mereka bisa sama kamu dulu sementara."

Rijal tertawa pendek. "Halah, bercanda lo? Gue kerja, mana sempat ngurusin anak-anak?"

"Kamu kan punya ibu dan adik-adik yang selalu ikut campur urusan rumah tangga kita. Masa mereka nggak bisa bantu?" Aku sengaja menekan nada suaraku.

Ekspresi Rijal langsung berubah. "Lo nggak usah ngomong aneh-aneh, Sa. Lo ibu mereka, tugas lo di rumah! Mau cari alasan kabur, ya?"

Aku menggigit bibir, berusaha menahan emosi. "Bang, ini kesempatan besar buat karier aku. Kalau aku bisa berhasil, masa depan kita juga lebih baik."

"Alasan! Udah, batalin aja! Gue nggak setuju." Hatiku mencelos.

“Tapi, Bang…!”

Aku menghela napas panjang, mencoba menahan gejolak emosiku. "Bang, dalam Islam, seorang istri boleh bekerja selama tidak melalaikan kewajibannya. Aku pergi bukan untuk bersenang-senang, tapi untuk mencari ilmu dan meningkatkan kemampuan. Ini juga demi anak-anak kita."

"Lah, terus gimana dengan hadis yang bilang bahwa wanita sebaiknya di rumah? Rasulullah sendiri bilang bahwa rumah adalah tempat terbaik untuk seorang istri!"

Aku menatapnya, berusaha tetap tenang. "Bang, memang betul bahwa wanita dianjurkan untuk berada di rumah, tapi bukan berarti dilarang bekerja. Bahkan istri Rasulullah, Khadijah, adalah seorang pedagang sukses. Aisyah juga aktif mengajarkan ilmu kepada umat. Aku nggak meninggalkan anak-anak selamanya, Bang. Aku cuma pergi sementara, dan aku sudah memastikan mereka tetap dalam pengawasan."

Rijal mendengus. "Itu Khadijah! Lo bukan Khadijah! Lo itu istri gue, tugas utama lo ngurus rumah dan anak-anak setelah mengajar, bukan kelayapan!"

"Bang, aku nggak kelayapan. Aku ikut program resmi dari sekolah, sesuatu yang bisa bermanfaat buat banyak orang. Lagip**a, dalam Islam, seorang suami itu punya kewajiban untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Tapi selama ini, Bang? Aku yang lebih banyak berjuang sendiri!"

"Jadi sekarang lo mau nyindir gue nggak bertanggung jawab?"

"Aku cuma ingin kita sama-sama adil. Kalau aku yang terus-menerus mengalah, di mana keadilan buat aku dan anak-anak?"

Penulis : Bakul Cerita
Judul : Maaf, Jika Aku Pergi!

😭

15/12/2024

PART 1 HITAM DI ATAS PUTIH~TEBARU

“Udah nggak bersisa lagi tabunganku, Za, mana lagi koas,” ucap Ifa—mahasiswi kedokteran yang mandiri sejak kedua orang tuanya tiada.
“Tinggal di kosanku saja dulu, Fa,” balas Cut Liza—sahabatnya di fakultas yang sama.
“Nggak ah, makasih Za, aku sudah banyak ngerepotin kamu. Hmm, sebenarnya ada sahabat mendiang papaku, nawarin mau bay4rin semua kuliaku sampai selesai, tapi ….”
“Tapi …?” Cut Liza ikut mengulangi.
“Tapi, aku harus mau menikah dengan putranya.” Ada keragu-raguan di sorot mata sang calon dokter cantik itu.
“Kok kayak ragu, dia nggak ganteng?”

Latifa mendongak. “Ganteng sih, tentara batalyon dekat RST, tapi dia … SOM BONG!”
Tawa Cut Liza membahana. “Dia belum tahu aja siapa Ifa—mahasiswi paling favorit di kampus, cantik, calon dokter lagi!”

Latifa menyilangkan tangannya di dinding lorong rumah sakit. “Dia juga udah punya pacar, Za.”

Mata sahabatnya berkilat. “Nah, kamu lebih diuntungkan lagi tuh. Nikah aja sampai koas selesai, dia nggak bakal nyentuh kamu karena si tentara som b**g itu udah punya pacar.”

Jemari Latifa menjentik. “Benar juga, ini sangat menguntungkanku. Eh, tahu nggak apa komennya setelah melihat fotoku?”
“Apa?”
“Katanya aku cewek k4mpungan,” ujar Latifa seraya menutup tangannya menahan tawa.
“Emang foto apa yang kamu kirim ke dia?”
Wajah Latifa memerah karena tertawa. “Fotoku abis cuci piring di acara hajatan saudara, pas itu pakai baju kurung, lengan tergulung asal-asalan, wajahku juga kucel banget. Sengaja sih, biar dia nggak menyukaiku.”

Gelak tawa Cut Liza ikut menambah riuh lorong rumah sakit. “Dia bakal kaget saat tahu seperti apa calon istrinya, dasar cowok! Don't judge a book by its cover.”

Gelak tawa keduanya terhenti saat dokter senior menghardik. “Heh, Dokter Koas! Jangan berisik, ini rumah sakit!”

Latifa dan Cut Liza mengubah sikap. “Mohon maaf, Dok.”
“Kabur, Fa!”
“Iya, Liza, kembali ke pasien!”

**

Februari 2004

Akhirnya Latifa menyetujui perjodohan dengan seorang tentara bernama Yogi, tanpa pernah bertemu, mereka hanya berkomunikasi di telepon beberapa kali dan juga melalui calon mertuanya.

Di sela-sela kesibukkannya sebagai dokter koas, pikiran Latifa terbagi p**a dengan pengurusan pernikahan dinas. Untung saja dalam hal lainnya, calon mertuanya banyak membantu, sedangkan sang calon mempelai pria terkesan cuek dengan pernikahan ini, alih-alih memang dia sedang tugas di luar p**au.

“Liza, kalau aku dicari Dokter Amber, bilang aku lagi ada urusan di kampus, ya!” ujar Latifa dengan terburu-buru, jas dokternya pun dilipat asal, berkali-kali ia menengok arloji.

Semoga nggak telat!

Dengan ojek, Latifa berangkat ke batalion calon suaminya untuk mengikuti rangkaian pernikahan dinas tahap selanjutnya. Menikah dengan seorang prajurit bukan dibilang mudah, calon istri harus melalui tahapan-tahapan pengurusan dokumen, SKCK, periksa kesehatan, juga mengisi banyak sekali soal-soal persis sedang mengikuti seleksi kerja saja. Si4lnya, karena Yogi sedang tugas, ia harus mengurus seorang diri.

“Permisi, Om, mau kumpulin sampul D dari Kodim sudah jadi, di mana?” Peluh keringat membanjiri pelipis sang calon dokter yang datang terburu-buru.

“Masuk aja di dalam, Mbak. O ya, calonnya mana?” tanya tentara berkumis le le yang sedang berjaga di pos.

“Calon saya sedang tugas, Om.”
“Oh, gitu. Mau saya temanin, juga nggak pa-pa, Mbak,” ucapnya percaya diri.

Gadis berambut panjang yang sedang dicepol itu sontak melongo. Latifah membaca nama dada di seragamnya. Kasino? Gan jen banget ini si om!

Senyum datar ditampakkan Latifa di wajah cantiknya. “Permisi dulu, ya, Om.”
Kabur!

Tiba di ruangan, Latifa mengumpulkan sampul D ke prajurit yang bertugas.

“Setelah ini saya ngurus apa lagi, Om?” tanyanya dengan raut lelah. Sejak kemarin rute RST-kampus-kodim-batalion sudah jadi santapan sehari-hari sejak awal bulan ini.

“Saya bikinkan surat pengantar, ya, Mbak, untuk rikes di RST.”

Lagi-lagi Latifah melongo. “Di mana, Om?”

“RST.”

Lemes. Wajah Latifa pucat karena RST tempatnya koas. Dia berniat menyembunyikan pernikahannya dari teman-temannya.

Kenapa harus ke sana? Gawat, teman-temanku jadi tahu nih kalau aku mau nikah!

“Om boleh nggak rikes di rumah sakit lain?”
“Emang kenapa, Mbak? Punya catatan buruk, ya, di RST? Mungkin pernah ngerusak fasilitas rumah sakit?”

Tangan Latifa melambai mengisyaratkan penolakan. “Eh, nggak, Om. Masa saya ada tampang krimin4l begitu!” protesnya.

Prajurit yang diajaknya ngobrol hanya tertawa. “Bercanda. Pokoknya harus di situ, ya, Mbak.”

Latifa mendengus dengan wajah frustrasi. “Baiklah,” jawabnya tak bersemangat.

Tahu repot begini nikah sama tentara, nggak jadi aja deh nikahnya!

**

Malamnya, Latifa menelepon calon suaminya—Yogi. Seperti biasa, hanya nada dingin yang diterimanya, tak banyak lagi obrolan, calon suaminya itu hanya menginformasikan poin-poinnya. Tentara muda itu berkata kalau setelah rikes biasanya ke batalion lagi letsus, kemudian ke korem letsus juga, serta wawancara dan menjawab 30-an soal esai. Tak hanya sampai di situ, masih p**a menghadap ke bintal untuk mengisi 50-an soal esai tentang keagamaan dan kepribadian.

Mata Latifa melotot. Gila, repot amat nikah ama tentara somb**g ini!

“Capek, ya?” sindir Yogi di telepon. “Nyerah aja.”

Gadis berbulu mata lentik itu tersulut emosinya. “Eh, Mas, aku menerima perjodohan ini juga terpaksa, ya!” Tangan lembutnya membanting keras gagang telepon. Tanpa sadar, petugas penjaga wartel sudah berdiri di belakang dengan tampang kecut dan alis naik seperti gagang tali ember.

“B4nting aja terus, Mbak!” sindirnya keras. “Kalau perlu b4 kar aja wartel ini.”

Latifa mengulum bibir. “Maaf, Bude.”

“Bude, bude! Saya masih muda!”

“Oh, berapa umurnya?”

“Masih 26 tahun!”

Latifa manggut-manggut. “Oh masih 26, tapi boros ya mukanya,” ucapnya polos membuat petugas wartel semakin murk4.

“Udah, b4 yar cepat! Besok-besok nggak usah nelepon lagi di sini!” teriaknya melengking.

Buru-buru Latifah memb4 yar seraya menutup kuping.

Apes banget aku hari ini!
Kalau ingat besok mau rikes di RST, aduh!

**

Keesokan harinya, Latifa pagi-pagi sudah sampai di RST, dia merangkap baju hijaunya dengan jas dokter alih-alih koas.

Mengendap-endap gadis berbulu mata lentik itu mendaftar dan mengambil nomor antrean sampai akhirnya tepukan di bahu mengagetkannya.

“Ifa, mau ngapain kamu?”

Latifa menoleh lalu meneguk ludah seraya menyembunyikan nomor antreannya.

“Mau lihat-lihat, Dok,” ngeles si calon dokter padahal ia sedang mengambil antrean untuk rikes sebagai syarat nikah dinas.

“Ngapain lihat-lihat orang mau rikes? Kurang kerjaan.” Dokter berkacamata tebal itu melirik ke pasangan abdi negara yang bermaksud untuk rikes. “Masih muda-muda udah pada nikah!” omelnya. “Harusnya berkarier dulu, mapan dulu suami istri, baru nikah.”

Taj4m mata dokter senior itu menatap Latifa. “Jangan contoh mereka, Fa, kamu harus jadi dokter spesialis dulu baru nikah!”

“Siap, Dok,” jawab Latifa dengan tangan gemetar.

“Aku kasih nilai buruk praktikmu kalau kamu nikah cepat-cepat!”

Latifa menatap takut-takut ke Dokter Amber—dokter RST yang terkenal galak segalak b4 bon ay4m yang lagi bertelur. Dia semakin kalut, apalagi dokter berkacamata itu membahas karier. Sadar diri, Latifah kan juga masih kuliah, meski sudah di tahap koas.

Saat Dokter Amber berlalu, Latifa baru bisa bernapas lega. Kepalanya muncul kembali di meja resepsionis. “Mbak, Dokter yang bertugas menangani rikes siapa?” tanyanya basa-basi.

Semoga Dokter Isabel, friendly orangnya.

Petugas menujuk cepat. “Ya, dokter yang tadi itu, Dok,” jawabnya santai.

Mata Latifa mendelik kaget. “Dokter Amber?”

“Iya, Dok.”

Serasa ditim puk panci, seketika Latifa berjongkok dengan mimik mau nangis.

Habis aku!

Bersambung

Yogi kalau tahu siapa Latifa, gimana sikapnya ya? 😊

Sudah ending di KBM App
Judul: Hitam di Atas Putih
Penulis: bunga_btp
WA Penulis:Wa.me/6281327499949

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App.

https://read.kbm.id/book/detail/018f625f-1bb2-d230-44ec-b8c3b5d05627?af=fc272346-ee8b-9f21-f524-6a79d0924bd3

Bab 1**Suara deru mesin mobil Lamborghini Centenario hitam matte dengan aksen emas melaju kencang membelah malam yang se...
28/11/2024

Bab 1
**
Suara deru mesin mobil Lamborghini Centenario hitam matte dengan aksen emas melaju kencang membelah malam yang sepi. Di dalamnya, seorang pria dengan ekspresi kesal menggenggam setir erat, satu tangannya memegang ponsel yang menempel di telinga.

"Berisik! Iya, aku p**ang sekarang," suaranya terdengar dingin. Dia menggertakkan gigi, mempercepat laju mobil.
"Tapi, jangan salahkan aku jika menolaknya. Aku cukup bertemu dengannya, kan?"

Tanpa menunggu jawaban dari ujung telepon, dia memutus panggilan dan melempar ponselnya ke kursi penumpang dengan kasar. Cahaya lampu jalan memantulkan wajahnya yang tegas, rahangnya mengeras dengan tatapan tajam menembus kaca depan.

Saat mobil hitamnya berhenti di depan mansion besar, pintu gerbang otomatis terbuka. Para bodyguard yang berjaga di sana langsung menunduk saat mobil melaju masuk, seolah takut menangkap sorot matanya. Lampu eksterior mansion yang megah menyala, menyoroti detail arsitektur klasik yang megah namun penuh kekuasaan.

Pintu mobil itu terbuka ke atas dengan mulus. Menampakkan seorang pria melangkah keluar dengan pesona. Tubuhnya tinggi dan tegap, balutan jas hitam yang rapi namun tetap kasual. Rambut hitamnya tersisir ke belakang dengan sempurna. Dia mengangkat tangan untuk melepas kacamata hitamnya, memperlihatkan rahang tegas yang dihiasa sedikit bayangan janggut tipis. Sementara itu, sebuah jam tangan Rolex bersinar di pergelangan tangan kirinya dan cincin dengan batu safir menghiasi jarinya manisnya, simbol status dan kekuasaan yang tak terbantahkan. Dia melangkah ke arah pintu utama tanpa memperhatikan para penjaga yang berdiri kaku di sepanjang jalan masuk. Sepatu kulitnya beradu dengan lantai marmer, menciptakan bunyi yang teratur namun mengintimidasi.

Pintu besar mansion dibuka oleh salah satu pelayan yang langsung menunduk dalam-dalam. "Selamat malam, Tuan."

“Di mana wanita itu?” Ia melangkah tanpa melihat siapapun.
“Dia sedang bersama tuan besar di aula utama.”

Dia hanya melirik sekilas, lalu melangkah masuk ke aula utama yang luas. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal menjulang di atasnya, tapi suasana di dalam terasa tegang. Seorang pria tua, Tuan Besar, duduk di kursi besar di ujung aula, menunggu dengan wajah serius. Di sampingnya, laki-laki paruh baya dan seorang wanita muda duduk anggun, terlihat gugup sambil meremas ujung jilbabnya.

Tatapan pria itu langsung tertuju pada wanita tersebut. Langkahnya melambat tanpa sadar, dan untuk pertama kalinya sepanjang hari, ekspresinya yang dingin tampak melunak. Wanita itu mendongak sekilas, dan mata mereka bertemu. Sejenak, dunia di sekeliling mereka seolah lenyap.

Tuan Besar berdeham pelan, memecah keheningan. "Kau akhirnya p**ang. Ku pikir kau lupa alamat rumah.”

Sang mafia menoleh sekilas pada Tuan Besar, tapi perhatiannya segera kembali pada wanita di depannya. Hatinya, yang selama ini dingin dan tak tergerak, tiba-tiba terasa tak karuan. Ada sesuatu yang berbeda dari wanita ini—sesuatu yang membuatnya terdiam.

Wanita itu menunduk lagi, seolah menyembunyikan wajahnya yang memerah, tetapi kecantikannya tetap tak bisa disembunyikan. Jilbab satin berwarna marun yang membingkai wajahnya menambah pesona alami yang memikat. Mata gelapnya tampak meneduhkan, namun ada kegugupan yang jelas di sana.

Sang mafia memperhatikan setiap detail, mulai dari tangan mungil wanita itu yang meremas ujung jilbabnya, hingga bibirnya yang sedikit bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu namun ragu. Dia mengangkat satu alis, mencoba menyembunyikan keterkejutannya sendiri.

"Aku tidak lupa alamat rumah," jawab pria itu akhirnya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Matanya tetap tertuju pada wanita tersebut. "Tapi, aku tidak diberi tahu kalau yang menungguku... seorang bidadari."

Wanita itu mengangkat wajahnya perlahan, bingung dengan maksudnya. Tatapan mereka bertemu lagi, dan sang mafia merasakan detak jantungnya berdentum lebih keras. Ada kehangatan dalam sorot mata wanita itu, sesuatu yang membuatnya merasa disihir tanpa sadar.

Tuan Besar mengangkat alisnya, menatap sang mafia dengan ekspresi penuh arti. "Jadi? Apa kau setuju dengan pilihan papa? Namanya Aisyah, dia anak teman papa yang sudah meninggal. Dia perempuan baik.”

Sang mafia masih terpaku, tatapannya tak lepas dari wanita di depannya. Hatinya yang selama ini beku seakan mencair dalam hitungan detik. Jantungnya berdetak tak karuan, sebuah sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Wanita itu terlihat sederhana dengan jilbab satin marun yang membingkai wajahnya, tetapi justru kesederhanaan itulah yang memancarkan kecantikan alami yang memukau.

"Apa kau setuju dengan pilihan papa?" ulang Tuan Besar dengan nada tegas, mencoba menarik perhatian putranya.

Sang mafia akhirnya mengalihkan pandangannya, meskipun hanya sejenak, lalu menatap ayahnya dengan wajah yang masih menyimpan keterkejutan.

"Dia… berbeda," gumamnya nyaris tak terdengar, tapi cukup bagi Tuan Besar untuk menangkap perubahan nada suaranya.

"Aisyah," ucapnya perlahan, suaranya berubah lebih dalam dan lembut. Dia menyebut nama itu seperti mantra, seolah sedang mengujinya di lidah. "Kau tahu siapa aku, bukan?"

Aisyah mengangguk pelan, masih menunduk, tapi berani menjawab. "Ya. Saya tahu."

"Kalau begitu, kenapa kau di sini? Apakah karena paksaan?" tanya pria itu lagi, kali ini dengan nada yang hampir mendamba. Dia ingin tahu alasannya, ingin memahami keberanian yang membuat wanita seperti Aisyah berani menemuinya.

Aisyah mengangkat wajahnya perlahan, menatap pria itu dengan sorot mata yang lembut namun tegas.

"Karena tidak ada pilihan.”

Jawaban Aisyah membuat sang mafia terdiam sejenak. Sorot matanya yang semula lembut kini berubah tajam. "Tidak ada pilihan?" ulangnya pelan, namun penuh tekanan. "Maksudmu?"

“Jangan banyak tanya. Kamu setuju atau tidak?” tanya tuan besar mengambil alih. Ia tak mungkin bercerita jika orang tua kandung gadis tersebut, dia lah yang membunuhnya.

Address

Jalan Anggrek II
Jakarta
12330

Telephone

+628979619368

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Novel Online posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Novel Online:

Share