
26/09/2025
IBU-IBU FACEBOOKERS NAIK GUNUNG (BAGIAN 12)
Malam itu, hawa di gunung berubah. Kabut turun makin tebal, menutup jalur setapak yang tadinya jelas. Angin berdesir dingin, dan di antara hembusan itu terdengar suara samar—entah seperti anak kecil menangis, entah cuma gesekan dahan.
Di dalam tenda, sepuluh ibu-ibu Facebooker berkumpul, saling menatap dengan mata melebar.
Bu Ros sudah hampir menitikkan air mata.
“Aku dengerrr… aku dengerrr suaraaa! Kayak ada yang manggil nama aku barusan! ‘Rossss… Rossss…’ Aduh jangan-jangan mantan aku nyusul ke gunung.”
Bu Sri langsung nyeletuk.
“Halah! Palingan itu cuma suara perut kamu yang lapar. Dari tadi ngemil mulu masih aja drama. Ya Allah, capek aku.”
Bu Enur ikut panik, sambil muter-muter tenda.
“Eh eh eh jangan gitu ah, aku juga denger sumpah! Ada suara langkah kaki di luar. Kayak orang jalan muter-muter tenda kita. Gimana kalau itu… penunggu gunung?!”
Bu Rita langsung ngoceh cepat tanpa jeda.
“Nah kan bener kata aku, aku udah bilang tadi di rumah, banyak kejadian mistis, banyak pendaki hilang, aku liat di akun cerita horor pendaki gunung! Kalian nggak percaya! Sekarang buktinya ada di depan mata! Astagaaa!”
Bu Dwi malah nyengir, walau wajahnya pucat.
“Ih ya ampun, jangan nakut-nakutin deh. Palingan itu porter. Porter kita ganteng kan ya, siapa tau dia sengaja ngeprank biar kita manja. Hihihi…”
Bu Eka langsung membentak.
“Kamu ini gimana sih, Dwi! Ini bukan sinetron, ini gunung! Kalau ilang kita gimana?! Kalau diseret setan gimana?!”
Suasana makin kacau. Suara langkah di luar makin jelas, krak… krak… krak…, seolah ada yang mengitari tenda.
Tiba-tiba resleting tenda terbuka.
Sepuluh ibu-ibu itu sontak menjerit bareng.
“AAAAAAAAAAAAA!!”
Ternyata yang masuk adalah porter mereka, Mas Bayu. Wajahnya serius, sorot matanya tajam, berbeda dari biasanya yang kalem.
Mas Bayu: “Bu… jangan ribut. Jangan ketawa keras-keras di gunung. Jangan teriak-teriak juga. Dari tadi saya sudah ingetin, tapi ibu-ibu nggak dengerin.”
Bu Putri langsung nyaut dengan nada menantang.
“Lah Mas, emang kenapa kalo ketawa? Kita kan lagi seneng. Emang nggak boleh ya?”
Mas Bayu menatapnya dalam.
“Boleh seneng, tapi jangan lebay. Gunung itu ada yang punya. Tadi saya lihat… ada yang berdiri di balik pohon besar sana. Bukan pendaki, Bu. Bukan manusia juga.”
Sepuluh ibu-ibu langsung menelan ludah bersamaan.
Bu Utami buru-buru merapatkan mukena tipis yang dia bawa.
“Astagfirullah… saya sudah bilang, banyak-banyak istighfar. Jangan ketawa-ketawa. Ini ujian buat kita. Semoga Allah lindungi kita semua.”
Bu Astuti malah nyeletuk dengan nada sok tenang.
“Ah Mas Bayu lebay. Itu palingan bayangan pohon kena lampu headlamp kita. Aku pernah baca di Google, itu cuma ilusi optik kabut, bukan hantu.”
Tapi sebelum selesai, terdengar suara ketukan dari luar tenda. Tok… tok… tok… Tiga kali, pelan, tapi jelas.
Semua langsung diam.
Mas Bayu sendiri menegang, wajahnya pucat.
Mas Bayu berbisik: “Ibu-ibu… jangan ada yang jawab. Jangan ada yang buka. Kalau ada yang manggil nama, jangan nyaut. Itu bukan manusia.”
Sepuluh ibu-ibu saling merapat, wajah mereka pucat pasi. Baru kali ini, sepanjang perjalanan, mereka benar-benar diam dan serius.
Namun… dari luar, terdengar suara lembut memanggil:
“Dwi… Dwi Puspita Kusuma…”
Bu Dwi langsung refleks mau jawab, tapi untung Bu Eka cepat menutup mulutnya.
Bu Eka: “Jangan jawab, Dwi! Jangan! Mau m*mpus kamu?!”
Mas Bayu menghela napas berat.
“Saya udah bilang… penunggu gunung mulai terusik. Ibu-ibu harus nurut sama saya kalau mau selamat. Jangan bikin konten dulu, jangan ribut, jangan nyanyi. Besok pagi kita turun.”
Suasana tenda hening. Tidak ada lagi yang berani bercanda. Untuk pertama kalinya, sepuluh ibu-ibu Facebooker sadar: pendakian mereka bukan sekadar buat viral. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar konten.
Malam makin larut. Angin mengguncang dinding tenda, membuat suara flap flap flap yang bikin jantung berdegup. Sepuluh ibu-ibu sudah rebahan rapat-rapat, tapi tetap saja tak bisa tidur.
Bu Ros berkali-kali meringkuk sambil menggenggam tasbih mini milik Bu Utami.
“Aku takut… sumpah aku takut… kalau aku nggak p**ang, anakku siapa yang nemenin belajar PR matematika? Dia tuh nggak bisa pecahan desimal kalau nggak aku dampingi…”
Bu Sri, walaupun takut juga, masih sempet nyolot.
“Yaelah, PR pecahan aja lebay. Aku malah mikirin kalau aku ilang, siapa yang nyicilin arisan? Mana duit arisan belum muter ke aku, hiks…”
Bu Enur langsung ikut ribut.
“Astaga Sriii! Arisan mah bisa nyusul, kalau nyawa nggak bisa dibeli. Aku tuh nyesel nggak bawa minyak kayu putih satu dus. Aduh, aduh, kepalaku pusing. Ada nggak yang bawa balsem? Tolong olesin punggung aku!”
Bu Rita menepuk jidat.
“Ya ampuuun, orang kita lagi ketakutan kok malah bahas arisan, minyak kayu putih, balsem… ini gunung, Bu! Bukan posyandu!”
Mas Bayu, si porter, duduk di dekat pintu tenda. Tatapannya fokus ke luar, seolah sedang berjaga.
Tiba-tiba, dari luar terdengar suara perempuan. Lembut, tapi menyeramkan.
“Tolong aku… tolong… aku kedinginan…”
Suara itu seperti datang dari balik kabut.
Bu Dwi, yang sudah agak tenang, langsung nyeletuk dengan nada sok dramatis.
“Astaga, kasian amat. Suaranya kayak artis sinetron yang kesusahan. Jangan-jangan pendaki beneran yang butuh bantuan, Mas?”
Mas Bayu langsung menoleh tajam.
“Jangan keluar! Itu bukan pendaki.”
Bu Putri mendengus.
“Lah Mas, kok sotoy banget. Kalau beneran orang gimana? Kita ini kan harus tolong-menolong, jangan egois.”
Mas Bayu mendekat, menatapnya serius.
“Bu, saya lahir di desa kaki gunung ini. Dari kecil saya udah tau bedanya suara manusia sama suara mereka. Itu bukan manusia.”
Semua ibu-ibu terdiam.
Tapi suara itu makin jelas.
“Bu Senjaaa… Violet Senjaaa…”
Bu Senja refleks bangkit.
“Hah?! Lah itu nama Facebook aku! Dari mana dia tau nama akun aku?!”
Bu Eka langsung panik.
“Astagaaa, jangan-jangan hantunya stalker Facebook! Gila juga hantu zaman sekarang, bisa kepoin sosmed.”
Bu Astuti malah nyengir kecut.
“Aku pernah baca tuh di forum, katanya kalau makhluk halus nyebut nama akun medsos kita, tandanya energi kita udah ke-detect. Canggih juga ya.”
Bu Rita langsung nimbrung.
“Astuti! Ini bukan saatnya kamu sok tahu pake teori forum-foruman! Astaga, bisa-bisa kita ke-detect terus di-take down sama hantu nih kayak akun palsu!”
Sepuluh ibu-ibu serempak menutup mulut mereka dengan tangan, takut refleks jawab panggilan itu.
Mas Bayu berdiri, lalu berbisik lirih:
“Ibu-ibu, kuatkan hati. Jangan pernah jawab, apapun yang terjadi. Kalau kalian jawab, kalian bisa ditarik ikut ke dunia mereka.”
Suasana jadi makin tegang. Di luar tenda, suara tangisan itu berganti tawa. Tawa panjang, melengking, lalu menghilang ke balik kabut.
Di dalam tenda, sepuluh ibu-ibu saling tatap dengan wajah pucat. Tak ada yang berani bersuara lagi.
Untuk pertama kalinya, mereka benar-benar sadar… pendakian ini bukan sekadar buat konten lucu-lucuan.