Cerita Horor Pendaki Gunung

Cerita Horor Pendaki Gunung Tempat berbagi cerita horor kawan-kawan semua

IBU-IBU FACEBOOKERS NAIK GUNUNG (BAGIAN 12)Malam itu, hawa di gunung berubah. Kabut turun makin tebal, menutup jalur set...
26/09/2025

IBU-IBU FACEBOOKERS NAIK GUNUNG (BAGIAN 12)

Malam itu, hawa di gunung berubah. Kabut turun makin tebal, menutup jalur setapak yang tadinya jelas. Angin berdesir dingin, dan di antara hembusan itu terdengar suara samar—entah seperti anak kecil menangis, entah cuma gesekan dahan.

Di dalam tenda, sepuluh ibu-ibu Facebooker berkumpul, saling menatap dengan mata melebar.

Bu Ros sudah hampir menitikkan air mata.

“Aku dengerrr… aku dengerrr suaraaa! Kayak ada yang manggil nama aku barusan! ‘Rossss… Rossss…’ Aduh jangan-jangan mantan aku nyusul ke gunung.”

Bu Sri langsung nyeletuk.

“Halah! Palingan itu cuma suara perut kamu yang lapar. Dari tadi ngemil mulu masih aja drama. Ya Allah, capek aku.”

Bu Enur ikut panik, sambil muter-muter tenda.

“Eh eh eh jangan gitu ah, aku juga denger sumpah! Ada suara langkah kaki di luar. Kayak orang jalan muter-muter tenda kita. Gimana kalau itu… penunggu gunung?!”

Bu Rita langsung ngoceh cepat tanpa jeda.

“Nah kan bener kata aku, aku udah bilang tadi di rumah, banyak kejadian mistis, banyak pendaki hilang, aku liat di akun cerita horor pendaki gunung! Kalian nggak percaya! Sekarang buktinya ada di depan mata! Astagaaa!”

Bu Dwi malah nyengir, walau wajahnya pucat.

“Ih ya ampun, jangan nakut-nakutin deh. Palingan itu porter. Porter kita ganteng kan ya, siapa tau dia sengaja ngeprank biar kita manja. Hihihi…”

Bu Eka langsung membentak.

“Kamu ini gimana sih, Dwi! Ini bukan sinetron, ini gunung! Kalau ilang kita gimana?! Kalau diseret setan gimana?!”

Suasana makin kacau. Suara langkah di luar makin jelas, krak… krak… krak…, seolah ada yang mengitari tenda.

Tiba-tiba resleting tenda terbuka.
Sepuluh ibu-ibu itu sontak menjerit bareng.

“AAAAAAAAAAAAA!!”

Ternyata yang masuk adalah porter mereka, Mas Bayu. Wajahnya serius, sorot matanya tajam, berbeda dari biasanya yang kalem.

Mas Bayu: “Bu… jangan ribut. Jangan ketawa keras-keras di gunung. Jangan teriak-teriak juga. Dari tadi saya sudah ingetin, tapi ibu-ibu nggak dengerin.”

Bu Putri langsung nyaut dengan nada menantang.

“Lah Mas, emang kenapa kalo ketawa? Kita kan lagi seneng. Emang nggak boleh ya?”

Mas Bayu menatapnya dalam.

“Boleh seneng, tapi jangan lebay. Gunung itu ada yang punya. Tadi saya lihat… ada yang berdiri di balik pohon besar sana. Bukan pendaki, Bu. Bukan manusia juga.”

Sepuluh ibu-ibu langsung menelan ludah bersamaan.

Bu Utami buru-buru merapatkan mukena tipis yang dia bawa.

“Astagfirullah… saya sudah bilang, banyak-banyak istighfar. Jangan ketawa-ketawa. Ini ujian buat kita. Semoga Allah lindungi kita semua.”

Bu Astuti malah nyeletuk dengan nada sok tenang.

“Ah Mas Bayu lebay. Itu palingan bayangan pohon kena lampu headlamp kita. Aku pernah baca di Google, itu cuma ilusi optik kabut, bukan hantu.”

Tapi sebelum selesai, terdengar suara ketukan dari luar tenda. Tok… tok… tok… Tiga kali, pelan, tapi jelas.

Semua langsung diam.
Mas Bayu sendiri menegang, wajahnya pucat.

Mas Bayu berbisik: “Ibu-ibu… jangan ada yang jawab. Jangan ada yang buka. Kalau ada yang manggil nama, jangan nyaut. Itu bukan manusia.”

Sepuluh ibu-ibu saling merapat, wajah mereka pucat pasi. Baru kali ini, sepanjang perjalanan, mereka benar-benar diam dan serius.

Namun… dari luar, terdengar suara lembut memanggil:

“Dwi… Dwi Puspita Kusuma…”

Bu Dwi langsung refleks mau jawab, tapi untung Bu Eka cepat menutup mulutnya.

Bu Eka: “Jangan jawab, Dwi! Jangan! Mau m*mpus kamu?!”

Mas Bayu menghela napas berat.

“Saya udah bilang… penunggu gunung mulai terusik. Ibu-ibu harus nurut sama saya kalau mau selamat. Jangan bikin konten dulu, jangan ribut, jangan nyanyi. Besok pagi kita turun.”

Suasana tenda hening. Tidak ada lagi yang berani bercanda. Untuk pertama kalinya, sepuluh ibu-ibu Facebooker sadar: pendakian mereka bukan sekadar buat viral. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar konten.

Malam makin larut. Angin mengguncang dinding tenda, membuat suara flap flap flap yang bikin jantung berdegup. Sepuluh ibu-ibu sudah rebahan rapat-rapat, tapi tetap saja tak bisa tidur.

Bu Ros berkali-kali meringkuk sambil menggenggam tasbih mini milik Bu Utami.

“Aku takut… sumpah aku takut… kalau aku nggak p**ang, anakku siapa yang nemenin belajar PR matematika? Dia tuh nggak bisa pecahan desimal kalau nggak aku dampingi…”

Bu Sri, walaupun takut juga, masih sempet nyolot.

“Yaelah, PR pecahan aja lebay. Aku malah mikirin kalau aku ilang, siapa yang nyicilin arisan? Mana duit arisan belum muter ke aku, hiks…”

Bu Enur langsung ikut ribut.

“Astaga Sriii! Arisan mah bisa nyusul, kalau nyawa nggak bisa dibeli. Aku tuh nyesel nggak bawa minyak kayu putih satu dus. Aduh, aduh, kepalaku pusing. Ada nggak yang bawa balsem? Tolong olesin punggung aku!”

Bu Rita menepuk jidat.

“Ya ampuuun, orang kita lagi ketakutan kok malah bahas arisan, minyak kayu putih, balsem… ini gunung, Bu! Bukan posyandu!”

Mas Bayu, si porter, duduk di dekat pintu tenda. Tatapannya fokus ke luar, seolah sedang berjaga.

Tiba-tiba, dari luar terdengar suara perempuan. Lembut, tapi menyeramkan.

“Tolong aku… tolong… aku kedinginan…”

Suara itu seperti datang dari balik kabut.

Bu Dwi, yang sudah agak tenang, langsung nyeletuk dengan nada sok dramatis.

“Astaga, kasian amat. Suaranya kayak artis sinetron yang kesusahan. Jangan-jangan pendaki beneran yang butuh bantuan, Mas?”

Mas Bayu langsung menoleh tajam.

“Jangan keluar! Itu bukan pendaki.”

Bu Putri mendengus.

“Lah Mas, kok sotoy banget. Kalau beneran orang gimana? Kita ini kan harus tolong-menolong, jangan egois.”

Mas Bayu mendekat, menatapnya serius.

“Bu, saya lahir di desa kaki gunung ini. Dari kecil saya udah tau bedanya suara manusia sama suara mereka. Itu bukan manusia.”

Semua ibu-ibu terdiam.

Tapi suara itu makin jelas.

“Bu Senjaaa… Violet Senjaaa…”

Bu Senja refleks bangkit.

“Hah?! Lah itu nama Facebook aku! Dari mana dia tau nama akun aku?!”

Bu Eka langsung panik.

“Astagaaa, jangan-jangan hantunya stalker Facebook! Gila juga hantu zaman sekarang, bisa kepoin sosmed.”

Bu Astuti malah nyengir kecut.

“Aku pernah baca tuh di forum, katanya kalau makhluk halus nyebut nama akun medsos kita, tandanya energi kita udah ke-detect. Canggih juga ya.”

Bu Rita langsung nimbrung.

“Astuti! Ini bukan saatnya kamu sok tahu pake teori forum-foruman! Astaga, bisa-bisa kita ke-detect terus di-take down sama hantu nih kayak akun palsu!”

Sepuluh ibu-ibu serempak menutup mulut mereka dengan tangan, takut refleks jawab panggilan itu.

Mas Bayu berdiri, lalu berbisik lirih:

“Ibu-ibu, kuatkan hati. Jangan pernah jawab, apapun yang terjadi. Kalau kalian jawab, kalian bisa ditarik ikut ke dunia mereka.”

Suasana jadi makin tegang. Di luar tenda, suara tangisan itu berganti tawa. Tawa panjang, melengking, lalu menghilang ke balik kabut.

Di dalam tenda, sepuluh ibu-ibu saling tatap dengan wajah pucat. Tak ada yang berani bersuara lagi.

Untuk pertama kalinya, mereka benar-benar sadar… pendakian ini bukan sekadar buat konten lucu-lucuan.

IBU-IBU FACEBOOKERS NAIK GUNUNG (BAGIAN 11)Semua ibu masih bersembunyi di balik batu besar. Nafas mereka ditahan sebisa ...
26/09/2025

IBU-IBU FACEBOOKERS NAIK GUNUNG (BAGIAN 11)

Semua ibu masih bersembunyi di balik batu besar. Nafas mereka ditahan sebisa mungkin. Kabut tebal menggantung, suara detak jantung serasa terdengar jelas.

Sosok tinggi itu masih berdiri, matanya merah menyala menembus kabut.

Bu Ros hampir nangis lagi:

“Aku nggak kuat… aku mau p**ang… ya Allah…”

Bu Eka langsung mendesis:

“SSSTTTT!!! Jangan nangis, Ros! Ntar ketauan!”

Saat semua menahan napas… tiba-tiba terdengar suara pruuutttt pelan dari arah belakang batu.

Semua ibu langsung menoleh bersamaan ke Bu Enur, yang wajahnya pucat campur panik.

Bu Sri nyeletuk julit bisik-bisik:

“Ya ampun, Nur… lagi sembunyi dari setan malah ngelepas gas alam…”

Bu Enur bisik terbata:

“Aku… aku nggak sengaja… perutku kembung mie semalem…”

Semua mau ketawa tapi ditahan, hasilnya malah keluar suara cekikikan teredam.

Sosok tinggi itu tiba-tiba menoleh ke arah batu. Langkah beratnya makin dekat.

Duk… Duk… Duk…

Setiap hentakan bikin tanah bergetar. Semua ibu-ibu langsung pucat pasi.

Bu Dwi centil tapi gemetar:

“A-aku nggak siap… kalau mati begini aku belum sempet upload story tadi…”

Bu Senja langsung nepok kepala:

“Astaga, Dwi! Nyawa dulu baru story!”

Tepat saat sosok itu sudah tinggal beberapa langkah dari batu, tiba-tiba terdengar suara keras dari hutan:

“HOOOOIIIII!!!”

Suara teriak laki-laki, panjang, seperti orang memanggil. Sosok tinggi itu mendadak berhenti, menoleh ke arah suara, lalu perlahan menghilang ke dalam kabut.

Semua ibu-ibu langsung lemes, jatuh duduk sambil ngos-ngosan.

Bu Utami lirih sambil baca doa:

“Ya Allah… itu tadi apa… kalau bukan malaikat penolong…”

Bu Astuti sok tahu lagi:

“Aku sih yakin itu porter… atau mungkin pendaki lain. Nggak usah heboh ”

Tiba-tiba terdengar bisikan di telinga Bu Astuti, tepat banget di samping kupingnya:

“Bukan manusia…”

Astuti langsung jerit paling kenceng.

Mereka sadar satu hal:
Gunung ini tidak hanya berisi kabut dan jalur terjal. Ada sesuatu yang benar-benar memperhatikan mereka sejak awal.

Dan entah kenapa… sosok itu tidak ingin mereka melanjutkan perjalanan.

Setelah kejar-kejaran, jatuh bangun, dan panik massal, rombongan ibu-ibu akhirnya tiba di Pos 3 menjelang siang.

Pos ini berupa tanah lapang kecil, dikelilingi pohon tinggi dan ditutup kabut tipis. Harusnya tempat ini cukup nyaman untuk istirahat, tapi wajah semua ibu tegang.

Bu Rita langsung duduk sambil kipas-kipas diri pakai jilbabnya:

“Ya Allah, punggungku… kayak digilas truk mixer! Gimana kalo kita udahin aja sampai sini?”

Bu Senja yang tomboy nggak mau kalah:

“Nggak bisa! Masa kita viralnya cuma nyampe Pos 3? Harus puncak d**g!”

Bu Putri yang keras kepala ikut nyamber:

“Bener! Aku nggak mau p**ang sebelum sampai puncak. Malu d**g sama netizen!”

Bu Sri yang julit nyindir:

“Netizen mah nggak peduli lu sampe puncak apa nggak. Yang penting lu bikin drama, udah pasti rame.”

Saat mereka buka bekal, ternyata nasi bungkus sudah bau basi karena terlalu lama di tas.

Bu Enur langsung panik rempong:

“Astaga, ini nasi udah asem! Mana aku yang bawain terbanyak lagi. Habis deh tenaga kita!”

Bu Eka yang emosian langsung meledak:

“Nur! Dari kemarin aku bilang, bungkus nasi jangan ditaruh paling bawah. Kan kepres! Sekarang jadi kayak dodol basi gini!”

Bu Dwi malah sempet centil:

“Eh tapi kalo difoto dengan angle yang pas, nasi basi ini bisa keliatan kayak kuliner tradisional lho…”

Semua kompak teriak:

“DWIIII!!!”

Saat suasana udah panas, tiba-tiba Bu Ros menatap kosong ke arah pepohonan.

“Eh… kalian denger nggak?”

Semua hening. Dari hutan, terdengar suara perempuan tertawa lirih, hihihihihi…

Kabut di sisi hutan bergulung. Sekilas, ada bayangan perempuan berjilbab putih berjalan perlahan di antara pepohonan.

Bu Utami langsung baca doa kencang.
Bu Astuti sok tahu meski wajah pucat:

“Itu… itu pasti pendaki perempuan lain. Jangan terlalu lebay…”

Tiba-tiba suara tawa berubah jadi jeritan nyaring, menusuk telinga. Semua ibu langsung teriak bareng-bareng.

Pos 3 yang harusnya jadi tempat istirahat, malah berubah jadi titik horor baru.
Ibu-ibu sadar, semakin mereka naik, semakin kuat p**a gangguan yang datang.

Tapi rasa gengsi dan keras kepala membuat mereka tetap ingin melanjutkan perjalanan.

Entah apa yang menunggu di Pos berikutnya.

IBU-IBU FACEBOOKERS NAIK GUNUNG (BAGIAN 10)Setelah sarapan dan beres-beres tenda dengan ribut sana-sini, rombongan ibu-i...
26/09/2025

IBU-IBU FACEBOOKERS NAIK GUNUNG (BAGIAN 10)

Setelah sarapan dan beres-beres tenda dengan ribut sana-sini, rombongan ibu-ibu melanjutkan perjalanan. Jalur menuju Pos 3 terkenal lebih terjal, penuh akar pohon, dan sering berkabut.

Baru jalan setengah jam, Bu Rita sudah mulai ngomel:

“Ya Allah… baru segini aja napasku udah kayak dikejar debt collector! Porter! Bisa nggak gend**g aku aja?”

Porter cuma nyengir kecut.

Bu Enur yang rempong sibuk ngatur tasnya:

“Aduh, tas aku kebalik, botol minum malah taruh paling bawah. Awas, jangan injek!”

Bu Eka langsung ngegas:

“NUR! Jalan aja ribet banget sih. Gunung bukan pasar!”

Ego Pecah

Di jalur menanjak, Bu Putri bersikeras jalan paling depan.

“Aku duluan! Aku pengen buktiin aku bisa sampai puncak tanpa nyerah.”

Bu Senja nggak mau kalah:

“Eh jangan sok jago. Aku paling kuat di sini. Minggir!”

Akhirnya mereka saling senggol. Bu Sri yang julit malah nambahin bensin:

“Waduh, dua singa betina rebutan panggung. Facebooker banget gayanya.”

Bu Dwi masih sempet-sempetnya bikin gaya:

“Aduh, keringet aku netes. Nih kalau difoto pasti kayak influencer outdoor, ya kan?”

Tiba-tiba kabut turun cepat, menutup pandangan. Jalur jadi cuma kelihatan dua meter ke depan.

Bu Ros langsung panik:

“Eh jangan jauh-jauh, aku nggak bisa lihat jelas!”

Bu Utami lirih sambil baca doa:

“Astaghfirullah… kabutnya kok turun secepat ini, biasanya nggak begini.”

Di tengah kabut, terdengar suara langkah kaki lain. Duk… Duk… Duk…
Bukan suara mereka, tapi seperti ada yang mengikuti dari belakang.

Bu Astuti menunjuk samar ke arah kabut:

“Tuh, tuh… aku liat orang! Pasti pendaki lain. Kan aku bilang, gunung rame. Nggak usah takut.”

Tapi saat kabut tersibak sebentar…
yang terlihat adalah sosok tinggi besar, seluruh tubuhnya abu-abu, dengan rambut panjang menjuntai.

Semua ibu-ibu langsung jerit bareng.

Bu Eka spontan teriak:

“LARI!!!”

Mereka langsung bubar jalan, saling dorong sambil teriak-teriak. Tas berantakan, botol minum jatuh ke jurang, sendal gunung hampir lepas.

Tapi saat mereka lari, suara langkah itu ikut mengejar…
dan jaraknya semakin dekat.

Jalur menanjak berubah jadi medan kejar-kejaran.
Tas pada mental ke tanah, botol air pada jatuh, bahkan ada sandal yang terlepas.

Bu Rita teriak-teriak sambil ngos-ngosan:

“Ya Tuhan! Aku belum sempet bayar cicilan! Jangan matiin aku sekarang!”

Bu Enur malah rempong nyari tasnya yang kelempar:

“Eh tas aku, tas aku! Ada camilan di dalamnya! Awas, jangan diinjek!”

Bu Eka sambil ngedumel:

“Ih orang lagi lari dari setan, masih mikirin keripik!”

Jatuh Tersandung

Tiba-tiba Bu Ros teriak:

“Aaaakhhh!!!”

Dia tersandung akar pohon, jatuh berguling sampai hampir nyemplung ke jurang kecil. Untung Bu Senja sigap menarik tangannya.

Ros nangis kejer sambil gemetaran:

“Aku nggak kuat lagi… aku nyesel ikut! Aku mau p**ang! Aku mau ketemu anakku!”

Semua terdiam sebentar, suasana haru muncul di tengah ketakutan. Tapi suara langkah berat duk… duk… duk… makin mendekat.

Mereka buru-buru merapat ke balik batu besar. Nafas ngos-ngosan, wajah pucat semua.

Bu Utami lirih sambil gemetar:

“Ini ujian… kita harus sabar. Jangan ada yang bersuara…”

Semuanya terdiam. Hanya bunyi napas yang tersengal. Dari balik kabut, sosok tinggi itu muncul lagi.

Tinggi hampir dua kali manusia, kulit abu-abu pucat, rambut panjang kusut. Matanya merah menyala. Ia berdiri hanya sekitar 10 meter dari batu tempat ibu-ibu sembunyi.

Tiba-tiba sosok itu berhenti, kepalanya menoleh ke arah batu.
Seolah-olah ia tahu ada yang bersembunyi di sana.

Bu Sri bisik-bisik:

“Astaga, dia liat kita. Dia liat kitaaaa…”

Bu Astuti sok tahu tapi suara gemetar:

“B-bukan… mungkin dia cuma… e-eh… refleks aja nengoknya…”

Mendadak, sosok itu menghentakkan kakinya. Tanah bergetar, dedaunan jatuh, dan kabut makin pekat.

Semua ibu saling merapat, wajah pucat pasi.
Dan di tengah ketegangan itu, terdengar suara lirih, seperti perempuan berbisik…

“Kenapa kalian datang… hanya untuk pamer…?”

Ibu-ibu saling pandang, jantung nyaris copot.

IBU-IBU FACEBOOKERS NAIK GUNUNG (BAGIAN 9)Suasana DinginJam menunjukkan pukul 02:45 dini hari. Angin gunung menderu, men...
25/09/2025

IBU-IBU FACEBOOKERS NAIK GUNUNG (BAGIAN 9)

Suasana Dingin

Jam menunjukkan pukul 02:45 dini hari. Angin gunung menderu, menusuk tulang. Semua ibu-ibu kedinginan, bergelung dalam sleeping bag seadanya.

Namun, di tengah dingin itu… ada satu ibu yang mulai gelisah: Bu Putri.

Dia bangun pelan, wajah kosong, matanya setengah tertutup. Dengan langkah kaku, ia keluar tenda tanpa suara.

Ibu-Ibu Panik

Bu Ros, yang tidurnya paling ringan, kebetulan melihat Bu Putri keluar.

“Eh… Putri… mau ke mana?”

Tapi Bu Putri nggak jawab, terus berjalan ke arah hutan kecil di dekat pos.

Ros panik, langsung teriak lirih:

“Ibu-ibu, bangun! Si Putri keluar! Dia ngelindur kayaknya!”

Seketika tenda mendadak rame.
Bu Rita cerewet:

“Ya ampun, kan udah aku bilang jangan tidur deket pintu tenda, gampang kesurupan!”

Bu Enur rempong, langsung ribut nyari senter:

>“Mana senterku? Siapa yang ambil? Aku taruh di tas sebelah kompor, loh!”

Bu Eka emosian, langsung bentak:

“NYALAIN AJA HP, B*DOH! Jangan ribet!”

Mereka keluar ramai-ramai, senter menyapu kabut. Jauh di depan, sosok Bu Putri berjalan perlahan, menuju semak-semak. Dari belakang, ia seperti mengikuti bayangan putih yang melayang.

Bu Utami langsung gemetar sambil baca doa.
Bu Sri julit meski takut:

“Ya Allah, itu Putri apa Pocong sih jalannya loncat-loncat gitu…”

Bu Dwi malah sempat-sempatnya centil:

“Kalo pocong, semoga cakep deh…”

Bu Eka langsung nyeplak:

“DIAM KAU, DWI! Nggak ada pocong cakep!”

Mereka terus mendekat, sambil teriak lirih.

“Putriii… ayo balik! Jangan jauh-jauh!”

Tiba-tiba, Bu Putri berhenti tepat di bibir jurang kecil. Satu langkah lagi, ia bisa jatuh.

Semua ibu menahan napas.

Bu Senja, yang paling sigap, langsung lari dan menarik Bu Putri dari belakang. Mereka berdua jatuh berguling, tapi berhasil selamat.

Begitu tersadar, Bu Putri menatap semua dengan wajah bingung:

“Loh… kenapa aku di luar? Aku cuma mimpi diajak jalan sama… ibu-ibu berjilbab putih. Katanya ada arisan di puncak.”

Semua langsung merinding.

Bu Enur lirih:

“Ibu berjilbab putih… arisan di puncak… Astagfirullah, jangan-jangan…”

Mereka semua terdiam, menatap hutan yang masih berkabut.
Angin malam membawa bisikan samar, seperti tawa perempuan.

Malam itu, mereka sadar: pendakian ini bukan sekadar seru-seruan konten Facebook.
Ada yang sedang memperhatikan mereka.

Matahari akhirnya naik. Kabut menipis, suara burung terdengar samar dari hutan. Tapi suasana tenda… heboh luar biasa.

Bu Rita sudah mulai teriak-teriak:

“Ya ampun, siapa sih yang bikin kopi semalam tapi nggak diberesin? Sisa gulanya nempel semua di nesting! Aku jijik banget liatnya.”

Bu Sri julit sambil nyisir rambut:

“Pasti Enur. Gaya banget masak mie, eh akhirnya numpahin kopi. Bener-bener rempong deh.”

Bu Enur langsung ngedumel:

“Loh! Jangan nuduh aku d**g, aku tidur dari awal. Lagian yang masak kopi siapa? Senja kan?”

Bu Senja nyolot:

“Hei, jangan salahin aku. Aku masak mie doang. Kopi bukan kerjaanku, aku tim energi murni!”

Bu Eka sambil pasang wajah kesel:

“Halah, mulut kalian dari tadi bikin kuping panas. Mau naik gunung apa mau bikin sinetron?”

Mereka akhirnya sepakat masak sarapan. Menu: mie instan lagi + telur dadar seadanya.

Masalahnya, kompor mendadak mati-mati. Api nyala sebentar, lalu padam sendiri.

Bu Astuti sok tahu:

“Sebenernya kompor ini harus diputer ke kanan sedikit, baru apinya stabil. Aku pernah nonton YouTube—”

Tiba-tiba api menyala besar sendiri tanpa disentuh. Semua ibu langsung mundur teriak bareng.

Bu Ros mulai nangis:

“Ya Allah, itu pasti pertanda. Aku udah bilang semalem ada yang ikutin kita!”

Bu Utami buru-buru baca doa, tangan gemetar.

Setelah sarapan seadanya, mereka keluar tenda untuk beres-beres. Tapi Bu Dwi tiba-tiba teriak:

“Eh! Ini apa nih?!”

Semua nengok. Di tanah lembab dekat tenda, ada jejak kaki besar. Ukurannya hampir dua kali lipat kaki manusia normal, tapi bentuknya aneh — jari-jarinya panjang, dan arahnya mengelilingi tenda mereka.

Bu Sri langsung nyeletuk:

“Wah, ini sih bukan kaki porter, ini kaki monster.”

Bu Enur merinding:

“Astaga, jangan-jangan itu yang ketok tenda semalem…”

Di tengah panik, Bu Putri yang semalam ngelindur tiba-tiba bicara lirih:

“Tadi malam… aku mimpi lagi. Sosok ibu berjilbab putih itu bilang: ‘Kalau kalian cuma datang untuk pamer, p**anglah. Gunung ini bukan panggung.’”

Semua terdiam. Untuk pertama kalinya, wajah ibu-ibu yang biasanya heboh berubah serius. Mereka sadar, gunung bukan cuma tempat bikin konten. Ada batas yang harus dihormati.

Dengan hati campur aduk antara takut, kocak, dan sedikit menyesal, ibu-ibu mulai menata barang. Tapi di dalam hati masing-masing, muncul pertanyaan:

Apakah perjalanan ini masih akan berakhir dengan tawa, atau justru berubah jadi sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan?

IBU-IBU FACEBOOKERS NAIK GUNUNG (BAGIAN 8)Setelah ngos-ngosan, ribut, hampir nyasar, akhirnya rombongan ibu-ibu Facebook...
25/09/2025

IBU-IBU FACEBOOKERS NAIK GUNUNG (BAGIAN 8)

Setelah ngos-ngosan, ribut, hampir nyasar, akhirnya rombongan ibu-ibu Facebookers sampai di Pos 2. Ada lahan agak lapang, beberapa pendaki lain sudah duduk rapi sambil masak mie instan.

Begitu ibu-ibu datang, suasana langsung berubah kayak pasar malam.

Bu Enur teriak sambil rebahan di tanah:

“Ya Allah! Paha aku kayak abis digilas truk! Capek banget!”

Bu Rita sibuk foto-foto sambil live di Facebook.

“Halo pemirsaaa… kami sudah sampai di Pos 2! Lihat nih, ibu-ibu kuat juga d**g!”

Bu Sri nyeletuk julit sambil ngunyah keripik:

“Halo pemirsa, lihat juga ya… ada satu yang udah hampir pingsan.” (nunjuk Bu Enur)

Pendaki lain yang biasanya hening, sampai ketawa-ketawa ngeliat tingkah mereka.

Mereka berniat buka tenda untuk istirahat. Tapi ternyata… nggak ada yang bisa masang.

Bu Senja: “Ayo-ayo cepet pasang tenda.”
Bu Dwi: “Eh… aku kira Bu Senja yang bisa.”
Bu Astuti : “Bentar-bentar, aku pernah liat tutorial di YouTube. Jadi tiang ini harus… eh bentar, kok malah jadi miring?”

Tenda yang dipasang malah kayak sanggar lenong roboh.
Bu Eka langsung meledak:

“Astaga! Masa sepuluh orang nggak ada yang bisa masang tenda beneran?!”

Akhirnya porter turun tangan, pasang tenda dengan rapi cuma lima menit.
Bu Sri nyeletuk:

“Yaelah, dari tadi kalo tau gitu tinggal panggil aja, nggak usah gaya-gayaan.”

Saat semua sudah istirahat, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari balik semak. Semua ibu berhenti ngobrol.

Bu Ros merinding:

“Eh, denger nggak? Ada yang jalan-jalan.”

Mereka menunggu. Dari arah hutan, terdengar suara tawa pelan. Bukan tawa pendaki, tapi tawa serak, kayak suara orang tua.

Bu Utami langsung refleks baca doa kenceng.
Bu Astuti sok tahu lagi:

“Eh iya, katanya Pos 2 ini memang sering jadi tempat penampakan.”

Bu Eka ngegas:

“Bu Astuti, mulutmu itu ya! Bisa nggak sekali aja nggak bikin orang tambah takut?!”

Suasana mendadak hening. Bahkan pendaki lain yang tadinya santai mulai nengok ke arah semak, merasa ada sesuatu. Tapi anehnya, begitu didekati porter, suara itu hilang.

Bu Rita mencoba cairkan suasana, angkat HP dan selfie bareng semua.
Caption: “Pos 2, sempat diganggu tawa misterius. Tapi tetep kece!”

Mereka ketawa lagi, tapi jauh di dalam hati, masing-masing mulai menyimpan rasa was-was.

Karena gunung ini benar-benar terasa… tidak ramah.

Begitu malam tiba, suhu makin dingin. Para ibu masuk ke tenda, tapi masalah baru muncul: tenda mereka nggak cukup luas untuk sepuluh orang.

Bu Enur ribut duluan:

“Aku nggak mau di pinggir! Nanti kalo ada yang lewat nyolek gimana?”

Bu Sri nyeletuk julit:

Yaelah, siapa juga yang mau nyolek kamu, Nur. Yang ada malah nyolek mertua di mimpi.”

Bu Dwi sambil ketawa centil:

“Aku sih rela di pinggir, asal ada yang nemenin. Hehehe.”

Bu Eka langsung ngegas:

“Astaga, bisa nggak sih diem?! Aku udah kedinginan nih!”

Akhirnya mereka gelundungan, posisi tidur acak-acakan kayak ikan sarden.

Di luar tenda, Bu Senja masak mie pakai nesting. Begitu mie matang, semua ibu langsung rebutan.

Bu Rita “Eh jangan banyak-banyak! Itu buat rame-rame, bukan buat kamu sendiri, Nur!”

Bu Enur:

“Loh, aku cuma ambil dua sendok, kok dituduh mulu.”

Bu Astuti sok tahu:

“Sebenernya kalo lagi di gunung tuh, makan mie nggak bagus. Bisa bikin dehidrasi. Aku pernah baca di artikel—”

Bu Eka langsung meledak:

“TUTUP MULUTMU, STUT! Lagi enak-enak makan mie malah ceramah!”

Semua tenda geger ketawa, sampai pendaki lain di sebelah ikut nengok sambil geleng-geleng.

Tepat jam 11 malam, ketika sebagian sudah mulai ngantuk, tenda mereka digoyang dari luar.

Bu Ros langsung panik:

“Astaga, itu siapa?! Jangan bercanda, aku takut!”

Semua terdiam. Porter yang tidur agak jauh ternyata nggak bangun. Suara goyangan makin keras, kayak ada yang jalan muter-muter tenda.

Bu Utami spontan baca doa keras-keras.
Bu Sri bisik-bisik:

“Jangan-jangan… tadi tawa yang di semak itu… sekarang nyari kita.”

Bu Enur langsung nangis kecil.

“Ya Allah, aku nyesel ikut naik gunung. Kenapa nggak di rumah aja bikin arisan…”

Tiba-tiba… suara ketukan tiga kali dari luar tenda.
Tok… Tok… Tok…

Semua ibu langsung saling pegangan tangan.

Mereka tunggu dalam diam. Setelah beberapa menit, suara itu berhenti. Tapi anehnya, ketika Bu Senja nekat buka resleting tenda…

tidak ada siapa-siapa.
Tanah lapang di depan tenda kosong, hanya kabut tipis bergulung pelan.

Malam itu, tidak ada yang benar-benar bisa tidur nyenyak.
Gunung ini ternyata bukan hanya tempat wisata… tapi juga rumah bagi sesuatu yang lain.

IBU-IBU FACEBOOKERS NAIK GUNUNG (BAGIAN 7)Matahari mulai tinggi, tapi jalur sudah masuk ke hutan rapat. Udara lembap, ca...
25/09/2025

IBU-IBU FACEBOOKERS NAIK GUNUNG (BAGIAN 7)

Matahari mulai tinggi, tapi jalur sudah masuk ke hutan rapat. Udara lembap, cahaya matahari hanya sesekali menembus celah daun. Suasana hutan yang tenang langsung berubah riuh begitu ibu-ibu Facebookers lewat.

Drama Makanan

Bu Enur tiba-tiba berhenti, buka tas.

“Aduh lapar. Aku bawa lontong sayur, kita makan dulu yuk.”

Bu Senja melotot.

“Ya ampun, baru naik sejam udah makan lontong?! Ini bukan piknik, Bu!”

Bu Sri ketawa julit:

“Pantes tasnya berat, isinya warung keliling.”

Tapi begitu lontong keluar, semua ikutan nimbrung.
Bu Eka sambil ngunyah ngomel:

“Gila ya, ini lebih kayak arisan pindah lokasi daripada pendakian.”

Porter yang lihat cuma bisa geleng-geleng, sambil dalam hati mungkin mikir: “Ini rombongan paling ajaib yang pernah aku dampingi.”

Setelah perut kenyang, perjalanan dilanjutkan. Suasana hutan makin sepi. Tiba-tiba terdengar suara seperti anak kecil tertawa dari arah pepohonan.

Bu Ros langsung merinding, matanya melebar.

“Astaga! Dengar nggak? Ada anak kecil ketawa barusan!”

Bu Astuti sok tahu:

“Aku pernah baca, biasanya itu suara penunggu hutan. Katanya kalau kita jawab ketawanya, nanti kita disesatkan.”

Bu Eka langsung ngegas:

“Bu Astuti! Bisa nggak sih mulutmu direm?! Bikin parno aja!”

Bu Rita mencoba menertawakan.

“Ah paling juga itu pendaki lain lagi bercanda.”

Tapi anehnya, porter yang biasanya cuek tiba-tiba ikut nimbrung pelan.

“Biasanya di jalur ini… nggak ada anak kecil, Bu.”

Seketika suasana hening.

Di tengah keheningan mencekam, Bu Dwi malah berhenti, ngeluarin HP, dan selfie.

“Ibu-ibu, coba liat ekspresi tegang aku, bagus banget buat konten. Caption: ‘Ketawa hantu pun tak menghentikan langkah kita.’”

Bu Senja langsung nyeletuk:

“Ya Allah, lagi panik malah mikir caption!”

Bu Sri ketawa julit:

“Mungkin kalau kesurupan pun Bu Dwi masih sempet touch up dulu.”

Mereka ketawa lagi, ketegangan sedikit mencair. Tapi rasa aneh tetap menggantung di udara.

Perjalanan terus berlanjut, langkah demi langkah membawa mereka makin dalam ke perut hutan.

Tawa dan ribut khas ibu-ibu tetap terdengar, tapi di sela-sela itu ada desiran suara lain: ranting patah, bisikan samar, bahkan langkah kaki entah dari mana.

Sepuluh ibu-ibu itu belum sadar, bahwa jalur yang mereka pijak bukan jalur biasa.

Siang makin terik, tapi di dalam hutan justru semakin dingin dan lembap. Keringat mengucur, napas ngos-ngosan.

Bu Enur duduk di tanah sambil kipas-kipas

“Aduh, aku nyerah. Kaki kayak direbus. Mana paha udah gemeter.”

Bu Rita nyamber dengan gaya cerewetnya:

“Makanya semalem tidur jangan kebanyakan nonton drakor, Bu! Energi udah abis duluan!”

Bu Eka ikut meledak:

“Iya! Gara-gara Bu Enur minta mampir makan lontong tadi, jadwal kita molor setengah jam!”

Ribut lagi. Porter udah capek negur, cuma bisa ngelus dada.

Saat jalur mulai bercabang dua, mereka bingung. Ada papan kecil bertuliskan “Pos 2 →”, tapi agak miring ke arah lain.

Bu Astuti langsung sok tahu:

“Aku yakin jalurnya yang kiri. Aku pernah liat di postingan blog pendaki.”

Bu Sri nyeletuk julit:

>“Ih sok tahu banget. Tadi katanya baca blog tentang desa gaib, sekarang soal jalur. Kayak Google hidup aja.”

Akhirnya mereka sempat masuk ke jalur kiri… tapi ujung-ujungnya buntu.
Bu Eka ngamuk:

“Tuh kan! Sok tahu! Hampir aja kita kesasar beneran!”

Bu Astuti cengar-cengir malu, lalu jawab:

“Namanya juga usaha. Kalau nggak dicoba, nggak tahu.”

Semua teriak bareng:

“IH!!”

Saat mereka balik ke jalur benar, kabut tipis turun padahal baru jam dua siang. Suara hutan jadi aneh: sunyi, hanya sesekali terdengar desir angin.

Bu Ros tiba-tiba berhenti dan merinding.

“Eh… liat deh! Kenapa di antara pepohonan itu kayak ada bayangan orang berdiri?”

Mereka semua nengok. Benar saja, samar-samar tampak sosok tinggi dengan pakaian lusuh. Tidak bergerak, hanya menatap.

Bu Utami refleks baca doa keras-keras.
Bu Dwi malah buru-buru keluarkan HP, mau rekam.
Bu Senja menarik tasnya:

“Jangan rekam, nanti malah jadi bahan dia marah!”

Saat mereka sibuk panik, sosok itu menghilang begitu saja ke dalam kabut.

Semua terdiam. Untuk pertama kalinya, mereka benar-benar takut.
Bu Rita mencoba bercanda untuk cairkan suasana:

“Yah, paling juga pendaki lain. Cuma dia… nggak punya skincare.”

Semua ketawa kecil, tapi ketawa yang hambar. Karena jauh di dalam hati, mereka sadar: gunung ini benar-benar berbeda.

Di balik semua tawa, ada sesuatu yang sedang memperhatikan.

IBU-IBU FACEBOOKERS NAIK GUNUNG (BAGIAN 6)Begitu kaki melangkah meninggalkan basecamp, suasana langsung heboh. Pendaki l...
25/09/2025

IBU-IBU FACEBOOKERS NAIK GUNUNG (BAGIAN 6)

Begitu kaki melangkah meninggalkan basecamp, suasana langsung heboh. Pendaki lain yang biasa jalan dalam diam, tiba-tiba terganggu sama suara ibu-ibu Facebookers yang rame kayak rombongan arisan pindah lokasi.

Bu Enur ngos-ngosan padahal baru jalan 15 menit.

“Ya Allah, kenapa nanjaknya langsung curam gini sih? Aku kira kayak di CFD Jakarta, landai gitu!”

Bu Rita nggak berhenti ngomel.

“Eh iya, padahal di postingan Instagram jalurnya keliatan gampang. Jangan-jangan itu editan, filter wide angle biar keliatan rata.”

Bu Senja paling depan, jalan santai sambil nyanyi dangdut.

“Lho, naik gunung itu harus happy, jangan ngeluh! Ayooo semangat, kita squad viral!”

Di tengah jalan, tiba-tiba Bu Dwi berhenti.

“Aduh! Tas aku berat banget. Kayaknya tali bra keiket sama ransel deh.”

Bu Sri langsung ngakak julit:

“Astaga, siapa suruh isi tas kayak mau pindah rumah? Isi lipstik satu pouch penuh p**a.”

Bu Dwi ngambek, ngeluarin kaca kecil lalu poles lagi bibirnya.
Bu Eka nyeletuk ketus:

“Bu, ini naik gunung bukan photoshoot majalah!”

Ribut lagi. Sampai porter yang ikut mendampingi geleng-geleng kepala.

Saat mereka berhenti istirahat di batu besar, Bu Ros yang baperan tiba-tiba nunjuk ke hutan samping jalur.

“Eh… eh kalian liat nggak? Ada kayak kain putih melayang barusan.”

Semua nengok. Nggak ada apa-apa.
Bu Astuti langsung sok serius:

“Aku baca nih ya… biasanya kalau ada penampakan kayak gitu, tandanya kita lagi diperhatiin sama penunggu gunung.”

Bu Eka langsung ngegas:

“Astagaaaa, bisa nggak sih jangan bikin parno!”

Bu Sri nyeletuk sinis:

“Kayak kita artis aja diperhatiin. Ya kali jin doyan liat ibu-ibu ribut.”

Semua ngakak. Tapi dalam hati, sebagian memang merinding.

Di tengah lelah dan ribut itu, Bu Putri tiba-tiba berhenti, buka HP, liatin foto anaknya yang masih balita.
Ia senyum kecil, matanya berkaca-kaca.

Bu Utami nyamperin dan menepuk bahunya.

“Sabar, Bu. Anggap aja setiap langkah kita ini doa buat keluarga di rumah.”

Momen itu bikin semua hening sebentar.
Sampai akhirnya Bu Rita nyeletuk, ngilangin mellow:

“Iya, iya, tapi doa sambil jalan ya. Jangan bikin kita ketinggalan rombongan.”

Semua ketawa lagi.

Perjalanan masih panjang, tapi jalur awal saja sudah bikin mereka ngos-ngosan, ribut, ketawa, bahkan deg-degan.

Di balik semua keriuhan, hutan tampak makin rapat, dan kabut tipis mulai turun meski matahari masih pagi.
Seolah ada sesuatu yang mengikuti langkah rombongan ibu-ibu ini.

Address

Jalan Patra Raya Guji Baru
Jakarta
11510

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Cerita Horor Pendaki Gunung posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share

Category