12/03/2025
Santri Poligami: Ujian Kesabaran di Dunia Nyata
Di sebuah pesantren di desa konaha
hiduplah seorang santri bernama Mujib. Ia santri yang rajin, cerdas, dan terkenal fasih dalam ilmu fikih, terutama bab poligami. Setiap kali ada kajian tentang rumah tangga,
Mujib selalu mengangkat tangan dan berkata,
“Poligami itu sunah, asal bisa adil!”
Kiai da para santri lain sering tertawa mendengar semangatnya. Bahkan, teman-temannya menjulukinya “Syaikh Poligami” karena setiap argumennya pasti mengarah ke pernikahan lebih dari satu.
Mujib Menikah
Tahun berlalu, Mujib akhirnya menikah dengan seorang gadis bernama Siti. Para santri yang dulu sering mendengar ceramah poligaminya pun penasaran, apakah setelah menikah Mujib akan tetap berpegang pada prinsipnya?
Awalnya, rumah tangga Mujib berjalan harmonis. Hingga suatu hari, ia mulai mengeluarkan “fatwa” pribadinya di rumah.
“Istriku, kamu tahu nggak? Poligami itu ibadah, dan aku ingin mengamalkannya…”
Siti yang sedang menggoreng tempe menatap Mujib dengan pandangan penuh makna. Dengan tenang, ia berkata,
“Mas, kalau poligami itu ibadah, kenapa wajahmu langsung pucat waktu aku menatapmu?”
Mujib terdiam. Ia merasa ini cobaan pertama dalam perjalanan sunnahnya.
Izin Poligami: Ujian Berat
Meski sempat ragu, Mujib tetap berusaha meminta izin dengan lebih meyakinkan. Kali ini, ia mengajak istrinya makan di warung pecel lele untuk menciptakan suasana santai. Setelah makan, dengan suara lembut, ia berkata,
“Dik, aku ingin menikah lagi. Tenang, aku akan tetap adil!”
Siti tersenyum.
“Mas yakin bisa adil?”
“Tentu! Aku sudah belajar dari kitab kuning!” kata Mujib penuh percaya diri.
Siti mengambil piring bekas makan Mujib, lalu menaruhnya di kepalanya sendiri sambil berkata,
“Kalau gitu, coba deh mulai dari yang ringan dulu. Pegang piring ini di kepalamu selama satu jam tanpa jatuh. Kalau bisa, baru kita lanjut bicara soal adil dalam poligami.”
Mujib terdiam. Pikirannya mulai kacau.
“Lha, pegang piring aja susah, apalagi pegang dua hati?” gumamnya dalam hati.
Sejak saat itu, setiap kali ada santri baru yang bertanya soal poligami, Mujib hanya tersenyum dan berkata,
“Belajarlah fikih, tapi jangan lupa… belajar sabar juga!”
Dan begitulah, Mujib tetap menjadi santri yang cerdas, tapi kini lebih bijaksana dalam membahas bab poligami.