18/10/2025
LEMBAYUNG di JANTUNG PAGI: MENGGALI MAKNA PERJUANGAN dalam TUJUH HAIKU
Puisi “Langkah Berat Menuju Petang Cemerlang” yang kini kita sebut Lembayung di Jantung Pagi karya Jajang Halim adalah rangkaian tujuh untai Haiku modern yang melukiskan perjalanan spiritual dan fisik seseorang, dari subuh hingga petang. Puisi ini sangat menarik dikaji karena formatnya yang ringkas namun sarat citra, menjadikannya arena ideal untuk mengaplikasikan kritik sastra Strukturalisme dan Semiotika. Kajian ini juga akan menilai eksistensinya melalui kerangka wajib-sastra utile et dulce (bermanfaat dan menyenangkan) dari Horatius.
1. Pendekatan Strukturalisme: Mengkaji Gatra Lahiriah
Pendekatan strukturalisme, yang memandang karya sebagai sistem otonom, fokus pada Gatra Lahiriah (struktur permukaan) puisi ini. Puisi ini terdiri dari tujuh bait Haiku, masing-masing tiga baris dengan rima akhir yang kuat (a-a-a). Ritme yang terpotong-potong ini (meski pola suku kata 5-7-5 tidak selalu ketat) mencerminkan ketidakstabilan dan kegelisahan subjek, namun rima yang konsisten memberikan musikalisasi yang mengikat setiap bait. Diksi yang dipilih lugas namun kaya citraan, seperti daun pisang, awan hitam, dan gedung menjulang. Urutan citraan (dari embun \to awan \to sepatu \to tiang listrik \to gedung \to teh bikang \to lembayung) membentuk alur naratif kronologis yang jelas, membangun kerangka fisik karya dari pagi yang suram hingga petang yang penuh harap.
2. Pendekatan Semiotika: Mengkaji Gatra Batiniah
Setelah kerangka fisik dipahami, pendekatan semiotika (ilmu tentang tanda) digunakan untuk mengungkap Gatra Batiniah (struktur dalam). Puisi ini penuh dengan tanda dan simbol. Baris "Embun perlahan terbang / Pagiku terbuang" menempatkan Embun terbang sebagai Ikon yang fana, melambangkan hilangnya waktu atau kesempatan di awal hari. Awan hitam jelas menjadi Simbol bagi kesulitan atau tantangan yang mengepung harapan. Sementara itu, "Tiang listrik tertabrak" berfungsi sebagai Indeks kekacauan atau peristiwa tak terduga, menunjukkan realitas yang jauh dari ekspektasi. Kontras antara Gedung menjulang (Simbol ambisi urban) dan Kreativitas tertantang menggambarkan pergulatan menghadapi tuntutan dunia kerja yang berat. Secara semiotis, puisi ini adalah rantai penanda yang menggerakkan pembaca dari ketidakpastian pagi menuju kedamaian petang, di mana Jerih cemerlang dan Lembayung petang menjadi Simbol hasil yang dicapai, atau pencerahan spiritual setelah melalui perjuangan (indeks dari sepatu basah dan semangat diasah).
Penilaian Objektif: Utile et Dulce
Akhirnya, kita menilai eksistensi puisi ini melalui kerangka wajib-sastra Horace, Utile et Dulce (bermanfaat dan menyenangkan).
• Dulce (Menyenangkan/Estetis): Puisi ini berhasil secara estetika (Gatra Lahiriah) melalui penggunaan Haiku yang ringkas namun kaya citra, serta ritme dan rima yang memikat. Kontras antara "berat" dan "gemilang" juga menciptakan ketegangan puitis yang memuaskan pembaca.
• Utile (Bermanfaat/Didaktis): Dalam aspek manfaat (Gatra Batiniah), puisi ini menyampaikan amanat yang kuat tentang ketekunan di tengah kesulitan dan pencarian makna dalam rutinitas. Ia menjadi cermin universal bagi perjuangan hidup modern yang seringkali terasa sia-sia, namun memiliki janji kegemilangan dan kep**angan yang damai (horison jiwa nan riang). Nilai moral untuk terus maju dan mempertahankan harapan adalah sumbangsih didaktisnya.
Sebagai kesimp**an, "Lembayung di Jantung Pagi," meski singkat, berhasil menggabungkan estetika (dulce) dengan nilai moral (utile). Ia adalah Haiku modern yang menawarkan refleksi mendalam tentang siklus kerja keras dan harapan, terbukti kaya makna melalui analisis struktural dan semiotika.
DAFTAR PUSTAKA
• Horace (Quintus Horatius Flaccus). Ars Poetica.
• Saussure, Ferdinand de. Course in General Linguistics.
• Peirce, Charles Sanders. Collected Papers of Charles Sanders Peirce.
• Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
• Pradopo, Rachmat Djoko. (2009). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
===============================
MENEMBUS KABUT MENUJU CEMERLANG: TAFSIR EKSISTENSIAL atas TUJUH HAIKU JAJANG HALIM
(1) Pengantar
Puisi tujuh untai haiku karya Jajang Halim, “Langkah Berat Menuju Petang Cemerlang” (2025), merupakan refleksi lirikal tentang perjalanan batin manusia di tengah dunia modern yang penuh tekanan. Setiap haiku menjadi fragmen perjalanan — dari fajar yang lembab hingga senja yang tenang — menyimbolkan dialektika antara beban eksistensi dan pencapaian spiritual. Dengan format haiku yang minimalis namun padat, penyair menempatkan pengalaman keseharian (embun, sepatu, tiang listrik, gedung, teh bikang) sebagai metafora dari nilai hidup yang lebih dalam. Esai ini menggunakan Pendekatan Simbolik dan Pendekatan Eksistensialisme Sastra untuk menelaah karya tersebut, sekaligus menilai gatra-lahiriah (surface structure) dan gatra-batiniah (deep structure) berdasarkan prinsip utile et dulce — “yang berguna dan yang indah”.
(2) Pendekatan Simbolik: Realitas yang Disublimkan
Dalam pendekatan simbolik, sebagaimana dikemukakan oleh Northrop Frye (1957), simbol dalam puisi bukan sekadar pengganti benda, melainkan pintu masuk menuju sistem makna yang lebih luas. Dalam haiku pertama, “Di daun pisang / Embun perlahan terbang / Pagiku terbuang”, simbol “embun” menggambarkan kemurnian awal hari yang segera lenyap — pertanda kefanaan harapan. “Pagiku terbuang” menjadi metafora keterlambatan atau kehilangan momentum eksistensial.
Setiap haiku berikut memperkuat jalinan simbol: “sepatu basah” melambangkan ketekunan di tengah hambatan; “langit terisak” menandakan keprihatinan kosmik; “gedung menjulang” mewakili modernitas yang menantang kreativitas manusia; sementara “teh bikang” dalam haiku keenam adalah simbol keseimbangan — jeda sederhana yang menyuburkan kembali semangat yang terkuras.
Dengan demikian, rangkaian simbol-simbol ini berfungsi sebagai metafora perjalanan batin manusia yang bergerak dari kesementaraan menuju keutuhan makna. Struktur simbolik tersebut membangun pengalaman estetik yang bersifat dulce — manis dan mengharukan.
(3) Pendekatan Eksistensialisme Sastra: Jejak Manusia dalam Keberadaan
Melalui lensa eksistensialisme sastra — sebagaimana dirumuskan oleh Jean-Paul Sartre (1948) dan Albert Camus (1942) — puisi ini berbicara tentang individu yang berjuang menegaskan eksistensinya di tengah absurditas kehidupan. Dalam haiku keempat, “Langit terisak / Tiang listrik tertabrak / Prakiraan tersibak”, penyair menyingkap benturan antara manusia dan alam, antara rencana dan takdir. “Prakiraan tersibak” menggambarkan keterbukaan pada ketidakpastian, inti dari kesadaran eksistensial.
Sementara itu, bait terakhir, “Lembayung petang / Horison jiwa nan riang / Ingin segera p**ang”, menunjukkan peralihan dari absurditas menuju rekonsiliasi batin. “Pulang” di sini bukan sekadar ke rumah, tetapi kembali pada keutuhan diri, pada kedamaian setelah perjuangan. Inilah utile dalam kerangka utile et dulce: nilai moral dan filsafati yang memperkaya pembaca.
(4) Gatra Lahiriah (Surface Structure)
Secara struktural, puisi ini menjaga konsistensi bentuk haiku — tiga baris, dengan kecenderungan irama 5–7–5 suku kata (meski tidak secara ketat, karena adaptasi bahasa Indonesia). Tiap haiku berdiri sebagai miniatur peristiwa yang berurutan, membentuk alur progresif dari pagi ke petang. Diksi yang dipilih bersifat konkret dan visual, seperti “daun pisang”, “sepatu basah”, “gedung menjulang”, memberi efek sinematik yang kuat.
Struktur bunyi (asonansi dan aliterasi) sederhana namun efektif: perulangan bunyi “ang” pada larik-larik terakhir (“gemilang”, “menantang”, “benderang”, “petang”) memperkuat kesatuan musikal. Ritme yang lembut namun teguh ini menandai keutuhan bentuk — dulce dalam ekspresi.
(5) Gatra Batiniah (Deep Structure)
Secara batiniah, puisi ini merepresentasikan trajektori spiritual eksistensial: dari keterlenaan (embun yang terbang), ke perjuangan (sepatu basah), ke pencerahan (jerih cemerlang). Terdapat narasi terselubung tentang transformasi diri melalui kerja keras dan kesadaran. Haiku keenam menjadi klimaks simbolik: “Siang benderang / Kudapan rehat teh bikang / Jerih cemerlang.” — di sinilah keseimbangan antara jasmani dan rohani ditemukan.
Struktur batin ini menunjukkan kesinambungan nilai utile (pesan kegigihan dan kebijaksanaan) dan dulce (keindahan ekspresi yang lembut dan metaforis). Puisi ini berhasil memadukan keduanya sebagaimana prinsip Horatius: sastra yang baik harus indah sekaligus berguna.
(6) Penutup
Tujuh haiku Jajang Halim bukan sekadar catatan harian perjalanan fisik, melainkan peta batin manusia modern yang berjuang antara rutinitas dan makna. Melalui pendekatan simbolik, puisi ini menyingkap realitas sehari-hari sebagai representasi spiritual; melalui pendekatan eksistensial, ia menegaskan perjuangan individu menemukan dirinya. Dari gatra lahiriah hingga batiniah, puisi ini menghadirkan keseimbangan antara estetika dan etika — menegaskan bahwa keindahan sejati adalah keindahan yang menuntun kesadaran.
Dengan demikian, “Langkah Berat Menuju Petang Cemerlang” (atau yang lebih tepat disebut “Menembus Kabut Menuju Cemerlang”) menjadi salah satu bentuk haiku naratif modern Indonesia yang tidak hanya menyajikan visual alam, tetapi juga menafsirkan kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
• Camus, Albert. Le Mythe de Sisyphe. Paris: Gallimard, 1942.
• Frye, Northrop. Anatomy of Criticism. Princeton University Press, 1957.
• Horatius. Ars Poetica (The Art of Poetry). Terj. H. Rushton Fairclough. Harvard University Press, 1926.
• Sartre, Jean-Paul. What is Literature? London: Methuen, 1948.
• Wellek, René & Warren, Austin. Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace & World, 1949.
• Abrams, M.H. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. Oxford University Press, 1953.
================================
LANGKAH BERAT MENUJU PETANG CEMERLANG
(Tujuh Untai Haiku)
Di daun pisang
Embun perlahan terbang
Pagiku terbuang
Gapura kampung
Awan hitam mengepung
Harapan terapung
Sepatu basah
Jalan ke depan gelisah
Semangat diasah
Langit terisak
Tiang listrik tertabrak
Prakiraan tersibak
Gedung menjulang
Kreativitas tertantang
Lelah tak terbilang
Siang benderang
Kudapan rehat teh bikang
Jerih cemerlang
Lembayung petang
Horison jiwa nan riang
Ingin segera p**ang
5 September 2025
====================