Livy dovey

Livy dovey hallo suport terus ya

"Aku ingin kau merestuiku untuk menikahi Milla," ucapku mengutarakan hadiah yang kuinginkan dari Diana sebagai hadiah pe...
17/06/2025

"Aku ingin kau merestuiku untuk menikahi Milla," ucapku mengutarakan hadiah yang kuinginkan dari Diana sebagai hadiah pernikahan. Tapi istriku malah diam dan senyumannya perlahan menghilang.

**

Besok adalah hari pernikahanku dengan Milla. Tapi hari ini aku masih masuk bekerja. Setelah berbohong pada Diana beberapa hari lalu, pikiranku tidak bisa tenang. Apalagi ketika melihat Diana dan anak-anak ketika di restoran, sangat dekat dengan lelaki itu.

Bagaimana tidak, dia lelaki yang sudah lama menyendiri. Bisa saja dia menaruh hati pada Diana dan mendekat lewat anak-anak.

Ahhh, aku mengacak rambut frust4si.

"Bagaimana kejutan untuk Faiznya, sukses?" Dokter Alena memasuki ruanganku.

"Itu, em, itu..." Aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Bahkan aku melupakan untuk memberikan hadiah padanya. Padahal kemarin aku membelikan Radit, Sifa, dan Azka mainan baru juga mahal.

Bagaimana aku bisa melupakan Faiz.

"Kenapa? Apa ada masalah?" Dokter Alena menatapku lekat.

"Em, tidak ada," ucapku mengelak.

"Lancar sekali, ya, kau bilang tidak ada," sahut Dion yang tiba-tiba datang ke ruanganku. Darimana dia mendengar percakapanku dengan dokter Alena?

"Apa maksudnya, Dok?" Dokter Alena mengarahkan sorot matanya pada Dion.

"Tanya saja pada laki-laki yang ada di hadapanmu, Al," jawab Dion cuek.

Dia memang pembuat masalah. Sudah cukup kemarin dia muncul sebagai pahlawan kesiangan. Sekarang aku tidak akan membuatnya semakin menjadi.

"Cukup, Dion. Aku sudah muak mendengar omong kosongmu!" ucapku dengan sengaja menaikan nada suara.

"Selesaikan masalah di antara kalian. Aku di sini tidak mengajak bertengk4r. Faham?" dokter Alena memilih pergi meninggalkan ruanganku.

"Puas kau!" Aku menatap Dion dengan tatapan taj4m. Berharap dia tahu diri dan keluar dari ruanganku. Tapi tidak disangka, dia malah menghempaskan tubuhnya di sofa.

"Apa-apaan, kau?" Aku benar-benar sangat pusing. Tidak tahu lagi bagaimana cara menjelaskan kepada makhluk yang satu ini.

"Kau yang apa-apaan. Sepertinya otakmu perlu diperiksa," ucapnya mendengus kesal.

"Otakmu yang harusnya diperiksa!" ucapku setengah berteriak.

"Bisa-bisanya kau mendekati anak-anakku untuk melancarkan aksi bvsukmu," lanjutku emosi.

"Kau bisa mengataiku, tapi kau tidak bisa menilai dirimu sendiri? Heh, kali ini aku benar-benar ragu kalau kau seorang dokter," ujarnya mencibir sambil menatap seragam kerjaku dengan tatapan hin4.

”Apa kau punya bukti?" tantangku tidak kalah sengit.

"Tentu saja aku punya. Aku jamin, setelah kejadian kemarin Fahri dan Faiz tidak akan pernah mempedulikanmu lagi," ucapnya mengutukku. Bisa-bisanya dia mengatakan hal ini.

”Itu tidak mungkin. Mereka anak-anakku."

”Anak? Kau bilang anak? Dimana kau saat mereka yang kau panggil anak dihin4 banyak orang? Bahkan kau tetap menolak untuk menyekolahkan Fahri, padahal kau malah mendaftarkan anak orang lain ke sekolah." Dion menatapku sengit dan penuh kebencian.

Aku tidak berani menyangkal kata-kata, karena itu memang benar. Kupikir belum saatnya untuk Fahri ke sekolah. Lagip**a dia anak yang cerdas. Berbeda dengan Sifa, dia kurang perhatian dan kecerdasannya pun di bawah Faiz.

"Lantas dimana kau ketika anak yang kau sebut anak menginginkan kejutan ulang tahunnya? Kau bilang dirimu sibuk, kan? Penipv. Padahal sedang makan dengan anak-anak orang lain. Tepat dihadapan istri dan anak-anak kandungmu." lanjutnya berapi-api.

Mendengar perkataannya membuatku tertunduk. Aku memang banyak melakukan kesalahan, tapi anak-anak Milla memang sangat membutuhkan perhatian. Berbeda dengan Fahri dan Faiz.

"Aku akan membelikan Faiz mainan," lirihku pelan.

"Akan? Tandanya kau belum membelikan apapun. Padahal ulang tahunnya sudah terlewat dua hari." Dion mendengus kesal.

Ya, ini memang kesalahanku. Tapi tetap saja tidak sepenuhnya.

"Aku lupa."

"Lupa kau bilang? Bahkan kau tidak lupa untuk membelikan anak-anak itu hadiah tepat dihari ulang tahun anakmu?" Dion kembali menatapku taj4m.

"Burhan. Aku benar-benar kasihan kepada Fahri dan Faiz karena mempunyai ayah sepertimu. Sebelum terlambat, segeralah perbaiki semuanya. Aku tidak ingin anak-anakmu sama sepertiku. Membenci ayahku sendiri karena dia lebih mementingkan anak orang lain daripada aku dan adik-adikku.

Melihatnya meringkuk di j3ruji besi saja tidak menghadirkan rasa iba pada diriku, yang ada aku malah semakin membencinya. Dulu dia lebih memilih membahagiakan anak orang lain dan melupakan anak kandungnya. Padahal ketika dia sakit dan jatuh m!skin, mereka semua lari. Tetap hanya anak kandung yang peduli. Tapi papaku sudah mengh4ncurkan rasa kepedulian itu. Hingga aku dan adik-adikku sama sekali tidak ada rasa kasihan," lanjutnya lebih tenang.

Setelah berbicara panjang lebar, dia langsung keluar dari ruanganku.

Hatiku kini menjadi dilema. Jika pernikahanku akan berdampak pada anak-anakku, bagaimana dengan anak-anaknya Milla, bukankah mereka juga butuh sosok ayah?!

**
Baca selengkapnya cerita ini di KBM APP. L!nk baca ada di kolom komentar.

Judul : Hadiah Pernikahan Pembawa Pet4ka
Penulis : UCU NURHAMI PUTRI
Akun kbmapp: Ucu_Dwi26

Hari itu akhirnya tiba. Zhain mengirim lokasi pertemuan. Mama, Papa, dan Kak Alina mengenakan pakaian seadanya. “Ngapain...
17/06/2025

Hari itu akhirnya tiba. Zhain mengirim lokasi pertemuan. Mama, Papa, dan Kak Alina mengenakan pakaian seadanya.

“Ngapain kita dandan bagus-bagus,” kata Mama. “Cuma ketemu orang tua ojek online.”

Penghinaan itu entah kapan akan selesai. Aku kuatkan hati. Tak mau berdebat lagi. Biarlah, jika memang ini akhir dari segalanya, aku pasrah. Bukan menyerah, tapi mungkin begini cara supaya Zhain gak terus-terusan dihina.

Mungkin sudah saatnya bagiku untuk mulai memikirkan karir yang belum sempat tumbuh. Setelah tamat kuliah di kampus negeri ternama, aku memang belum dapat kerja.

Aku akan cari cara untuk bertahan. Tapi satu hal yang pasti, aku tak akan pernah mau menikah dengan Rino, anak atasan Papa yang sombong dan arogan itu.

“Bismillah,” doaku sebelum melangkah keluar rumah.

Sejam kemudian, kami sampai di depan gerbang besar berwarna hitam dengan plat emas menyilaukan. Seorang satpam menghampiri mobil dan bertanya ramah.

“Atas nama?”

“Shazia...” jawabku ragu.

Dia tersenyum sopan. “Silakan masuk. Tuan Zhain sudah menunggu.”

“Tuan Zhain?” Kudengar suara Kak Alina bergumam.

Mama dan papa mulai terlihat gelisah. Tapi tak bersuara.

Mobil perlahan melaju melewati gerbang. Seketika aku tertegun. Di hadapan kami terhampar sebuah kawasan yang tak pernah kubayangkan.

Halaman luas dengan taman rapi, air mancur di tengah bundaran jalan, dan rumah kaca mirip istana Eropa.

Papa mendadak terdiam. Mama menahan napas. Kak Alina tak sanggup berkata-kata.

Aku menggenggam rokku erat-erat. Satu pikiran menancap di kepala.

"Siapa Zhain sebenarnya?"
____

Begitu turun dari mobil, kekalutanku bertambah besar. Kami seolah sedang memasuki dunia lain.

Kaki kami menapak di lantai marmer putih bersih yang memantulkan cahaya matahari dari atap kaca tinggi menjulang.

Ruangan itu sunyi. Tapi mewahnya menciptakan tekanan yang menyesakkan dada.

"Ini… tempat apa?” bisik Kak Alin pelan. Suaranya nyaris tak terdengar. Kali ini tak ada tawa, tak ada cemooh.

Aku tak menjawab. Jantungku berdetak kencang. Bukan karena megahnya tempat ini. Tapi karena firasat di dada semakin kuat. 'Aku sedang dijebak masuk ke perang yang tak kukenal.'

Papa melangkah paling depan, tapi aku bisa melihat tangannya sedikit gemetar. Mama menempel di belakangnya. Matanya sibuk menyapu setiap sudut. Chandelier kristal, lukisan klasik, bahkan pelayan berseragam hitam putih yang berdiri kaku di sisi lorong.

Pintu kayu besar di hadapan kami perlahan terbuka. Seorang pria paruh baya duduk di tengah ruangan. Angkuh dan mengintimidasi. Di sisinya, seorang wanita elegan mengenakan gaun putih berpotongan tegas, dan mengenakan perhiasan yang tak perlu bersinar terang untuk membuktikan mahalnya.

Aku menunduk sedikit, membisikkan nama mereka dalam hati.

'Tidak. Ini... tidak mungkin.'

Tapi tak bisa disangkal. Aku pernah lihat wajah mereka di televisi, di koran bisnis, di Forbes. Mereka adalah... Pak dan Bu Fattah Mahardika, pemilik kerajaan bisnis raksasa di negeri ini.

Nama yang terlalu tinggi untuk sekadar dipertemukan dengan keluarga sepertiku.

"Silakan duduk," ucap Pak Fattah datar, tapi tajam. Nada suaranya membuat Papa spontan menunduk. Mama menarik lengan bajuku pelan, seperti minta kepastian bahwa ini bukan mimpi buruk.

Kami duduk.

Di seberang meja bundar besar itu, aku baru sadar. Zhain tak ada di ruangan.

Yang ada hanyalah orang tuanya, dan seorang wanita muda yang duduk anggun di samping Bu Fattah. Ia tersenyum kecil ke arahku, senyum yang lebih dingin dari es.

Seketika aku terperanjat.

Kirana.

“Kami ingin berterima kasih sudah datang,” kata Bu Fattah. “Kami sangat menghargai keluarga… bahkan yang sederhana seperti kalian.”

Aku menegang. Mama memalingkan pandangan, Kak Alin menelan ludah.

Pak Fattah menambahkan. “Kami tahu anak kami pernah menjalin... semacam hubungan dengan putri Anda. Kami minta maaf atas ketidaknyamanan yang mungkin terjadi. Sebagai bentuk itikad baik, kami ingin menyampaikan dengan hormat... bahwa perkenalan ini bukan untuk menyatukan, tapi untuk mengakhiri.”

Hatiku mencelos. Papa terdiam, tapi tangannya mengepal di pangkuan.

“Kami yakin, sebagai orang tua, kalian mengerti pentingnya menjaga kehormatan keluarga. Dan... memilih pasangan yang setara, tentu bagian dari itu,” lanjut Bu Fattah. “Ini Kirana. Wanita yang akan bertunangan dengan Zhain dalam waktu dekat.”

Kirana tersenyum kecil. “Senang akhirnya bisa bertemu kalian.”

Aku merasa seperti ditampar. Tapi bukan aku saja yang tercekat. Untuk pertama kalinya, aku melihat wajah papa pucat. Mama tampak kehilangan kata. Kak Alin... menunduk, tak berani menatap siapa pun.

Aku menggigit bibir. “Zhain tahu soal ini?” lirihku nyaris tak terdengar.

Bu Fattah mengangkat alis. “Kami tidak biasa minta izin pada anak untuk keputusan besar seperti ini. Kami mendidik anak kami dengan disiplin. Bukan perasaan.”

Di titik itu, semua kesombongan keluarga kecilku hancur berantakan.

Tak ada yang bicara. Hening menggantung di udara. Kemenangan elegan telah diumumkan. Kekalahan kami dibuat rapi, indah, dan menyakitkan.

Tapi sebelum kami sempat berdiri, terdengar suara pintu terbuka dari belakang. Langkah kaki terdengar menghentak lantai, berikut suara yang sangat kukenal.

Zhain berdiri di ambang pintu, menatap langsung ke orang tuanya.

“Jadi... ini yang kalian rancang di belakangku?”

Bersambung....

Judul : Rahasia di Balik Jaket Ojol
Penulis : Randu Thor
Aplikasi : KBM App

Cerita ini bisa dibaca selengkapnya hanya di KBM App.

17/06/2025

Jadi siapa nih yang salah Livy Dovey relawangemoy fyp foryou trending anhong

16/06/2025

Minta maaf sama dia cikilan Livy Dovey myeverywin mrdanielwille Sellalaland

"Bu! Ibuuuuuu! Lihat itu, siapa yang beli pasir semobil gede!" seru Lala saat mobil truk membawa pasir masuk ke halaman ...
16/06/2025

"Bu! Ibuuuuuu! Lihat itu, siapa yang beli pasir semobil gede!" seru Lala saat mobil truk membawa pasir masuk ke halaman rumahnya. "Lahh, ada lagi, Bu! Mobil satunya bawa batu-bata. Wah, apa jangan-jangan Mbak Ratna mau bikinin kamar untuk aku ya, Bu?"

"Mana ih, jangan ngaco kamu, La." Bu Nini berjalan ke luar sambil mengucek matanya, sebab pagi jam 10 ini, ia baru saja bangun dari tidur nyenyaknya.

"Itu lho, Bu. Dua mobil truk parkir di halaman kita."

"Lah, iyaa yaa. Siapa yang beli matrial?"

"Paling juga mbak Ratna, Bu. Emang siapa lagi yang pandai cari u ? Masa iya Mas Rusdi? Sedangkan kerjaan dia aja cuma ongkang-ongkang kaki."

"Kakakmu manaa?"

"Ntah."

"Mbakmu Ratna?"

"Kan dia lagi ikut pelatihan ke kota."

"Lah terus??" Bu Nini bingung, sebab para sopir dan temannya itu mulai membongkar batu-bata serta pasir tepat di depan halaman rumahnya. Ah tidak, lebih tepatnya, halaman rumah menantunya.

"Coba ibu kesana, tanya, siapa yang suruh mereka kirim matrial ini ke rumah kita?" perintah Lala.

Wanita tua itu gengsi untuk bertanya, sebab dirinya tengah merasa sombong di hadapan para tetangga yang dari jauh diam-diam asyik mengintip.

"Biarin aja lah, paling juga Ratna yang beli untuk besarin rumah ini lagi. Biar nggak sumpek banget. Lagian, papan-papan ini sudah pada reot. Nggak layak huni. Baguslah kalau dia sadar dan mau memperbaiki rumah ini. Yang penting, kita ada tempat tinggal, gratis p**a."

"Bener, Bu. Daripada tinggal di rumah bang Romli, bininya cerewet banget, pelit p**a."

"Udah diem, nggak usah ngoceh mulu. Lihat itu, mobil siapa yang datang?"

Benar saja, mobil innova itu berhenti tepat di sebelah mobil truk yang tadi memuat pasir. Sepasang pasangan senja keluar dari mobil itu dan langsung menghampiri para pekerja yang sedang menurunkan pasir dari mobil truk.

"Bu, itu Bu Hajjah ngapain ke sini? Tumben-tumbenan."

"Nggak tau tuh. Mau beli gorengan si Ratna kali."

"Tapi 'kan Mbak Ratna lagi ke kota."

"Eh, tapi ... tunggu dulu. Itu mereka kok kayak ngatur-ngatur, Laa?"

Bu Nini dan Lala masih berdiri tegas di depan teras, menunggu pasangan senja itu menghampiri mereka.

"Nah, Jang. Rumah ini nanti langsung di bongkar abis. Pohon itu di tumbang, dan parit ini di dalemin lagi, biar nggak banjir kalo hujan deres," ujar Pak Haji Tejo.

"Lho apa-apa'an ini, Pak! Kalian mau ngapain di rumah saya!"

"Maaf, Ibu Nini. Rumah dan tanah ini sekarang milik saya. Menantu Ibu yang sudah menjualnya pada saya, kemarin sore," ujar Pak Haji Tejo.

"Apa!" Matanya terbelalak tak percaya. "Ra-Ratnaaaa, menantu kurang ajar kamu! Tunggu pembalasanku!"

"Apa yang mau Ibu balas? Seharusnya Ibu bersyukur selama bertahun-tahun menantu Ibu mau menampung Ibu dan anak-anak Ibu di rumah warisan orang tuanya," timpal Bu Hajjah yang merasa geram dengan sikap angkuh Bu Nini.

🌻🌻🌻

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App
Judul : Hukuman Untuk Keluarga Suami
Penulis : Perarenita

Link baca https://read.kbm.id/book/detail/7162d108-e43e-4fff-84ce-49fd511c34ff?af=02c8ba89-45ba-42e5-99c0-0fc0345b899c

Aku sengaja menonaktifkan ponsel, agar istriku tidak menggangguku setelah pertenqkaran kami. Aku yakin dia akan menyuruh...
15/06/2025

Aku sengaja menonaktifkan ponsel, agar istriku tidak menggangguku setelah pertenqkaran kami. Aku yakin dia akan menyuruh pihak rumah sakit menghubungiku. Namun, setelah aku kembali mengaktifkan ponsel, tidak ada apapun, bahkan pesan darinya pun tak ada. Saat kuhubungi nomornya, tidak aktif, ternyata istriku ….

***

Pria tampan berpakaian parlente baru saja memasuki ruang rawat inap di mana Vania berada.

Pria itu memandang Vania dengan sendu, hatinya begitu sakit melihat adiknya terbarinq lmah di atas brankar.

Pria itu adalah Arvin Keanu Ismawan kakak kandung Vania Angelista Ismawan.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Vania?" gumam pria itu.

Arvin tak pernah menyangka jika adik satu-satunya akan mengalami hal tragls seperti ini. Sedikit banyak dia telah mendapat informasi dari perawat mengenai kejadian yang dialami oleh adiknya.

"Sudah ku katakan, pria itu tak sebaik yang kamu lihat, masa lalunya sangat buruk. Tapi, kamu masih nekat menikah dengannya."

Perlahan Vania mulai membuka matanya, dia menatap sosok yang tak berhenti menatapnya. Arvin telah mengubah sorot mata dan juga ekspresinya menjadi lebih dingin.

"Ab-ang" Suara Vania sangat lemah.

"Jadi untuk ini kamu menghubungiku? Kamu baru mengingatku saat kamu sudah seperti ini?" sindir Arvin.

Vania sudah tak kuat menahan semua yang dia rasakan, akhirnya tangisnya pun pecah. Arvin masih tetap tegar berdiri di posisinya membiarkan adiknya menumpahkan segala rasa di hatinya.

"Berhentilah menangis. Untuk apa kamu menangisi pria seperti itu, tak ada gunanya!" ucap Arvin datar.

Arvin perlahan mendekati brankar, Vania mengulurkan kedua tangannya, pria itu membalas lalu memluk adiknya, walau plukan itu tak sempurna karena posisi Vania yang terbarinq.

"Kamu wanita kuat Vania, ingat siapa kamu, Vania Ismawan. Kamu harus segera pulih dan sehat. Ok!" bisik Arvin.

Vania mengangguk dalam tangisnya.

Gala masih berperang dengan batinnya, memutuskan untuk segera berangkat ke kantor.

Konsentrasi Gala buyar, dia tak dapat mengerjakan pekerjaannya dengan benar. Desain yang sudah dia buat tak juga rampung, padahal hari ini deadline sudah menanti.

Braakkk!

Sebuah gulungan kertas kalkir berukuran A0 mendarat sempurna di atas meja kerjanya, membuat Gala yang pikirannya tak berada di raganya itu terperanjat.

"Kamu masih niat kerja tidak, Gala? Pekerjaanmu tak ada yang beres sejak beberapa hari yang lalu. Kamu pikir, kamu digaj! hanya untuk melamun, hah?"

"Periksa itu dan teliti kembali, dasar tidak becvs!"

Atasan Gala itu tampak mu-rka setelah melihat pekerjaan anak buahnya tidak juga beres. Padahal dia tahu, Gala cukup kompeten tapi sekarang ini kinerjanya benar-benar buruk.

"Maafkan saya, Pak Andi. Saya sedang banyak masalah," kilah Gala.

"Saya tidak peduli tentang hal itu, yang saya mau, pekerjaanmu beres dengan baik. Jangan lupa desain yang kemarin Saya minta deadline sore ini."

Gala kembali meminta maaf, lalu menanyakan hal apa yang harus dia perbaiki. Kembali Gala mendapat ca ci maki dari atasannya karena tidak mendengarkan dengan baik perintahnya.

Gala menghembuskan nafas ksar, dia berpikir semua kesialannya ini karena Vania. Kalau saja wanita itu tak membuat ulah, dia pasti dapat mengerjakan pekerjaannya dengan baik dan yang pasti bisa bersenang-senang dengan wanita pujaannya.

Ya, semua ini karena Vania, seumur Gala bekerja di perusahaan tersebut baru kali ini dirinya dica ci ma ki.

Gala sudah membulatkan tekat, nanti dia akan ke rumah sakit dan membuat perh!tungan dengan istrinya.

Karena dikejar deadline dan juga banyaknya revisi, Gala terpaksa membawa pekerjaan yang belum selesai ke hotel.

Gala melupakan sejenak tentang Vania maupun Mira, dia sengaja menonaktifkannya ponselnya agar tidak ada yang bisa mengganggunya. Gala harus segera menyelesaikan semua pekerjaannya, karena besok adalah hari terakhirnya bertugas di Bandung, jangan sampai kepercayaan atasnya memudar karena kesalahannya.

Gala hampir tak tidur mengerjakan semua pekerjaannya. Pagi harinya dia keluar dari hotel lebih cepat, sebab tak ingin bertemu dengan Mira, lalu membeli sarapan di luar.

"Gala, kenapa matamu? Kamu tak tidur semalaman?" tanya Jimi teman baik Gala di kantor Bandung.

Gala mengiyakan dengan terus mengerjakan sisa pekerjaannya.

"Gala!" suara Andi begitu menggelegar.

"Sudah selesai pekerjaanmu?"

"Sudah, Pak." Gala memberikan beberapa file pada Andi dan juga mengirim surat elektronik pada atasannya itu.

"Ok! Aku akan periksa lebih dulu."

Gala bisa bernafas lega setelah Andi menyetujui semua hasil kerjanya. Begitu lelah tubuhnya, dia ingin segera kembali ke hotel sejenak.

"Mau kemana, Bro? Buru-buru amat." Jimi menghentikan langkahnya.

"Mau ke hotel, aku ngantuk dan lelah sekali. Semalam aku tak bisa tidur karena bosmu itu," keluh Gala.

Jimi tertawa, "Ini hari terakhir kamu bertugas di sini, mari Kita bersenang-senang seperti biasa."

"Aku lelah, Jimi."

"Kamu beristirahat dulu, nanti aku jemput, di kamar nomor berapa kamu?"

Gala menyebutkan nomor kamar hotelnya.

"Aku punya barang baru, siapa tahu kamu s**a," bisik Jimi.

"Iiisshhh, perempuan saja yang ada di otakmu, dasar PK (penjahat klmn)!" blas Gala.

Gala memang s**a dengan dunia malam, tapi tak pernah sekalipun dia jajan, bergonta-ganti pas-anqan bukanlah hobinya, dulu dia mengenal Mira pun di sebuah clvb malam.

Gala mulai tak pernah ke clvb malam setelah mengenal Vania, hanya sesekali saja saat dia bertugas ke Bandung. Tentu saja itu karena ulah Jimi yang memaksanya.

Sesuai janji malam itu Jimi kembali mengajak Gala untuk bersenang-senang, tapi Gala tak menggubrisnya. Dia memilih memulihkan tenaga, karena besok dia harus membuat perh!tungan pada Vania.

Pagi harinya, Gala sudah bersiap ke rumah sakit, setelah sarapan dia akan langsung berangkat.

"Mas, mau kemana?" tanya Mira saat melihat Gala di lobi.

"Aku ada urusan."

"Aku ikut."

"Tidak perlu, aku mau bertemu dengan Vania," ketus Gala.

Tanpa memperdulikan Mira, Gala terus melajukan langkah menuju mobilnya.

Sampai di rumah sakit Gala langsung menuju ke kamar rawat Vania. Kamar itu sepi barang-barangnya pun tak ada, dia mencari di kamar mandi—kosong.

Usai memeriksa ruang tersebut, barulah Gala menuju ke meja petugas menanyakan keberadaan istrinya.

“Ibu Vania sudah p**ang, kemarin,” tutur seorang perawat yang bertugas.

“Pulang? Bukankah dia harus bed rest?” tanya Gala memastikan.

“Kalau itu saya kurang tahu, Pak. Saya baru saja menggantikan shift beberapa menit yang lalu. Jika Bapak berkenan, bisa bertanya pada dokter yang bertugas, beliau ada di IGD,” jawab perawat tersebut.

Gala bergegas menuju IGD untuk menemui dokter yang dimaksud. Dokter tersebut memberi tahu kondisi Vania yang telah kehilangan ja ninnya.

"Apa? Kegvgvran?"

Ada penyesalan di relung hati Gala mendengar hal buruk tersebut. Ank yang dia dambakan kini telah tiada, itu karena kesalahannya.

"Iya, Pak. Kondisi bu Vania buruk, keluarganya meminta rujukan untuk memindahkan bu Vania."

'Keluarganya?' batin Gala.

"Dirujuk kemana, dok?"

"Maafkan kami, Pak. Pihak keluarga tidak ingin memberitahu kemana bu Vania dipindahkan pada orang lain."

"Tapi saya bukan orang lain, dok. Saya suaminya."

"Sekali lagi maafkan kami, Pak."

Gala keluar dari rumah sakit dengan frustasi dan penuh penyesalan.

Tanpa Gala tahu ada sepasang mata yang mengawasinya sejak tadi.

"Galaxy Ardiansyah, enaknya kita mulai dari mana?" gumam orang itu.

***
Judul :
ISTRI KAYA YANG KAU KHIAN4TI (TAMAT)

Penulis :
Cassandra Ruby

Platform :
KBM App

AKU BUKAN PERAWAT IBUMU, MAS! Bab.2yang udah baca boleh skip ya."Aaaaa ... aaaa ... aaaa ...." teriak ibu saat aku melin...
14/06/2025

AKU BUKAN PERAWAT IBUMU, MAS!
Bab.2
yang udah baca boleh skip ya.

"Aaaaa ... aaaa ... aaaa ...." teriak ibu saat aku melintas di depan kamar beliau yang pintunya terbuka lebar.

Seperti biasanya, itu kode jika ibu menginginkan sesuatu. Bukan ingin BAB atau BAK karena jika ingin melakukan dua hal itu, ibu cukup membuangnya di tempat tidur lalu Andin akan buru-buru membersihkan.

Kode itu berarti ibu ingin minum atau makan, yang kedua-duanya harus disuapkan dengan telaten.

Mendengar teriakan ibu itu, bergegas aku memanggil Andin yang barusan kulihat sedang membersihkan diri di kamar mandi.

Aku sendiri sedang buru-buru karena Mila sudah menungguku di apartemen, hendak mengajakku sama-sama hunting baju baru di butik.

"Din, Andin. Ini ibu manggil-manggil. Pengen makan mungkin!" teriakku pada Andin yang masih berada di dalam kamar mandi.

Mendengar teriakanku, Andin diam saja. Tumben? Biasanya istri penurutku itu akan cepat-cepat datang untuk melaksanakan perintahku. Tapi kali ini kelihatannya tidak meski aku yakin Andin pasti mendengar seruanku.

"Din? Andin?"

Ceklek. Pintu kamar mandi terkuak. Andin muncul dengan handuk melilit kepalanya.

"Ada apa, Mas?" tanyanya datar sambil dengan acuh tak acuh mengeringkan rambut lalu menggantung handuk di kapstok.

"Itu ibu manggil-manggil. Mungkin minta makan, Din," jawabku.

"Terus?"

"Terus? Maksudnya?" Aku mengernyitkan kening. Merasa heran dengan pertanyaan istriku itu. Apa perlu aku mengingatkannya untuk memberikan ibu makan?

Selama ini toh ia sudah tahu dan paham tugas itu tanpa harus diingatkan lagi?

"Kalau ibu minta makan terus kenapa? Hari ini Mas libur kerja kan? Apa nggak bisa Mas yang suapin ibu makan?" tanya Andin sembari membuka lemari pakaian lalu memilah-milih baju.

Lho, memangnya ia mau ke mana? Biasanya di rumah juga cuma dasteran. Tapi kenapa sudah dasteran kok masih mencari baju yang lain lagi?

"Mas yang suapin? Kan biasanya juga kamu yang nyuapin? Kok jadi mas?" Aku kembali mengernyitkan dahi menatap bingung istriku.

"Iya, itu kan kalau mas kerja. Kalau mas libur, apa salahnya gantian? Toh, itu ibu mas sendiri kan? Aku mau jalan sekali-kali Mas, suntuk di rumah terus. Hidup kan harus seimbang. Ada saat capek ada saatnya refreshing. Lagip**a sudah lama aku nggak keluar. Pengen beli baju, Mas," ucap Andin sembari mengambil selembar gamis dan mematutnya di depan cermin.

Gamis itu seingatku dibelinya dua tahun yang lalu saat hendak lebaran. Masih terlihat baru karena memang jarang dipakai. Meski harganya tidak mahal, tetapi karena jarang dipakai jadi masih terlihat bagus. Lalu untuk apa lagi Andin ingin beli baju baru kalau yang lama juga masih bagus?

"Tapi, mas juga mau keluar, Din. Mas ada janji sama rekan bisnis, ada tender yang mau dibicarakan siang ini. Kamu aja urus ibu, ya?" kelitku beralasan supaya Andin batal keluar sehingga acara jalan-jalanku bersama Mila tidak terancam gagal.

Namun, melihat ekspresi datar wajah Andin, aku terpaksa menelan ludah.

Aku tahu watak istriku yang tidak banyak bicara dan tidak banyak permintaan ini.

Namun, jika ia sudah punya keinginan, pantang ditolak. Kalau tidak, bisa sebulanan ia ngambek hingga bisa-bisa ibu terlantar karena Andin tak mau lagi mengurus beliau.

"Setiap hari Mas keluar, sedangkan aku? Coba Mas hitung dalam satu tahun ini pernah nggak aku keluar dan ninggalin ibu sendirian? Aku juga manusia biasa, Mas. Punya rasa capek dan lelah. Pengen refreshing sekali-kali. Aku sudah berusaha menjadi istri dan menantu yang baik di rumah ini. Tapi, kalau Mas nggak puas juga silahkan Mas cari yang lain. Aku nggak masalah dan nggak keberatan sama sekali kok," ujarnya datar lalu tanpa menghiraukan protes dariku, Andin membuka dasternya dan menggantinya dengan gamis di tangannya.

Mendengar perkataannya, aku hanya bisa menutup mulut dengan rasa kaget yang tidak bisa kusembunyikan.

Andin, ada apa dengan istriku itu hingga tiba-tiba sikapnya berubah dingin dan ketus seperti ini???

Cerbung ini ada di KBM app.
Judul : AKU BUKAN PERAWAT IBUMU,MAS!
Penulis : Nahl

14/06/2025

Tidak ada kata putus Pietro Heartu Livy Dovey livytiffany Mr Daniel Wille mrdaniel02 fyp foryou trending anhong TikTokShortFilm TikTokIndonesia

“Max, cari tahu siapa pemilik gelang ini!” Temudya menitah asistennya sesaat keluar dari ruang rapat. Gelang yang ditemu...
13/06/2025

“Max, cari tahu siapa pemilik gelang ini!”



Temudya menitah asistennya sesaat keluar dari ruang rapat. Gelang yang ditemukan di lobi disodorkan pada Max. Satu setengah jam tersiksa dengan pembahasan yang tak lagi masuk ke dalam kepala, pikirannya dipenuhi tentang Rindu dan masa lalu.



Beberapa jam sebelumnya, dia meratapi Rindu. Tiba-tiba Tuhan mengirimkan pesan lewat gelang yang mendadak muncul di hadapannya. Benar-benar hari penuh kejutan. Seperti perasaannya yang dibolak-balik dalam sekali kedip.



“Gelang beginian?” Max mengulum senyuman.



Pikirnya, seorang Arkanta Praha Temudya yang lulusan universitas terbaik di luar negeri menyimpan barang beginian. Satu hal yang melintas di benaknya. Menggelikan. Benda yang pernah pop**ar pada zamannya dan sekarang pun hanya menjadi seonggok sampah. Namun, di tangan atasannya serasa barang berharga dan teramat istimewa. Tampak jelas dari cara menggenggam yang hati-hati dan penuh perasaan.



“Bisakah ekspresimu dikondisikan? Bagimu mungkin hanya benda recehan, bagiku ini sangat-sangat berharga.” Temudya berterus terang.



Max terkesiap. Pramudya yang biasanya berwibawa dengan karisma tiada dua mendadak jadi lelaki melankolis.



“Gelang ini lebih berharga dibandingkan intan permata. Aku ingin mengenal pemiliknya. Bukan hal sulit untukmu, kan? Tinggal cek semua CCTV di lobi.”



“Baik, Pak.”



Max mengedarkan pandangan. Sebentar lagi senja menua. Siang akan menuntaskan tugasnya, menyerahkan pada sang malam.



“Setengah jam?” ujar Temudya.



“Ini sudah jam p**ang kantor, Pak.”



Temudya membeliak. “Hal kecil begini, kamu masih perhitungan Max? Apa susahnya cek CCTV?”



“Baik, Pak. Segera kusiapkan kurang dari setengah jam.” Max tertantang saat kualitas dirinya diragukan.



“Aku tunggu secepatnya. Jangan sampai mengecewakanku, Max. Selama ini kinerjamu luar biasa. Jangan sampai penilaianku tentangmu turun drastis."



🌹🌹🌹



“Apa ini, Nek?”



Rindu menyambut wanita tua yang berjalan masuk ke dalam rumah dengan langkah tertatih-tatih. Suara napas terdengar berat, tangan keriput itu bergetar hebat.



“Ini ... untukmu, Ndu.”



Rindu mengerjap. Cukup lama pandangannya terkunci pakaian yang terlipat rapi dan disodorkan untuknya.



“Ini untuk apa, Nek?” Rindu bingung.



“Sebentar lagi kamu kerja, kan?”



“Ya.”



“Nah, ini untukmu.” Nenek menjelaskan dengan wajah berbinar bahagia. Setelah sekian lama, cucu kesayangannya yang hanya lulusan SMP mendapat kesempatan bekerja di sebuah perusahaan seperti orang-orang. Tak terhitung banyaknya syukur yang dipanjatkan.



“Tapi, untuk apa? Di mana Nenek mendapatkannya?”



“Untukmu. Baju-bajumu tak ada yang layak pakai, Ndu.”



Rindu merengut. “Nenek mengutang lagi?” Terbayang utang mereka yang bertambah. “Jangan ditambah lagi, Nek. Bagaimana bayarnya? Utang kita di mana-mana, Nek.”



“Tidak, Ndu. Ini diberikan Yu Cucu di ujung gang. Katanya punya si Encum. Sudah ndak dipakai. Masih muat untukmu.”



Rindu menyambar baju yang disodorkan untuknya. Aroma kapur barusnya menyengat.



“Agak memudar sedikit. Ada noda juga di kerahnya. Tapi, masih sangat layak digunakan.”



Rindu berkaca-kaca. Dipindainya wajah keriput yang berbinar bangga. Setelah sekian lama hanya luntang-lantung tak jelas, sekarang dia mendapat pekerjaan yang membuat wanita renta itu bahagia.



“Harus fokus kerjanya, Ndu. Jangan sampai dipecat. Cari kerja itu susah. Apalagi untuk lulusan SMP sepertimu.” Nenek menjeda ucapannya dengan tarikan napas panjang. “Kalau ada kesempatan, lanjutkan sekolahmu, Ndu. Ambil paket apa itu, kayak orang-orang.”



Rindu mendekat. Dipeluknya sang nenek dengan erat. Satu-satunya keluarga yang tersisa setelah ayah dan ibu angkat meninggal dunia.



“Nenek jangan khawatir. Yang terpenting saat ini aku mau mencari uang untuk biaya berobat Nenek. Sisanya buat bayar utang sama kontrakan. Kalau bisa mau cari kontrakan baru yang lebih layak.” Rindu mendesah. Jujur, dia lelah ditagih setiap hari. Utang melilit pinggang dan membuat hidup tak tenang.



Diakui, utang mereka tak sedikit. Selain berutang untuk biaya hidup, sebagian juga warisan dari ayah dan ibu angkatnya.



Pandangan Rindu mengedar. Hanya rumah sepetak sederhana, tetapi tak mampu dibayar. Dia khawatir sewaktu-waktu bisa saja terusir.



“Jangan pikirkan biaya berobat, Ndu. Nenek baik-baik saja.” Wanita berusia senja itu terbatuk-batuk. Penyakit paru dan komplikasi lain membuatnya tak berdaya.



“Harus, Nek.” Suara Rindu bergetar. “Ndu hanya punya Nenek. Nenek harus sehat-sehat dan lihat Ndu jadi orang sukses.”



“Nenek pasti sehat.” Wanita tua itu menyembunyikan air matanya. Akhir-akhir ini kondisi kesehatan memang menurun drastis. Sebagian obat habis, rasa sakit yang dirasa makin tak logis. Andai tak ingat Rindu, mungkin lebih memilih pergi dari dunia secepatnya.



“Ndu mau bahagiain Nenek.” Rindu tak mau menangis. Namun, air mata itu tumpah juga. “Nenek harus sehat dan melihat Ndu sukses, Nek.”



“Tentu, Ndu.”



Di tengah pelukan saling menguatkan, suara pintu diketuk menyentak keduanya. Rindu menoleh, memastikan siapa yang mengusik siang mereka yang syahdu.



“Nah, akhirnya bertemu juga. Dari kemarin-kemarin aku mencarimu, Ndu.” Pria berbadan tinggi besar berkulit gelap itu menyunggingkan senyuman licik. Sepasang mata liarnya berbinar menatap Rindu. “Kamu tidak bisa menghindar lagi.”



“Bang.”



Rindu bergidik. Tentu dia mengenal lelaki dewasa yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Suara langkah kakinya mengintimidasi, membuat separuh nyali menguap pergi.



“Ma ... mau apa Abang ke sini?” Rindu mengurai pelukan dari sang nenek. Maju selangkah, disembunyikan gentarnya dengan berpura-pura berani. Lelaki itu akan semakin menjadi saat mengetahui nyalinya ciut.



Kenan bukanlah orang asing di dalam hidup Rindu. Sejak kedua orang tua angkatnya masih ada, lelaki itu sudah mengejarnya untuk dijadikan istri ke sekian. Dengan alasan membayar utang, pria hidung belang plus mata keranjang itu terus menekannya.



“Membahas utang-utangmu, Ndu. Selama ini susah sekali menemuimu.” Kenan tersenyum licik. Diamatinya wanita muda yang membuat hati bergetar pada pandangan pertama. Cantik, masih muda, dan men ggair ahkan sekaligus memantik rasa penasaran.



“Aku belum punya uang, Bang. Tapi, aku janji akhir bulan depan. Pasti, Bang.”



Kenan menyeringai. Tatapannya pada Rindu seperti elang kelaparan siap memangsa.



“Bagaimana kalau kita membahasnya berdua?” tawar Kenan, melirik nenek tua yang memucat di balik punggung Rindu.



“Rindu tidak bisa ke mana-mana. Dia harus tetap di rumah menjagaku.” Nenek mencengkeram erat lengan Rindu. Dengan tubuh rentanya, dia berharap bisa melindungi cucu satu-satunya.



“Nek, ini perkara utang. Jangan ikut campur. Kecuali Nenek mampu membayarnya. Kalau memang tidak bisa, lebih baik diam.” Kenan mengancam.



Di halaman, tiga orang pria berbadan kekar berdiri menunggu instruksi.



“Kalau bukan aku yang membela cucuku, siapa lagi. Kamu jangan macam-macam. Jangan karena ayahnya Rindu sudah tidak ada lalu kamu bisa semena-mena. Tidak bisa begitu.” Nenek tak gentar sama sekali.



Kenan terkekeh. “Nek, kamu bukan lawanku. Ingat umur. Tiket ke surgamu sudah dekat jadwalnya. Apa mau kuberangkatkan lebih cepat?”



Mengusap dagu, pandangan Kenan berpindah pada Rindu. Gadis manis itu selalu bisa membuatnya tergoda.



“Bagaimana? Tawaranku masih berlaku. Andai bersedia jadi istriku, semua utang-utangmu, utang-utang ayahmu kuanggap lunas.”



Tak sampai di situ, Kenan mendekat. Tangan terulur lancang hendak meny en tuh dagu lancip Rindu.



“Jangan sentuh aku! Kamu itu men ji jikkan!” Menepis kasar, Rindu mundur menjauh.



“Jangan menghindar terus, Ndu. Bersamaku hidupmu jauh lebih baik. Sebutkan saja berapa yang kau inginkan?”



Rindu diam.



“Uang? Rumah? Atau mau mobil?” Alis Kenan naik turun. “Utang-utangmu kuanggap lunas. Dan ... aah!”



Kenan menjerit kesakitan. Tengkuknya dipukul kencang oleh tangkai sapu.



“Beraninya kamu!” Nenek menatap tajam Kenan seraya mengacungkan sapu. “Keluar! Jangan sampai aku melakukan yang lebih dari ini!” ancamnya.



“Nek.”



Rindu terkesiap. Dia sibuk menghindar sampai tak menyadari neneknya bertindak. Menarik mundur wanita tua itu, tak mau sampai Kenan lepas kendali karena emosi.



“Kurang ajar!”



Kenan mengusap tengkuk. Mata memerah, napas pendek-pendek. Memerintah a n ak buahnya masuk ke dalam rumah, dia tak lagi bersikap ramah.



“Seret nenek tua ini keluar! Pastikan dia ....”



“Ja ... jangan!” Rindu panik. Dia tak mungkin membiarkan neneknya disiksa. Kenan lelaki berbahaya yang tak takut dengan apa pun. “Jangan pukul nenekku.”



Kenan tak peduli. “Seret keluar! Kalau perlu pukul sampai mati!”



Rindu terbelalak. “Jangan, aku mohon. Jangan pukul nenekku.” Kedua tangan menangkup di depan da da, raut wajahnya memelas.



“Itu hukuman karena berani menantangku.”



Tak mengizinkan neneknya diseret paksa, Rindu berusaha menahan wanita itu menjauh darinya.



“Jangan sentuh Nenek. Aku akan berteriak dan ....”



Rindu tak bisa melanjutkan ancamannya saat melihat sang nenek tersungkur ke lantai. Dua pria sangar yang menyebabkan hal itu terjadi malah tertawa.



“Jangan kasari nenekku. Kasihan, dia sudah tua.”



Bermaksud membantu neneknya, Rindu tersentak ketika lengannya dicengkeram erat.



“Jangan coba-coba. Nenekmu itu sudah berani menantangku.”



“Aku mohon. Jangan pukul nenekku.” Rindu berontak. Dia tak berdaya melihat neneknya yang sudah renta dipaksa bangun dan diseret kembali. “Jangan sakiti nenekku. Katakan, apa yang kau inginkan. Aku setuju.”

Kenan tersenyum puas. Cekalan di pergelangan Rindu mengendur. “Nah, kalau begini ‘kan enak. Ikut aku sekarang! Ada yang harus kita bahas berdua.”



“Tapi, aku mau melihat kondisi nenekku dulu. Takutnya ....” Rindu yang kembali berontak kalah tenaga. Dia hanya bisa menatap neneknya yang sedang dice kal dua pria berbadan kekar.



“Orangku akan mengurus nenekmu. Ingat, jangan macam-macam. Aku pastikan nenekmu segera menghadap Yang Kuasa.”

“Jangan!” Rindu mengentakkan kaki dengan kencang. Dia meludah wajah Kenan saat tak bisa meloloskan diri dari cekalan lelaki itu.



“Kurang ajar!” Kenan menyeret Rindu keluar dari kontrakan. “Kamu pikir bisa lepas dariku. Ingat, di sini daerah kekuasanku. Tak akan ada yang berani ikut campur. Silakan saja teriak.”

Membawa paksa Rindu ke mobilnya, Kenan terkejut saat sebuah sedan tiba-tiba berhenti di depannya. Tampak seseorang keluar dari dalam sana.

JUDUL : RINDU TANPA TEMU
PENULIS : CASANOVA
NOVEL INI RILIS DI KBM APP

Address

Jakarta

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Livy dovey posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share