24/08/2025
"Anaya Khair Mahera?" Ayah mengulang menyebut namaku.
"Iya, Tuan."
Ayah termangu, cukup lama, matanya menatapku lekat, bulir air tampak menggenang di bawah kelopak matanya.
"Siapa nama Ibumu?" tanyanya lagi setelah cukup lama diam.
Ayah bertanya tentang Ibu? Jadi dia tidak lupa ingatan, namaku mengingatkannya akan seseorang dan itu adalah Ibu. Lalu, alasan apa yang membuat Ayah pergi meninggalkan kami.
"Nama Ibunya Dian, Tuan. Iya, Diani."
Om Riswan sekali lagi menimpali perbincangan kami, seolah-olah sengaja menyembunyikan nama Ibu dari Tuan Naufal. Entahlah, aku marah, tapi tak berniat p**a untuk meralat, jika pria ini tahu aku adalah putrinya, maka mungkin tak ada kesempatan untuk aku mencari tahu alasan Ayah meninggalkan Ibu, dan membiarkan Ibu tersiksa dalam waktu yang lama.
"Benar nama Ibumu Diani?" Ayah meyakinkan nama itu padaku.
"Iya." Aku tertunduk, menyembunyikan sorot mata kebohongan yang mungkin akan terbaca.
Apa reaksi Ayah, apa dia kecewa karena aku bukan putrinya, atau dia senang, karena tak jadi bertemu putri yang ditinggalkannya.
"Jadi bagaimana Tuan, apa ua ng gaji Naya bisa dititipkan saja pada saya?" Om Riswan menyela lagi. Ya Tuhan, dalam isi otaknya hanya ada uang dan uang.
"Tidak, dia sudah cukup umur untuk memegang ua ng gaji sendiri, dan saya yang akan membuatkannya re kening."
Aku menghela napas lega, setidaknya Ayah menyelamatkan aku dari pria culas yang mungkin akan mengambil banyak dari ua ng gajiku.
"Tapi, saya walinya, Tuan." Om Riswan tetap bersikukuh.
"Kamu tadi bilang tetangganya, dan saya pegang ucapan kamu yang pertama. Lagip**a, akan jauh lebih aman jika dia punya re kening sendiri."
Aku mendengar suara dengkusan Om Riswan, dia mungkin kesal, karena rencana untuk mendapatkan 30% dari ua ng gajiku terancam batal.
"Baiklah, Naya, saya akan memperkenalkan kamu dengan Mama." Ayah berdiri, mengajakku bertemu dengan Bu Rosmalia. Itulah nama yang akan aku panggil untuk Nenek.
"Iya, Tuan."
Kami berjalan bersama, meninggalkan Om Riswan yang aku merasakan tatapannya menghunus di belakang kami. Aku tak bisa menganggap sepele pria itu, karena dia orang yang tahu siapa aku sebenarnya, dan firasatku mengatakan, dia punya rencana yang buruk pada keluarga Ayah.
Aku tak tahu apa maksud Om Riswan berbohong tentang nama Ibu, tapi yang jelas itu pasti bukan untuk menyelamatkan aku.
"Anaya, usiamu benar-benar sembilan belas tahun?" tanya Tuan Naufal saat kami berjalan bersama menuju kamar Bu Rosmalia.
"Iya, Tuan. Memangnya kenapa?"
Tuan Naufaldi atau Ayah, menyesap ro kok elektrik yang tadi hanya dia genggam. "Tidak, tapi nama kamu mengingatkan saya pada seseorang, jika dia masih ada, mungkin usianya lebih muda dari kamu."
Netra Ayah menatap kosong, tapi bukan itu yang bermain dalam pikiranku, kenapa Ayah mengatakan, 'jika dia masih ada?' apa itu berarti ... Ayah berpikir aku sudah m ati?
Tunggu!
Kenapa Ayah bisa punya pikiran seperti itu? Aku masih hidup, aku belum mat i!
"Tu-Tuan." Aku berbalik, tak tahan ingin bertanya pada Ayah maksud dari perkataannya tadi.
Pertanyaan itu hanya dapat aku telan, karena pintu kamar sudah terbuka, dan seraut wajah angkuh yang tengah duduk di kursi roda menatap kami.
"Kita sudah sampai di kamar Mama, jika nanti Mama banyak bertingkah, usahakan untuk tetap sabar, jangan terlalu tegang, kadang yang membuat Mama kesal itu karena perawatnya terlihat ketakutan saat mengurusnya. Mama tidak dapat bicara, dari seluruh sarafnya yang masih bekerja hanya tangan saja, jadi jika tidak s**a pada sesuatu Mama pasti akan bertingkah kasar."
Aku mengangguk mengerti.
"Ma, kenalkan ini Anaya, dia perawat baru Mama."
Ayah berjalan menghampiri Bu Rosmalia--wanita cantik dengan rambut berwarna cokelat, usianya sudah tua, tapi dari penampilannya, dia masih tetap terlihat anggun.
Ayah memberi isyarat melalui tatapan mata, meminta agar aku segera memperkenalkan diri pada Bu Rosmalia.
"Selamat siang, Bu, perkenalkan saya Anaya, mulai hari ini saya yang akan merawat Ibu."
Bu Rosma menatap sinis ke arahku, sudut matanya menelisik dari ujung rambut sampai ujung kaki, persis dengan yang dilakukan Ayah tadi. Tak lama, karena setelah itu, Bu Rosma mengalihkan lagi pandangan matanya pada televisi yang menyala di kamar ini.
"Mama memang agak ketus, saya harap kamu mengerti dan tidak mudah tersinggung." Ayah menjelaskan sikap Bu Rosma padaku.
"Saya mengerti, Tuan."
Ayah mengajakku berkeliling kamar ibunya, memperlihatkan kamar mandi yang akan aku gunakan untuk membantu Bu Rosma mandi dan membersihkan diri, menunjukkan lemari pakaian, dan nanti Bu Rosma akan memilih sendiri pakaian yang ingin dia kenakan setiap harinya, lalu nakas kecil tempat semua obat-obatan tersimpan.
Tak hanya itu, Ayah juga memberiku jadwal makanan apa saja yang harus dikonsumsi Bu Rosma. Bagiku, sekilas saja terlihat Ayah sangat memperhatikan ibunya, dia bisa hapal letak barang, dan apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan Bu Rosma.
Dia lelaki yang baik, tapi kenapa dia meninggalkan Ibu?
"Nanti setelah Mama istirahat, kamu bisa ke dapur, membuatkan kue pesanan saya tadi. Apa kamu lelah, Nay?" tanya Ayah, dia begitu lembut, dan sama sekali tidak sombong.
"Tidak, Tuan. Nanti akan saya buatkan kue untuk Tuan."
"Terima kasih, Naya, saya harap rasa kuenya sama, karena saya sangat merindukan itu." Ayah tertawa kecil, lalu berjalan keluar dari kamar Bu Rosma.
Rasa kuenya sama?
Sama dengan siapa? Apa maksud Ayah--Ibu?
Suara lonceng berbunyi, aku menoleh ke belakang, Bu Rosma tengah menatapku dengan sinis.
"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Aku berjalan menghampirinya.
Bukan jawaban yang aku terima, melainkan jamb akan di rambut, tak tanggung-tanggung tarikannya kuat sekali, membuat kepalaku terasa berdenyut sakit. Apakah ini ucapan selamat datang seorang nyonya besar pada perawatnya?
Melihat aku yang tak melawan dan meronta dijam bak, Bu Rosma terlihat melunak, setelah aku rayu dengan sabar, dia mau juga aku suapi makan, meski dimuntahkannya lagi, mau meminum obat dan akhirnya tertidur.
Dua jam pertama tugas aku merawatnya bisa dikatakan berhasil.
Sesuai permintaan Ayah, saat Bu Rosma istirahat aku ke dapur, membuatkan kue bolu kukus supaya bisa dimakan juga oleh Bu Rosma nantinya.
"Percuma kamu bikin kue, pasti nanti enggak kepake sama Tuan Naufal," cibir seorang pelayan yang ada di dapur dan sedang mengamatiku.
"Memangnya semua pelayan di sini sudah mencoba bikin kue, Bik?" Aku coba untuk mengakrabkan diri bertanya pada pelayan tadi.
"Pertanyaan pertama yang diajukan Tuan Naufal saat mau melamar ke sini, kan, bisa bikin kue atau nggak, dan semua pelayan di sini sudah membuat kue permintaannya, tapi enggak ada yang kepake, baru satu gigit udah dibuang. Heran saya, maunya Tuan Naufal itu apa, saya sampai beli di toko kue, tetap aja dia enggak s**a.'
Sebegitu obsesinya kah, Ayah pada kue tradisional?
"Kamu tadi enggak di apa-apain sama Nyonya Rosma?" Pelayan itu bertanya lagi.
Aku tertawa kecil menjawabnya, "Cuma dijambak aja."
"Terus kamu nggak teriak?"
Aku menggeleng. "Enggak, Mbak, tadi saya diam aja."
"Wih, baru kali ini ada perawat yang tahan dijambak sama Nyonya."
"Memang kenapa, Mbak?"
"Nyonya itu menguji kesabaran perawatnya dengan cara menjambak, membuang makanan yang lagi disuapi, nah, biasanya baru hari pertama mereka sudah teriak-teriak mengadu pada Tuan Naufaldi, habis itu minta keluar."
Ternyata seperti itu, syukurlah aku tadi diam saja, mungkin karena sudah terlatih dihina dan dica ci ma ki setiap hari.
"Eh, umur kamu berapa tahun?" Pelayan itu mendelik ke arahku.
"Tu ... eh, sembilan belas tahun, Mbak."
"Masih muda banget. Eh, kamu kerja di sini yang bener, jangan centil, awas aja kalau sampai godain Tuan atau Den Muda, saya bakalan laporin ke Nyonya Vaness, biar kamu dipecat!"
"Iya, Mbak, saya niat cari u ang aja, kok."
"Baguslah. Oh ya, satu lagi, orang kepercayaan Nyonya itu saya, jadi kamu jangan macam-macam, apalagi berusaha cari muka."
Aku menghela napas, tak di mana-mana, selalu ada orang toxic yang menabur keben cian pada orang lain.
"Bu Rosma mau nyoba bulu kukus buatan saya?" kataku menawari Bu Rosma bolu kukus usai dia mandi sore.
Wanita tua itu menatapku, tak lagi seketus tadi, kemudian menganggukkan kepalanya sembari melirik bolu yang aku simpan di atas piring kecil. Aku memotongnya menjadi beberapa bagian, lalu menyuapkannya ke mulut Bu Rosma.
Pada gigitan pertama dia mengunyah, reaksi wajahnya terlihat aneh, aku pikir bolu kukus ini akan dimuntahkannya, tapi ternyata, mulutnya masih terus mengunyah, dan perlahan aku melihat air matanya yang berjatuhan, membasahi p**i.
Kenapa Nenek menangis? Apa ada yang salah dengan kue buatanku? Apa tidak seenak buatan Ibu?
"Siapa kamu?" tanyanya lirih.
Aku tertegun menatapnya bingung.
Bu Rosma bisa bicara, bukankah Ayah bilang dia bisu?
Penasaran gak?
Bisa langsung mampir baca sampai tamat di aplikasi K B M App.
Judul asli KBM Ap: AKU PUTRIMU BUKAN PEMBANTUMU
Nama akun: tanianoer