Livy dovey

Livy dovey hallo suport terus ya

21/09/2025

Tadi siapa yang ga sopan sama tunanganku Livy Dovey WeldyZone Still Arby Only Darren Dion Tribelley myratiara trending foryou fyptiktok drama dramatiktok tiktokviral TikTokShortFilm TikTokSeries anhong

Istriku sedang hamil. Tapi, aku lebih memprioritaskan sahabat perempuanku. Kupikir, istriku akan baik-baik saja dan meng...
20/09/2025

Istriku sedang hamil. Tapi, aku lebih memprioritaskan sahabat perempuanku. Kupikir, istriku akan baik-baik saja dan mengerti. Tapi, siapa sangka dia melakukan....

***

Bab 01

“Mas, aku ingin bicara,” ucapku sambil menatap punggungnya yang sibuk dengan telepon genggam.

Dia mend**gak sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya. “Nanti saja, Farah. Aku sedang membalas pesan Karina.”

Jantungku mencelos. Lagi-lagi, Karina. Aku mendekatinya, berdiri di depan sofa tempat dia duduk. "Apa yang dia mau sekarang?" tanyaku, mencoba terdengar tenang, meski dalam hatiku sudah berkecamuk.

"Alia sedang demam. Dia butuh seseorang untuk membantunya mengantar Alia ke dokter," jawab Mas Rafli tanpa menatapku.

Aku berusaha menahan amarah yang perlahan menggerogoti kesabaranku. “Dia tidak bisa menghubungi orang lain? Bukannya Karina punya keluarga atau teman lain selain kamu?”

Mas Rafli menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja. “Kamu tahu sendiri, Farah. Setelah Yudhi meninggal, Karina tidak punya siapa-siapa. Aku tidak bisa membiarkannya sendirian.”

Nada suaranya seolah mengatakan bahwa aku ini tidak berperasaan, bahwa aku salah karena mempertanyakan perhatiannya pada sahabat lamanya itu.

“Aku tahu Karina kehilangan suaminya, Mas. Aku juga tahu dia butuh dukungan. Tapi kamu sadar tidak, kamu selalu ada untuk dia dan hampir tidak pernah ada untuk aku? Aku ini istrimu,” suaraku bergetar, separuh karena marah, separuh karena ingin menangis.

Mas Rafli menatapku, wajahnya sedikit mengerut. "Kamu ini kenapa sih? Bukannya aku juga selalu p**ang ke rumah? Kamu masih punya aku, Farah. Karina hanya punya aku."

Kata-katanya menghantamku lebih keras daripada pukulan fisik mana pun. Hanya punya aku. Aku yang berdiri di sini, yang berbagi tempat tidur dengannya, yang mengandung anaknya, tiba-tiba terasa seperti orang asing di hidupnya.

“Kamu serius, Mas? Apa kamu lupa kalau aku juga sedang membutuhkanmu? Aku hamil, dan aku bahkan harus pergi ke pemeriksaan kehamilan sendiri karena kamu lebih memilih menemani Alia yang merupakan anak Karina.”

Dia terlihat canggung sejenak, seolah berusaha mencari pembenaran. "Aku minta maaf soal itu, Farah. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan Alia merasa kehilangan sosok ayah. Dia masih kecil. Kamu harus mengerti."

"Apa aku juga harus mengerti kalau aku ini prioritas terakhir bagimu? Karina dan Alia selalu lebih penting, Mas. Selalu.”

Aku menunggu. Menunggu dia menyangkal, menunggu dia mengatakan aku salah, menunggu dia memelukku dan meyakinkanku bahwa aku salah paham. Tapi dia hanya diam. Diam yang menyakitkan.

“Farah, aku tidak mau bertengkar. Karina butuh aku malam ini. Aku janji, aku akan bicara denganmu nanti.” Dia mengambil jaketnya dari sofa dan berjalan menuju pintu.

“Kalau begitu, kapan aku butuh kamu, aku harus antre ya?” tanyaku dengan nada penuh luka.

Langkahnya terhenti, tetapi dia tidak berbalik. “Aku akan p**ang secepatnya.” Lalu pintu itu tertutup di belakangnya, meninggalkanku dalam kesunyian yang dingin.

Aku duduk di meja makan, menatap makanan yang tidak tersentuh. Tanganku refleks mengusap perutku yang mulai membesar. “Kamu dengar itu, Nak? Sepertinya Ayahmu lebih peduli pada orang lain daripada kita.”

Air mata jatuh tanpa bisa kutahan lagi. Aku tidak pernah merasa serendah ini sebelumnya. Karina. Nama itu seperti duri yang menusukku setiap kali disebut.

Aku tahu Mas Rafli dan Karina sudah bersahabat sejak lama, bahkan sebelum aku hadir di hidupnya. Aku juga tahu mereka dekat, tapi kedekatan itu berubah menjadi ancaman bagiku setelah Yudhi meninggal.

Satu bulan pertama, aku mencoba mengerti. Aku ikut mengantar Mas Rafli ke rumah duka, ikut memberi semangat pada Karina. Tapi perlahan, aku mulai merasa disingkirkan. Karina mulai sering menghubungi Mas Rafli untuk hal-hal kecil. Dari meminta diantar ke pasar, memperbaiki keran bocor, hingga sekadar menemani ngobrol.

Dan Mas Rafli selalu ada untuknya. Selalu.

Aku mengambil ponselku dan membuka galeri foto. Ada foto kami berdua dari satu tahun lalu, saat Mas Rafli masih penuh perhatian. Dia tersenyum lebar di foto itu, memelukku erat di sebuah taman bunga. Waktu itu, aku merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia.

Tapi sekarang? Aku merasa seperti orang asing dalam pernikahanku sendiri.

*

Suaraku tercekat ketika mendengar pintu depan terbuka. Langkah kaki Mas Rafli terdengar mendekat. Aku melirik jam dinding. Sudah hampir tengah malam.

Dia masuk ke ruang tamu dan langsung menuju dapur tanpa melihatku. Aku menegakkan tubuhku, menunggu dia berbicara lebih dulu, tapi dia hanya mengambil segelas air dan duduk di kursi.

"Alia baik-baik saja?" tanyaku akhirnya, dengan nada yang sengaja kutahan agar tidak terdengar sinis.

Dia mengangguk sambil meminum airnya. “Alia sudah tidur. Dokter bilang itu hanya demam biasa.”

Aku menunggu dia menanyakan bagaimana kabarku atau bayinya. Tapi tidak ada. Hanya hening.

“Mas Rafli,” aku memecah kesunyian. “Kamu benar-benar tidak melihat ada yang salah dengan semua ini?”

Dia mend**gak. “Salah? Maksud kamu apa?”

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan diriku. “Kamu tidak sadar kalau selama ini kamu mengabaikan aku? Kamu tidak sadar kalau aku merasa sendirian dalam pernikahan ini?”

Dia menghela napas berat, seperti orang yang lelah menghadapi omelan yang sama. “Farah, aku sudah bilang, Karina butuh bantuan. Dia itu sahabatku. Apa kamu mau aku meninggalkannya begitu saja?”

“Bukan begitu, Mas Rafli! Aku tidak menyuruhmu meninggalkan Karina. Aku hanya ingin kamu berhenti memperlakukannya seperti prioritas utama dalam hidupmu. Aku istrimu, Mas. Aku juga berhak mendapatkan perhatianmu.”

“Farah, kamu ini terlalu sensitif. Jangan terlalu dipikirkan. Kamu tahu aku sayang sama kamu.”

“Sayang?” Aku tertawa pahit. “Kalau kamu benar-benar sayang, kenapa aku tidak merasa begitu? Kenapa aku selalu merasa seperti bayang-bayang di hidupmu?”

Dia berdiri, wajahnya terlihat lelah. “Farah, aku capek. Aku harus bekerja, membantu Karina, dan sekarang menghadapi keluhanmu setiap hari. Aku butuh istirahat.”

Kata-katanya membuat dadaku sesak. Aku berdiri, menahan air mata yang hampir tumpah. “Kalau kamu capek, Mas, aku juga capek. Tapi aku tidak pernah memilih untuk lari dari masalah. Aku menghadapi semuanya karena aku pikir kita akan menghadapi ini bersama. Tapi aku salah.”

Aku melangkah menuju kamar, meninggalkannya di ruang tamu. Tapi sebelum aku masuk, aku berhenti di ambang pintu dan berbalik menatapnya.

“Mas Rafli,” suaraku rendah namun tegas. “Kalau kamu terus seperti ini, kamu akan kehilangan aku.”

Aku tidak menunggu responsnya. Aku masuk ke kamar dan mengunci pintu, membiarkan air mata yang kutahan akhirnya mengalir deras.

Di luar, aku mendengar suara ponselnya berbunyi. Dan meskipun aku tidak bisa mendengar percakapannya, aku tahu pasti siapa yang menelepon.

Aku terbangun beberapa jam kemudian karena mendengar suara langkah kaki. Pintu kamar terbuka perlahan, dan aku berpikir Mas Rafli akhirnya datang untuk meminta maaf. Tapi suara itu tidak berhenti di pintu kamar. Langkah kaki itu beranjak menuju pintu depan.

Aku bangkit dari tempat tidur dan mengintip dari balik tirai jendela. Mas Rafli keluar dari rumah, naik ke mobil, dan pergi.

Aku tidak tahu ke mana dia pergi di tengah malam seperti ini, tapi di dalam hatiku, aku tahu jawabannya.

Dia pergi menemui Karina, batinku dengan hati teriris.

***

Next?
Baca kelanjutannya di KBM App
Penulis : Miss Yune
Judul : Nikahi Saja Sahabatmu, Mas!

Lima Tahun KemudianDi sebuah perusahaan kontraktor besar, Nadine sibuk merapikan laporan bulanan. Sudah enam bulan ia be...
19/09/2025

Lima Tahun Kemudian

Di sebuah perusahaan kontraktor besar, Nadine sibuk merapikan laporan bulanan. Sudah enam bulan ia bekerja di sana. Sebelum ini, ia sempat bekerja di sebuah kafe pinggir pantai untuk bertahan hidup bersama putra semata wayangnya, Bara.

“Din, katanya CEO baru bakal datang hari ini. Dengar-dengar ganteng banget!” celetuk Adel, rekan kerjanya, sambil membantu memasukkan laporan ke map.

“Kamu nggak dandan, Din?” tanya Adel melihat Nadine yang tetap tampil sederhana. Walaupun sederhana, tapi Nadine tetaplah yang tercantik.

“Buat apa?” jawab Nadine tanpa menoleh, masih sibuk dengan printernya. Pekerjaannya banyak, ia tidak pernah membuang waktunya untuk hal-hal yang tidak penting.

“Ya buat mancing perhatian bos baru lah. Ini bos beneran, bukan sekadar pejabat sementara. Katanya baru p**ang dari Jerman.”

Tersedia di KBM app

Judul: Kami Yang Terbuang
Penulis:Amara Viska

19/09/2025

Perang dimulai part 2 Pietro Heartu Livy Dovey livytiffany Sellalaland Whosellaland fyp foryou trending anhong TikTokShortFilm TikTokIndonesia

18/09/2025

Ketika seorang mafia ketemu dengan influencer cantik gimana akhir kisah mereka ya Pietro Heartu Livy Dovey livytiffany cikilan Yuk kumpul seru bareng teman atau keluarga

“Emmmh... ahh... uuuh!”“Abaang… ah… n4kal, ih…”Langkahku langsung terhenti ketika suara itu terdengar dari arah gudang b...
18/09/2025

“Emmmh... ahh... uuuh!”

“Abaang… ah… n4kal, ih…”

Langkahku langsung terhenti ketika suara itu terdengar dari arah gudang belakang.

Aku yang tadinya hendak mengambil daun pisang di kebun belakang, sontak mematung. Jantungku berdegup kencang, seakan ada firasat buruk yang akan kutemukan. Dari sela-sela dinding bambu, samar-samar terdengar suara cekikikan yang penuh god4an.

Aku menaj4mkan telinga, berjalan pelan-pelan. Semakin dekat, suara itu makin jelas. Ya Allah… aku tercekat. Itu bukan suara orang bercanda, tapi suara… seorang wanita yang sedang dimabuk n4fsu.

Gemetar aku berdiri di situ. Parah. Siapa mereka? Apa tidak gil4 melakukan hal begitu di tempat ini, di rumah keluargaku sendiri, sementara di dapur orang-orang sibuk memasak untuk persiapan hari pernikahanku besok?

Suara lirih penuh desa-han itu semakin menjadi-jadi, meski tidak keras tapi cukup jelas di telingaku.

Aku menahan napas, mendekat dengan hati-hati.

“Ya Allah… Astaghfirullah!” seruku nyaris berteriak.

Pemandangan di depan mataku benar-benar di luar dugaan.

Bang Andi, lelaki yang seharusnya menjadi imamku esok hari, tunanganku sendiri, sedang bergu mul dengan Rani, saudara tiriku, di atas hamparan daun pisang yang dijadikan alas.

Sekejap dunia serasa runtuh. Nafasku tersengal.

Bang Andi panik, buru-buru meraih celana yang tergeletak di sampingnya lalu menutupi bagian tu buhnya yang masih terbuka. Wajahnya pucat, mata membelalak seperti maling ketahuan.

Sementara Rani… oh Tuhan… bukannya malu, bukannya menyesal, ia malah menatapku dengan senyum licik penuh kemenangan. Senyum yang menu suk hatiku lebih dalam daripada seribu pisau.

Aku mematung beberapa detik, nafasku tersengal, rasanya tidak mungkin tapi kenyataan seolah menam parku, ya, tunanganku sedang berbuat me-sum dengan saudara tiriku, ya Allah, sakit sekali hatiku.

*

“Andi sudah menod4i Rani, jadi yang harus menikah dengan Andi adalah Rani,” ucap Bu Tutik – ibu tiriku malam itu, saat sidang keluarga digelar.

Setelah kejadian sore tadi, aku berlari masuk ke rumah dengan tangis yang pecah tak terbendung. Dengan suara terisak, aku ceritakan semua yang kulihat di gudang belakang, perbuatan memalukan Bang Andi dan Rani.

Dan kini, malam ini, keluarga besarku serta keluarga Bang Andi berkumpul di ruang tamu untuk membicarakan kelanjutan pernikahanku.

“Saya juga setuju kalau Andi menikah dengan Rani. Lagip**a, Rani itu mahasiswi, calon sarjana. Pantas bersanding dengan Andi, yang juga seorang sarjana dan pegawai BUMN, bukan seperti Dinda yang hanya penjual warung, aku juga heran, kok bisa- bisanya Andi kepincut dengan Dinda,” ucap Bu Anik dengan sombongnya.

Aku tercekat, memandang dua wanita paruh baya itu dengan tatapan perih. Tidak adakah di antara mereka yang berusaha menghiburku? Tidak adakah yang memikirkan luka hatiku? Justru sebaliknya—mereka terlihat seperti orang yang bers**a cita, seolah kejadian ini sebuah keberuntungan bagi mereka.

Hati kecilku menjerit, rasa hancur itu semakin menu suk dalam. Malam yang seharusnya menjadi hangat dengan doa restu untuk pernikahanku besok, kini berubah menjadi ruang penghakiman.

Aku menatap Bang Andi. Pengecut itu hanya diam, menunduk, tak berani menatapku. Sia lan memang lelaki itu. Padahal aku sering membantunya membayar tagihan pinjolnya, sering juga ia makan siang gratis di warungku, tetapi malah mengkhianatiku.

“Dinda, Ayah minta maaf. Terpaksa pengantin wanitanya diganti dengan Rani, karena Andi sudah menod4inya. Ayah juga sedih… putri kebanggaan Ayah, yang sebentar lagi akan jadi sarjana, malah terno dai,” ucap Ayah dengan suara berat penuh kesedihan.

“Maafkan Rani, Ayah… Rani dipaksa Bang Andi. Rani diper-kosa,” ujar Rani sambil menangis tersedu penuh drama, apa katanya tadi? Dipaksa? Yang aku lihat dan dengar tadi tidak ada unsur paksaan, malah dia terkesan genit dan menggoda.

Aku hanya bisa menatapnya dengan muak. Air matanya terasa seperti sandiwara murahan.

“Jangan bersandiwara, Rani! Buktinya tadi aku dengar sendiri kau mendes4h penuh kenikmatan. Orang yang diper-kosa itu menjerit minta tolong, bukan malah mendes4h keenakan begitu!” ucapku geram, tak lagi mampu menahan amarah.

“Dinda! Jaga ucapanmu! Rani sedang mengalami trauma, malah kau tuduh yang tidak-tidak!” bentak Bu Tutik.

Rani pun segera bersandar di pelukan ibunya, berpura-pura semakin terisak. “Ibu… sakit sekali hati Rani. Di sini Rani korban, tapi si Dinda malah menuduh yang tidak-tidak.”

“Duh, calon menantuku sayang, jangan menangis. Sejujurnya dari kapan hari Ibu inginnya kamu yang jadi menantu di keluarga kami. Untung saja Andi sadar di detik-detik terakhir menjelang hari pernikahannya. Mungkin ini yang dinamakan kekuatan doa seorang ibu, terkabul sebelum ijab kabul besok,” ucap ibunya Bang Andi tanpa rasa bersalah.

Aku menatap wanita paruh baya itu. Tega sekali dia berkata begitu, seolah-olah aku ini sampah yang tak perlu dijaga perasaannya.

“Terima kasih, Bu Anik. Saya juga heran, kok bisa selama ini Andi mau dengan Dinda, padahal anak gadis saya cantik, berpendidikan, dan akhlaknya juara,” sahut Bu Tuti sambil membanggakan Rani. Aku semakin muak saja mendengarnya.

“Batalkan saja pernikahan ini. Aku juga tidak sudi menikah dengan lelaki ca-bul seperti Bang Andi. Dia memang pantas dengan wanita gatal seperti Rani,” ucapku dengan emosi lalu masuk ke dalam kamar.

Di kamar, aku menangis sedih. Tidak lama kemudian, Rani masuk dengan wajah sombongnya.

“Ini kamar pengantin. Kau keluar dari kamar ini, Dinda. Kan sekarang pengantin wanitanya aku,” ucapnya ketus. Tak lama, Bang Andi ikut masuk ke dalam kamar.

“Sayang, nggak nyangka akhirnya aku bisa mempersunting wanita pujaan hatiku,” katanya sambil merangkul pinggang Rani dan mengecup bi bir saudara tiriku itu.

Ya Allah, padahal masih ada aku loh di kamar ini, sanggup dia berbuat seperti itu. Memang manusia tidak punya otak. Aku memutuskan keluar kamar karena takut emosiku semakin meledak dan menc4kar-c4kar mereka berdua.

“Nanti setelah nikah, Abang jadi kan minjam sertifikat rumah ini untuk jaminan hut4ng di b4nk?” tanya Andi.

“Pasti d**g, Abang. Tenang saja. Ayah itu nurut sama aku. Pasti mau memberikannya untuk Abang,” jawab Rani.

Aku yang masih berdiri di balik pintu kamar terdiam mendengar percakapan itu. Senyumku sedikit mengembang. Oh, jadi ini alasan Bang Andi lebih memilih Rani?

Dia tidak tahu saja, rumah ini milik almarhum ibuku dan setahun lalu sudah balik nama atas namaku yang dibantu oleh uwakku.

Ah, ngapain aku harus bersedih? Seharusnya aku berterima kasih pada Allah karena telah menunjukkan kebus**an lelaki itu sebelum ijab kabul.

Nikmati saja pernikahan kalian, berpestalah. Nanti jangan lupa ba yar sewa pelaminan, sewa tenda, dan utang di warung untuk belanja bahan masakan.

Aku tidak sudi untuk membantu. Sudah cukup selama ini aku membiayai kuliah Rani dan kebutuhan rumah ini. Tapi apa yang kudapat? Malah harga diriku semakin diinjak.

U4ng lamaran yang katanya lima puluh juta itu sebenarnya berasal dari tabung4nku. Niatku hanya satu, agar harga diri Bang Andi terlihat tinggi di mata orang-orang. Padahal, kenyataannya dia tidak punya apa-apa. Pegawai BUMN? Hahaha… hanya aku yang tahu kebenarannya.

Selama ini aku diremehkan hanya karena jualan nasi di warung, mereka tidak tau saja kalau keuntungannya cukup lumayan.

“Heh, ngapain kau berdiri di depan kamar pengantin? Senyum-senyum sendiri kayak orang gila,” sindir Bu Tutik.

“Mungkin dia stres karena gagal nikah. Wajar sih. Secara, Andi itu ganteng, gagah, pegawai BUMN lagi. Pasti susah move on,” timpal Bu Anik sambil membanggakan anaknya yang mo-kondo itu.

“Hihihi, kasihan sih. Tapi salah kamu juga, Din. Percaya diri boleh, tapi sadar diri itu jauh lebih penting. Masa modelan jualan warung kayak pembantu seperti kamu menikah sama Bos Andi,” kekeh Bu Tutik merendahkan.

Aku menatap mereka satu per satu yang sedang tertawa bahagia. Dalam hati, aku tersenyum tipis. Kita lihat saja nanti, apakah setelah tahu kenyataannya mereka masih bisa tertawa seperti itu?

“Dinda, itu tukang pelaminan minta bayaran malam ini, katanya butuh du it,” ucap salah satu panitia.

Aku menoleh sekilas, senyum tipis mengembang di bibirku.

“Oh, minta saja sama Rani. Dia yang nikah. Atau langsung saja minta ke ibunya,” sahutku santai sambil menunjuk Bu Tutik.

Sekejap, tawa ibu tiriku itu terhenti. Wajahnya pun terlihat panik.

Cerita ini ada di KBM app dengan judul: Cintaku Tersangkut Di Kebun Sawit.
Penulis : Henny Hutabarat.

Henny Hutabarat

Trauma yang disembunyikan istrikuPart 2Aku menghela nafas panjang ketika melihat wanita berparas ayu itu tengah mencuci ...
17/09/2025

Trauma yang disembunyikan istriku
Part 2

Aku menghela nafas panjang ketika melihat wanita berparas ayu itu tengah mencuci piring di dapur, dengan langkah tertatih seperti menahan kesakitan yang teramat sangat.

"Tiara!" panggilku dengan nada pelan, namun ternyata mampu mengagetkan dia, hingga piring dalam tangannya lolos begitu saja dan jatuh hingga hancur berkeping-keping.

Aku berjalan mendekat, ingin membantu membereskan serpihan kaca itu tetapi tanpa diduga Tiara malah beringsut mundur dengan mimik awas serta ketakutan. Wajahnya terlihat begitu pucat, keringat sebesar-besar biji jagung terus menyembul di pelipisnya.

Jujur hati ini terasa begitu sakit melihat ekspresinya saat ini.

"Aku minta maaf untuk kejadian semalam. Aku tau aku salah. Tolong jangan bersikap seperti ini ke aku, Tiara," ucapku sambil terus menatap wajahnya yang sudah basah oleh keringat.

Bibir Tiara tertutup dan bergetar, lagi-lagi dia beringsut saat aku berusaha mendekat.

Aku kemudian memilih menjauh, lalu memanggil ART untuk membersihkan serpihan kaca supaya tidak melukai Tiara.

Tertatih wanita berbaju biru muda itu berjalan menuju kamarnya, sementara aku diam-diam mengikuti, bersembunyi di dekat tembok dan hati ini kembali mencelos hingga ke dasar saat melihat dia menangis tersedu di lantai kamar.

Dengan perasaan marah aku memutuskan untuk menemui Bisma, meninju wajahnya tanpa peduli dengan teriakan bunda yang terus meminta aku untuk berhenti memukuli anak kesayangannya.

"Dia sudah menipu aku, Bun. Dia memfitnah Tiara, mengirim video tidak senonoh supaya aku marah dan menggauli Tiara kasar!" ucapku sambil menunjuk wajah Bisma juga menunjukkan video yang tersimpan di galeri ponsel.

Kembali kuhadiahi tinju di wajah Bisma, pria itu meringis kesakitan sambil mengusap sudut bibir yang sudah lebam juga mengeluarkan da rah.

"Fitnah apa? Emang nyatanya seperti itu kan? Lagian lu itu aneh. Lelaki bobrok tapi berharap dapat pasangan spek bidadari. Mimpi!" ejeknya, membuatku kembali murka, akan tetapi bunda langsung menghalangi saat diri ini ingin kembali memberikan hadiah bogem mentah.

"Tau apa lu tentang Tiara, hah? Semalam gue melakukannya dan ternyata dia masih suci. Gue melakukannya dengan cara yang kasar, sampai akhirnya dia ketakutan dan trauma liat gue!"

Bisa kubaca ada raut kecewa di wajah Bisma ketika aku mengatakan hal itu di hadapannya.

"Lu sengaja kan fitnah dia supaya gue melakukan itu dan dia menjauhi gue?!" sentakku kian meradang.

"Itu hanya akal-akalan dia saja pasti. Karena gue udah pernah main sama dia juga!" Lagi-lagi Bisma mengatakan hal itu, padahal sebagai lelaki dengan segudang pengalaman aku bisa membedakan mana yang masih original dan mana yang sudah bekasan orang.

"Sudah! Sudah! Kalian ini masih pagi tapi malah meributkan hal seperti ini. Memangnya kalian nggak malu didengar orang lain yang ada di rumah ini?!" sambung bunda, murka.

"Kamu, Bisma. Apa benar sudah pernah tidur dengan Tiara? Kalau iya, kenapa tidak mengatakannya sebelum Tiara nikah sama Bram?" Mata Bunda kini terpantik ke wajah Bisma, dengan penuh amarah, sebab selama ini ia sudah menganggap Tiara seperti putrinya sendiri.

"Jawab, Bisma. Kenapa malah diam?!" bentak bunda tidak kusangka.

"Ti--tidak, Bun. Aku masih perjaka dan belum pernah menyentuh wanita mana pun, termasuk Tiara," jawabnya membuat api amarah di hati kian membumbung tinggi.

"Lu memang brengsek!"

"Diam kamu, Abraham. Bunda belum selesai bicara, jadi tidak boleh menyelak!"

Aku mendengus, mengepal tangan kuat-kuat menahan gejolak emosi dalam sanubari.

"Lantas, kenapa kamu mengatakan hal seperti itu ke Abang kamu? Apa maksud dan tujuannya? Kenapa kamu juga mengirimkan video tidak senonoh, memfitnah Tiara, padahal kamu tahu seperti apa dia selama ini?!" Bunda kembali mengintrogasi a-nak kesayangannya.

"Karena aku cemburu. Aku mencintai Tiara tetapi dia malah menikah dengan Mas Bram!" jawab Bisma membuat diri ini puas mendengarnya.

Aku s**a dia menahan sakit hati, seperti apa yang aku alami selama ini sebab papa dan bunda selalu mengutamakan dia daripada aku anak pertama mereka berdua.

"Kenapa dulu tidak memperjuangkan Tiara dan malah menyerah saat masmu menikahi dia?"

"Aku sudah berusaha, tetapi bunda malah menyetujui permintaan Bram Bram untuk menikah dengan Tiara tanpa terlebih dahulu mempertimbangkannya. Aku sudah berkali-kali mencoba mengatakan ke bunda bahwa aku lebih pantas menjadi pendamping hidup Tiara, akan tetapi bunda selalu bilang kalau Bang Bram itu lebih tua jadi dia yang harus menikah terlebih dahulu! Sekarang, kenapa malah Bunda menyalahkan aku?!

Seketika bunda terdiam, mungkin sedang mengingat-ingat apa yang dulu ia katakan.

Dulu bunda memang lebih setuju Tiara menikah denganku, terlebih lagi ketika mengatakan akan berubah dan tidak lagi bergonta-ganti pasangan jika sudah memiliki istri.

"Terus, video itu kamu dapat dari mana, Bisma? Kenapa kamu punya video tidak senonoh seperti itu?" cecar bunda lagi, setelah beberapa saat terdiam.

"Itu hanya editan, dan ternyata Bram langsung percaya begitu saja. Bo doh dia memang!"

Buk!

Sekali lagi ku hadiahi dia tinju, kesal luar biasa sebab gara-gara dia aku akan dibenci oleh Tiara.

"Sudah berhenti berkelahi. Kalian berdua memang salah. Sekarang di mana Tiara. Jangan sampai gara-gara kelakuan kamu dia pergi dari rumah. Bunda nggak mau kehilangan dia!"

Sudah bisa ditebak, bunda pasti menyalahkan aku atas masalah ini. Padahal jelas-jelas Bisma yang memulai, membuat aku merasa dibodohi dengan sikap lugu wanita yang sudah sebulan menyandang gelar istri dan melakukan semuanya. Itu pun karena pengaruh alkohol juga.

"Dia ada di rumah. Tadi pas aku pergi lagi nangis di kamar," jawabku apa adanya.

"Kenapa kamu tidak berusaha membujuk dia?"

"Bagaimana aku mau membujuk kalau lihat aku saja dia sudah ketakutan?!"

"Lain kali jangan kekanakan. Kalau ada masalah itu dibicarakan dengan kepala dingin, jangan langsung emosi tanpa mau klarifikasi. Kalau sudah begini kamu sendiri yang rugi karena Tiara malah jadi membenci kamu nantinya!"

"Harusnya Bisma yang disalahkan, bukan aku. Kalau dia nggak kirim video itu dan mengatakan kalau Tiara sudah pernah tidur sama banyak laki-laki aku nggak akan berbuat seperti itu!" Mencoba mencari pembenaran.

"Lunya aja bo doh. Gampang kehasut. Mudah-mudahan Tiara pergi dari hidup lu selamanya. Biar antara gue sama elu nggak ada yang bisa memiliki dia!" timpal Bisma dengan nada menjengkelkan.

"Diam kamu, Bisma. Jangan memperkeruh suasana. Kalau sampai Tiara pergi, Bunda juga akan membuat perhitungan sama kamu!"

Bunda menatap penuh dengan kemarahan. Entah mengapa dia begitu menyayangi Tiara sampai tidak terima anak-anaknya menyakiti dia.

Wanita itu kemudian memintaku untuk mengantarnya ke rumah untuk melihat menantu kesayangannya.

Baru saja hendak masuk ke dalam mobil ponsel dalam saku celana tiba-tiba berdering.

Ada panggilan masuk dari asisten rumah tanggaku, dan karena mengkhawatirkan keadaan Tiara aku segera menekan tombol hijau menjawab panggilan darinya.

"Ada apa, Mbak?" tanyaku sambil masuk lalu duduk di kursi kemudi.

"Maaf, Tuan Bram. Nyonya Tiara mengalami perdarahan dan pingsan, sekarang beliau sudah dibawa ke rumah sakit oleh Pak Samsul."

Gratis sampai tamat di aplikasi Fizzo
Judul: Trauma yang disembunyikan istriku
Penulis: Ida Saidah

17/09/2025

Perang dimulai Pietro Heartu Livy Dovey livytiffany Sellalaland Whosellaland Darren Dion Dear Darren fyp foryou trending anhong TikTokShortFilm TikTokIndonesia

 #1.."Mimpi apa kita, Pak, mau nikahkan anak pertama tanpa  pesta, Ibu malu," ucap ibu sambil cemberut sinis. "Eh Dara, ...
17/09/2025

#1.."Mimpi apa kita, Pak, mau nikahkan anak pertama tanpa pesta, Ibu malu," ucap ibu sambil cemberut sinis.

"Eh Dara, nanti kamu cari suami yang k4y4 jangan seperti kakakmu ini, punya suami m1zk1n, bikin pesta resepsi aja ga mampu, mau dikasih makan apa kamu nanti?" Ibu nyerocos lagi, meski Dara sudah memiliki kekasih.

Besok adalah hari pernikahanku, diadakan di rumah tanpa mengundang banyak orang hanya mengundang saudara dekat, kami pun hanya memasak untuk tamu dari pihak Feri saja--calon suamiku--

"Biarin lah, Bu, yang penting suaminya Naura tanggung jawab dan ngerti agama," sahut bapak santai.

Lelaki itu memang tak mata duitan seperti ibu dan Dara, ia juga yang menerima lamaran Feri meski calon suamimu itu hanya memberikan u4ng masak yang sedikit.

"Eh, Naura, kalau nanti udah nikah kamu ga punya beras jangan balik ke sini, makan aja tuh cinta!" Ibu melirikku dengan tatapan meledek.

Aku yang sedang memotong cabe dan ngupas bawang hanya mengedikkan bahu saja.

Aku harus pokus memasak enak agar keluarga Feri akan nyaman makan di rumah kami esok hari, walaupun mengerjakan ini sendiri tapi aku tak boleh bersedih hati

Toh setelah ijab kabul nanti Feri janji akan membawaku ke kota, hal yang sangat kunanti dari kecil yaitu pergi dari rumah ini, menjauh dari ibu dan Dara...

Sejak kecil ibu memang sudah pilih kasih kepadaku dan Dara, jika ia diberikan uang saku sepuluh ribu maka aku hanya diberi dua ribu atau seribu rupiah saja, itu yang ia lakukan ketika kami masih sekolah, dan bapak tak bisa berbuat apa-apa ketika sang istri zalim terhadap satu anaknya.

Aku dan Feri bertemu di tempat kerja, yaitu di sebuah pabrik garmen, aku sering melihat ia keluar masuk tempat itu, katanya ia bekerja di bagian office produksi.

Dan proses perkenalan pun tak begitu lama, kami hanya pernah jalan tiga kali saja makan di sebuah warung bakso sederhana, setelah itu ia melamarku pada bapak.

Keesokan harinya aku dihias oleh seorang MUA, ia merupakan kiriman dari keluarga Feri, meski tak mengadakan pesta tapi Feri sangat ingin aku dandan cantik seperti pengantin pada umumnya.

Kebaya putih yang begitu mengkilap indah menjuntai ke bawah di bagian belakangnya, dipadukan dengan batik corak warna hitam putih, siger beserta bunga melati pun sudah bertengger di kepala menambah keindahan yang terpancar di tubuhku, tak lupa aku mengenakan sepatu flat putih agar terlihat semakin sempurna.

"Udah selesai, cantik 'kan?" tanya perias itu yang bernama Mawar.

"Cantik, Teh, makasih ya." Aku tersenyum senang melihat pantulan diri di cermin, riasan perempuan ini memang luar biasa, seperti makeup artis saja.

Namun, kesenanganku memudar kala ibu dan Dara masuk ke kamarku memasang tampang mel3dek, yang didandani memang hanya aku seorang sedangkan ibu dan Dara memakai kebaya biasa.

"Naura, calon suamimu yang k3re itu jam berapa datangnya sih? jangan kelamaan tar keburu siang Ibu ada acara lain," sungut ibu.

Aku berdiri lalu balik badan menghadap mereka.

"Sebentar lagi juga datang kok, Bu." Aku tersenyum manis.

Sementara ibu dan Dara menganga melihatku dari atas hingga bawah.

"Ya ampun, gaunnya bagus banget," gumam Dara dengan tatapan takjub

Aku juga heran sendiri, kenapa perias suruhan Feri ini membawa kebaya yang begitu indah, bahkan mutiara yang menghiasinya saja sangat mengkilap, kalau dipikir harga kebaya ini seperti sangat mahal.

"Teh, kamu ga salah bawa baju ya? baju ini ga cocok sama Naura, apalagi dia nikah tanpa pesta, pakai kebaya biasa aja napa sih, yang murah biar ga berat u4ngnya." Ibu terlihat sewot, tapi dari tatapan matanya ia tak bisa berbohong jika dirinya memang mengagumi hasil kerja keras Teh Mawar dan penampilanku yang glamor ini.

"Engga kok, Bu, ga salah. Ini sesuai request Mas Feri, dia pingin pengantinnya tampil cantik." Teh Mawar tersenyum menatapku.

"Halaah k3re aja banyak tingkah, ingetin tuh calon suamimu, Naura, nyewa kebaya dan perias ini pasti mahal, dia bisa bayar pakai apa nanti? jangan-jangan dapet ngutang lagi." Ibu menatap sinis.

"Rugi kamu, masih p3rawan dapat lelaki m1zkin," lanjutnya seperti belum puas mengejek.

Aku geleng-geleng kepala, tak bisa melawan semua hinaan ibu, biarlah ia memandang rendah yang penting aku bahagia akan segera menikah.

Saat Mas Feri melamarku ia mengatakan jika pekerjaannya hanya seorang buruh di pabrik itu sama sepertiku, padahal Feri ini kerja di bagian office produksi, aku tak mengerti kenapa ia tak mengatakan yang sejujurnya.

Oleh sebab itu ibu memandang rendah Feri, ia tak seperti pacar Dara yang seorang pengusaha, bila datang ke rumah s**a bawa mobil bagus dan membawakan barang-barang mahal untuk kami semua.

"Lihat nih pacar Dara, kaya raya kalau ke sini bawa mobil dan bawa barang-barang mahal." Ibu tersenyum bangga begitu p**a dengan Dara.

"Teh, pengantin pria udah datang. Cakep banget sih calon suamimu itu." Ria adik sepupuku datang membawa kabar gembira.

Aku pun keluar kamar tanpa menghiraukan tatapan sinis ibu dan Dara, tapi sepertinya ibu mengekor di belakang karena terdengar ia berbincang-bincang.

"Pernikahannya sederhana banget, Rita, kayak nikahkan janda." Itu suara Bi Ratih kakaknya ibu.

"Bukan kayak nikahkan j4nda, tapi kayak nikah digrebek," sahut ibu disambut tawa cekikikan Dara.

Hatiku memang panas dan ingin marah. Namun, rasa itu kuredam seketika karena mungkin sudah terbiasa dengan ejekan mereka

Di depan sana, Feri calon suamiku duduk bersila diantara keluarganya, penghulu pun sudah datang, bapak juga sudah duduk di samping pak penghulu.

Semua keluarga Mas Feri menatapku takjub begitu p**a dengan calon suamiku, untuk beberapa saat pandangan kami beradu, Ria benar Feri sangat tampan sekali hari ini.

"Saya nikahkan Feri Hadinata Suryaningrat bin Bagus Suryaningrat dengan anak saya Naura Permatasari binti Endang Hamami, dengan mas kawin u4ng tunai satu m1lyar dan cincin emas lima gram dibayar tunai."

Aku mend**gak karena kaget, apakah itu tak salah? Feri memberikan mahar u4ng satu mily4r? ternyata bukan hanya aku yang kaget, ibu beserta saudara yang lain pun sama terkejutnya.

Bagik4n-likE-l4njut untuk part berikutnya
#1

JUDUL CERITA: MAHAR SATU MILY4R
Baca selengkapnya di KBM App
Username KBM; InaQirana97

Address

Jakarta

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Livy dovey posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share