Livy dovey

Livy dovey hallo suport terus ya
(2)

ISTRIKU KUSIRAM AIR PANAS KARENA TAK MAU MEMBIAYAI PERNIKAHAN ADIKKU (9)POV AGUS“Kak, ini undangan yang kemarin aku bila...
25/08/2025

ISTRIKU KUSIRAM AIR PANAS KARENA TAK MAU MEMBIAYAI PERNIKAHAN ADIKKU (9)

POV AGUS

“Kak, ini undangan yang kemarin aku bilang.”
Sinta meletakkan tumpukan kartu undangan berwarna krem ke meja makan. Aku yang baru p**ang kerja hanya melirik sekilas sambil melepaskan dasi.

“Bagus,” jawabku datar.

“Bagus aja? Kak, ini belum termasuk cetak tambahan, ya. Soalnya kemarin aku pesan cuma seribu, tapi kata keluarga mas Eko—”

Aku mendesah panjang, menahan emosi. “Sinta, kemarin kita udah bahas anggaran. Kamu udah minta tambahan buat dekor, sekarang mau tambah undangan lagi?”

Sinta cemberut. “Ya kan biar undangannya nyampe semua. Lagian ini momen sekali seumur hidup, Kak. Nggak lucu kalau ada yang nggak diundang.”

Aku memijat pelipis. Kepala rasanya berdenyut sejak di kantor. “Berapa lagi kamu butuh?”

“Ya, nggak banyak, cuma lima juta.”

Aku terbatuk kaget. “Lima juta itu nggak banyak?”

“Kak, jangan pelit sama adik sendiri. Dulu waktu Kakak nikah, kan semua keluarga juga bantu. Sekarang gantian, Kakak bantu aku.”

“Bantu?!” aku mendengus. “Ini udah bukan bantu lagi, Sin. Ini namanya nombokin semua biaya.”

Sinta memelototkan mata. “Ih, Kakak kenapa sih? Dari kemarin ngomel mulu. Kalau nggak mau, bilang aja.”

Aku menghempaskan tubuh ke kursi. “Masalahnya, aku yang kerja sendirian! Kamu pikir duit jatuh dari langit? Dulu waktu Nadya masih ada, aku masih bisa minta dia buat bantuin, gajinya lumayan. Sekarang, ya semua beban ada di aku.”

Sinta diam sebentar, lalu dengan entengnya berkata, “Ya kan Nadya udah nggak ada. Makanya Kakak fokus ke keluarga sendiri.”

Kata-kata itu membuat darahku berdesir aneh, tapi aku tahan.

“Keluarga sendiri itu juga istri, Sin. Kalau aja dia masih—” aku berhenti. Tidak tahu kenapa, wajah Nadya yang terkena air panas terbayang di kepalaku, membuat tenggorokanku kering.

Sinta menepuk meja, memecah lamunanku. “Mas, nanti malam kita rapat sama keluarga mas Eko. Mereka mau finalize konsep resepsi.”

---

Malam itu, aku duduk di ruang tamu rumah keluarga Eko. Calon adik iparku duduk di sebelah Sinta, wajahnya santai, sementara orang tuanya membentangkan rancangan acara.

“Jadi, kita mau konsep yang elegan tapi tetap sakral,” kata ibu Eko sambil tersenyum manis. “Dekorasi bunga segar impor, lampu gantung kristal, dan pelaminan ukir tradisional.”

Aku menghitung cepat di kepala. “Itu biayanya pasti besar.”

Bapak Eko tertawa kecil. “Nggak juga. Kalau dihitung-hitung, paling sekitar 250 juta.”

Aku hampir tersedak. “Dua ratus lima puluh juta?!”

“Lho, itu udah termasuk sewa gedung bintang lima,” tambah ibu Eko, seolah itu berita baik.

Aku menatap Sinta, berharap dia sadar ini gila. Tapi dia malah mengangguk-angguk semangat.

“Wah, bagus tuh, Kak. Elegan banget.”

Aku mengerutkan kening. “Terus, bagian keluarga pria berapa?”

Bapak Eko tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Nah, itu. Karena kita kan keluarga besar, yang penting niatnya. Jadi kita hitung, bagian keluarga pria cukup 70 juta aja.”

Aku terdiam beberapa detik, mencoba mencerna. “Jadi sisanya, 180 juta dari pihak kita?”

Ibu Eko mengangguk. “Betul sekali. Kan calon pengantin wanita biasanya yang menanggung lebih banyak.”

Aku menutup mata sejenak, mencoba meredam amarah. “Bu, Pak, terus terang, anggaran kami nggak sebesar itu.”

Sinta langsung menyikut lenganku. “Kak, jangan ngomong gitu di depan mereka…” bisiknya kesal.

Aku menoleh padanya. “Sinta, ini udah kebangetan. Masalahnya, kamu dari awal nggak pernah bilang kalau bagian kita bakal segede ini.”

Calon mempelai pria tiba-tiba angkat bicara. “Mas Agus, ini kan acara sekali seumur hidup. Lagian, kalau mewah kan tamu-tamu puas. Kita jadi nggak malu sama keluarga besar.”

Aku mendengus. “Jadi ini demi gengsi?”

Sinta langsung memotong, “Kak! Jangan kasar!”

Aku berdiri, napas memburu. “Aku udah capek. Dari kemarin tambahan ini, tambahan itu, sekarang mau nambah ratusan juta. Aku yang kerja, aku yang mikir cicilan rumah, tapi kalian kayak nggak peduli!”

***

Baca selengkapnya di KBM App.
Judul : Istriku Kusiram Air Panas Karena Tak Mau Membiayai Pernikahan Adikku
Penulis : rahmalaa

25/08/2025

Apapun demi kakak Livy Dovey Sellalaland cikilan Darren Dion Still Arby Only Kelly makarizo fyp foryou trending anhong TikTokShortFilm TikTokIndonesia

"Anaya Khair Mahera?" Ayah mengulang menyebut namaku."Iya, Tuan."Ayah termangu, cukup lama, matanya menatapku lekat, bul...
24/08/2025

"Anaya Khair Mahera?" Ayah mengulang menyebut namaku.

"Iya, Tuan."

Ayah termangu, cukup lama, matanya menatapku lekat, bulir air tampak menggenang di bawah kelopak matanya.

"Siapa nama Ibumu?" tanyanya lagi setelah cukup lama diam.

Ayah bertanya tentang Ibu? Jadi dia tidak lupa ingatan, namaku mengingatkannya akan seseorang dan itu adalah Ibu. Lalu, alasan apa yang membuat Ayah pergi meninggalkan kami.

"Nama Ibunya Dian, Tuan. Iya, Diani."

Om Riswan sekali lagi menimpali perbincangan kami, seolah-olah sengaja menyembunyikan nama Ibu dari Tuan Naufal. Entahlah, aku marah, tapi tak berniat p**a untuk meralat, jika pria ini tahu aku adalah putrinya, maka mungkin tak ada kesempatan untuk aku mencari tahu alasan Ayah meninggalkan Ibu, dan membiarkan Ibu tersiksa dalam waktu yang lama.

"Benar nama Ibumu Diani?" Ayah meyakinkan nama itu padaku.

"Iya." Aku tertunduk, menyembunyikan sorot mata kebohongan yang mungkin akan terbaca.

Apa reaksi Ayah, apa dia kecewa karena aku bukan putrinya, atau dia senang, karena tak jadi bertemu putri yang ditinggalkannya.

"Jadi bagaimana Tuan, apa ua ng gaji Naya bisa dititipkan saja pada saya?" Om Riswan menyela lagi. Ya Tuhan, dalam isi otaknya hanya ada uang dan uang.

"Tidak, dia sudah cukup umur untuk memegang ua ng gaji sendiri, dan saya yang akan membuatkannya re kening."

Aku menghela napas lega, setidaknya Ayah menyelamatkan aku dari pria culas yang mungkin akan mengambil banyak dari ua ng gajiku.

"Tapi, saya walinya, Tuan." Om Riswan tetap bersikukuh.

"Kamu tadi bilang tetangganya, dan saya pegang ucapan kamu yang pertama. Lagip**a, akan jauh lebih aman jika dia punya re kening sendiri."

Aku mendengar suara dengkusan Om Riswan, dia mungkin kesal, karena rencana untuk mendapatkan 30% dari ua ng gajiku terancam batal.

"Baiklah, Naya, saya akan memperkenalkan kamu dengan Mama." Ayah berdiri, mengajakku bertemu dengan Bu Rosmalia. Itulah nama yang akan aku panggil untuk Nenek.

"Iya, Tuan."

Kami berjalan bersama, meninggalkan Om Riswan yang aku merasakan tatapannya menghunus di belakang kami. Aku tak bisa menganggap sepele pria itu, karena dia orang yang tahu siapa aku sebenarnya, dan firasatku mengatakan, dia punya rencana yang buruk pada keluarga Ayah.

Aku tak tahu apa maksud Om Riswan berbohong tentang nama Ibu, tapi yang jelas itu pasti bukan untuk menyelamatkan aku.

"Anaya, usiamu benar-benar sembilan belas tahun?" tanya Tuan Naufal saat kami berjalan bersama menuju kamar Bu Rosmalia.

"Iya, Tuan. Memangnya kenapa?"

Tuan Naufaldi atau Ayah, menyesap ro kok elektrik yang tadi hanya dia genggam. "Tidak, tapi nama kamu mengingatkan saya pada seseorang, jika dia masih ada, mungkin usianya lebih muda dari kamu."

Netra Ayah menatap kosong, tapi bukan itu yang bermain dalam pikiranku, kenapa Ayah mengatakan, 'jika dia masih ada?' apa itu berarti ... Ayah berpikir aku sudah m ati?

Tunggu!

Kenapa Ayah bisa punya pikiran seperti itu? Aku masih hidup, aku belum mat i!

"Tu-Tuan." Aku berbalik, tak tahan ingin bertanya pada Ayah maksud dari perkataannya tadi.

Pertanyaan itu hanya dapat aku telan, karena pintu kamar sudah terbuka, dan seraut wajah angkuh yang tengah duduk di kursi roda menatap kami.

"Kita sudah sampai di kamar Mama, jika nanti Mama banyak bertingkah, usahakan untuk tetap sabar, jangan terlalu tegang, kadang yang membuat Mama kesal itu karena perawatnya terlihat ketakutan saat mengurusnya. Mama tidak dapat bicara, dari seluruh sarafnya yang masih bekerja hanya tangan saja, jadi jika tidak s**a pada sesuatu Mama pasti akan bertingkah kasar."

Aku mengangguk mengerti.

"Ma, kenalkan ini Anaya, dia perawat baru Mama."

Ayah berjalan menghampiri Bu Rosmalia--wanita cantik dengan rambut berwarna cokelat, usianya sudah tua, tapi dari penampilannya, dia masih tetap terlihat anggun.

Ayah memberi isyarat melalui tatapan mata, meminta agar aku segera memperkenalkan diri pada Bu Rosmalia.

"Selamat siang, Bu, perkenalkan saya Anaya, mulai hari ini saya yang akan merawat Ibu."

Bu Rosma menatap sinis ke arahku, sudut matanya menelisik dari ujung rambut sampai ujung kaki, persis dengan yang dilakukan Ayah tadi. Tak lama, karena setelah itu, Bu Rosma mengalihkan lagi pandangan matanya pada televisi yang menyala di kamar ini.

"Mama memang agak ketus, saya harap kamu mengerti dan tidak mudah tersinggung." Ayah menjelaskan sikap Bu Rosma padaku.

"Saya mengerti, Tuan."

Ayah mengajakku berkeliling kamar ibunya, memperlihatkan kamar mandi yang akan aku gunakan untuk membantu Bu Rosma mandi dan membersihkan diri, menunjukkan lemari pakaian, dan nanti Bu Rosma akan memilih sendiri pakaian yang ingin dia kenakan setiap harinya, lalu nakas kecil tempat semua obat-obatan tersimpan.

Tak hanya itu, Ayah juga memberiku jadwal makanan apa saja yang harus dikonsumsi Bu Rosma. Bagiku, sekilas saja terlihat Ayah sangat memperhatikan ibunya, dia bisa hapal letak barang, dan apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan Bu Rosma.

Dia lelaki yang baik, tapi kenapa dia meninggalkan Ibu?

"Nanti setelah Mama istirahat, kamu bisa ke dapur, membuatkan kue pesanan saya tadi. Apa kamu lelah, Nay?" tanya Ayah, dia begitu lembut, dan sama sekali tidak sombong.

"Tidak, Tuan. Nanti akan saya buatkan kue untuk Tuan."

"Terima kasih, Naya, saya harap rasa kuenya sama, karena saya sangat merindukan itu." Ayah tertawa kecil, lalu berjalan keluar dari kamar Bu Rosma.

Rasa kuenya sama?

Sama dengan siapa? Apa maksud Ayah--Ibu?

Suara lonceng berbunyi, aku menoleh ke belakang, Bu Rosma tengah menatapku dengan sinis.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Aku berjalan menghampirinya.

Bukan jawaban yang aku terima, melainkan jamb akan di rambut, tak tanggung-tanggung tarikannya kuat sekali, membuat kepalaku terasa berdenyut sakit. Apakah ini ucapan selamat datang seorang nyonya besar pada perawatnya?

Melihat aku yang tak melawan dan meronta dijam bak, Bu Rosma terlihat melunak, setelah aku rayu dengan sabar, dia mau juga aku suapi makan, meski dimuntahkannya lagi, mau meminum obat dan akhirnya tertidur.

Dua jam pertama tugas aku merawatnya bisa dikatakan berhasil.

Sesuai permintaan Ayah, saat Bu Rosma istirahat aku ke dapur, membuatkan kue bolu kukus supaya bisa dimakan juga oleh Bu Rosma nantinya.

"Percuma kamu bikin kue, pasti nanti enggak kepake sama Tuan Naufal," cibir seorang pelayan yang ada di dapur dan sedang mengamatiku.

"Memangnya semua pelayan di sini sudah mencoba bikin kue, Bik?" Aku coba untuk mengakrabkan diri bertanya pada pelayan tadi.

"Pertanyaan pertama yang diajukan Tuan Naufal saat mau melamar ke sini, kan, bisa bikin kue atau nggak, dan semua pelayan di sini sudah membuat kue permintaannya, tapi enggak ada yang kepake, baru satu gigit udah dibuang. Heran saya, maunya Tuan Naufal itu apa, saya sampai beli di toko kue, tetap aja dia enggak s**a.'

Sebegitu obsesinya kah, Ayah pada kue tradisional?

"Kamu tadi enggak di apa-apain sama Nyonya Rosma?" Pelayan itu bertanya lagi.

Aku tertawa kecil menjawabnya, "Cuma dijambak aja."

"Terus kamu nggak teriak?"

Aku menggeleng. "Enggak, Mbak, tadi saya diam aja."

"Wih, baru kali ini ada perawat yang tahan dijambak sama Nyonya."

"Memang kenapa, Mbak?"

"Nyonya itu menguji kesabaran perawatnya dengan cara menjambak, membuang makanan yang lagi disuapi, nah, biasanya baru hari pertama mereka sudah teriak-teriak mengadu pada Tuan Naufaldi, habis itu minta keluar."

Ternyata seperti itu, syukurlah aku tadi diam saja, mungkin karena sudah terlatih dihina dan dica ci ma ki setiap hari.

"Eh, umur kamu berapa tahun?" Pelayan itu mendelik ke arahku.

"Tu ... eh, sembilan belas tahun, Mbak."

"Masih muda banget. Eh, kamu kerja di sini yang bener, jangan centil, awas aja kalau sampai godain Tuan atau Den Muda, saya bakalan laporin ke Nyonya Vaness, biar kamu dipecat!"

"Iya, Mbak, saya niat cari u ang aja, kok."

"Baguslah. Oh ya, satu lagi, orang kepercayaan Nyonya itu saya, jadi kamu jangan macam-macam, apalagi berusaha cari muka."

Aku menghela napas, tak di mana-mana, selalu ada orang toxic yang menabur keben cian pada orang lain.

"Bu Rosma mau nyoba bulu kukus buatan saya?" kataku menawari Bu Rosma bolu kukus usai dia mandi sore.

Wanita tua itu menatapku, tak lagi seketus tadi, kemudian menganggukkan kepalanya sembari melirik bolu yang aku simpan di atas piring kecil. Aku memotongnya menjadi beberapa bagian, lalu menyuapkannya ke mulut Bu Rosma.

Pada gigitan pertama dia mengunyah, reaksi wajahnya terlihat aneh, aku pikir bolu kukus ini akan dimuntahkannya, tapi ternyata, mulutnya masih terus mengunyah, dan perlahan aku melihat air matanya yang berjatuhan, membasahi p**i.

Kenapa Nenek menangis? Apa ada yang salah dengan kue buatanku? Apa tidak seenak buatan Ibu?

"Siapa kamu?" tanyanya lirih.

Aku tertegun menatapnya bingung.

Bu Rosma bisa bicara, bukankah Ayah bilang dia bisu?

Penasaran gak?

Bisa langsung mampir baca sampai tamat di aplikasi K B M App.
Judul asli KBM Ap: AKU PUTRIMU BUKAN PEMBANTUMU
Nama akun: tanianoer

“Rumah ini milik Mas Fandy. Sekarang Mas udah nggak ada. Kamu tuh cuma numpang. Jadi jangan baperan.”Keterlaluan! Belum ...
24/08/2025

“Rumah ini milik Mas Fandy. Sekarang Mas udah nggak ada. Kamu tuh cuma numpang. Jadi jangan baperan.”

Keterlaluan! Belum tujuh hari suamiku mennggal. Mertua menguasai ha r ta peninggalan suamiku. Bahkan mereka mengvsirku, mereka tidak tahu ada harta tersembunyi dari suamiku yang kubawa dan bisa mengubah hidupku dan membuat mereka……4

“Aku nggak s**a masakan ini! Hambar!”

Teriakan Nita menggema keras dari ruang makan, membuat semua orang di rumah itu menoleh. Mira yang baru saja menidvrkan Aira di ka mar, segera berlari ke ruang makan. Wajahnya cemas, tapi ia berusaha tetap tenang.

“Maaf, Mbak Nita… aku kira udah cukup bumbunya. Tadi aku sempat cicipin juga,” jawab Mira pelan.

Nita mendengus. “Kamu pikir li dah kamu itu standar segalanya, ya? Masakan kayak gini dikasih ke suamiku? Nggak banget.”

“Nita, cukup,” sahut suaminya, Adi, setengah berbisik. Tapi Nita mengabaikannya.

“Udah, Bi. Jangan belain dia terus. Ini rumah keluarga kita juga. Aku punya hak ngomong!”

Risma keluar dari kamar sambil mengikat rambut. “Ada apa lagi ribut-ribut pagi-pagi?”

“Masakan Mira nggak enak, Bu. Hambar banget. Padahal aku udah bilang tadi malam biar dia masak yang bener. Katanya dia bisa masak!”

Risma menghela napas, lalu menatap Mira dengan mata ta jam yang sama seperti beberapa hari terakhir. “Kamu kalau masak itu, pikirin juga yang makan. Jangan asal-asalan. Jangan egois.”

“Maaf, Bu… aku—aku nggak bermaksud…”

“Kamu dari dulu memang begitu, Mir. Terlalu mikirin diri sendiri. Sekarang Fandy udah nggak ada, harusnya kamu lebih bisa ngerti posisi.”

Mira menunduk. Hatinya menje rit, tapi bi birnya membisu. Ia tahu, tak ada tempat baginya untuk membela diri.

Siang itu, saat Mira tengah menyuapi Aira yang masih demam sejak semalam, Nita kembali datang ke dapur.

“Eh, Mira. Mulai besok, urusan dapur aku yang atur, ya. Biar lebih terorganisir.”

Mira menoleh perlahan. “Maksudnya… aku nggak boleh masak lagi?”

“Ya boleh aja, asal izin dulu. Biar jadwalnya nggak bentrok. Lagian, kamu fokus aja ke ank kamu. Kan sakit tuh.”

“Ini rumah saya juga, Mbak…”

“Rumah ini milik Mas Fandy. Sekarang Mas udah nggak ada. Kamu tuh cuma numpang. Jadi jangan baperan.”

“Cukup, cukup,” ujar Risma yang tiba-tiba muncul dari belakang. “Mira, ikut aja aturannya. Kami ini masih baik sama kamu, loh. Masih izinin kamu tinggal di sini. Banyak perempuan di posisimu yang udah divsir!”

Mira menggi git bi birnya. Tenggo rokannya terce kat. “Saya cuma pengen bantu, Bu. Biar semuanya tetap jalan.”

“Nggak usah bantu. Nanti dibilang cari muka lagi.”

Hari-hari berikutnya, Mira seolah tinggal di rumah yang asing. Ruang depan kini dipenuhi barang-barang milik Nita dan Adi. Dapur penuh dengan aturan yang tidak ia pahami. Bahkan kam ar ma ndi pun mulai dijadwalkan.

Satu sore, ketika Mira hendak mandi usai mencuci popok Aira, dia melihat secarik kertas tertempel di pintu kamar mandi.

JADWAL PENGGUNAAN KAM AR MAN DI
06.00–07.00 – Bu Risma
07.00–07.30 – Nita
07.30–08.00 – Adi
08.00–08.30 – Mira & Aira

Mira terpaku. Bahkan waktu untuk membersihkan diri pun kini dibatasi. Ia menggenggam erat ember cucian sambil menahan napas.

Malam hari, ketika Aira kembali menangis karena demamnya tak kunjung turun, suara bentakan terdengar dari kam ar Nita.

“Bisa nggak sih ank kamu itu diem! Aku baru aja tidvr! Gara-gara dia, kepalaku pusing lagi!”

Mira menggendong Aira dan berusaha menenangkan putrinya. “Ssst… tenang, Nak. Mama di sini.”

Tiba-tiba pintu kamar Nita terbuka.

“Kalau ankmu sakit, bawa ke dokter. Jangan nyusahin orang serumah!”

Mira menoleh. “Aku nggak punya ua ng, Mbak. Belum bisa—”

“Ya minta ke Ibu! Jangan tunggu ankmu makin parah!”

Keesokan paginya, Mira memberanikan diri menghadap Risma di ruang tengah.

“Bu… maaf, Aira demamnya belum turun. Saya… saya mau minta ua ng buat bawa dia ke dokter.”

Risma tidak langsung menjawab. Ia menutup bukunya dan menatap Mira lama.

“Kamu tahu, sekarang semua keu angan udah Ibu yang pegang. Jadi kalau kamu butuh, sebutkan detailnya. Untuk apa, berapa, dan kenapa.”

“Untuk dokter anak, Bu. Mungkin sekitar dua ratus ribu?”

Risma menghela napas. “Oke. Tapi kamu harus belikan obat di apotek yang Ibu tunjuk, ya. Nggak usah ke dokter. Ibu udah biasa ngurusin ank-ank juga.”

“Tapi, Bu… saya khawatir. Suhunya tinggi sekali.”

“Obat yang Ibu suruh beli itu cukup. Kamu jangan manja. Jangan dikit-dikit ke dokter.”

Mira hanya mengangguk. Ia tahu, berdebat tak akan membawa apa-apa. Malam itu, di atas kasur tipis yang mulai lembab karena keringat Aira, Mira menangis dalam diam.

“Ayahmu udah nggak ada, Nak… Ibu tahu kamu kesakitan. Tapi Ibu belum bisa apa-apa. Bertahan ya, sayang…”

Tangannya membelai rambut Aira yang lep ek dan basah. Ank itu terisak kecil dalam tidvrnya. Nafasnya berat. Tapi yang lebih berat adalah hati Mira.

Tangisan tak lagi punya suara di rumah itu. Ia hanya bisa menggema dalam da da yang makin lama makin sesak.

Rumah yang dulu dibangun dengan cinta, kini menjadi tempat penghakiman. Dan dirinya, hanya sosok tak terlihat yang terus disalahkan, dituduh, dan dikecilkan.

Namun, untuk sekarang, Mira hanya bisa bertahan. Belum ada keberanian untuk pergi. Belum ada kekuatan untuk melawan. Ia hanya ingin satu hal, anaknya selamat. Dan dirinya tetap utuh, meski perlahan direnggut dalam diam.
Keesokan harinya, dengan sedikit uang yang dia punya ditambah uang dari ibu, Mira membawa Aira ke dokter. Dan kini keadaan Aira sudah membaik.

***
“Bumbu dapurnya masih disimpan semra wut gini?” Nita membuka lemari satu per satu. “Aduh, pantes aja kalau masak rasanya s**a nggak pas…”

“Kalau nggak cocok, kamu bisa beli yang baru, Mbak,” ujar Mira pelan, mencoba menahan nada suaranya agar tidak pecah.

“Iya, ya. Ma, nanti kita belanja sekalian beli bumbu yang proper. Masa jan da PNS masaknya masih pakai micin murah?”

Risma tertawa dari ruang tamu. “Betul itu! Fandy kasihan di dalam ku bur, istrinya masak asal-asalan, ngurus rumah nggak becus!”

Mira menunduk. Aira yang duduk di kursi makan menggenggam tangan ibunya, seolah tahu ada ba dai dalam hati Mira.

“Bu… Aira takut,” bisiknya.

“Nggak apa-apa, sayang,” jawab Mira lembut, mengusap kepala anknya. Tapi tangisnya sudah hampir pecah.

Setelah makan malam selesai, Risma duduk di ruang tamu, membuka map coklat yang dibawanya. Mira baru saja hendak ke kam ar bersama Aira, ketika dipanggil keras.

“Mira! Sini sebentar!”

“Aira, tunggu Ibu ya. Ibu dipanggil Nenek,” kata Mira pada anknya yang mengangguk lalu melangkah masuk kamar. Mira melangkah pelan menghampiri ibu mertuanya.

“Ini saya udah cek data dari kepegawaian. U ang duka, tunjangan ank, bisa cair. Tapi saya butuh surat kuasa dari kamu biar semuanya bisa langsung saya urus.”

Mira terdiam. “Saya belum… paham semua prosedurnya, Bu. Biasanya kan istri yang—”

“Istri, istri!” bentak Risma. “Kamu pikir kamu satu-satunya istri di dunia? Ibu kandungnya Fandy ini, bukan kamu! Ank saya mening gal, kamu masih hidup seenaknya!”

“Bu, saya juga kehilangan Mas Fandy…”

“Ah, jangan main drama! Kamu kehilangan? Kami juga kehilangan! Tapi kamu yang tinggal enak-enakan di rumah ini, hidup dari ua ng anak saya, sekarang giliran bagi hak kamu malah nyari alasan!”

“Bukan begitu, saya cuma ingin ikut mengurus…”

“Biar kamu bisa ngatur-ngatur ya? Ua ng dari negara itu harusnya dikelola yang ngerti! Kamu tau apa, Mira?! Kamu bisa kerja aja nggak! Jangan mentang-mentang ank kamu dapet tunjangan, kamu anggap semua itu milik kamu!”

“Bu, itu untuk anak saya dan kehidupan kami ke depan…”

“Ya, maka dari itu kamu tinggal di sini, makan gratis, listrik gratis, semua ibu yang tanggung! Jadi kamu jangan banyak ba cot, cukup tanda tangan aja surat kuasa ini!”

Nita keluar dari dapur sambil membawa air minum, ikut menyaksikan percakapan mereka dengan pandangan puas. Seolah menikmati tontonan keluarga yang re tak ini.

“Sudah deh, Mira. Jangan ribet. Kalau memang nggak mampu ngurus, serahkan aja. Mama yang lebih tahu urusan begini.”

Mira menatap Nita lama. “Tolong… jangan ikut campur. Ini antara saya dan Ibu.”

Risma langsung bangkit berdiri. “Kamu berani ngomong gitu ke kakak ipar kamu?! Ini rumah siapa kamu berani ngomong begitu, hah?!”

“Ini rumah suami saya…” bisik Mira nyaris tak terdengar.

“Fandy sudah meninggal!!” hardik Risma. “Dan sekarang semua kembali ke tangan keluarganya! Termasuk kamu. Kalau kamu masih mau tinggal di sini, kamu harus nurut! Kalau nggak, silahkan pergi!”

“Pergi?” Mira terce kat.

Selengkapnya di kbmapp

Judul : Membalas Mertua dan Ipar Tamak
Penulis : putri_arhea1

LATEST NEWS Dokter Tifa Skak Pernyataan Rektor UGM, Polemik Ijazah Jokowi Kembali MemanasPolemik soal status akademik Pr...
24/08/2025

LATEST NEWS

Dokter Tifa Skak Pernyataan Rektor UGM, Polemik Ijazah Jokowi Kembali Memanas

Polemik soal status akademik Presiden Joko Widodo kembali mencuat setelah pernyataan terbaru Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Ova Emilia, ditanggapi keras oleh Dokter Tifauzia Tyassuma atau yang dikenal sebagai Dokter Tifa.

Dalam keterangannya pada 22 Agustus 2025, Ova Emilia menegaskan bahwa Jokowi merupakan alumni sah Fakultas Kehutanan UGM. Ia menyebut kampus memiliki dokumen otentik yang mendukung keseluruhan proses akademik, mulai dari penerimaan, perkuliahan, KKN, hingga wisuda.

Namun, pernyataan itu justru dipersoalkan Dokter Tifa. Melalui unggahan di media sosial, ia menyoroti penggunaan istilah “Sarjana Muda” yang disampaikan Rektor. Menurutnya, istilah tersebut mengindikasikan bahwa Jokowi bukan mahasiswa program Sarjana (S1) reguler.

Hasilnya, anak tumbuh pintar menghafal, namun miskin nalar. Inilah penyakit pendidikan yang diam-diam diwariskan dari ge...
24/08/2025

Hasilnya, anak tumbuh pintar menghafal, namun miskin nalar. Inilah penyakit pendidikan yang diam-diam diwariskan dari generasi ke generasi.

Sebuah penelitian dari Stanford (2016) menemukan bahwa lebih dari 80% siswa tidak mampu membedakan berita asli dari berita palsu di media online. Artinya, anak-anak cerdas sekalipun bisa dengan mudah dimanip**asi jika tidak terbiasa berpikir kritis sejak kecil.

Di rumah, kita sering melihat anak menerima semua informasi mentah-mentah. Contohnya, ketika mereka menonton iklan makanan cepat saji lalu percaya begitu saja bahwa produk itu menyehatkan. Tanpa keterampilan berpikir kritis, anak akan terus tumbuh sebagai konsumen pasif, bukan pemikir aktif. Mengajarkan anak berpikir kritis bukan sekadar soal akademik, melainkan bekal menghadapi realitas penuh manip**asi.

1. Ajarkan Anak untuk Bertanya
Julie Bogart menekankan bahwa anak yang dilatih bertanya sejak dini akan memiliki fondasi berpikir kritis yang lebih kuat. Pertanyaan sederhana seperti “kenapa” dan “bagaimana” bisa mengarahkan anak pada kebiasaan tidak menerima sesuatu begitu saja.

Di kehidupan sehari-hari, orang tua bisa mengubah momen sederhana menjadi kesempatan berpikir. Saat anak melihat iklan mainan, tanyakan: “Menurutmu, apakah mainan ini benar-benar bisa membuatmu lebih bahagia?” Dengan cara ini, anak belajar bahwa setiap klaim perlu dipertanyakan.

Kebiasaan bertanya membuat anak lebih peka pada detail dan mampu melihat perbedaan antara opini dan fakta. Di sinilah benih kritisisme tertanam tanpa harus memaksa anak menjadi sok pintar.

2. Dorong Anak untuk Membaca dengan Pikiran Terbuka
Dalam bukunya, Bogart menekankan pentingnya membaca tidak hanya sebagai aktivitas pasif, tetapi sebagai dialog dengan teks. Anak perlu dibiasakan bertanya, “apa maksud penulis?” atau “apakah ada sudut pandang lain?”

Misalnya, saat anak membaca dongeng, jangan biarkan mereka hanya menikmati cerita. Ajak diskusi tentang mengapa tokoh tertentu mengambil keputusan tertentu. Dengan begitu, anak belajar bahwa cerita bukan sekadar hiburan, tetapi ruang untuk menilai pilihan moral.

Ketika anak terbiasa membaca dengan pikiran terbuka, mereka akan lebih tahan terhadap dogma dan tidak mudah terjebak pada satu versi kebenaran. Pada titik ini, membaca menjadi latihan kritis, bukan sekadar konsumsi informasi.

3. Kenalkan Anak pada Sudut Pandang yang Berbeda
Bogart menekankan bahwa berpikir kritis bukan sekadar menolak, melainkan juga memahami perbedaan. Anak yang hanya hidup dalam “gelembung” opini keluarga cenderung berpikir sempit.

Di rumah, orang tua bisa mulai dengan hal sederhana, misalnya ketika membicarakan sebuah peristiwa. Ajak anak melihat dari sisi lain, seperti perspektif orang yang berbeda latar belakang. Hal ini membangun empati sekaligus memperluas wawasan kritis.

Tanpa kebiasaan ini, anak mudah menjadi fanatik buta. Dengan perbandingan pandangan, mereka belajar bahwa dunia tidak hitam putih, melainkan penuh nuansa yang butuh pertimbangan.

4. Ajarkan Anak untuk Membuktikan Klaim
Bogart menegaskan pentingnya membiasakan anak mencari bukti. Sebuah klaim tanpa dasar tidak boleh langsung diterima.

Misalnya, saat anak berkata, “temanku bilang game ini bikin pintar,” orang tua bisa menanggapi, “bisa tunjukkan penelitian atau bukti yang mendukung itu?” Anak pun belajar bahwa pernyataan tanpa bukti lemah nilainya.

Melalui latihan ini, anak menjadi terbiasa menilai argumen berdasarkan evidensi, bukan sekadar kepercayaan atau otoritas. Di sinilah mereka belajar berpikir seperti seorang peneliti kecil.

5. Gunakan Diskusi Sehari-hari sebagai Latihan
Menurut Bogart, rumah adalah laboratorium paling efektif untuk melatih kritis. Diskusi keluarga bisa menjadi ruang belajar yang lebih nyata daripada kelas formal.

Ketika makan malam, orang tua bisa memancing obrolan tentang isu ringan, seperti mengapa orang berbeda selera makanan. Dari situ, anak belajar melihat alasan logis di balik perbedaan sederhana.

Diskusi semacam ini mengajarkan anak bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kesempatan untuk memperdalam pemahaman. Proses ini sekaligus mengajarkan mereka bahwa berpikir kritis bukan hal menegangkan, melainkan bagian alami dari kehidupan.

6. Ajarkan Anak untuk Membedakan Fakta dan Opini
Bogart menekankan bahwa salah satu kelemahan besar anak adalah mencampuradukkan fakta dan opini. Padahal, kemampuan membedakan keduanya adalah kunci berpikir kritis.

Orang tua bisa melatih ini dengan latihan sederhana. Misalnya, saat menonton berita, tanyakan: “Bagian mana yang fakta, bagian mana yang pendapat?” Anak pun belajar memilah informasi secara sadar.

Kebiasaan ini membuat anak tumbuh lebih skeptis terhadap klaim-klaim manip**atif, baik dari media maupun lingkungan sosialnya. Ia tidak lagi mudah terbawa arus, melainkan mampu menimbang informasi dengan kepala dingin.

7. Tunjukkan Bahwa Salah Adalah Bagian dari Belajar
Bogart menulis bahwa anak yang takut salah cenderung menghindari berpikir kritis. Mereka lebih memilih mengikuti arus daripada menanggung risiko keliru.

Untuk itu, orang tua perlu menormalisasi kesalahan. Saat anak salah memahami sesuatu, bukannya langsung menyalahkan, lebih baik ajak mereka menelusuri letak kesalahannya. Dengan begitu, anak merasa bahwa berpikir kritis adalah proses, bukan beban.

Anak yang berani salah akan tumbuh lebih berani bereksperimen dengan ide. Keberanian ini yang kelak membedakan pemikir kritis dengan pengikut pasif.

Mengajarkan anak berpikir kritis bukanlah pekerjaan instan. Ini proses panjang yang menuntut konsistensi orang tua dalam memberi ruang bagi anak untuk bertanya, menilai, dan mengambil keputusan. Semakin awal dibiasakan, semakin tangguh mereka menghadapi dunia yang penuh manip**asi.

Apa menurutmu, orang tua zaman sekarang benar-benar siap mendidik anak berpikir kritis, atau justru takut anak terlalu kritis pada mereka? Tulis pendapatmu di kolom komentar dan jangan lupa bagikan tulisan ini.

24/08/2025

Cowok akan berubah ketika menemukan perempuan yang tepat drama dramatiktok tiktokviral TikTokShortFilm fyptiktok trending TikTokSeries fyp foryou romance romantis anhong Anhong Media International

SETELAH SEMBILAN TAHUN BERPISAH PART SPESIAL "Andaikan mama kamu masih ada di dekat papa. Pasti papa akan sangat bahagia...
23/08/2025

SETELAH SEMBILAN TAHUN BERPISAH

PART SPESIAL

"Andaikan mama kamu masih ada di dekat papa. Pasti papa akan sangat bahagia."

"Papa sih Cemen."

"Kok papa dibilang Cemen sih?"

"Iya lah. Lelaki yang gak berani ungkapin perasaannya, itu lelaki Cemen. Kalah sama Om Raka."

"Zara, setiap orang punya sifat yang beda-beda."

"Tapi sikap papa membuat papa menderita sekarang. Iya kan? Nyesel kan dulu mengabaikan mama? Ngaku deh!"

"Mmmm, kan masih ada kamu putri cantik yang turun dari langit."

"Ih, papa ini....."

Rendy memegang tangannya.

"Andaikan mama ada di hadapan kamu sekarang. Hal pertama yang akan Zara lakukan apa?"

Anak itu terdiam, matanya seketika berembun.

"Memeluknya dan gak akan melepaskannya. Kalau papa?"

"Papa akan...."

Bersambung

Yuk baca kisah mereka di KBM App ya...

Judul: Setelah Sembilan Tahun Berpisah
Penulis: Heni Mulia
Sudah tamat di KBM App
Link
https://read.kbm.id/book/detail/34129b61-c5c6-4368-85db-faa63e34afec?af=b5ef8837-ce61-c2d8-b02a-42b617d18f3d

Ternyata … pengkh i anat itu adalah …Sinta berdiri di depan pintu apartemen Reina dengan jan tung berdebar keras. Tangan...
23/08/2025

Ternyata … pengkh i anat itu adalah …

Sinta berdiri di depan pintu apartemen Reina dengan jan tung berdebar keras. Tangannya sedikit gemetar saat dia mengetuk pintu. Entah mengapa, dia merasa gugup kali ini. Padahal, biasanya tidak.

Pintu terbuka perlahan, dan Reina muncul dengan senyum hangat seperti biasa. "Sinta! Lama tidak bertemu. Aku kangen sekali sama kamu. Masuklah."

Sinta tersenyum tipis, berusaha tetap tenang. "Hai, Reina. Maaf, tiba-tiba datang. Aku hanya ingin ngobrol sebentar."

Reina tertawa kecil sambil mempersilakan Sinta masuk. "Tentu, kamu tidak perlu minta maaf. Apa kabar?"

“Baik, kok. Kamu sendiri gimana?”

"Baik juga. Apa yang membuatmu tiba-tiba mampir? Apa suami kamu masih sering lembur?"

Pertanyaan Reina membuat kecurigaan Sinta semakin bertambah. Dia heran, kenapa Reina tiba-tiba bertanya tentang suaminya. Sinta menatap sekeliling apartemen Reina yang tertata rapi. Dia harus hati-hati. Jika terlalu cepat menunjukkan kecurigaannya, Reina bisa saja langsung waspada. Jadi, Sinta memutuskan untuk bermain pelan. "Ah, nggak aku hanya ingin ngobrol-ngobrol aja. Lama nggak ketemu, aku penasaran, gimana kabar kamu sama suami?"

Reina tersenyum, tapi senyumnya tampak sedikit terpaksa. “Oh, ya, kami baik-baik saja. Suamiku sedang sibuk belakangan ini.”

Sinta mencoba membaca ekspresi wajah Reina. Namun, wanita itu terlihat santai. Bahkan tak ada beban sama sekali di wajahnya saat dia menanyakan tentang suaminya.

"Dia sedang bekerja di luar kota. Seringkali harus bolak-balik, jadi kami jarang bertemu." Reina mengangkat bahu dengan santai, seolah-olah hal itu bukan masalah besar.

Sinta mengangguk tapi matanya menyusuri isi aparteman Reina.
"Rei, kamu menikah kapan? Kenapa tidak ada satupun foto pernikahan kalian?"

Reina tersenyum kembali. "Aku memang hanya menikah siri, karena suamiku itu bule, jadi, untuk menikah secara resmi, sedikit sulit mengurus prosedurnya," jawaban Reina semakin membuat Sinta curiga.

"Menikah siri, Rei? Kamu tidak takut, kalau tiba-tiba dia kembali ke negaranya dan meninggalkanmu disini?" cecar Sinta.

Reina menggelengkan kepalanya. "Aku mencintai dia, Sin. Jika memang dia meninggalkanku karena harus kembali ke negaranya, aku ikhlas."

“Lalu, apa kamu tidak kesepian sering ditinggal sendiri?” ujar Sinta sambil tersenyum kecil, mencoba mencari celah.

Reina tertawa pelan. "Iya, kadang-kadang, tapi aku sudah terbiasa. Toh, kita semua punya kesibukan masing-masing, kan?"

Sinta tidak ingin membuang waktu lagi. Dia perlu menggali lebih dalam. "Ngomong-ngomong, aku jadi penasaran, siapa sebenarnya suamimu, kamu punya fotonya nggak?"

Reina tersentak sedikit, tapi dengan cepat menyembunyikannya. "Oh, kamu belum tahu ya? Namanya Armand. Dia orang yang sangat sibuk, jadi mungkin itu sebabnya aku jarang cerita. Soal foto, jangan ah. Nanti kamu naksir lagi, dia kan tampan."

Meski Reina mengucapkannya dengan bercanda, tetapi, karena Reina tak ingin menunjukkan foto suaminya justru membuat Sinta curiga. "Armand?" Sinta mengulang nama itu, berusaha mengingat apakah dia pernah mendengarnya dari Johan atau Nico. "Kerja di mana dia?"

"Dia konsultan, sering ada proyek di luar kota."

Sinta mengangguk, meskipun di dalam hatinya, dia semakin curiga. Cerita ini terlalu rapi, terlalu sempurna, seolah Reina sudah mempersiapkannya dari jauh-jauh hari.

"Aku harus pamit, Reina. Nico janji p**ang awal hari ini, jadi, aku harus p**ang cepat," kata Sinta tiba-tiba, dia juga ingin melihat ekspresi reina saat dia menyebutkan nama Nico.

Wajah Reina langsung berubah, tetapi, dia langsung mengubah ekspresinya dengan senyuman. "Tentu, kapan-kapan mampir lagi ya."

Sinta keluar dari apartemen Reina dengan perasaan campur aduk. Nama Armand masih asing di telinganya. Baik Johan maupun Nico tak pernah menyebut nama itu.

---

Malam harinya, Sinta menghubungi Johan. Dia merasa harus bertanya lebih jauh tentang Reina dan Nico.

“Sinta?” suara Johan terdengar di telepon. “Ada apa?”

“Kita perlu bertemu, Johan. Aku butuh bicara denganmu.”

Johan terdiam sejenak. "Baiklah. Besok pagi di kafe biasa?"

"Jam sembilan. Jangan terlambat."

Sinta memu tuskan telepon tanpa memberi Johan kesempatan untuk menolak. Dia tidak akan membiarkan pria itu menghindar kali ini.

---

Keesokan paginya, Sinta tiba lebih dulu di kafe. Dia menatap keluar jendela, pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan. Tak lama kemudian, Johan muncul. Dia langsung duduk di depan Sinta tanpa banyak basa-basi.

"Ada apa, Sinta? Kenapa terlihat serius sekali?"

Sinta menatapnya dengan dingin. "Aku ingin tahu tentang Reina dan Nico. Karena kamu bilang, Reina bukan istri kamu, kalau begitu, berarti Reina berse ling kuh dengan Nico bukan?"

Johan menghela na pas panjang, seolah sudah menduga arah pembicaraan ini. "Sinta, aku sudah bilang, kamu salah paham."

“Salah paham bagaimana? Aku tahu kalian sering bertemu. Aku bahkan sudah ke apartemennya, Johan. Reina bilang suaminya sering keluar kota, tapi dia tidak pernah menyebutkan nama Nico atau kamu. Ada sesuatu yang kalian sembunyikan.”

Johan terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada tenang, “Sinta, aku sudah bilang. Reina tidak ada hubungan dengan Nico. Mereka bertemu karena urusan lain, bukan p***e ling kuhan.”

“Urusan apa?” desak Sinta. “Kamu bilang kamu juga tidak ada hubungan apa-apa dengan Reina, tapi kalian sering bertemu. Apa hubungan kalian sebenarnya?”

Johan menggeser duduknya, tampak sedikit tidak nyaman. “Reina dan aku hanya teman, Sinta. Kami sedang ada proyek bersama Nico. Maka dari itu, kami sering bertemu."

Sinta mendengus frustrasi. "Urusan apa? Sinta bukan dokter, jadi, apa yang ingin kamu jelaskan tentang urusan proyek kalian?"

Johan tampak bingung sejenak, lalu menundukkan kepalanya. “Aku tidak ingin kamu kecewa Sinta, karena apa yang kamu pikirkan itu salah

Sinta menatapnya dalam-dalam, mencari tanda-tanda kebo hongan di wajahnya. Namun, seperti Reina, Johan terlihat tenang dan tidak memberikan jawaban pasti. Kecurigaan Sinta semakin menguat, tapi tanpa bukti, dia masih belum bisa mengungkap apa yang sebenarnya terjadi.

---

Malam itu, Sinta kembali ke rumah. Pikirannya kacau, tak tahu harus berbuat apa, Johan dan Reina tidak memberi jawaban yang memu askan, namun ada sesuatu yang mengganjal. Dia yakin ada yang disembunyikan dari dirinya, tapi belum bisa memastikan apa. Dia pun mencoba mencari sesuatu dari laptopnya.

Saat sedang asyik berselancar di dunia Maya, sebuah pesan masuk di handphone yang dia gunakan untuk menyadap ponsel Nico. Pengirimnya tak lain adalah Nico.

“Jangan pergi ke mana-mana malam ini. Aku akan datang.”

Sinta menatap pesan itu dengan perasaan yang hancur. Nico akan datang ke apartemen wanita itu malam ini. Sedangkan saat ini, Nico sedang bersamanya. Lalu kapan dia akan menemuinya? Apa saat dia sedang tidur?

Nico tiba-tiba muncul di belakangnya.

"Sinta? Kamu sedang berkirim pesan dengan siapa?"

Judul Positif, Tapi Bukan Aku
Penulis ahnafkece

Baca selengkapnya di K B M App

Address

Jakarta

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Livy dovey posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share