18/09/2025
“Emmmh... ahh... uuuh!”
“Abaang… ah… n4kal, ih…”
Langkahku langsung terhenti ketika suara itu terdengar dari arah gudang belakang.
Aku yang tadinya hendak mengambil daun pisang di kebun belakang, sontak mematung. Jantungku berdegup kencang, seakan ada firasat buruk yang akan kutemukan. Dari sela-sela dinding bambu, samar-samar terdengar suara cekikikan yang penuh god4an.
Aku menaj4mkan telinga, berjalan pelan-pelan. Semakin dekat, suara itu makin jelas. Ya Allah… aku tercekat. Itu bukan suara orang bercanda, tapi suara… seorang wanita yang sedang dimabuk n4fsu.
Gemetar aku berdiri di situ. Parah. Siapa mereka? Apa tidak gil4 melakukan hal begitu di tempat ini, di rumah keluargaku sendiri, sementara di dapur orang-orang sibuk memasak untuk persiapan hari pernikahanku besok?
Suara lirih penuh desa-han itu semakin menjadi-jadi, meski tidak keras tapi cukup jelas di telingaku.
Aku menahan napas, mendekat dengan hati-hati.
“Ya Allah… Astaghfirullah!” seruku nyaris berteriak.
Pemandangan di depan mataku benar-benar di luar dugaan.
Bang Andi, lelaki yang seharusnya menjadi imamku esok hari, tunanganku sendiri, sedang bergu mul dengan Rani, saudara tiriku, di atas hamparan daun pisang yang dijadikan alas.
Sekejap dunia serasa runtuh. Nafasku tersengal.
Bang Andi panik, buru-buru meraih celana yang tergeletak di sampingnya lalu menutupi bagian tu buhnya yang masih terbuka. Wajahnya pucat, mata membelalak seperti maling ketahuan.
Sementara Rani… oh Tuhan… bukannya malu, bukannya menyesal, ia malah menatapku dengan senyum licik penuh kemenangan. Senyum yang menu suk hatiku lebih dalam daripada seribu pisau.
Aku mematung beberapa detik, nafasku tersengal, rasanya tidak mungkin tapi kenyataan seolah menam parku, ya, tunanganku sedang berbuat me-sum dengan saudara tiriku, ya Allah, sakit sekali hatiku.
*
“Andi sudah menod4i Rani, jadi yang harus menikah dengan Andi adalah Rani,” ucap Bu Tutik – ibu tiriku malam itu, saat sidang keluarga digelar.
Setelah kejadian sore tadi, aku berlari masuk ke rumah dengan tangis yang pecah tak terbendung. Dengan suara terisak, aku ceritakan semua yang kulihat di gudang belakang, perbuatan memalukan Bang Andi dan Rani.
Dan kini, malam ini, keluarga besarku serta keluarga Bang Andi berkumpul di ruang tamu untuk membicarakan kelanjutan pernikahanku.
“Saya juga setuju kalau Andi menikah dengan Rani. Lagip**a, Rani itu mahasiswi, calon sarjana. Pantas bersanding dengan Andi, yang juga seorang sarjana dan pegawai BUMN, bukan seperti Dinda yang hanya penjual warung, aku juga heran, kok bisa- bisanya Andi kepincut dengan Dinda,” ucap Bu Anik dengan sombongnya.
Aku tercekat, memandang dua wanita paruh baya itu dengan tatapan perih. Tidak adakah di antara mereka yang berusaha menghiburku? Tidak adakah yang memikirkan luka hatiku? Justru sebaliknya—mereka terlihat seperti orang yang bers**a cita, seolah kejadian ini sebuah keberuntungan bagi mereka.
Hati kecilku menjerit, rasa hancur itu semakin menu suk dalam. Malam yang seharusnya menjadi hangat dengan doa restu untuk pernikahanku besok, kini berubah menjadi ruang penghakiman.
Aku menatap Bang Andi. Pengecut itu hanya diam, menunduk, tak berani menatapku. Sia lan memang lelaki itu. Padahal aku sering membantunya membayar tagihan pinjolnya, sering juga ia makan siang gratis di warungku, tetapi malah mengkhianatiku.
“Dinda, Ayah minta maaf. Terpaksa pengantin wanitanya diganti dengan Rani, karena Andi sudah menod4inya. Ayah juga sedih… putri kebanggaan Ayah, yang sebentar lagi akan jadi sarjana, malah terno dai,” ucap Ayah dengan suara berat penuh kesedihan.
“Maafkan Rani, Ayah… Rani dipaksa Bang Andi. Rani diper-kosa,” ujar Rani sambil menangis tersedu penuh drama, apa katanya tadi? Dipaksa? Yang aku lihat dan dengar tadi tidak ada unsur paksaan, malah dia terkesan genit dan menggoda.
Aku hanya bisa menatapnya dengan muak. Air matanya terasa seperti sandiwara murahan.
“Jangan bersandiwara, Rani! Buktinya tadi aku dengar sendiri kau mendes4h penuh kenikmatan. Orang yang diper-kosa itu menjerit minta tolong, bukan malah mendes4h keenakan begitu!” ucapku geram, tak lagi mampu menahan amarah.
“Dinda! Jaga ucapanmu! Rani sedang mengalami trauma, malah kau tuduh yang tidak-tidak!” bentak Bu Tutik.
Rani pun segera bersandar di pelukan ibunya, berpura-pura semakin terisak. “Ibu… sakit sekali hati Rani. Di sini Rani korban, tapi si Dinda malah menuduh yang tidak-tidak.”
“Duh, calon menantuku sayang, jangan menangis. Sejujurnya dari kapan hari Ibu inginnya kamu yang jadi menantu di keluarga kami. Untung saja Andi sadar di detik-detik terakhir menjelang hari pernikahannya. Mungkin ini yang dinamakan kekuatan doa seorang ibu, terkabul sebelum ijab kabul besok,” ucap ibunya Bang Andi tanpa rasa bersalah.
Aku menatap wanita paruh baya itu. Tega sekali dia berkata begitu, seolah-olah aku ini sampah yang tak perlu dijaga perasaannya.
“Terima kasih, Bu Anik. Saya juga heran, kok bisa selama ini Andi mau dengan Dinda, padahal anak gadis saya cantik, berpendidikan, dan akhlaknya juara,” sahut Bu Tuti sambil membanggakan Rani. Aku semakin muak saja mendengarnya.
“Batalkan saja pernikahan ini. Aku juga tidak sudi menikah dengan lelaki ca-bul seperti Bang Andi. Dia memang pantas dengan wanita gatal seperti Rani,” ucapku dengan emosi lalu masuk ke dalam kamar.
Di kamar, aku menangis sedih. Tidak lama kemudian, Rani masuk dengan wajah sombongnya.
“Ini kamar pengantin. Kau keluar dari kamar ini, Dinda. Kan sekarang pengantin wanitanya aku,” ucapnya ketus. Tak lama, Bang Andi ikut masuk ke dalam kamar.
“Sayang, nggak nyangka akhirnya aku bisa mempersunting wanita pujaan hatiku,” katanya sambil merangkul pinggang Rani dan mengecup bi bir saudara tiriku itu.
Ya Allah, padahal masih ada aku loh di kamar ini, sanggup dia berbuat seperti itu. Memang manusia tidak punya otak. Aku memutuskan keluar kamar karena takut emosiku semakin meledak dan menc4kar-c4kar mereka berdua.
“Nanti setelah nikah, Abang jadi kan minjam sertifikat rumah ini untuk jaminan hut4ng di b4nk?” tanya Andi.
“Pasti d**g, Abang. Tenang saja. Ayah itu nurut sama aku. Pasti mau memberikannya untuk Abang,” jawab Rani.
Aku yang masih berdiri di balik pintu kamar terdiam mendengar percakapan itu. Senyumku sedikit mengembang. Oh, jadi ini alasan Bang Andi lebih memilih Rani?
Dia tidak tahu saja, rumah ini milik almarhum ibuku dan setahun lalu sudah balik nama atas namaku yang dibantu oleh uwakku.
Ah, ngapain aku harus bersedih? Seharusnya aku berterima kasih pada Allah karena telah menunjukkan kebus**an lelaki itu sebelum ijab kabul.
Nikmati saja pernikahan kalian, berpestalah. Nanti jangan lupa ba yar sewa pelaminan, sewa tenda, dan utang di warung untuk belanja bahan masakan.
Aku tidak sudi untuk membantu. Sudah cukup selama ini aku membiayai kuliah Rani dan kebutuhan rumah ini. Tapi apa yang kudapat? Malah harga diriku semakin diinjak.
U4ng lamaran yang katanya lima puluh juta itu sebenarnya berasal dari tabung4nku. Niatku hanya satu, agar harga diri Bang Andi terlihat tinggi di mata orang-orang. Padahal, kenyataannya dia tidak punya apa-apa. Pegawai BUMN? Hahaha… hanya aku yang tahu kebenarannya.
Selama ini aku diremehkan hanya karena jualan nasi di warung, mereka tidak tau saja kalau keuntungannya cukup lumayan.
“Heh, ngapain kau berdiri di depan kamar pengantin? Senyum-senyum sendiri kayak orang gila,” sindir Bu Tutik.
“Mungkin dia stres karena gagal nikah. Wajar sih. Secara, Andi itu ganteng, gagah, pegawai BUMN lagi. Pasti susah move on,” timpal Bu Anik sambil membanggakan anaknya yang mo-kondo itu.
“Hihihi, kasihan sih. Tapi salah kamu juga, Din. Percaya diri boleh, tapi sadar diri itu jauh lebih penting. Masa modelan jualan warung kayak pembantu seperti kamu menikah sama Bos Andi,” kekeh Bu Tutik merendahkan.
Aku menatap mereka satu per satu yang sedang tertawa bahagia. Dalam hati, aku tersenyum tipis. Kita lihat saja nanti, apakah setelah tahu kenyataannya mereka masih bisa tertawa seperti itu?
“Dinda, itu tukang pelaminan minta bayaran malam ini, katanya butuh du it,” ucap salah satu panitia.
Aku menoleh sekilas, senyum tipis mengembang di bibirku.
“Oh, minta saja sama Rani. Dia yang nikah. Atau langsung saja minta ke ibunya,” sahutku santai sambil menunjuk Bu Tutik.
Sekejap, tawa ibu tiriku itu terhenti. Wajahnya pun terlihat panik.
Cerita ini ada di KBM app dengan judul: Cintaku Tersangkut Di Kebun Sawit.
Penulis : Henny Hutabarat.
Henny Hutabarat