18/12/2025
Kisah ini bermula pada pagi hari tanggal 6 Juni 2006. Langit di atas Kabupaten Asmat, Papua, tampak biasa saja, menyembunyikan potensi keganasan yang akan segera terjadi. Tim ekspedisi program Jejak Petualang TV7 (kini Trans7) baru saja menyelesaikan tugas peliputan mereka yang melelahkan namun penuh gairah di pedalaman Asmat.
Tujuan berikutnya adalah Timika. Namun, infrastruktur di timur Indonesia kala itu masih sangat terbatas. Penerbangan perintis jarang dan tak pasti jadwalnya. Didesak oleh waktu dan kebutuhan produksi, tim mengambil keputusan fatal: menempuh jalur laut.
Mereka menaiki sebuah longboat perahu kayu panjang ramping bermesin tempel ganda. Di atas perahu terbuka itu, ada lima orang kru inti: Medina Kamil (presenter), Bagus Dwi (kameramen), Dody Johanjaya (produser), Wendy M. Rompies (asisten kameramen), serta beberapa warga lokal yang bertugas sebagai motoris.
Tidak ada yang menyangka, lambaian tangan saat meninggalkan dermaga Agats adalah perpisahan terakhir bagi sebagian dari mereka.
I. Petaka di Tengah Lautan
Perjalanan memasuki perairan Laut Arafuru yang terkenal liar. Di tengah hamparan biru yang tak bertepi, cuaca berubah drastis. Angin menderu, menciptakan gelombang tinggi yang mempermainkan perahu kayu kecil itu layaknya sabut kelapa.
Tiba-tiba, senyap. Salah satu mesin tempel mati.
Dalam hitungan detik, tanpa tenaga dorong untuk memecah ombak, sebuah gelombang besar menghantam sisi perahu. Longboat itu terbalik seketika, menumpahkan seluruh penumpangnya ke dalam laut yang dingin dan ganas.
Kekacauan terjadi. Di antara buih ombak dan kepanikan, takdir membagi mereka menjadi dua kelompok.
Di satu sisi, Bagus Dwi terlihat berjuang di permukaan. Sebagai seorang juru kamera yang berdedikasi tinggi, kesaksian menyebutkan ia terlihat berusaha menyelamatkan kameranya benda yang merekam jerih payah mereka. Namun, beban berat dan arus deras menjadi kombinasi mematikan. Bagus, bersama tiga warga lokal lainnya, terseret arus menjauh, hilang dari pandangan rekan-rekannya. Itu adalah momen terakhir Bagus terlihat oleh mata manusia.
II. Terapung dalam Ketidakpastian
Di sisi lain, Medina Kamil, Dody, Wendy, dan satu warga lokal bernama Budi, berhasil meraih sebuah dry box (koper alat kedap air) yang mengapung. Benda itulah yang menjadi pelampung penyambung nyawa mereka.
Selama 24 jam pertama, mereka terombang-ambing di laut lepas. Kaki mereka terus mengayuh agar tidak kram, kulit mereka terbakar matahari siang, dan tubuh mereka menggigil kedinginan saat malam tiba. Di bawah mereka, kedalaman Laut Arafuru menyimpan predator seperti hiu dan buaya muara. Ketakutan, doa, dan harapan bercampur aduk, hingga akhirnya arus membawa mereka terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni.
III. Pulau Tiga dan Ujian Mental
Mereka mengira daratan adalah keselamatan, namun Pulau Tiga (lokasi mereka terdampar) adalah ujian selanjutnya. Pulau itu bukan hamparan pasir putih yang indah, melainkan hutan bakau (mangrove) yang berlumpur tebal.
Selama 4 hari 4 malam berikutnya, naluri purba manusia untuk bertahan hidup (survival) diuji hingga batas maksimal:
- Dahaga yang Menyiksa: Tidak ada mata air tawar. Saat hujan turun, itulah berkah terbesar. Mereka menampung air hujan dengan daun atau memeras baju basah mereka langsung ke mulut. Saat tidak ada hujan, mereka harus menahan diri sekuat tenaga untuk tidak meminum air laut yang justru akan membunuh mereka perlahan.
- Kelaparan: Tanpa bekal makanan, mereka memakan apa saja yang disediakan ekosistem bakau. Siput laut, kerang, dan kepiting kecil (umang-umang) menjadi santapan. Terkadang dibakar dengan api kecil dari sisa korek api yang berhasil diselamatkan, terkadang dimakan mentah saat api tak bisa menyala.
- Tidur di Atas Pohon: Saat air laut pasang, daratan pulau itu tenggelam. Mereka terpaksa memanjat pohon bakau dan tidur tersangkut di dahan-dahan agar tidak terendam air atau diserang hewan liar.
Kondisi fisik mereka merosot tajam. Halusinasi mulai menyerang. Medina sempat mendengar suara mesin perahu yang ternyata hanya desu angin. Namun, di tengah keputusasaan, sosok Dody sebagai pemimpin terus menguatkan mental tim. Mereka saling menjaga agar tidak ada yang menyerah pada kematian.
IV. Penyelamatan dan Kenyataan Pahit
Tanggal 10 Juni 2006, keajaiban itu tiba.
Setelah lima hari dinyatakan hilang, Tim SAR gabungan yang menyisir area tersebut melihat tanda-tanda kehidupan di Pulau Tiga. Medina dan ketiga rekannya ditemukan dalam kondisi sangat lemah, dehidrasi berat, dan kulit melepuh, namun mereka masih bernapas. Tangis pecah saat evakuasi dilakukan.
Namun, sukacita itu tidak utuh. Pertanyaan pertama yang muncul adalah: "Di mana Bagus dan yang lainnya?"
Tim SAR memperluas area pencarian. Kapal-kapal menyisir lautan, pesawat memantau dari udara, bahkan melampaui batas waktu standar operasi pencarian. Doa dipanjatkan oleh jutaan masyarakat Indonesia yang mengikuti berita ini lewat televisi.
Hari berganti minggu, namun laut Arafuru enggan mengembalikan apa yang telah diambilnya. Bagus Dwi dan ketiga warga lokal tidak pernah ditemukan. Mereka dinyatakan gugur dalam tugas, menyatu dengan alam yang begitu mereka cintai dan ingin mereka abadikan.
V. Sebuah Pelajaran Mahal
Tragedi ini menjadi titik balik sejarah penyiaran petualangan di Indonesia. Ia mengajarkan bahwa di balik gambar indah yang kita nikmati di layar kaca, ada risiko nyawa yang nyata.
Bagi Medina Kamil dan para penyintas, peristiwa itu adalah kelahiran kedua. Sebuah pengingat abadi tentang betapa kecilnya manusia di hadapan alam, dan betapa kuatnya tekad manusia yang menolak untuk menyerah, bahkan ketika maut sudah di depan mata.