13/07/2025
“Kita Masih Punya Kita”
Diambil dari kisah nyata
Kakak: Dinda, 17 tahun, pendiam dan lebih dewasa karena sering menanggung beban keluarga.
Adik: Raka, 13 tahun, cenderung emosional dan bingung dengan keadaan.
Latar tempat: Kamar sederhana, malam hari. Suasana hening, hanya terdengar suara kipas angin dan jam dinding.
---
[Adegan dimulai dengan Raka duduk di lantai, memeluk lututnya. Dinda duduk di ranjang, menatap kosong ke dinding.]
Raka:
(pelan, nyaris berbisik)
Kak... Mama udah bener-bener pergi ya?
Dinda:
(diam sejenak, lalu mengangguk pelan)
Iya. Tadi siang Mama bilang dia bakal tinggal sama Tante Rini untuk sementara. Katanya butuh waktu.
Raka:
Tapi... kenapa harus ninggalin kita? Aku enggak ngerti, Kak.
Dinda:
(berusaha tegar)
Kadang orang dewasa juga bingung, Rak. Mereka sendiri enggak tahu harus gimana. Mama capek terus berantem sama Ayah.
Raka:
(suara meninggi)
Tapi kenapa kita yang harus nanggung semuanya? Aku capek denger mereka teriak tiap malam! Sekolah pun jadi males...
Dinda:
(menahan air mata)
Aku juga capek, Rak. Tapi kita enggak bisa kabur. Mau gimana pun... cuma kita yang bisa jagain diri kita sekarang.
Raka:
(terdiam, lalu menunduk)
Kak, aku takut... Kalau Ayah pulang mabuk lagi... kayak waktu itu...
Dinda:
(mengambil tangan Raka)
Aku di sini. Aku janji, aku bakal lindungin kamu. Kalau Ayah mulai marah-marah lagi, kita kunci kamar. Kalau terlalu parah, kita bisa nginep di rumah Bu Lusi dulu.
Raka:
(suara gemetar)
Kenapa kita enggak bisa kayak keluarga orang lain, Kak? Yang makan malam bareng, yang ketawa-ketawa...
Dinda:
(menangis pelan, tapi tetap mencoba kuat)
Aku juga pengen, Rak. Tapi... hidup enggak selalu adil. Yang penting sekarang, kita masih punya satu sama lain. Kita tetap bisa jadi keluarga, walaupun caranya beda.
Raka:
(pelan)
Kita masih punya kita...
Dinda:
Iya... itu cukup. Setidaknya untuk sekarang.
[Keduanya saling berpelukan. Lampu kamar dimatikan. Hanya suara jam dinding yang terus berdetak, menandakan waktu terus berjalan, meski luka belum sepenuhnya sembuh.]
---