12/12/2025
Intan terbangun lebih dahulu. Cahaya redup dari lampu kamar membuat matanya perlahan terbuka. Ia terkejut mendapati dirinya sedang berada dalam pelukan Wisnu yang masih terlelap. Wajah Wisnu terlihat tenang, jauh berbeda dari biasanya yang selalu tampak tegang dan menyebalkan.
Sejenak, Intan tersenyum kecil. Namun, rasa penasaran segera menghantui pikirannya. "Ada apa dengan Mas Wisnu tadi malam? Apa yang sebenarnya terjadi hingga dia seperti itu?" pikirnya sambil memandangi wajah suaminya.
Dengan hati-hati, Intan menyingkirkan tangan Wisnu yang melingkar di pinggangnya. Saat mencoba turun dari ranjang, ia meringis kesakitan karena kakinya yang belum pulih terkena himpitan kaki Wisnu. Setelah berdiri, ia meraih piyama untuk menutupi tubuhnya.
Dalam hati, Intan teringat perjanjian yang Wisnu ucapkan dulu. Perjanjian bahwa ia tidak boleh meminta nafkah batin. Namun, kenyataannya, tadi malam Wisnu sendiri yang memohon dan melanggar batas itu. Intan menghela napas panjang, lalu bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Di dalam kamar mandi, Intan berdiri di depan cermin, memandangi pantulan dirinya. Wajahnya terlihat memerah, entah karena rasa malu atau emosi yang bercampur aduk. "Mas Wisnu sendiri yang memohon tadi malam. Apa aku salah karena membiarkannya? ngomongnya gak mau tapi sekali nyoba sulit sekali disuruh berhentinya, dasar pria egois."
"Jangan-jangan dia pergi ke suatu tempat sebelum kembali ke rumah?" pikirnya lagi.
Setelah selesai di kamar mandi, Intan melakukan shalat subuh kemudian turun ke dapur. Meski tubuhnya masih terasa lelah dan pikirannya dipenuhi berbagai emosi, ia mencoba menenangkan diri dengan menyiapkan sarapan untuk mereka. Namun, setiap gerakannya terasa berbeda pagi itu ada bagian tubuhnya yang terasa nyeri.
Ia merasa malu atas apa yang terjadi, tapi di sisi lain, ada rasa bahagia kecil yang menyusup tanpa diundang. Kekesalan dan kebingungan juga tidak bisa ia abaikan. "Bagaimana jika aku hamil? Apa yang harus kulakukan setelah perjanjian ini selesai? Haruskah aku benar-benar menjauh dari Mas Wisnu, seperti janji awalku?" gumamnya dalam hati sambil menata makanan di meja makan.
Intan memandangi dapur dengan tatapan kosong, pikirannya melayang-layang. Ketika aroma masakannya mulai memenuhi udara, rasa kantuk perlahan menyerang. Tanpa sadar, ia akhirnya tertidur di meja makan, kepalanya bersandar di lengan dengan piring dan gelas teh di hadapannya.
Sementara itu, Wisnu terbangun satu jam kemudian. Ia langsung terkejut mendapati kondisi tubuhnya di balik selimut. Ia merasa tubuhnya terasa berbeda, dan kenangan tentang tadi malam perlahan memenuhi pikirannya.
"Apa yang sudah aku lakukan? Bagaimana jika Intan marah atau kecewa? Apa aku sudah terlalu jauh? Ini semua gara-gara minuman itu," pikir Wisnu sambil meraih pakaian dan segera menuju kamar mandi.
Setelah membersihkan diri dan menunaikan shalat subuh yang kesiangan, Wisnu turun ke bawah dengan pakaian yang sudah rapih. Dia ingin memastikan kondisi Intan. Di sana, dia melihat sarapan yang sudah tersaji rapi di meja makan.
Namun, pandangannya terhenti pada sosok Intan yang tertidur di atas meja. Wajahnya terlihat lelah, tetapi tetap tenang. Wisnu berdiri sejenak, memandangi istrinya.
"Bagaimana bisa aku melanggar apa yang aku hindari selama ini? semoga saja Intan tidak membahasnya," gumamnya dalam hati. Perasaan bersalah kembali menyelimutinya, Tetapi gengsinya membuatnya sulit menunjukkan rasa peduli.
Ia menghampiri Intan perlahan, lalu berkata dengan nada datar, "Intan, bangun. Jangan tidur di meja makan!"
Intan terbangun perlahan, mengusap matanya yang masih terasa berat. Ia mendongak dan menatap Wisnu dengan sedikit bingung. "Maaf, Mas... Aku ketiduran," ucapnya pelan.
"Jika kamu masih lelah, tidur saja di kamar."
"Nggak apa-apa, Mas. Aku akan menemani kamu sarapan."
Wisnu hanya mengangguk. Ia duduk di kursi di seberang Intan, mencoba mengalihkan perhatian dengan meminum teh lemon yang sudah disiapkan istrinya.
Meski mereka berdua tampak tenang di luar, di dalam hati masing-masing, ada gelombang emosi yang sulit dijelaskan. Hanya terdengar suara denting sendok dan garpu, di antara mereka belum ada yang berani membahasnya.
Setelah menyelesaikan sarapan dalam keheningan yang canggung, Wisnu segera bersiap untuk berangkat ke rumah sakit. Intan mengiringi langkahnya menuju garasi, seperti kebiasaannya setiap pagi.
Sesampainya di depan mobil, Intan mengulurkan tangannya, mencium punggung tangan Wisnu dengan penuh takzim. Namun, pagi ini ada yang berbeda. Tanpa berpikir panjang, Wisnu membalas dengan mengecup kening Intan.
Nyesss
Seketika, jantung Intan berdegup lebih kencang. Ia terpaku di tempatnya, tubuhnya menegang, dan wajahnya terasa panas. Ini bukan bagian dari perjanjian mereka. Wisnu tidak pernah melakukan hal semacam ini sebelumnya, apalagi tanpa diminta.
Sementara itu, Wisnu sendiri terkejut dengan tindakannya. Bibirnya baru saja menyentuh kening Intan, namun sensasi hangat itu masih terasa di sana. Ia segera tersadar dan berusaha menguasai diri. Dengan cepat, ia mundur selangkah, menutupi kebingungannya dengan berkata, "Aku berangkat dulu ya, assalamualaikum." lalu segera membuka pintu mobil.
"Wa'alaikumussalam."
Intan berdiri mematung, hatinya diliputi rasa campur aduk. Di satu sisi, ia senang melihat Wisnu menunjukkan sikap yang lebih lembut. Namun di sisi lain, ia merasa sesak mengingat kenyataan bahwa dalam hitungan hari, semuanya akan berakhir.
Matanya berkaca-kaca saat menatap mobil Wisnu yang perlahan menjauh. "Apa aku benar-benar harus melepaskan laki-laki yang mulai kucintai? Aku tau Mas Wisnu melakukannya hanya karena sebuah perjanjian, tidak lebih," batinnya.
Namun, janji tetaplah janji. Ia telah berjanji untuk menandatangani surat perceraian setelah waktu yang disepakati berakhir.
Dengan langkah berat, Intan kembali ke dalam rumah. Sementara Wisnu yang tengah mengemudi pun merasa pikirannya terganggu. "Kenapa gue pake cium keningnya segala?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Satu ciuman di kening telah mengguncang hati mereka berdua.
Wisnu melangkah di sepanjang lorong Rumah Sakit Harapan Arga dengan senyum yang mengembang. Sikapnya yang ceria dan ramah kembali, seolah beban yang selama ini menyesakkan dadanya telah terlepas. Aura bahagia terpancar jelas di wajahnya, membuat beberapa perawat saling berbisik satu sama lain.
"Dokter Wisnu ceria lagi, ya. Udah lama banget gak lihat dia seperti ini."
"Iya, senyumnya beda, aura ketampanannya benar-benar menggoda iman hee."
Namun, Wisnu tak menyadari perhatian yang tertuju padanya. Dia masuk ke ruangan pribadinya dengan wajah berseri. Masih terbayang bagaimana kejadian tadi malam, dimana dirinya begitu terbuai dengan apa yang belum pernah ia lakukan sebelumnya bersama seorang wanita. Dokter tampan itu mengambil ponsel pinky dari dalam sakunya lalu sibuk menatap layar ponsel lebih tepatnya, galeri foto yang bukan miliknya, melainkan milik Intan. Beberapa foto dirinya tersimpan di sana, entah sejak kapan.
Ia memperbesar salah satu foto dirinya saat tidur yang diambil secara candid. Spontan ia menarik kedua ujung bibirnya ketika membaca tulisan yang terterpampang pada foto "Mr. Buldozer Tengik😜".
"Kamu itu bukan cuma nyebelin tapi juga jahil, masa iya aku dibilang tengik." Wisnu menggeser foto dan terlihat beberapa foto selfie Intan, senyuman yang polos dengan tatapan matanya yang jernih. "Kalau diamati kamu itu memang cantik, Intan. Meski kadang bikin aku naik darah," gumam Wisnu sambil tersenyum kecil.
Namun, senyumnya seketika pudar ketika jarinya menggeser ke foto berikutnya. Intan bersama seorang laki-laki bernama Hafidz. Foto itu diambil di restoran tempo hari olehnya, saat dia memergoki Intan bertemu dengan pria itu. Raut wajah Intan di foto terlihat bahagia, begitu juga Hafidz yang menatapnya penuh perhatian.
Wisnu merasakan dadanya sedikit sesak. Ada sesuatu yang mengusik hatinya.
"Apa setelah perpisahan nanti… dia akan bersama laki-laki itu?"
Pikiran itu seharusnya tak perlu mengganggunya. Bukankah ia sendiri yang menginginkan perjanjian ini? Bukankah seharusnya ia bahagia karena sebentar lagi semuanya akan berakhir?
Namun, entah kenapa, rasa tidak s**a mulai menyeruak di dadanya. Tangannya menggenggam erat ponsel itu.
"Aku kenapa? Kenapa aku harus peduli? Ini yang aku mau, kan?"
Namun, sebelum Wisnu bisa mencari jawaban atas gejolak dalam hatinya, tiba-tiba suara berat memecah lamunannya.
"Mas Wisnu!"
Mau lanjut? Jangan lupa like, komen dan share yang banyak gaes😉
Darting Jadi Darling-Icha VB
Platform KBM APP