24/09/2025
“Emmm ... Ahh...Abaang… ah… n4kal, ih…”
Langkahku langsung terhenti ketika suara itu terdengar samar dari arah gudang belakang.
Aku sontak menahan napas. Jantungku berdentum keras, seolah memberi pertanda buruk. Dengan langkah perlahan, aku mendekati sumber suara.
Betapa terkejutnya aku ketika melihat kenyataan di depan mataku ternyata...padahal besok hari pernikahanku 😭
#8
Dinda mengenakan kebaya putih sederhana—bahkan menurut Dika, terlampau sederhana untuk seorang calon pengantin.
“Sebentar, saya ingin bertanya. Mengapa kebaya calon istri saya justru dipakai olehnya?” ucap Dika sambil menunjuk Rani.
“Loh, ini kebaya anak saya dari calon suaminya. Jangan mengaku-aku, ya! Lagi p**a, mana mungkin kamu sanggup membeli kebaya mewah seperti ini,” sahut Bu Tutik dengan nada tinggi.
“Maaf, Bu Tutik. Kebaya itu memang dari Nak Dika untuk Dinda. Saya sendiri yang mengantarkannya ke rumah ini tadi subuh,” jelas Bu Salmiah dengan suara tenang
“Jangan ikut campur, Bu Salmiah! Kebaya yang dipakai Rani itu jelas dari Andi. Lagi p**a, coba Ibu pikir, Dika itu hanya tukang dodos. Mana mungkin sanggup membeli kebaya mahal dan bagus seperti ini. Beda dengan Andi, dia sudah jadi staf PTPN, g4jinya saja sudah dua digit. Tentu saja dia mampu membeli kebaya mewah.” Ucapan itu ia lontarkan dengan gaya sombong dan angkuh.
“Sudah! Sudah! Hanya gara-gara kebaya saja sampai berisik. Ini acara sakral, diam semua!” tegur Pak Anwar--ayahnya Dinda dengan tegas.
“Ini, nih! Gara-gara si tukang dodos. Kasihan sekali, sampai ngaku-ngaku dia yang belikan kebaya mewah. Sangking inginnya derajatnya terangkat,” ejek Bu Tutik sinis.
Dika menghela napas berkali-kali menahan sabar. Pandangannya lalu tertuju pada Dinda, g4dis yang akan segera dinikahinya. Wajah Dinda tetap tenang, seolah ingin mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.
“Siapa yang lebih dulu menikah?” tanya sang penghulu.
“Anak saya duluan, karena semua biaya dari calon suami anak saya,” jawab Bu Tutik cepat-cepat.
Lalu, dengan gaya sombong, Andi maju ke depan diikuti oleh kedua orang tuanya yang tak kalah angkuh. Bu Anik tampil menonjol dengan kebaya hijau terang, lengkap dengan emas menyala yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Minggir, minggir! Anak saya mau lewat. Tolong semuanya jangan berisik, ya,” ucap Bu Anik sambil menghalau dengan tangannya. Padahal, tak ada seorang pun yang menghalangi jalan.
Setiap kali ia berbicara, tangannya ikut bergerak ke sana kemari, menimbulkan suara gemerincing dari gelang emasnya. Seolah sengaja, agar semua orang tahu bahwa ia memakai perhiasan berjejer, bak toko emas berjalan.
Gaya norak Bu Anik membuat beberapa tamu cekikikan menahan senyum, bahkan ada yang berbisik-bisik. Sebagian tamu sudah mengetahui kondisi ekonomi keluarga Bu Anik. Gayanya memang selangit, tetapi hut4ngnya di b4nk emok menumpuk. Bahkan, ada p**a yang curiga perhiasan yang dikenakannya hanyalah imitasi yang dibeli di pasar malam.
“Saya terima nikah dan kawinnya Rani Anggraini dengan mas kawin sebanyak lima puluh juta rupiah dibayar tunai,” ujar Andi dengan suara lantang. Apalagi saat menyebutkan lima puluh juta, urat leher Andi hampir keluar saking kerasnya. Ketika penghulu mengucapkan kata sah, Andi menepuk-nepuk dadanya lalu melihat Dika dengan sombong, seolah berkata: Lihat, maharku saja lima puluh juta. Kamu bisa tidak?
“Alhamdulillah ya Allah, akhirnya anakku bisa mempersunting wanita terhormat yang derajatnya sama, tidak seperti penjaga warung,” ujar Bu Anik dengan sombong, sedangkan Bu Tutik mengangguk-angguk dengan bangga.
“Sudah, kita langsung saja ya makan-makan. Ibu-ibu dan bapak-bapak, sudah pada lapar kan? Kita makan, yuk. Silakan menikmati hidangan,” ujar Bu Tutik seolah-olah ijab kabul telah selesai, padahal seharusnya Dinda dan Dika yang selanjutnya melaksanakan ijab kabul.
“Bu, Dinda kan belum,” ujar Bu Salmiah. Sungguh, saat itu rasanya Dika sudah ingin pergi dari tempat itu membawa Dinda, karena mereka berdua benar-benar tidak dihargai. Bahkan Pak Anwar, ayah kandung Dinda, juga sudah bersiap-siap hendak berdiri. Orang tua seperti apa dia itu, batin Dika geram.
“Katanya ada satu pengantin lagi, nih,” ucap Pak Penghulu.
“Oh iya, lupa. Tidak penting sih, tapi tidak apa-apa deh. Ayo buruan nikahkan mereka biar Dinda mendapatkan pasangan yang sepadan, yaitu tukang dodos, hihihihi,” ujar Bu Tutik meledek.
“Siapa yang mau makan, makan saja. Tidak penting juga melihat ijab kabul kaum rendahan,” ucap Rani dengan nada angkuh. Hati Dika langsung panas mendengar ucapan itu, terlebih melihat Rani yang lancang memakai kebaya yang sebenarnya ia berikan untuk Dinda.
“Ayo, sayang, kita makan saja. Abang sudah alergi dekat-dekat orang kismin. Lihat saja orang tuanya, mirip pembantu dan sopir. Jauh berbeda dengan mertuamu, Sayang,” ejek Andi sambil melirik sinis ke arah Bik Wati dan Pak Warno.
“Ya jelas beda, kan anaknya tukang dodos,” cicit Bu Tutik yang tidak pernah kehabisan kata untuk merendahkan Dika.
Dinda yang sejak tadi menahan perasaan akhirnya angkat bicara. Dengan suara tegas namun bergetar karena emosi, ia berkata.
“Lebih baik pernikahanku dengan Bang Dika diundur saja.”
Semua tamu terperangah. Dika pun ikut kaget mendengar ucapan calon istrinya itu.
“Loh, kenapa? Kamu malu ya punya suami tukang dodos, makanya dibatalkan? Padahal sudah dapat jodoh yang sepadan loh kamu , maunya sama Andi? Oh tidak bisa, Andi sudah menjadi suaminya Rani,” ujar Bu Tutik, matanya sinis melihat Dinda.
“Saya juga ga sudi menikahi dengan Andi, dih, amit amit, “ ucap Dinda sambil bergidik.
“Heleh, gayamu, bilang saja belum move on, buktinya kamu batalin pernikahanmu, kamu malu ya punya suami tukang Dodos?” Bu Tutik mencibir.
“Sedikit pun aku tidak malu! Asal Ibu tahu, semua persiapan pesta ini bahkan belum dibayar dan Bang Andi memintaku yang membayarnya. Aku tidak rela uangku habis hanya untuk pesta tapi aku dan Bang Dika dihina terus.”
Dika pun sebenarnya sependapat dengan Dinda. Ia juga tidak sudi melanjutkan pernikahan yang mereka anggap mewah, padahal kenyataannya jauh dari standar keluarga Dika. Namun, Dika tidak berani membatalkannya karena takut Dinda sedih dan berpikiran macam-macam, tetapi ternyata Dinda sendiri yang membatalkan, sepertinya aku dan Dinda sudah satu hati,batin Dika sambil mengulum senyum.
Apalagi kedua orang tua Dika tidak bisa hadir. Ia justru ingin pernikahan ini dibatalkan saja, lalu direncanakan kembali dengan matang agar dapat digelar dalam pesta yang meriah. Tentunya, pesta itu diharapkan mampu membungkam mulut keluarga Dinda yang selalu merendahkan. Bahkan, Dika sempat membayangkan melangsungkan resepsi di hotel mewah agar keluarga Dinda terkejut batin.
“Bilang saja kau malu punya suami tukang dodos,” ejek Rani sambil tertawa sinis.
“Aku tidak malu, pernikahan kami dilangsungkan besok saja, cukup di KUA. Dan satu lagi, aku sama sekali tidak ragu menikah dengan Bang Dika. Lebih baik jadi istri tukang dodos daripada menikah dengan tukang fotokopi di PTPN yang lagaknya sok seperti staf besar!”
“Hah?! Apa? Tukang fotokopi?” suara Bu Tutik meninggi, matanya terbelalak kaget. Seisi ruangan pun riuh, semua tamu terkejut mendengar ucapan Dinda.
“Jangan mengarang cerita kau, ya, Dinda. Aku ini staf PTPN,” ujar Andi dengan gugup.
Cerita ini ada di KBM App dengan Judul: Cintaku Tersangkut Di Kebun Sawit.
Penulis : Henny_Hutabarat