Rubyquinza Drama

Rubyquinza Drama kumpulan video drama Rubbyquinsa ✅

Tak ingin larut dalam kenangan masa lalu yang menyesakkan, Nadine menutup hidungnya dan menunduk dalam."Kenapa menutup h...
24/09/2025

Tak ingin larut dalam kenangan masa lalu yang menyesakkan, Nadine menutup hidungnya dan menunduk dalam.

"Kenapa menutup hidung? Apa aku bau?"

Suara serak dan berat itu menyapu telinganya, membuat tubuh Anna bergetar ketakutan.

"Apa kamu puas setelah pergi dan membuatku tersiksa?"

Sekuat tenaga Rayhan menahan diri agar tak memeluk wanita itu. Wanita yang sudah membuatnya hampir gila. Ya, ia hampir gila karena Nadine.

Lima tahun bukan waktu yang sebentar, pernikahannya dengna Karina terlaksana namun bukannya bahagia, Rayhan justru tersiksa.

Istrinya sering membuat masalah dan sampai hari ini mereka belum dikaruniai keturunan.

Rayhan meyakini bahwa apa yang terjadi padanya adalah buah dari kejahatannya, ia menyesal namun semuanya sudah terlambat, Nadine pergi dan ia tak berhasil menemukan keberadaan wanita itu.

"Saya tidak pernah pergi, Anda yang ingin saya pergi," sahut Nadine tenang.

Lima tahun tak bertemu, Nadine semakin cantik dan menawan. Hampir saja Rayhan tak mengenalinya karena Nadine banyak berubah. Rambut panjangnya tergerai indah, pun dengan tubuhnya semakin berisi di beberapa bagian.

"Nadine, maaf!" ucap Rayhan lirih.

Nadine tak merespons, ia menatap lurus pintu lift yang tertutup, hanya tinggal hitungan detik pintu itu akan terbuka dan ia bisa pergi menjauh.

Pintu lift terbuka, Nadine bergegas keluar, ia tak mau membuang waktunya lebih lama bersama Rayhan.

"Nadine, tunggu!"

TERSEDIA DI KBM APP

Judul: Kami Yang Terbuang
Penulis:Amara Viska

“Emmm ... Ahh...Abaang… ah… n4kal, ih…”Langkahku langsung terhenti ketika suara itu terdengar samar dari arah gudang bel...
24/09/2025

“Emmm ... Ahh...Abaang… ah… n4kal, ih…”

Langkahku langsung terhenti ketika suara itu terdengar samar dari arah gudang belakang.

Aku sontak menahan napas. Jantungku berdentum keras, seolah memberi pertanda buruk. Dengan langkah perlahan, aku mendekati sumber suara.

Betapa terkejutnya aku ketika melihat kenyataan di depan mataku ternyata...padahal besok hari pernikahanku 😭

#8

Dinda mengenakan kebaya putih sederhana—bahkan menurut Dika, terlampau sederhana untuk seorang calon pengantin.

“Sebentar, saya ingin bertanya. Mengapa kebaya calon istri saya justru dipakai olehnya?” ucap Dika sambil menunjuk Rani.

“Loh, ini kebaya anak saya dari calon suaminya. Jangan mengaku-aku, ya! Lagi p**a, mana mungkin kamu sanggup membeli kebaya mewah seperti ini,” sahut Bu Tutik dengan nada tinggi.

“Maaf, Bu Tutik. Kebaya itu memang dari Nak Dika untuk Dinda. Saya sendiri yang mengantarkannya ke rumah ini tadi subuh,” jelas Bu Salmiah dengan suara tenang

“Jangan ikut campur, Bu Salmiah! Kebaya yang dipakai Rani itu jelas dari Andi. Lagi p**a, coba Ibu pikir, Dika itu hanya tukang dodos. Mana mungkin sanggup membeli kebaya mahal dan bagus seperti ini. Beda dengan Andi, dia sudah jadi staf PTPN, g4jinya saja sudah dua digit. Tentu saja dia mampu membeli kebaya mewah.” Ucapan itu ia lontarkan dengan gaya sombong dan angkuh.

“Sudah! Sudah! Hanya gara-gara kebaya saja sampai berisik. Ini acara sakral, diam semua!” tegur Pak Anwar--ayahnya Dinda dengan tegas.

“Ini, nih! Gara-gara si tukang dodos. Kasihan sekali, sampai ngaku-ngaku dia yang belikan kebaya mewah. Sangking inginnya derajatnya terangkat,” ejek Bu Tutik sinis.

Dika menghela napas berkali-kali menahan sabar. Pandangannya lalu tertuju pada Dinda, g4dis yang akan segera dinikahinya. Wajah Dinda tetap tenang, seolah ingin mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.

“Siapa yang lebih dulu menikah?” tanya sang penghulu.

“Anak saya duluan, karena semua biaya dari calon suami anak saya,” jawab Bu Tutik cepat-cepat.

Lalu, dengan gaya sombong, Andi maju ke depan diikuti oleh kedua orang tuanya yang tak kalah angkuh. Bu Anik tampil menonjol dengan kebaya hijau terang, lengkap dengan emas menyala yang melingkar di pergelangan tangannya.

“Minggir, minggir! Anak saya mau lewat. Tolong semuanya jangan berisik, ya,” ucap Bu Anik sambil menghalau dengan tangannya. Padahal, tak ada seorang pun yang menghalangi jalan.

Setiap kali ia berbicara, tangannya ikut bergerak ke sana kemari, menimbulkan suara gemerincing dari gelang emasnya. Seolah sengaja, agar semua orang tahu bahwa ia memakai perhiasan berjejer, bak toko emas berjalan.

Gaya norak Bu Anik membuat beberapa tamu cekikikan menahan senyum, bahkan ada yang berbisik-bisik. Sebagian tamu sudah mengetahui kondisi ekonomi keluarga Bu Anik. Gayanya memang selangit, tetapi hut4ngnya di b4nk emok menumpuk. Bahkan, ada p**a yang curiga perhiasan yang dikenakannya hanyalah imitasi yang dibeli di pasar malam.

“Saya terima nikah dan kawinnya Rani Anggraini dengan mas kawin sebanyak lima puluh juta rupiah dibayar tunai,” ujar Andi dengan suara lantang. Apalagi saat menyebutkan lima puluh juta, urat leher Andi hampir keluar saking kerasnya. Ketika penghulu mengucapkan kata sah, Andi menepuk-nepuk dadanya lalu melihat Dika dengan sombong, seolah berkata: Lihat, maharku saja lima puluh juta. Kamu bisa tidak?

“Alhamdulillah ya Allah, akhirnya anakku bisa mempersunting wanita terhormat yang derajatnya sama, tidak seperti penjaga warung,” ujar Bu Anik dengan sombong, sedangkan Bu Tutik mengangguk-angguk dengan bangga.

“Sudah, kita langsung saja ya makan-makan. Ibu-ibu dan bapak-bapak, sudah pada lapar kan? Kita makan, yuk. Silakan menikmati hidangan,” ujar Bu Tutik seolah-olah ijab kabul telah selesai, padahal seharusnya Dinda dan Dika yang selanjutnya melaksanakan ijab kabul.

“Bu, Dinda kan belum,” ujar Bu Salmiah. Sungguh, saat itu rasanya Dika sudah ingin pergi dari tempat itu membawa Dinda, karena mereka berdua benar-benar tidak dihargai. Bahkan Pak Anwar, ayah kandung Dinda, juga sudah bersiap-siap hendak berdiri. Orang tua seperti apa dia itu, batin Dika geram.

“Katanya ada satu pengantin lagi, nih,” ucap Pak Penghulu.

“Oh iya, lupa. Tidak penting sih, tapi tidak apa-apa deh. Ayo buruan nikahkan mereka biar Dinda mendapatkan pasangan yang sepadan, yaitu tukang dodos, hihihihi,” ujar Bu Tutik meledek.

“Siapa yang mau makan, makan saja. Tidak penting juga melihat ijab kabul kaum rendahan,” ucap Rani dengan nada angkuh. Hati Dika langsung panas mendengar ucapan itu, terlebih melihat Rani yang lancang memakai kebaya yang sebenarnya ia berikan untuk Dinda.

“Ayo, sayang, kita makan saja. Abang sudah alergi dekat-dekat orang kismin. Lihat saja orang tuanya, mirip pembantu dan sopir. Jauh berbeda dengan mertuamu, Sayang,” ejek Andi sambil melirik sinis ke arah Bik Wati dan Pak Warno.

“Ya jelas beda, kan anaknya tukang dodos,” cicit Bu Tutik yang tidak pernah kehabisan kata untuk merendahkan Dika.

Dinda yang sejak tadi menahan perasaan akhirnya angkat bicara. Dengan suara tegas namun bergetar karena emosi, ia berkata.

“Lebih baik pernikahanku dengan Bang Dika diundur saja.”

Semua tamu terperangah. Dika pun ikut kaget mendengar ucapan calon istrinya itu.

“Loh, kenapa? Kamu malu ya punya suami tukang dodos, makanya dibatalkan? Padahal sudah dapat jodoh yang sepadan loh kamu , maunya sama Andi? Oh tidak bisa, Andi sudah menjadi suaminya Rani,” ujar Bu Tutik, matanya sinis melihat Dinda.

“Saya juga ga sudi menikahi dengan Andi, dih, amit amit, “ ucap Dinda sambil bergidik.

“Heleh, gayamu, bilang saja belum move on, buktinya kamu batalin pernikahanmu, kamu malu ya punya suami tukang Dodos?” Bu Tutik mencibir.

“Sedikit pun aku tidak malu! Asal Ibu tahu, semua persiapan pesta ini bahkan belum dibayar dan Bang Andi memintaku yang membayarnya. Aku tidak rela uangku habis hanya untuk pesta tapi aku dan Bang Dika dihina terus.”

Dika pun sebenarnya sependapat dengan Dinda. Ia juga tidak sudi melanjutkan pernikahan yang mereka anggap mewah, padahal kenyataannya jauh dari standar keluarga Dika. Namun, Dika tidak berani membatalkannya karena takut Dinda sedih dan berpikiran macam-macam, tetapi ternyata Dinda sendiri yang membatalkan, sepertinya aku dan Dinda sudah satu hati,batin Dika sambil mengulum senyum.

Apalagi kedua orang tua Dika tidak bisa hadir. Ia justru ingin pernikahan ini dibatalkan saja, lalu direncanakan kembali dengan matang agar dapat digelar dalam pesta yang meriah. Tentunya, pesta itu diharapkan mampu membungkam mulut keluarga Dinda yang selalu merendahkan. Bahkan, Dika sempat membayangkan melangsungkan resepsi di hotel mewah agar keluarga Dinda terkejut batin.

“Bilang saja kau malu punya suami tukang dodos,” ejek Rani sambil tertawa sinis.

“Aku tidak malu, pernikahan kami dilangsungkan besok saja, cukup di KUA. Dan satu lagi, aku sama sekali tidak ragu menikah dengan Bang Dika. Lebih baik jadi istri tukang dodos daripada menikah dengan tukang fotokopi di PTPN yang lagaknya sok seperti staf besar!”

“Hah?! Apa? Tukang fotokopi?” suara Bu Tutik meninggi, matanya terbelalak kaget. Seisi ruangan pun riuh, semua tamu terkejut mendengar ucapan Dinda.

“Jangan mengarang cerita kau, ya, Dinda. Aku ini staf PTPN,” ujar Andi dengan gugup.

Cerita ini ada di KBM App dengan Judul: Cintaku Tersangkut Di Kebun Sawit.
Penulis : Henny_Hutabarat

🌸 Bayangan di Belakangku 🌸Sejak kecil, Erli dan Riko tak pernah akur. Mereka seperti api dan bensin. Saling menyulut, sa...
24/09/2025

🌸 Bayangan di Belakangku 🌸

Sejak kecil, Erli dan Riko tak pernah akur. Mereka seperti api dan bensin. Saling menyulut, saling membakar. Kalau Erli dapat juara kelas, Riko akan belajar mati-matian agar bisa mengejarnya. Kalau Riko menang lomba lari antar kecamatan, Erli langsung mendaftarkan diri ikut kejuaraan tingkat provinsi. Apa pun yang satu lakukan, yang lain pasti akan menyusul, bahkan berusaha melebihi. Tapi bukan karena saling menginspirasi—melainkan karena gengsi.

Ayah mereka, Pak Sarman, seorang guru matematika yang dikenal disiplin dan perfeksionis. Sayangnya, perhatian dan pujiannya seperti matahari yang hanya menyinari satu sisi rumah. Hanya untuk Erli.

“Lihat Erli tuh, dapat ranking satu lagi. Kamu, Riko, kapan bisa bikin ayah banggain?” begitu kata Pak Sarman nyaris setiap kali mereka makan malam bersama.

Riko selalu menunduk, menyembunyikan perasaan yang berkecamuk. Ia ingin marah, ingin teriak bahwa ia pun berusaha. Tapi suaranya selalu kalah oleh bayang-bayang kakaknya.

Suatu hari, seusai p**ang sekolah, Erli membuka pintu rumah dengan kasar. Napasnya memburu. Ia langsung menghampiri kamar Riko yang pintunya setengah terbuka.

“Ko, kita bisa ngobrol sebentar?” tanya Erli, nadanya tegang.

Riko yang sedang menulis sesuatu di bukunya, menoleh cepat. “Ngapain? Mau pamer dapat piagam lagi?”

Erli menghela napas. Ia masuk dan duduk di ujung ranjang adiknya. “Bukan itu. Aku cuma… mau minta tolong.”

“SEORANG Erli minta tolong? Langka banget.”

“Aku serius.” Mata Erli kini menatap lurus ke mata adiknya. “Aku mohon, jangan terus ikutin semua yang aku lakukan.”

Riko menutup bukunya perlahan. “Apa maksudmu?”

“Aku tahu kamu ikut les debat karena aku duluan yang ikut. Kamu daftar olimpiade juga karena aku daftar. Kamu masuk ekskul jurnalistik setelah tahu aku di situ. Riko, aku mohon… hentikan.”

“Tapi kenapa?” suara Riko mulai meninggi. “Karena kamu takut aku lebih hebat dari kamu? Takut kamu kalah?”

“Bukan…” suara Erli nyaris seperti bisikan. “Karena semua itu akan sia-sia.”

“Apa maksudmu sia-sia?”

Erli menggigit bibirnya. Butuh waktu beberapa detik sebelum ia sanggup berkata, “Karena Ayah… nggak akan pernah lihat kamu, Ko. Dia cuma lihat aku. Apa pun yang kamu capai, dia tetap cuma akan bandingin kamu sama aku. Dan kamu akan terus merasa gagal, padahal kamu nggak.”

Riko terdiam. Kata-kata kakaknya menamparnya lebih keras dari pukulan mana pun yang pernah mereka berikan satu sama lain saat kecil.

“Kamu pikir aku nggak sadar?” lanjut Erli, suaranya kini bergetar. “Aku tahu Ayah selalu bangga sama aku. Tapi aku juga tahu kamu kerja keras. Kamu capek. Tapi kamu tetap terus ngejar… aku.”

“Karena kamu satu-satunya contoh yang aku punya…” Riko akhirnya bersuara, suaranya lirih dan berat. “Aku cuma pengin Ayah… bilang aku hebat. Sekali aja. Bukan karena aku jadi seperti kamu, tapi karena aku jadi diriku sendiri.”

Erli menunduk, menutupi matanya yang mulai basah. “Maaf, Ko… Aku egois.”

“Kamu bukan egois. Kamu cuma… terlalu terbiasa jadi yang dilihat. Dan aku terlalu terbiasa jadi bayanganmu.”

Hening. Hanya suara kipas angin yang terdengar berputar malas di langit-langit kamar.

Erli berdiri, lalu berjalan ke pintu. Tapi sebelum keluar, ia berbalik dan berkata, “Mulai sekarang… aku pengin lihat kamu jadi Riko. Bukan versi lain dari Erli.”

Dan pintu kamar pun perlahan tertutup, menyisakan Riko yang masih terpaku di kursinya, menatap buku catatannya yang belum selesai ditulis.

Sebuah lembar yang kosong, seperti dirinya, yang kini harus memulai dari awal.

Hari-hari berikutnya, suasana di rumah menjadi sedikit berbeda. Erli tidak lagi menunjukkan ambisi berlebihan. Ia mulai melepas satu-persatu aktivitasnya—berhenti dari ekskul jurnalistik, memilih tidak ikut lomba debat, bahkan menolak tawaran menjadi ketua OSIS. Ia bukan menyerah, tapi memberi ruang.

Riko bingung pada awalnya. Tapi ia mulai mengerti.

Kini, tanpa harus merasa dibayangi, Riko perlahan menemukan dirinya sendiri. Ia mulai menulis cerpen di majalah sekolah, ikut klub fotografi, bahkan menjadi s**arelawan di perpustakaan. Bukan karena Erli melakukannya dulu, tapi karena ia ingin.

Suatu malam, saat hujan mengguyur atap rumah, Pak Sarman duduk di ruang tamu membaca koran. Riko baru p**ang dari kegiatan klubnya dan meletakkan tas di sofa.

“Dari mana?” tanya Pak Sarman tanpa menoleh.

“Dari rapat komunitas penulis sekolah.”

“Hm.” Tak ada lanjutannya.

Tapi tiba-tiba, Pak Sarman menurunkan korannya. “Kamu yang nulis cerita tentang anak penjaga makam itu?”

Riko menatap ayahnya dengan bingung. “Iya… kok tahu?”

“Ayah baca di majalah sekolah. Bagus.” Pak Sarman menatap putranya, kali ini dengan sorot berbeda. “Bagus banget. Kamu punya sudut pandang yang kuat.”

Riko tak bisa berkata-kata. Itu mungkin pertama kalinya dalam hidup ia mendengar kata “bagus” dari ayahnya… untuk dirinya sendiri.

Erli yang berdiri di balik pintu dapur, diam-diam tersenyum kecil. Ia tidak iri. Ia bahagia.

Beberapa bulan kemudian, hari kelulusan tiba. Erli dinobatkan sebagai siswa teladan dan mendapat beasiswa ke universitas ternama. Saat namanya dipanggil dan ia berdiri di atas panggung, matanya menyapu penonton. Ia mencari satu sosok, dan menemukannya.

Riko, yang berdiri di barisan belakang dengan kamera tergantung di leher, mengacungkan jempol sambil tersenyum lebar.

Erli membalas senyum itu, dan ketika semua tepuk tangan riuh mengiringi, hanya satu tepukan kecil di hatinya yang terasa paling berarti.

Malam harinya, sebelum tidur, Riko masuk ke kamar Erli. Ia membawa sebuah bingkisan kecil.

“Apa ini?” tanya Erli heran.

“Buka aja.”

Di dalamnya, ada sebuah bingkai foto. Foto mereka berdua saat kecil—Erli dengan piala di tangan, Riko menangis di belakangnya. Tapi pada foto itu, bagian wajah Riko yang dulu terhalang kini sudah diedit terang dan jelas.

“Waktu itu, Ayah cuma bangga sama kamu. Tapi sekarang, aku juga bangga… sama diriku sendiri,” ucap Riko.

Erli menatapnya, matanya berkaca-kaca. Ia berdiri dan memeluk adiknya erat.

“Aku selalu bangga sama kamu, Ko. Dari dulu. Maaf aku baru bilang sekarang.”

Untuk pertama kalinya, dalam pelukan yang hening itu, tak ada lagi bayang-bayang. Yang ada hanya dua cahaya kecil—dua kakak beradik—yang akhirnya bersinar, bersama.

"Aku yakin mas restu pasti akan di umumkan sebagian pew4ris perusahaan. Soalnya si Nilam itu'kan m4n-dvl , mana mungkin ...
24/09/2025

"Aku yakin mas restu pasti akan di umumkan sebagian pew4ris perusahaan. Soalnya si Nilam itu'kan m4n-dvl , mana mungkin bisa ngasih ketu ru n a n buat mas restu dan ibunya.

Selain itu si Minah juga sudah berhasil mempengaruhi ibunya mas restu. Apalagi bikin Nilam jadi sedikit cu ri ga dengan ibu mertuanya. Po kok nya si Mi n4h kerjanya bagus, Ma, dia bisa me ng4-du d0mba mereka berdua."

"Dan satu lagi, Mbak, se m a lam kita sudah berhasil menjeb4k si Nilam. Aku yakin sih nanti bakal ada tontonan gratis dan juga seru. Setelah itu ibunya mas restu bakal benc1 sama si nilam terus akhirnya terima mbak sebagai menantunya" nindi menimpali ucapan Rosa.

"Duh ibu nggak sabar punya besan kaya raya, dah pastinya kita bakal kecipratan hartanya juga." kini giliran Bu sarmila yang angkat bicara.

Aku yang sedang berada di kamar kecil tidak sengaja mendengar obrolan mereka bertiga.

Dalam hati aku bersor4k gir4ng, mereka belum tahu saja kalau mereka lah yang nantinya akan m3nangis di pojokan karena malu dan ke hil4ngan h4r ga d!-ri.

"Ya sudah kita buru-buru kedepan yuk! Nggak sabar nunggu pe ngu mu man kalau mas restu ba k a l jadi pe waris perusahaan." Lanjut Rosa dengan percaya dirinya.

Ke mudian aku men de ngar derap langkah sepatu menjauh dari pen dengaranku. Setelah memastikan pe na-mpilan sempurna, aku memutuskan keluar dan bergabung bersama orang-orang.

Dari sudut meja yang aku duduki, terlihat keluarga Rosa begitu ndesonya ber s e l fi tanpa me ng hir4u kan tamu undangan lainya.

Aku sedikit melihat raut wajah mas restu begitu risih. Mungkin dia agak elfeel dengan ke-lakuan ibu dan adiknya Rosa.

"Mbok Minah duduk bersama anak buah saya yang lainnya ya. Soalnya ini meja khusus untuk kami berdua." per ha-tianku teralihkan oleh suara ibu yang me ngu s1r mbok Minah secara halu5.

Perempuan yang usianya tidak jauh dari ibu mertuaku terlihat sedikit ma s4m. Mungkin dia ingin bersa nding dengan pemilik perusahaan. Tapi sayangnya ibu mertuaku sudah tidak r e s- pek lagi dengan dia.

Aku yakin beliau me n ga-jak mbok Minah ke sini karna ada maksud ter te ntu juga.

"Ya sudah, Ny o nya, saya permisi dulu ya." mbok minah ba ngk!t dari duduknya, dia juga sempat meliriku dengan se ng1t.

"Acara sebentar lagi akan di mulai, dan setelah ini berjanjilah untuk tidak membenc1 ibu ya, Sayang?" tukas ibu mertuaku sambil menggenggam tanganku er4t.

Entah kenapa aku merasa deg-degan, apa mungkin masih ada hal yang belum aku ketahui selama ini? Benakku di penuhi dengan tanda tanya b e sar.

Setelah itu aku mendengarkan MC membawakan acara. Pertama adalah acara kenaikan jabatan para karyawan. Tepuk tangan begitu meriah, mereka yang mendapatkan promosi naik jabatan begitu bahagia dan senang.

"Dan yang terakhir, saya persilahkan untuk nyonya besar perusahaan Amarta grup, agar naik ke panggung untuk mengumumkan pengalihan kekuasaan perusahaan."

MC menye but na ma ibu mertuaku, tepuk tangan kembali begitu meriah. Dan inilah keteg4ngan yang sesungguhnya.

"Terimakasih untuk semua tamu undangan yang sudah hadir di acara hari ini.

Tadi sudah di umumkan siapa saja karyawan yang mendapatkan posisi naik jabatan.

Dan kali ini saya akan mengumumkan siapa yang akan menggantikan saya memimpin perusahaan. Dan dia adalah..." ibu mertua sengaja menjeda ucapanya.

Dia melihat ke arahku dengan senyum yang begitu tulus. Hal itu justru membuatku semakin salah tingkah.

"Dia adalah Nilam maharani putri, menantu yang sudah saya anggap seperti a-nak sendiri. Untuk Nilam, silahkan naik ke atas panggung karna ibu akan menyerahkan simbol perusa ha an padamu..."

"Tidak! Ini tidak mungkin!"

Belum selesai j4ntungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Karna aku tidak menyangka ibu akan memilihku. Namun dari arah yang berl4 wa nan mas restu berdiri dengan raut wajahnya yang sudah me r4h pa d4m.

"Ini pasti hanya lelucon'kan? Ibu tidak mungkin memilih Nilam sebagai pemimpin perusahaan? Aku ini anak satu-satunya ibu, tapi kenapa ibu justru memilih dia? Benar- benar tidak ma suk ak4l!" protes mas restu tidak terima.

Dia bahkan maju mendekat ke arah panggung di mana ibu tengah bediri.

"Katakan pada semua orang, Bu, kalau aku lah pemimpin perusahaan saat ini!" Perintah mas restu pada ibunya.

"Ini keputusan ibu, Restu, dan tidak ada yang bisa memb4ntahnya terma- s u k kamu!" sahut ibu dengan tegas.

Mas r3stu semakin menger4skan ra hangny4. "Ibu pikir wanita itu pantas menjadi pemimpin perusahaan ini ha? Asal ibu tahu, dia itu wan1ta mur4han, wanita m4ndul dan wanita pemuj4 selangk4ngan. Jadi sangat tidak pantas untuk memimpin perusahaan ini!"

Nyes!

Mas restu benar-benar keterlaluan, dia me nv-duh dan me-ngh1-n4 ku di dep4n semua orang.

"Cukup, Restu! Jang4n buat acar4 ini kac4u karna o mong k0songmu itu. Kalau kau ingin tetap di sini sebaiknya kau..."

"Tidak, Bu, akan kutunjukan siapa sebenarnya perempuan ini pada ibu. Agar ibu sadar jika dia tidak p a ntas sama sekali menjadi pemimpin perusa ha an."

Semua tamu unda ngan saling berbisik ke arah kami. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kami aku juga tidak tahu.

Tiba-tiba saja nindi, adiknya Rosa naik ke atas panggung. Dia memberikan sebuah flasdisk ke arah orang yang di percayakan untuk memegang kendali layar l e bar.

Sedangkan Rosa dan Bu sarmilah mendekat ke arah mas restu. "Setelah ini kalian akan melihat sendiri jika yang di ucapkan suamiku ini benar adanya. Mbak nilam memang nggak pantes untuk menjadi pemimpin perusahaan.

Dia m4n dvl, dia w4nita yang tidak setia bahkan dia juga..."

"Cukup, Rosa, ber he-nti untuk terus me ng-h1 na menantuku. Bahkan jika di ban ding kan denganmu, Nilam sangat j a uh lebih terhormat.

Harusnya kau berk4ca, kau merebvt restu darinya. Apa sebagai sesama pe-rempuan kau masih bisa menyebut jika dirimu lebih baik dari menantuku ini?"

Semua orang lantas menatap ke arah Rosa, perempuan itu langsung salah tingkah saat semua orang tau jika dia me re but mas restu dariku.

"Tapi aku juga menantumu, Bu, bahkan aku juga sedang me nga n dung a naknya mas restu. Coba kalian semua bayangkan, aku yang sudah bisa di pastikan memberikan keturunan tapi di bandingkan dengan wanita m4n dvl ini. Apa menurut kalian ini adil?" tukas Rosa berusaha membela diri dan mencari simpati.

"Maafkan saya sebelumnya, Nyonya, tapi sepertinya kali ini saya setuju dengan yang di katakan oleh istri barunya tuan restu. Sudah lima tahun non Nilam menjadi istrinya tuan restu, tapi mereka masih belum memiliki anak juga. Sedangkan pe rempuan ini, dia sudah bisa di pastikan bisa memberi tuan ket u ru nan.

Dan satu lagi, sebenarnya saya pernah memergoki non Nilam berjalan dengan pria lain bahkan mereka juga..."

"Mbok Minah ikut m3nvduh me na ntu saya? Apa mb0k bisa mempertanggung jawabkan ucapan mbok itu ha?" ben t4k ibu mertuaku de ngan sangat la n t4 ng.

Rupanya mbok Minah sudah berani menunjukkan sifat aslinya di depan kami. Dia dengan terang-terangan membela Rosa.

"Sudahlah, Bu, nyatanya bukan hanya kami yang tahu jika me na ntumu ini pe l4 cvr, jadi ibu terima saja ke nyataanya."

"Rosa kau..."

"Lihat ke l a yar semuanya, sebentar lagi akan ada pertunjukan me na rik untuk menjadi tontonan gratis kalian." p o tong nindi dengan cepat, bahkan g a dis itu sampai me r e but mik yang di p e gang oleh M C.

Vi d eo yang ada di la yar mulai di putar, senyum mas restu serta keluarga Rosa bahkan mbok Minah mulai muncul. Namun saat video benar-benar sudah di mulai, raut wajah mereka semua men ja di p u c4t p4si.

Vid eo ya n g berisi hubung4n lay4knya su4mi istri yang di lakukan oleh Rosa dan pria yang ingin men je b4kku, membuat suasana gedung menjadi te g4ng.

Banyak k a me ra yang sengaja di hidupkan untuk me nga ba di kan momen langka tersebut.

"Rosa kenapa bisa..."

"Ber hent1, ce p4t ma tikan v i deonya, ini semua tidak benar. Vi d e o itu, vi d e o itu..." ucapan Rosa ter ga-gap, bahkan dia sampai tidak bisa melanjutkan perkataanya.

Mu ng kin dia tidak menyangka ji ka hal s e f4 t a l ini bisa ter ja di.
Bersambung...

selengkapnya di KBM app
Judul: ibu mertuaku jangan di lawan
Penulis: Dinda_Ramadhani

"Dek Ulfah ...," gumam Abian sesaat Ayuni baru turun dari motornya dan melihat ternyata ada calon istrinya di belakang. ...
24/09/2025

"Dek Ulfah ...," gumam Abian sesaat Ayuni baru turun dari motornya dan melihat ternyata ada calon istrinya di belakang. Ia merasa tidak enak hati, takut wanita pilihannya salah paham.

Ayuni tersenyum misterius menatap wajah sendu kakaknya.

Ulfah yang baru memarkirkan motornya di halaman, tersenyum kecut lalu menyahut lemah. "Iya, Mas. Aku masuk dulu."

Sebelum melangkah, ia melirik sekilas tulisan yang membuat perasaannya nyeri. Setelah menarik napas panjang, ia pun menuju pintu utama.

"Ulfah, tunggu!"

Langkah wanita berhijab segi empat itu terhenti.

"Mas minta maaf. Tadi Mas mengantar Ayuni karena motornya bocor dan ditinggal di bengkel." Abian menjelaskan seraya menatap punggung Ulfah yang seolah-olah sedang tak ingin menatapnya.

"Nggak pa-pa, Mas," jawab Ulfah tanpa menoleh. Matanya memejam menahan gejolak emosi yang mengganggu dari tadi lalu masuk ke rumah.

Mendengar motor Ayuni bocor, ia memiliki firasat buruk, pasalnya adiknya tidak pernah lagi mau memakai motor semenjak ayah mereka membeli mobil. Adiknya rela menunggu sampai jam berapa pun hingga ayahnya p**ang asalkan ia naik mobil.

"Apakah Ayuni sekarang mengincar Mas Abi? Dia tahu pemberian Mas Abi padaku jauh melebihi apa yang diberikan Mas Fariz padanya."

Mengenai tumpangan, sebenarnya Ulfah tidak mempermasalahkan. Jika memang benar adiknya pakai motor lalu bocor, memberi tumpangan adalah sesuatu yang wajar. Namun, tulisan di belakang motor dan pelukan Ayuni yang membuat perasaannya tidak nyaman. Kenapa tidak melarang Ayuni memeluknya, kenapa dibiarkan?

Ayuni menyeringai menatap Ulfah yang sudah menghilang dari pandangan.

"Makasih tumpangannya, Mas!" seru Ayuni kemudian masuk ke rumah sambil melompat-lompat girang.

Sementara itu, Ulfah langsung masuk kamar tanpa menemui Bu Desi. Biasanya dia akan mencium punggung tangan ibunya dulu. Namun, hatinya sudah terlanjur sakit dan kecewa. Ada perasaan yang ia tak mengerti, seolah-olah takut akan kehilangan Abian.

Takut kalau sebenarnya Abian hanya memanfaatkannya untuk memanas-manasi Ayuni. Takut jika ternyata tujuan awal Abian adalah Ayuni, tetapi karena Fariz melamar lebih dulu, jadi dia ditumbalkan, sedangkan ia sudah menumpukan harapan pada montir tersebut.

"Kenapa juga Ayuni tiba-tiba mau naik motor? Butut lagi. Apakah dia berniat merampas Mas Abi dariku?" Wanita itu melepas hijab dan menghempas tas selempangnya ke atas kasur empuk dari calon suaminya.

"Kenapa gak dari awal saja kamu bilang memilih Ayuni, Mas? Kenapa harus memberikan harapan padaku dulu? Bahkan kamu mengenalkanku pada orang tuamu!" teriak Ulfah menelungkupkan wajah di bantal.

Selama perjalanan, Abian dihantui perasaan bersalah. Hingga keesokan harinya, perasaan itu terus bergelayut.

"Pagi-pagi kok, udah murung? Calon pengantin wajib bahagia, Bi!" goda Dodi ketika mereka baru saja tiba di bengkel.

Abian mengusap tengkuk. Dia bingung mau menjawab apa.

Tiba-tiba Dodi membuatnya kaget. "Loh, kamu bukannya melamar kakak Ayuni, ya, Bi?"

"Iya, aku memang melamar kakaknya. Kenapa?"

"Terus, tulisan di belakang motormu itu ...." Dodi menunjuk motor lelaki berkulit sawo matang yang terparkir di samping bengkel.

ABIAN ❤ AYUNI. KAMU PASTI JADI MILIKKU

Tulisan tersebut sontak membuat Abian menarik napas panjang-panjang. Perasaan bersalah pada Ulfah makin menggila.

"Pantasan kemarin Ulfah melirik motorku dengan tatapan seperti itu. Rupanya dia membaca ini." Cepat lelaki berhidung bangir tersebut mencopot tulisan yang ditempel pakai selotip dengan perasaan geram lantas meremasnya hingga membentuk gumpalan lalu melemparnya jauh. "Ini pasti ulah Ayuni!"

Dodi tertawa cekikikan mendengar Abian menggerutu. Baru kali ini ia mendengar bujang tua itu mengomel di bengkel.

Abian mulai merasa ada yang tidak beres pada Ayuni. Begitu masuk ke bengkel, ia langsung membongkar ban depan sepeda motor Ayuni.

"Jangan sampai dia ke mari, motornya belum selesai. Bisa makin lama nanti dia di sini," gumamnya lalu menambal ban yang bocor. Tak sanggup jika calon adik iparnya melakukan sesuatu yang mengganggu hubungannya dengan Ulfah.

Benar saja, Ayuni tiba saat ia memompa ban, dihantar oleh Pak Adit yang sekalian mau berangkat ke balai desa. Kali ini, Ayuni tampak berbeda. Jika kemarin wajahnya dilapisi make up, hari ini dia terlihat pucat.

Lelaki bertubuh tinggi itu pura-pura tidak mengetahui kedatangan kembang desa.

Dodi berdehem jahil memberi kode pada teman kerjanya, tetapi Abian tidak menanggapi.

"Mas, motorku udah beres?" tanya Ayuni dengan suara mendayu lembut.

"Udah, siap pakai." Abian memutar motor scoopie itu dan memarkirnya di pinggir jalan agar sang calon adik ipar bisa langsung p**ang.

"Mau langsung p**ang, Yun? Temenin Mas kerja d**g, biar Mas semangat," goda Dodi.

Ayuni mendelik tak s**a kemudian berdecak sebal. "Cari cewek yang selevel sama kamu, Mas! Aku mah, ketinggian!"

Usai mengucapkan kalimat sarkas, Ayuni menuju motor. Namun, tiba-tiba tubuhnya ambruk ke lantai sebelum ke luar bengkel.

"Yun!" pekik Dodi dan Abian bersamaan.

Ah Kong yang duduk di depan meja kerjanya ikut terkejut. "Kenapa dia?"

"Angkat, Bi."

Lelaki berkulit sawo matang melihat ada pergerakan di balik kelopak mata Ayuni. Dia mulai menduga sesuatu. "Kamu aja, Dod. Aku udah punya calon istri."

"Dia calon adik iparmu, loh."

"Kalau gitu, biarin aja dia baring di sini!"
seru Abian santai. Malas saja meladeni sandiwara murahan calon adik iparnya.

"Gi-la kamu, Bi. Orang pingsan dibiarin."

Akhirnya, Dodi yang mengangkat tubuh ramping Ayuni. Tampak bibir pucat wanita itu memanyun ketika lelaki yang menggend**g bukanlah lelaki sasarannya.

"Kapan lagi mau meluk kembang desa, Dod. Kamu ketiban durian runtuh hari ini."

"Kalau bisa, dapat durennya langsung, Bi," sahut Dodi cengengesan.

Abian mendekati wanita yang terbaring di kursi panjang.

"Bangun, Yun." Lelaki berkulit sawo matang itu berucap datar dan ketus. Ia tak menyangka, adiknya Ulfah yang notabene seorang kembang desa memiliki kelakuan seperti ini.

Seketika ide konyol melintas di benaknya. "Kayaknya ini model pingsan yang bisa sadar kalau dikecup di kening, Dod.”

"Kamu yang cium, kayaknya dia s**a kamu," jawab Dodi sambil memulai servis motor.

"Kamu aja!"

Ayuni yang pura-pura pingsan berusaha menahan senyum, berharap Abian langsung melakukan hal romantis. Akan tetapi, bukannya mencium kening, Abian malah mengambil secangkir air lantas menyiramkannya ke wajah Ayuni.

Byur

"AARRGGH! MAS ABIAAAN!!!" Ayuni langsung bangkit sambil mengibas-ngibas wajahnya yang basah kuyup. Semua orang tertawa, sementara Abian hanya tersenyum miring.

“Udah sadar, kan? Nah, sekarang bayar service-nya.”

***

Setelah kejadian itu, Ayuni bukannya malu dan berhenti. Dia malah makin nekad menaklukkan Abian.

"Laki-laki itu ... kok, bisa setia amat sama Mbak Ulfah? Menggend**gku saja dia tidak mau. Malah Dodi yang dia suruh. Ih, najis!"

Wanita yang sudah berada di rumah itu mengibas-ngibas tangannya seakan-akan tersentuh oleh Dodi merupakan sesuatu yang menjijikkan.

Duduk di tepian kasur, dia mencari akal. Pernikahan Abian dan Ulfah sebulan lagi akan berlangsung. Jangan sampai, kakaknya mendapatkan pria yang lebih mapan, sementara Fariz masih belum menunjukkan satu barang mewah pun sesuai janji padanya.

Pada akhirnya, menjelang sore ide brilian muncul. Dia yakin, kali ini akan berhasil.

Mengendarai motor, ia menuju desa tetangga, ke rumah sang montir yang dihinanya tempo hari. Di depan pintu yang terbuka sebagian, dia mengucapkan salam. Terdengar bunyi guyuran air di kmar mndi.

Senyum penuh makna menghiasi bibir tipisnya. Dengan cepat, ia masuk lalu menutup pintu kontrakan Abian rapat-rapat.


Judul : Ma har Sandal Jepit Sang Montir Tajir
Penulis : BulanSabit LTF SKMM
Aplikasi KBM App

Kepoin ceritanya yuk.

Address

Anekaelok

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Rubyquinza Drama posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share