10/09/2025
Dihina Karena Miskin
Di sebuah desa kecil, ada sepasang suami istri bernama Darto dan Sulastri bersama dua anak mereka. Kehidupan mereka sederhana, bahkan bisa dibilang miskin. Rumah mereka berdinding papan, atapnya sudah beberapa kali bocor, dan untuk makan pun kadang hanya cukup dengan nasi dan sayur bening. Meski begitu, mereka hidup dengan penuh cinta dan kejujuran.
Namun, berbeda dengan saudara-saudara Sulastri yang hidup berkecukupan, keluarga kecil itu selalu dianggap rendah. Setiap ada acara keluarga—entah hajatan, syukuran, atau pertemuan besar—Sulastri dan Darto seolah bukan bagian dari keluarga. Mereka tidak duduk di kursi tamu, melainkan diarahkan ke dapur. Anak-anak mereka bahkan tidak diizinkan menyentuh makanan yang tersaji di meja prasmanan.
“Anakmu jangan dekat-dekat makanan, Las. Itu untuk tamu, bukan untuk… kalian,” ucap salah seorang saudaranya dengan nada merendahkan.
Sulastri hanya bisa menunduk, menahan perih di dadanya. Darto pun diam, meski hatinya remuk melihat istrinya diperlakukan begitu hina. Mereka tetap tersenyum demi menjaga harga diri.
Pernah suatu kali, Sulastri memberanikan diri meminta pinjaman uang untuk biaya sekolah anaknya. Namun jawaban yang ia terima justru menampar harga dirinya.
“Las, bukannya apa-apa, tapi kalian bisa bayar apa? Aku takut kalau uangku tidak kembali. Jangan sampai aku rugi gara-gara kalian.”
Ucapan itu terngiang-ngiang lama di telinga Sulastri. Malam itu, setelah anak-anak tidur, ia menangis dalam pelukan Darto.
“Mas, aku tidak sanggup lagi dihina begini. Aku tidak mau anak-anak kita tumbuh dengan rasa rendah diri. Lebih baik kita pergi, Mas… merantau, meski tidak ada yang menolong kita. Aku percaya kita bisa hidup lebih baik.”
Darto terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan istrinya erat. “Kalau itu maumu, Las, aku akan berusaha. Aku punya sedikit kemampuan mengolah makanan. Siapa tahu di kota nanti ada jalan untuk kita.”
Maka dengan uang seadanya, mereka meninggalkan desa. Tidak ada yang mengantar, bahkan tidak ada yang peduli.
*****
Di kota, kehidupan awal tidak mudah. Mereka tinggal di rumah kontrakan sempit. Darto bekerja serabutan, sementara Sulastri membantu dengan menjual gorengan. Namun, perlahan-lahan, kemampuan Darto mengolah makanan mulai terlihat. Ia bisa membuat berbagai olahan beku yang praktis dan tahan lama.
Mereka mulai mencoba menjual nugget buatan sendiri, bakso, dan siomay dalam bentuk frozen food. Awalnya hanya dijual ke tetangga sekitar, tapi lama-lama permintaan meningkat. Darto mengembangkan resep, Sulastri mengurus pemasaran. Dengan kerja keras dan doa, usaha mereka tumbuh pesat.
Beberapa tahun berlalu, usaha frozen food itu menjelma menjadi perusahaan kecil dengan merek terkenal. Mereka bahkan memasok produk ke restoran besar dan supermarket. Kehidupan yang dulu serba kekurangan kini berubah: mereka bisa membeli rumah sendiri, menyekolahkan anak-anak ke sekolah bagus, dan memiliki karyawan yang setia.
*****
Suatu hari, Sulastri menerima kabar: keluarganya di desa mengadakan pesta besar. Entah karena rindu atau ingin memberi hormat, ia dan Darto memutuskan untuk hadir. Namun mereka sepakat untuk tidak menunjukkan kesuksesan mereka.
“Kita tidak perlu pamer, Mas. Cukup datang dengan sederhana. Biarlah mereka tahu siapa kita sebenarnya, tanpa harus kita ceritakan,” kata Sulastri.
Maka mereka pun berangkat dengan bus, mengenakan pakaian seadanya tapi rapi. Sampai di desa, wajah-wajah sinis langsung menyambut.
“Itu si Lastri sama suaminya. Masih sama saja, ya? Kasihan.”
“Mereka datang naik bus, tuh. Pantas saja.”
Di pesta itu, mereka kembali diperlakukan hina. Mereka ditempatkan di dapur, sementara tamu-tamu lain menikmati hidangan di kursi utama. Bahkan anak-anak mereka dipandang rendah.
Hingga akhirnya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Seorang pria berjas rapi, bos besar yang ternyata adalah mitra bisnis tuan rumah, masuk ke ruangan. Saat matanya menangkap Darto dan Sulastri, ia langsung berdiri dan menghampiri.
“Pak Darto! Bu Lastri! Saya tidak menyangka akan bertemu di sini!” katanya dengan penuh antusias. Ia menjabat tangan Darto erat, bahkan memberi hormat penuh kekaguman.
Semua mata seketika tertuju pada mereka. Saudara-saudara yang tadi menghina kini ternganga tak percaya.
“Beliau ini rekan bisnis saya yang sangat sukses,” lanjut pria itu dengan bangga. “Perusahaan frozen food mereka adalah supplier utama di restoran saya. Produk mereka kualitasnya luar biasa. Saya beruntung bisa bekerja sama dengan mereka.”
Ruangan mendadak hening. Orang-orang yang tadi merendahkan kini tertunduk malu. Mereka mulai mencoba bersikap ramah, tersenyum, bahkan menawarkan tempat duduk paling depan. Namun hati Sulastri dan Darto sudah terlanjur terluka.
“Kami pamit dulu,” ucap Sulastri dengan suara tenang namun tegas. Ia menggandeng tangan suaminya, meninggalkan pesta itu tanpa menoleh lagi.
Saat mereka keluar, sebuah sedan hitam mewah sudah menunggu di depan. Sopir pribadi membuka pintu dengan hormat. Orang-orang desa hanya bisa terdiam, menyaksikan pasangan yang dulu mereka hina kini pergi dengan wibawa, membawa luka sekaligus harga diri yang tak bisa dibeli dengan apapun.