
12/09/2025
RASA IRI MERTUAKU
Sejak kecil, Ratna tumbuh dengan hati yang keras. Ia terbiasa hidup dalam pernikahan yang kering kasih sayang. Suaminya, pria dingin yang jarang p**ang, tidak pernah memberikan perhatian, apalagi cinta. Ratna menjalani hidup bertahun-tahun hanya sebagai istri yang dituntut mengurus rumah tanpa pernah dipeluk hangat.
Ketika akhirnya ia memiliki anak laki-laki, Arga, Ratna menaruh harapan besar. Ia ingin Arga tumbuh menjadi sandaran hidupnya, memberi cinta yang dulu tidak pernah ia dapatkan dari suaminya. Dan benar saja, sejak kecil Arga selalu dekat dengannya.
Namun segalanya berubah ketika Arga menikah dengan Nadia.
Nadia adalah perempuan lembut, penuh perhatian, dan begitu menyayangi Arga. Sejak pernikahan itu, Arga semakin jarang p**ang ke rumah ibunya. Setiap kali Ratna melihat anaknya tersenyum pada Nadia, hatinya seperti disayat.
Kenapa bukan aku yang menerima senyuman itu? Kenapa anakku lebih memilih istrinya daripada aku?
Ratna mulai menyimpan api iri yang membara. Ia tak rela melihat menantunya diperlakukan dengan penuh cinta, sementara ia sendiri dulu hanya menjadi istri yang diabaikan.
“Arga, kau terlalu menuruti istrimu,” ucap Ratna suatu hari ketika Arga berkunjung.
“Ibu, Nadia istriku. Sudah seharusnya aku menyayanginya.”
“Kalau begitu, bagaimana dengan ibumu sendiri? Apa kau lupa siapa yang melahirkanmu?”
Arga menatap ibunya dengan sedih. “Ibu tetap ibuku, dan aku selalu menghormati Ibu. Tapi tolong, jangan membenci Nadia hanya karena aku mencintainya.”
Namun Ratna tidak bisa menerima. Baginya, melihat Nadia berarti melihat cermin dirinya sendiri—seorang istri yang dulu tak pernah disayang. Bedanya, Nadia justru dimanjakan. Kecemburuan itu berubah menjadi kebencian.
*****
Hari demi hari, Ratna selalu mencari cara menjatuhkan menantunya. Ia menebar kata-kata pahit, mengkritik masakan Nadia, bahkan menuduhnya menguasai Arga.
“Sejak menikah dengan perempuan itu, kau berubah, Arga. Kau tidak lagi peduli pada ibumu,” kata Ratna di hadapan keluarga.
Nadia hanya diam, menahan air mata. Ia tak ingin melawan. Tapi Arga berdiri membela istrinya.
“Ibu, cukup! Jangan lagi menyalahkan Nadia. Kalau Ibu terus begini, lebih baik aku menjauh.”
Ucapan itu seperti petir bagi Ratna. Namun amarahnya lebih besar daripada kesadarannya. “Kalau itu maumu, pergilah! Jangan kembali padaku kalau sudah buta oleh perempuan itu!”
Dan benar, Arga pun membawa istrinya pindah jauh. Mereka membangun kehidupan sendiri, meninggalkan ibunya yang semakin terperangkap dalam rasa benci.
*****
Tahun berganti. Arga dan Nadia hidup bahagia dengan anak-anak mereka. Mereka saling mendukung, saling menguatkan, dan berhasil meraih kehidupan yang penuh kasih.
Sementara itu, Ratna semakin tua dalam kesepian. Suaminya telah lama meninggal, dan tak ada seorang pun yang tinggal bersamanya. Meski begitu, rasa iri dan benci dalam hatinya tidak pernah padam. Setiap kali mendengar kabar kebahagiaan menantunya, ia hanya mendengus sinis.
“Huh, tentu saja dia bahagia. Ia berhasil merebut kasih sayang anakku.”
Tetangga yang iba pernah menasihatinya, “Bu Ratna, jangan terus menyimpan benci. Anakmu tidak salah karena mencintai istrinya.”
Namun Ratna selalu menjawab dingin, “Menantu itu yang membuat anakku jauh dariku.”
****"
Beberapa tahun kemudian, Ratna jatuh sakit. Tubuhnya lemah, dan ia hanya ditemani sepi. Saat itu, barulah ia sadar betapa sepinya hidup tanpa kasih. Namun ego dan iri yang menahun membuatnya tak sanggup mengulurkan tangan. Ia tetap menolak jika ada yang menyarankan agar ia berdamai dengan anak dan menantunya.
Bahkan di ambang sakitnya, Ratna masih bergumam, “Aku tidak akan pernah bisa mencintai menantuku.”
Begitulah akhirnya, seorang ibu yang larut dalam iri hingga tak mampu merasakan kebahagiaan anaknya sendiri. Kebencian yang ia pelihara justru menelan dirinya, membuatnya semakin kesepian, sementara orang-orang yang ia benci justru hidup dalam kebahagiaan yang tulus.