Tukang Halu

Tukang Halu Suka posting cerpen

02/10/2025
29/09/2025

Ketika kamu miskin, bahkan orang tuamu sendiri pun akan membencimu.

 RASA IRI MERTUAKUSejak kecil, Ratna tumbuh dengan hati yang keras. Ia terbiasa hidup dalam pernikahan yang kering kasih...
12/09/2025


RASA IRI MERTUAKU

Sejak kecil, Ratna tumbuh dengan hati yang keras. Ia terbiasa hidup dalam pernikahan yang kering kasih sayang. Suaminya, pria dingin yang jarang pulang, tidak pernah memberikan perhatian, apalagi cinta. Ratna menjalani hidup bertahun-tahun hanya sebagai istri yang dituntut mengurus rumah tanpa pernah dipeluk hangat.

Ketika akhirnya ia memiliki anak laki-laki, Arga, Ratna menaruh harapan besar. Ia ingin Arga tumbuh menjadi sandaran hidupnya, memberi cinta yang dulu tidak pernah ia dapatkan dari suaminya. Dan benar saja, sejak kecil Arga selalu dekat dengannya.

Namun segalanya berubah ketika Arga menikah dengan Nadia.

Nadia adalah perempuan lembut, penuh perhatian, dan begitu menyayangi Arga. Sejak pernikahan itu, Arga semakin jarang pulang ke rumah ibunya. Setiap kali Ratna melihat anaknya tersenyum pada Nadia, hatinya seperti disayat.

Kenapa bukan aku yang menerima senyuman itu? Kenapa anakku lebih memilih istrinya daripada aku?

Ratna mulai menyimpan api iri yang membara. Ia tak rela melihat menantunya diperlakukan dengan penuh cinta, sementara ia sendiri dulu hanya menjadi istri yang diabaikan.

“Arga, kau terlalu menuruti istrimu,” ucap Ratna suatu hari ketika Arga berkunjung.
“Ibu, Nadia istriku. Sudah seharusnya aku menyayanginya.”
“Kalau begitu, bagaimana dengan ibumu sendiri? Apa kau lupa siapa yang melahirkanmu?”

Arga menatap ibunya dengan sedih. “Ibu tetap ibuku, dan aku selalu menghormati Ibu. Tapi tolong, jangan membenci Nadia hanya karena aku mencintainya.”

Namun Ratna tidak bisa menerima. Baginya, melihat Nadia berarti melihat cermin dirinya sendiri—seorang istri yang dulu tak pernah disayang. Bedanya, Nadia justru dimanjakan. Kecemburuan itu berubah menjadi kebencian.

*****

Hari demi hari, Ratna selalu mencari cara menjatuhkan menantunya. Ia menebar kata-kata pahit, mengkritik masakan Nadia, bahkan menuduhnya menguasai Arga.

“Sejak menikah dengan perempuan itu, kau berubah, Arga. Kau tidak lagi peduli pada ibumu,” kata Ratna di hadapan keluarga.

Nadia hanya diam, menahan air mata. Ia tak ingin melawan. Tapi Arga berdiri membela istrinya.
“Ibu, cukup! Jangan lagi menyalahkan Nadia. Kalau Ibu terus begini, lebih baik aku menjauh.”

Ucapan itu seperti petir bagi Ratna. Namun amarahnya lebih besar daripada kesadarannya. “Kalau itu maumu, pergilah! Jangan kembali padaku kalau sudah buta oleh perempuan itu!”

Dan benar, Arga pun membawa istrinya pindah jauh. Mereka membangun kehidupan sendiri, meninggalkan ibunya yang semakin terperangkap dalam rasa benci.

*****

Tahun berganti. Arga dan Nadia hidup bahagia dengan anak-anak mereka. Mereka saling mendukung, saling menguatkan, dan berhasil meraih kehidupan yang penuh kasih.

Sementara itu, Ratna semakin tua dalam kesepian. Suaminya telah lama meninggal, dan tak ada seorang pun yang tinggal bersamanya. Meski begitu, rasa iri dan benci dalam hatinya tidak pernah padam. Setiap kali mendengar kabar kebahagiaan menantunya, ia hanya mendengus sinis.

“Huh, tentu saja dia bahagia. Ia berhasil merebut kasih sayang anakku.”

Tetangga yang iba pernah menasihatinya, “Bu Ratna, jangan terus menyimpan benci. Anakmu tidak salah karena mencintai istrinya.”
Namun Ratna selalu menjawab dingin, “Menantu itu yang membuat anakku jauh dariku.”

****"

Beberapa tahun kemudian, Ratna jatuh sakit. Tubuhnya lemah, dan ia hanya ditemani sepi. Saat itu, barulah ia sadar betapa sepinya hidup tanpa kasih. Namun ego dan iri yang menahun membuatnya tak sanggup mengulurkan tangan. Ia tetap menolak jika ada yang menyarankan agar ia berdamai dengan anak dan menantunya.

Bahkan di ambang sakitnya, Ratna masih bergumam, “Aku tidak akan pernah bisa mencintai menantuku.”

Begitulah akhirnya, seorang ibu yang larut dalam iri hingga tak mampu merasakan kebahagiaan anaknya sendiri. Kebencian yang ia pelihara justru menelan dirinya, membuatnya semakin kesepian, sementara orang-orang yang ia benci justru hidup dalam kebahagiaan yang tulus.

 Dihina Karena MiskinDi sebuah desa kecil, ada sepasang suami istri bernama Darto dan Sulastri bersama dua anak mereka. ...
10/09/2025


Dihina Karena Miskin

Di sebuah desa kecil, ada sepasang suami istri bernama Darto dan Sulastri bersama dua anak mereka. Kehidupan mereka sederhana, bahkan bisa dibilang miskin. Rumah mereka berdinding papan, atapnya sudah beberapa kali bocor, dan untuk makan pun kadang hanya cukup dengan nasi dan sayur bening. Meski begitu, mereka hidup dengan penuh cinta dan kejujuran.

Namun, berbeda dengan saudara-saudara Sulastri yang hidup berkecukupan, keluarga kecil itu selalu dianggap rendah. Setiap ada acara keluarga—entah hajatan, syukuran, atau pertemuan besar—Sulastri dan Darto seolah bukan bagian dari keluarga. Mereka tidak duduk di kursi tamu, melainkan diarahkan ke dapur. Anak-anak mereka bahkan tidak diizinkan menyentuh makanan yang tersaji di meja prasmanan.

“Anakmu jangan dekat-dekat makanan, Las. Itu untuk tamu, bukan untuk… kalian,” ucap salah seorang saudaranya dengan nada merendahkan.

Sulastri hanya bisa menunduk, menahan perih di dadanya. Darto pun diam, meski hatinya remuk melihat istrinya diperlakukan begitu hina. Mereka tetap tersenyum demi menjaga harga diri.

Pernah suatu kali, Sulastri memberanikan diri meminta pinjaman uang untuk biaya sekolah anaknya. Namun jawaban yang ia terima justru menampar harga dirinya.

“Las, bukannya apa-apa, tapi kalian bisa bayar apa? Aku takut kalau uangku tidak kembali. Jangan sampai aku rugi gara-gara kalian.”

Ucapan itu terngiang-ngiang lama di telinga Sulastri. Malam itu, setelah anak-anak tidur, ia menangis dalam pelukan Darto.
“Mas, aku tidak sanggup lagi dihina begini. Aku tidak mau anak-anak kita tumbuh dengan rasa rendah diri. Lebih baik kita pergi, Mas… merantau, meski tidak ada yang menolong kita. Aku percaya kita bisa hidup lebih baik.”

Darto terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan istrinya erat. “Kalau itu maumu, Las, aku akan berusaha. Aku punya sedikit kemampuan mengolah makanan. Siapa tahu di kota nanti ada jalan untuk kita.”

Maka dengan uang seadanya, mereka meninggalkan desa. Tidak ada yang mengantar, bahkan tidak ada yang peduli.

*****

Di kota, kehidupan awal tidak mudah. Mereka tinggal di rumah kontrakan sempit. Darto bekerja serabutan, sementara Sulastri membantu dengan menjual gorengan. Namun, perlahan-lahan, kemampuan Darto mengolah makanan mulai terlihat. Ia bisa membuat berbagai olahan beku yang praktis dan tahan lama.

Mereka mulai mencoba menjual nugget buatan sendiri, bakso, dan siomay dalam bentuk frozen food. Awalnya hanya dijual ke tetangga sekitar, tapi lama-lama permintaan meningkat. Darto mengembangkan resep, Sulastri mengurus pemasaran. Dengan kerja keras dan doa, usaha mereka tumbuh pesat.

Beberapa tahun berlalu, usaha frozen food itu menjelma menjadi perusahaan kecil dengan merek terkenal. Mereka bahkan memasok produk ke restoran besar dan supermarket. Kehidupan yang dulu serba kekurangan kini berubah: mereka bisa membeli rumah sendiri, menyekolahkan anak-anak ke sekolah bagus, dan memiliki karyawan yang setia.

*****

Suatu hari, Sulastri menerima kabar: keluarganya di desa mengadakan pesta besar. Entah karena rindu atau ingin memberi hormat, ia dan Darto memutuskan untuk hadir. Namun mereka sepakat untuk tidak menunjukkan kesuksesan mereka.
“Kita tidak perlu pamer, Mas. Cukup datang dengan sederhana. Biarlah mereka tahu siapa kita sebenarnya, tanpa harus kita ceritakan,” kata Sulastri.

Maka mereka pun berangkat dengan bus, mengenakan pakaian seadanya tapi rapi. Sampai di desa, wajah-wajah sinis langsung menyambut.
“Itu si Lastri sama suaminya. Masih sama saja, ya? Kasihan.”

“Mereka datang naik bus, tuh. Pantas saja.”

Di pesta itu, mereka kembali diperlakukan hina. Mereka ditempatkan di dapur, sementara tamu-tamu lain menikmati hidangan di kursi utama. Bahkan anak-anak mereka dipandang rendah.

Hingga akhirnya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Seorang pria berjas rapi, bos besar yang ternyata adalah mitra bisnis tuan rumah, masuk ke ruangan. Saat matanya menangkap Darto dan Sulastri, ia langsung berdiri dan menghampiri.

“Pak Darto! Bu Lastri! Saya tidak menyangka akan bertemu di sini!” katanya dengan penuh antusias. Ia menjabat tangan Darto erat, bahkan memberi hormat penuh kekaguman.

Semua mata seketika tertuju pada mereka. Saudara-saudara yang tadi menghina kini ternganga tak percaya.

“Beliau ini rekan bisnis saya yang sangat sukses,” lanjut pria itu dengan bangga. “Perusahaan frozen food mereka adalah supplier utama di restoran saya. Produk mereka kualitasnya luar biasa. Saya beruntung bisa bekerja sama dengan mereka.”

Ruangan mendadak hening. Orang-orang yang tadi merendahkan kini tertunduk malu. Mereka mulai mencoba bersikap ramah, tersenyum, bahkan menawarkan tempat duduk paling depan. Namun hati Sulastri dan Darto sudah terlanjur terluka.

“Kami pamit dulu,” ucap Sulastri dengan suara tenang namun tegas. Ia menggandeng tangan suaminya, meninggalkan pesta itu tanpa menoleh lagi.

Saat mereka keluar, sebuah sedan hitam mewah sudah menunggu di depan. Sopir pribadi membuka pintu dengan hormat. Orang-orang desa hanya bisa terdiam, menyaksikan pasangan yang dulu mereka hina kini pergi dengan wibawa, membawa luka sekaligus harga diri yang tak bisa dibeli dengan apapun.

10/09/2025

Nanti aku posting cerpen lagi ya 😁

Gaji pertama dari Mbak Meta. Kapan ya bisa gajian lagi 🤭
09/09/2025

Gaji pertama dari Mbak Meta. Kapan ya bisa gajian lagi 🤭

 Tamu yang Tak Pernah Diundang"Bagi warga komplek, rumah besar bercat krem di ujung jalan itu selalu terlihat harmonis. ...
09/08/2025


Tamu yang Tak Pernah Diundang"

Bagi warga komplek, rumah besar bercat krem di ujung jalan itu selalu terlihat harmonis. Pemiliknya, Danar, dikenal pendiam, sopan, dan jarang terlihat bersuara keras. Istrinya, Laras, pun selalu tersenyum saat menyapa tetangga. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di balik pintu kayu jati itu.

Setiap kali ibunya, Bu Ratna, datang berkunjung, Laras selalu bersikap dingin.
“Bu, lain kali kabarin dulu kalau mau datang,” ujarnya suatu siang, sambil berdiri di depan pintu.
Ibunya tersenyum canggung. “Iya, Nak… Ibu cuma kangen.”
“Sekarang lagi sibuk, Bu. Jangan datang tiba-tiba.”
Kali lain, Laras bahkan hanya membuka pintu sebentar lalu berkata, “Maaf Bu, kami mau keluar. Nanti saja ya.”

Bu Ratna pulang dengan langkah berat. Dalam hatinya ia kecewa, tapi ia mencoba memaklumi. Mungkin anaknya benar-benar sibuk. Namun setelah beberapa kali diusir dengan alasan yang berbeda-beda, ia berhenti datang. Hatinya patah, tapi gengsinya menahan untuk bertanya lebih jauh.

Sampai suatu malam, telepon berdering. Nomor yang tak dikenal.
“Bu, ini dari rumah sakit. Anaknya… Laras… sedang dirawat. Bisa segera datang?”

Bu Ratna tergesa datang, napasnya terengah saat melihat tubuh Laras terbaring di ranjang, wajahnya pucat, bibir pecah, dan lengan penuh lebam.
“Ya Allah, Nak… ini kenapa?” suaranya bergetar.

Laras menunduk. Air matanya jatuh, tapi bibirnya terkunci. Hanya genggaman tangan yang menjadi jawaban. Perawat yang memandikan dan membersihkan lukanya berkata lirih, “Sepertinya korban KDRT, Bu…”

Bu Ratna tertegun. Potongan-potongan ingatan datang—tatapan gelisah Laras setiap ia datang, suara terburu-buru, dan alasan-alasan yang terasa dibuat-buat. Ia baru paham. Selama ini, Laras sengaja mengusirnya agar ibunya tidak melihat lebam di tubuhnya.

“Kenapa kamu nggak cerita, Nak?” suara Bu Ratna pecah.

“Aku malu, Bu…” bisik Laras akhirnya. “Dulu aku ngotot nikah sama Danar meski Ibu melarang. Ibu bilang dia nggak baik, tapi aku… aku bodoh. Aku nggak mau Ibu lihat aku gagal. Aku nggak mau Ibu lihat aku menderita…”

Bu Ratna memeluknya erat, rasa kecewa dan marah bercampur menjadi sesak di dada. “Nak… Ibu nggak peduli kamu gagal atau berhasil. Ibu cuma mau kamu selamat.”

Malam itu, Laras menangis di pelukan ibunya. Luka di tubuhnya mungkin akan sembuh, tapi luka di hati mereka berdua… entah kapan akan hilang.

Dan di luar kamar rumah sakit, suaminya yang “baik dan pendiam” itu duduk dengan wajah datar, menunggu saat ia bisa kembali memainkan perannya di depan dunia.

 Dihina Calon Mertua Dulu, namanya Sinta. Hanya lulusan S1 biasa, tidak lolos tes CPNS meski sudah mencoba tiga kali. Na...
07/08/2025


Dihina Calon Mertua

Dulu, namanya Sinta. Hanya lulusan S1 biasa, tidak lolos tes CPNS meski sudah mencoba tiga kali. Namun ia tidak putus asa. Ia membuka usaha kecil-kecilan, menjual makanan beku dari resep ibunya. Usahanya lambat laun berkembang, meski belum mampu membanggakan siapa pun… termasuk calon mertuanya.

“Ibu tidak setuju kalau kamu menikah dengan perempuan yang tidak punya masa depan seperti itu,” ucap Bu Ratmi dengan nada tajam, menatap Sinta dari ujung rambut hingga kaki. “Kamu pantas mendapatkan wanita PNS. Yang jelas hidupnya, jelas penghasilannya, bukan pedagang keliling.”

Rino, kekasih Sinta saat itu, hanya diam. Tak membela, tak juga melawan. Hatinya ragu, pikirannya goyah. Dan Sinta mengerti. Ia tahu diri. Ia tak ingin memaksa hadir di keluarga yang sudah menilainya dari status dan penghasilan.

Akhirnya, ia mundur. Mundur dengan tenang namun dada penuh luka.

Sinta menikah dengan seseorang yang sederhana, Damar, karyawan toko elektronik yang setiap harinya pulang dengan senyum. Bukan orang berada, tapi tulus. Damar tidak menawarkan rumah mewah, hanya sepeda motor dan kehangatan rumah kontrakan kecil. Namun dari tangan merekalah, usaha Sinta berkembang. Damar membantunya memasak, mengantar pesanan, bahkan ikut membukakan pintu toko ketika mereka akhirnya mampu menyewa ruko kecil.

*****

Lima tahun berlalu. Suatu sore yang gerimis, di sebuah gang sempit perkampungan kota, terlihat seorang perempuan tua duduk di bangku plastik yang mulai retak. Wajahnya lusuh, keriputnya semakin tampak jelas, dan di sekitarnya tiga anak kecil berlarian sambil menangis karena berebut mainan.

Ia adalah Bu Ratmi.

Putranya, Rino, akhirnya menikahi wanita PNS seperti keinginannya. Tapi semua tak seperti yang dibayangkan. Menantunya jarang di rumah. Sibuk. Atau setidaknya, itu alasan yang selalu dilontarkannya. Anak-anak lebih sering bersamanya, si nenek yang dulu sombong, kini menjadi baby sitter tanpa bayaran. Anak sulung Rino bahkan sering memanggilnya "mbah" dengan nada marah, karena ia tak bisa membelikan mainan baru seperti teman-temannya.

“Dulu aku pikir PNS itu segalanya,” gumam Bu Ratmi sambil menonton televisi di ruang tamu sempit.

Dan saat itulah, ia melihat wajah yang tak asing muncul di layar kaca.

“Penghargaan diberikan kepada pengusaha muda inspiratif, Sinta Ardana, pemilik ‘Sinar Beku Indonesia’, yang kini telah memiliki 200 cabang di seluruh Indonesia dan memperkerjakan lebih dari 500 karyawan.”

Wajah Sinta terlihat begitu berbeda. Bukan hanya karena blazer mahal yang membalut tubuhnya, tapi juga karena sorot matanya. Percaya diri. Matang. Bahagia.

Di sampingnya, terlihat Damar, suaminya, menggenggam tangan Sinta di acara penghargaan itu. Mereka tersenyum. Di bawah nama mereka, terpampang tulisan: “Pasangan Pengusaha Inspiratif 2025.”

Air mata Bu Ratmi jatuh begitu saja. Ia teringat bagaimana dulu ia menatap Sinta dengan pandangan jijik. Menghinanya karena hanya berdagang. Meremehkannya karena tidak berstatus pegawai negeri.

Dan kini, wanita yang dulu ia hina, justru disanjung oleh negeri. Sedangkan menantu pilihannya? Tak pernah memasak untuk anak-anaknya. Tak pernah pulang tepat waktu. Bahkan sempat ketahuan mengambil uang tabungan Rino demi membeli tas branded yang akhirnya dijual kembali karena cicilannya menumpuk.

“Kalau saja waktu bisa diputar,” gumamnya lirih.

Tapi hidup tak pernah menoleh ke belakang. Yang bisa dilakukan hanyalah menyesali, dan menatap layar TV yang kini seakan mencibirnya diam-diam.

Karena yang dulu ia anggap tidak punya masa depan, kini justru menjadi sosok yang paling bersinar.

End

Address

Aa
Jakarta

Telephone

+6282374211566

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Tukang Halu posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share