Tukang Halu

Tukang Halu Suka posting cerpen

 RASA IRI MERTUAKUSejak kecil, Ratna tumbuh dengan hati yang keras. Ia terbiasa hidup dalam pernikahan yang kering kasih...
12/09/2025


RASA IRI MERTUAKU

Sejak kecil, Ratna tumbuh dengan hati yang keras. Ia terbiasa hidup dalam pernikahan yang kering kasih sayang. Suaminya, pria dingin yang jarang p**ang, tidak pernah memberikan perhatian, apalagi cinta. Ratna menjalani hidup bertahun-tahun hanya sebagai istri yang dituntut mengurus rumah tanpa pernah dipeluk hangat.

Ketika akhirnya ia memiliki anak laki-laki, Arga, Ratna menaruh harapan besar. Ia ingin Arga tumbuh menjadi sandaran hidupnya, memberi cinta yang dulu tidak pernah ia dapatkan dari suaminya. Dan benar saja, sejak kecil Arga selalu dekat dengannya.

Namun segalanya berubah ketika Arga menikah dengan Nadia.

Nadia adalah perempuan lembut, penuh perhatian, dan begitu menyayangi Arga. Sejak pernikahan itu, Arga semakin jarang p**ang ke rumah ibunya. Setiap kali Ratna melihat anaknya tersenyum pada Nadia, hatinya seperti disayat.

Kenapa bukan aku yang menerima senyuman itu? Kenapa anakku lebih memilih istrinya daripada aku?

Ratna mulai menyimpan api iri yang membara. Ia tak rela melihat menantunya diperlakukan dengan penuh cinta, sementara ia sendiri dulu hanya menjadi istri yang diabaikan.

“Arga, kau terlalu menuruti istrimu,” ucap Ratna suatu hari ketika Arga berkunjung.
“Ibu, Nadia istriku. Sudah seharusnya aku menyayanginya.”
“Kalau begitu, bagaimana dengan ibumu sendiri? Apa kau lupa siapa yang melahirkanmu?”

Arga menatap ibunya dengan sedih. “Ibu tetap ibuku, dan aku selalu menghormati Ibu. Tapi tolong, jangan membenci Nadia hanya karena aku mencintainya.”

Namun Ratna tidak bisa menerima. Baginya, melihat Nadia berarti melihat cermin dirinya sendiri—seorang istri yang dulu tak pernah disayang. Bedanya, Nadia justru dimanjakan. Kecemburuan itu berubah menjadi kebencian.

*****

Hari demi hari, Ratna selalu mencari cara menjatuhkan menantunya. Ia menebar kata-kata pahit, mengkritik masakan Nadia, bahkan menuduhnya menguasai Arga.

“Sejak menikah dengan perempuan itu, kau berubah, Arga. Kau tidak lagi peduli pada ibumu,” kata Ratna di hadapan keluarga.

Nadia hanya diam, menahan air mata. Ia tak ingin melawan. Tapi Arga berdiri membela istrinya.
“Ibu, cukup! Jangan lagi menyalahkan Nadia. Kalau Ibu terus begini, lebih baik aku menjauh.”

Ucapan itu seperti petir bagi Ratna. Namun amarahnya lebih besar daripada kesadarannya. “Kalau itu maumu, pergilah! Jangan kembali padaku kalau sudah buta oleh perempuan itu!”

Dan benar, Arga pun membawa istrinya pindah jauh. Mereka membangun kehidupan sendiri, meninggalkan ibunya yang semakin terperangkap dalam rasa benci.

*****

Tahun berganti. Arga dan Nadia hidup bahagia dengan anak-anak mereka. Mereka saling mendukung, saling menguatkan, dan berhasil meraih kehidupan yang penuh kasih.

Sementara itu, Ratna semakin tua dalam kesepian. Suaminya telah lama meninggal, dan tak ada seorang pun yang tinggal bersamanya. Meski begitu, rasa iri dan benci dalam hatinya tidak pernah padam. Setiap kali mendengar kabar kebahagiaan menantunya, ia hanya mendengus sinis.

“Huh, tentu saja dia bahagia. Ia berhasil merebut kasih sayang anakku.”

Tetangga yang iba pernah menasihatinya, “Bu Ratna, jangan terus menyimpan benci. Anakmu tidak salah karena mencintai istrinya.”
Namun Ratna selalu menjawab dingin, “Menantu itu yang membuat anakku jauh dariku.”

****"

Beberapa tahun kemudian, Ratna jatuh sakit. Tubuhnya lemah, dan ia hanya ditemani sepi. Saat itu, barulah ia sadar betapa sepinya hidup tanpa kasih. Namun ego dan iri yang menahun membuatnya tak sanggup mengulurkan tangan. Ia tetap menolak jika ada yang menyarankan agar ia berdamai dengan anak dan menantunya.

Bahkan di ambang sakitnya, Ratna masih bergumam, “Aku tidak akan pernah bisa mencintai menantuku.”

Begitulah akhirnya, seorang ibu yang larut dalam iri hingga tak mampu merasakan kebahagiaan anaknya sendiri. Kebencian yang ia pelihara justru menelan dirinya, membuatnya semakin kesepian, sementara orang-orang yang ia benci justru hidup dalam kebahagiaan yang tulus.

 Dihina Karena MiskinDi sebuah desa kecil, ada sepasang suami istri bernama Darto dan Sulastri bersama dua anak mereka. ...
10/09/2025


Dihina Karena Miskin

Di sebuah desa kecil, ada sepasang suami istri bernama Darto dan Sulastri bersama dua anak mereka. Kehidupan mereka sederhana, bahkan bisa dibilang miskin. Rumah mereka berdinding papan, atapnya sudah beberapa kali bocor, dan untuk makan pun kadang hanya cukup dengan nasi dan sayur bening. Meski begitu, mereka hidup dengan penuh cinta dan kejujuran.

Namun, berbeda dengan saudara-saudara Sulastri yang hidup berkecukupan, keluarga kecil itu selalu dianggap rendah. Setiap ada acara keluarga—entah hajatan, syukuran, atau pertemuan besar—Sulastri dan Darto seolah bukan bagian dari keluarga. Mereka tidak duduk di kursi tamu, melainkan diarahkan ke dapur. Anak-anak mereka bahkan tidak diizinkan menyentuh makanan yang tersaji di meja prasmanan.

“Anakmu jangan dekat-dekat makanan, Las. Itu untuk tamu, bukan untuk… kalian,” ucap salah seorang saudaranya dengan nada merendahkan.

Sulastri hanya bisa menunduk, menahan perih di dadanya. Darto pun diam, meski hatinya remuk melihat istrinya diperlakukan begitu hina. Mereka tetap tersenyum demi menjaga harga diri.

Pernah suatu kali, Sulastri memberanikan diri meminta pinjaman uang untuk biaya sekolah anaknya. Namun jawaban yang ia terima justru menampar harga dirinya.

“Las, bukannya apa-apa, tapi kalian bisa bayar apa? Aku takut kalau uangku tidak kembali. Jangan sampai aku rugi gara-gara kalian.”

Ucapan itu terngiang-ngiang lama di telinga Sulastri. Malam itu, setelah anak-anak tidur, ia menangis dalam pelukan Darto.
“Mas, aku tidak sanggup lagi dihina begini. Aku tidak mau anak-anak kita tumbuh dengan rasa rendah diri. Lebih baik kita pergi, Mas… merantau, meski tidak ada yang menolong kita. Aku percaya kita bisa hidup lebih baik.”

Darto terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan istrinya erat. “Kalau itu maumu, Las, aku akan berusaha. Aku punya sedikit kemampuan mengolah makanan. Siapa tahu di kota nanti ada jalan untuk kita.”

Maka dengan uang seadanya, mereka meninggalkan desa. Tidak ada yang mengantar, bahkan tidak ada yang peduli.

*****

Di kota, kehidupan awal tidak mudah. Mereka tinggal di rumah kontrakan sempit. Darto bekerja serabutan, sementara Sulastri membantu dengan menjual gorengan. Namun, perlahan-lahan, kemampuan Darto mengolah makanan mulai terlihat. Ia bisa membuat berbagai olahan beku yang praktis dan tahan lama.

Mereka mulai mencoba menjual nugget buatan sendiri, bakso, dan siomay dalam bentuk frozen food. Awalnya hanya dijual ke tetangga sekitar, tapi lama-lama permintaan meningkat. Darto mengembangkan resep, Sulastri mengurus pemasaran. Dengan kerja keras dan doa, usaha mereka tumbuh pesat.

Beberapa tahun berlalu, usaha frozen food itu menjelma menjadi perusahaan kecil dengan merek terkenal. Mereka bahkan memasok produk ke restoran besar dan supermarket. Kehidupan yang dulu serba kekurangan kini berubah: mereka bisa membeli rumah sendiri, menyekolahkan anak-anak ke sekolah bagus, dan memiliki karyawan yang setia.

*****

Suatu hari, Sulastri menerima kabar: keluarganya di desa mengadakan pesta besar. Entah karena rindu atau ingin memberi hormat, ia dan Darto memutuskan untuk hadir. Namun mereka sepakat untuk tidak menunjukkan kesuksesan mereka.
“Kita tidak perlu pamer, Mas. Cukup datang dengan sederhana. Biarlah mereka tahu siapa kita sebenarnya, tanpa harus kita ceritakan,” kata Sulastri.

Maka mereka pun berangkat dengan bus, mengenakan pakaian seadanya tapi rapi. Sampai di desa, wajah-wajah sinis langsung menyambut.
“Itu si Lastri sama suaminya. Masih sama saja, ya? Kasihan.”

“Mereka datang naik bus, tuh. Pantas saja.”

Di pesta itu, mereka kembali diperlakukan hina. Mereka ditempatkan di dapur, sementara tamu-tamu lain menikmati hidangan di kursi utama. Bahkan anak-anak mereka dipandang rendah.

Hingga akhirnya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Seorang pria berjas rapi, bos besar yang ternyata adalah mitra bisnis tuan rumah, masuk ke ruangan. Saat matanya menangkap Darto dan Sulastri, ia langsung berdiri dan menghampiri.

“Pak Darto! Bu Lastri! Saya tidak menyangka akan bertemu di sini!” katanya dengan penuh antusias. Ia menjabat tangan Darto erat, bahkan memberi hormat penuh kekaguman.

Semua mata seketika tertuju pada mereka. Saudara-saudara yang tadi menghina kini ternganga tak percaya.

“Beliau ini rekan bisnis saya yang sangat sukses,” lanjut pria itu dengan bangga. “Perusahaan frozen food mereka adalah supplier utama di restoran saya. Produk mereka kualitasnya luar biasa. Saya beruntung bisa bekerja sama dengan mereka.”

Ruangan mendadak hening. Orang-orang yang tadi merendahkan kini tertunduk malu. Mereka mulai mencoba bersikap ramah, tersenyum, bahkan menawarkan tempat duduk paling depan. Namun hati Sulastri dan Darto sudah terlanjur terluka.

“Kami pamit dulu,” ucap Sulastri dengan suara tenang namun tegas. Ia menggandeng tangan suaminya, meninggalkan pesta itu tanpa menoleh lagi.

Saat mereka keluar, sebuah sedan hitam mewah sudah menunggu di depan. Sopir pribadi membuka pintu dengan hormat. Orang-orang desa hanya bisa terdiam, menyaksikan pasangan yang dulu mereka hina kini pergi dengan wibawa, membawa luka sekaligus harga diri yang tak bisa dibeli dengan apapun.

10/09/2025

Nanti aku posting cerpen lagi ya 😁

Gaji pertama dari Mbak Meta. Kapan ya bisa gajian lagi 🤭
09/09/2025

Gaji pertama dari Mbak Meta. Kapan ya bisa gajian lagi 🤭

 Tamu yang Tak Pernah Diundang"Bagi warga komplek, rumah besar bercat krem di ujung jalan itu selalu terlihat harmonis. ...
09/08/2025


Tamu yang Tak Pernah Diundang"

Bagi warga komplek, rumah besar bercat krem di ujung jalan itu selalu terlihat harmonis. Pemiliknya, Danar, dikenal pendiam, sopan, dan jarang terlihat bersuara keras. Istrinya, Laras, pun selalu tersenyum saat menyapa tetangga. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di balik pintu kayu jati itu.

Setiap kali ibunya, Bu Ratna, datang berkunjung, Laras selalu bersikap dingin.
“Bu, lain kali kabarin dulu kalau mau datang,” ujarnya suatu siang, sambil berdiri di depan pintu.
Ibunya tersenyum canggung. “Iya, Nak… Ibu cuma kangen.”
“Sekarang lagi sibuk, Bu. Jangan datang tiba-tiba.”
Kali lain, Laras bahkan hanya membuka pintu sebentar lalu berkata, “Maaf Bu, kami mau keluar. Nanti saja ya.”

Bu Ratna p**ang dengan langkah berat. Dalam hatinya ia kecewa, tapi ia mencoba memaklumi. Mungkin anaknya benar-benar sibuk. Namun setelah beberapa kali diusir dengan alasan yang berbeda-beda, ia berhenti datang. Hatinya patah, tapi gengsinya menahan untuk bertanya lebih jauh.

Sampai suatu malam, telepon berdering. Nomor yang tak dikenal.
“Bu, ini dari rumah sakit. Anaknya… Laras… sedang dirawat. Bisa segera datang?”

Bu Ratna tergesa datang, napasnya terengah saat melihat tubuh Laras terbaring di ranjang, wajahnya pucat, bibir pecah, dan lengan penuh lebam.
“Ya Allah, Nak… ini kenapa?” suaranya bergetar.

Laras menunduk. Air matanya jatuh, tapi bibirnya terkunci. Hanya genggaman tangan yang menjadi jawaban. Perawat yang memandikan dan membersihkan lukanya berkata lirih, “Sepertinya korban KDRT, Bu…”

Bu Ratna tertegun. Potongan-potongan ingatan datang—tatapan gelisah Laras setiap ia datang, suara terburu-buru, dan alasan-alasan yang terasa dibuat-buat. Ia baru paham. Selama ini, Laras sengaja mengusirnya agar ibunya tidak melihat lebam di tubuhnya.

“Kenapa kamu nggak cerita, Nak?” suara Bu Ratna pecah.

“Aku malu, Bu…” bisik Laras akhirnya. “Dulu aku ngotot nikah sama Danar meski Ibu melarang. Ibu bilang dia nggak baik, tapi aku… aku bodoh. Aku nggak mau Ibu lihat aku gagal. Aku nggak mau Ibu lihat aku menderita…”

Bu Ratna memeluknya erat, rasa kecewa dan marah bercampur menjadi sesak di dada. “Nak… Ibu nggak peduli kamu gagal atau berhasil. Ibu cuma mau kamu selamat.”

Malam itu, Laras menangis di pelukan ibunya. Luka di tubuhnya mungkin akan sembuh, tapi luka di hati mereka berdua… entah kapan akan hilang.

Dan di luar kamar rumah sakit, suaminya yang “baik dan pendiam” itu duduk dengan wajah datar, menunggu saat ia bisa kembali memainkan perannya di depan dunia.

 Dihina Calon Mertua Dulu, namanya Sinta. Hanya lulusan S1 biasa, tidak lolos tes CPNS meski sudah mencoba tiga kali. Na...
07/08/2025


Dihina Calon Mertua

Dulu, namanya Sinta. Hanya lulusan S1 biasa, tidak lolos tes CPNS meski sudah mencoba tiga kali. Namun ia tidak putus asa. Ia membuka usaha kecil-kecilan, menjual makanan beku dari resep ibunya. Usahanya lambat laun berkembang, meski belum mampu membanggakan siapa pun… termasuk calon mertuanya.

“Ibu tidak setuju kalau kamu menikah dengan perempuan yang tidak punya masa depan seperti itu,” ucap Bu Ratmi dengan nada tajam, menatap Sinta dari ujung rambut hingga kaki. “Kamu pantas mendapatkan wanita PNS. Yang jelas hidupnya, jelas penghasilannya, bukan pedagang keliling.”

Rino, kekasih Sinta saat itu, hanya diam. Tak membela, tak juga melawan. Hatinya ragu, pikirannya goyah. Dan Sinta mengerti. Ia tahu diri. Ia tak ingin memaksa hadir di keluarga yang sudah menilainya dari status dan penghasilan.

Akhirnya, ia mundur. Mundur dengan tenang namun dada penuh luka.

Sinta menikah dengan seseorang yang sederhana, Damar, karyawan toko elektronik yang setiap harinya p**ang dengan senyum. Bukan orang berada, tapi tulus. Damar tidak menawarkan rumah mewah, hanya sepeda motor dan kehangatan rumah kontrakan kecil. Namun dari tangan merekalah, usaha Sinta berkembang. Damar membantunya memasak, mengantar pesanan, bahkan ikut membukakan pintu toko ketika mereka akhirnya mampu menyewa ruko kecil.

*****

Lima tahun berlalu. Suatu sore yang gerimis, di sebuah gang sempit perkampungan kota, terlihat seorang perempuan tua duduk di bangku plastik yang mulai retak. Wajahnya lusuh, keriputnya semakin tampak jelas, dan di sekitarnya tiga anak kecil berlarian sambil menangis karena berebut mainan.

Ia adalah Bu Ratmi.

Putranya, Rino, akhirnya menikahi wanita PNS seperti keinginannya. Tapi semua tak seperti yang dibayangkan. Menantunya jarang di rumah. Sibuk. Atau setidaknya, itu alasan yang selalu dilontarkannya. Anak-anak lebih sering bersamanya, si nenek yang dulu sombong, kini menjadi baby sitter tanpa bayaran. Anak sulung Rino bahkan sering memanggilnya "mbah" dengan nada marah, karena ia tak bisa membelikan mainan baru seperti teman-temannya.

“Dulu aku pikir PNS itu segalanya,” gumam Bu Ratmi sambil menonton televisi di ruang tamu sempit.

Dan saat itulah, ia melihat wajah yang tak asing muncul di layar kaca.

“Penghargaan diberikan kepada pengusaha muda inspiratif, Sinta Ardana, pemilik ‘Sinar Beku Indonesia’, yang kini telah memiliki 200 cabang di seluruh Indonesia dan memperkerjakan lebih dari 500 karyawan.”

Wajah Sinta terlihat begitu berbeda. Bukan hanya karena blazer mahal yang membalut tubuhnya, tapi juga karena sorot matanya. Percaya diri. Matang. Bahagia.

Di sampingnya, terlihat Damar, suaminya, menggenggam tangan Sinta di acara penghargaan itu. Mereka tersenyum. Di bawah nama mereka, terpampang tulisan: “Pasangan Pengusaha Inspiratif 2025.”

Air mata Bu Ratmi jatuh begitu saja. Ia teringat bagaimana dulu ia menatap Sinta dengan pandangan jijik. Menghinanya karena hanya berdagang. Meremehkannya karena tidak berstatus pegawai negeri.

Dan kini, wanita yang dulu ia hina, justru disanjung oleh negeri. Sedangkan menantu pilihannya? Tak pernah memasak untuk anak-anaknya. Tak pernah p**ang tepat waktu. Bahkan sempat ketahuan mengambil uang tabungan Rino demi membeli tas branded yang akhirnya dijual kembali karena cicilannya menumpuk.

“Kalau saja waktu bisa diputar,” gumamnya lirih.

Tapi hidup tak pernah menoleh ke belakang. Yang bisa dilakukan hanyalah menyesali, dan menatap layar TV yang kini seakan mencibirnya diam-diam.

Karena yang dulu ia anggap tidak punya masa depan, kini justru menjadi sosok yang paling bersinar.

End

 Sesal Di Ujung MalamPagi itu, udara pasar masih lembab oleh embun. Para pedagang mulai membuka lapak mereka, termasuk s...
05/08/2025


Sesal Di Ujung Malam

Pagi itu, udara pasar masih lembab oleh embun. Para pedagang mulai membuka lapak mereka, termasuk sebuah toko buah besar yang paling mencolok di pojok barat pasar. Warnanya cerah, bersih, dan dipenuhi berbagai buah segar yang tertata rapi. Di depan toko itu, tampak seorang pria dengan senyum ramah melayani pelanggan, ditemani oleh seorang wanita berhijab sederhana namun anggun, yang sedang menggendong anak laki-laki berusia sekitar tiga tahun.

“Buahnya segar-segar, Pak Indra,” kata seorang pelanggan langganan.

Indra mengangguk, “Terima kasih, Bu. Semua berkat kerja keras saya dan istri saya.”

Wajah Indra memancarkan ketenangan dan kebahagiaan. Tidak ada yang menyangka, pria itu dulu hanyalah seorang sopir angkot, mengais rezeki dari jalanan, membiayai kuliah istrinya dengan penuh cinta dan pengorbanan.

Dulu, ia hidup bersama seorang wanita bernama Rani, yang ia cintai sepenuh hati. Rani adalah gadis pintar yang bercita-cita menjadi PNS. Indra mendukung sepenuh hati, bahkan rela menambah trayek, bekerja dari subuh hingga malam, hanya demi biaya kuliah, makan, dan segala keperluan Rani. Ia tidak pernah mengeluh. Ia percaya, kelak ketika Rani berhasil, mereka akan hidup lebih baik. Tapi ternyata, ia salah.

Hari ketika Rani dinyatakan lulus CPNS, bukanlah hari yang membahagiakan baginya. Di hari itu, Rani berkata, “Aku ingin cerai, Indra. Aku malu memiliki suami seorang sopir angkot.”

Kalimat itu menghancurkan Indra. Ia tidak pernah menyangka, wanita yang ia jaga dan dukung selama ini akan memilih meninggalkannya demi status sosial.

“Jadi semua ini hanya untuk membuatmu naik kelas, ya?” tanya Indra waktu itu dengan suara tertahan.

“Aku tidak bisa hidup seperti ini terus. Aku butuh masa depan. Aku ingin berkembang,” jawab Rani dingin.

Perceraian itu berlangsung cepat. Rani pergi, membawa gelar dan seragam barunya. Indra kembali sendiri ke dalam sepi. Ia sempat limbung, namun tidak lama. Takdir menuntunnya bertemu dengan seorang wanita bernama Sinta, pedagang buah di pasar yang gigih dan sederhana. Mereka berkenalan saat Indra nyambi mengantar buah ke pasar dengan mobil bekasnya.

Sinta tidak mempermasalahkan masa lalu Indra. Ia justru terkesan dengan ketekunan dan kerendahan hatinya. Mereka pun menikah dengan sederhana. Bersama-sama, mereka membangun toko buah kecil, yang lambat laun membesar. Sinta mengajarinya cara memilih buah terbaik, berdagang dengan jujur, dan menghitung laba dengan teliti. Mereka bekerja keras siang malam, menabung sedikit demi sedikit. Hingga kini, toko mereka menjadi salah satu yang terbesar di pasar.

Sementara itu, hidup Rani tidak seindah impiannya. Setelah menceraikan Indra, ia menikah dengan pria yang mengaku sebagai manajer perusahaan. Tampan, rapi, dan pandai merayu. Rani tergoda. Ia meminjam uang dari bank dengan menggadaikan SK PNS-nya demi membeli rumah dan mobil impiannya. Tapi tidak lama setelah itu, suaminya kabur membawa uang dan menjual rumah diam-diam. Yang tertinggal hanya tumpukan hutang dan rasa malu.

Kini, Rani datang ke pasar itu. Langkahnya gontai, wajahnya kusam, dan matanya sayu. Ia berdiri di seberang toko buah besar yang ramai dikunjungi pembeli. Ia tertegun melihat sosok pria yang sangat ia kenal berdiri di depan toko, tersenyum pada pelanggan sambil menggandeng tangan seorang wanita berhijab dan mengangkat anak kecil ke dalam gendongannya.

Itu Indra.

Lelaki yang dulu ia hina.

Lelaki yang pernah ia tinggalkan.

Dan sekarang, lelaki yang sedang menikmati hasil perjuangannya bersama wanita lain yang mencintainya dengan tulus.

Rani memberanikan diri mendekat. “Indra…” suaranya lirih, nyaris tenggelam di antara keramaian pasar.

Indra menoleh. Butuh beberapa detik baginya untuk mengenali wajah itu. Dulu cantik, kini tampak lusuh dan lelah.

“Rani?” tanyanya pelan.

Sinta yang berdiri di samping Indra mengangguk sopan. “Assalamu’alaikum,” ucapnya ramah.

Rani membalas seadanya, matanya tak bisa lepas dari wajah mantan suaminya. “Aku… aku ingin bicara.”

Indra menoleh pada istrinya. Sinta mengangguk lembut dan masuk ke dalam toko, membiarkan mereka berbicara di luar.

“Aku minta maaf, Indra…,” ucap Rani, air mata mulai membasahi pipinya. “Kau benar. Aku salah. Aku meninggalkan orang yang paling tulus mencintaiku. Aku mengejar status, tapi kehilangan segalanya.”

Indra menatapnya lama. Tidak ada kebencian di matanya. Hanya ketenangan. “Rani, aku sudah memaafkanmu sejak lama. Tapi aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Aku sudah bahagia dengan keluargaku sekarang.”

“Aku tidak punya siapa-siapa lagi…,” ucap Rani, nyaris berbisik. “Aku bahkan tidak punya rumah. Hutangku menumpuk, aku… aku kehilangan segalanya…”

Indra menghela napas dalam. “Aku turut prihatin. Tapi aku tidak bisa mengulang lagi. Aku punya istri yang setia, yang tidak memandang pekerjaan atau penghasilan, tapi selalu mendukung dan bekerja bersama. Aku tidak ingin menyakitinya dengan membuka luka lama.”

Rani menunduk. Tangisnya pecah. Ia tahu, pintu itu telah tertutup rapat. Tidak ada jalan kembali.

Dengan langkah berat, ia pun pergi, meninggalkan pasar yang riuh—dan meninggalkan pria yang dulu ia anggap tidak layak, namun ternyata adalah harta berharga yang kini tak bisa ia miliki lagi.

Di balik lapak buah itu, Sinta keluar sambil menggendong anak mereka.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya lembut.

Indra mengangguk. “Ya. Aku hanya semakin bersyukur sudah bertemu denganmu.”

Sinta tersenyum. “Kita sama-sama saling menyembuhkan.”

Indra meraih tangan istrinya dan mengecupnya perlahan.

Dan hari itu, di tengah hiruk-pikuk pasar, Indra tahu bahwa kebahagiaan sejati bukan tentang siapa yang paling tinggi statusnya, tapi siapa yang tetap tinggal saat hidup sedang rendah-rendahnya.

 Terlambat Andra berdiri di bawah terik matahari, mengenakan rompi oranye kusam yang bertuliskan "Juru Parkir Resmi." Ke...
04/08/2025


Terlambat

Andra berdiri di bawah terik matahari, mengenakan rompi oranye kusam yang bertuliskan "Juru Parkir Resmi." Keringat mengalir di pelipisnya, menetes ke leher hingga membasahi kerah kemejanya yang lusuh. Tangannya menggenggam peluit dan secarik karcis parkir, matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk pusat perbelanjaan mewah itu—Mall Grand Surya.

Tidak ada yang tersisa dari kejayaan masa lalunya. Dulu, ia adalah direktur utama di salah satu perusahaan distributor besar. Mobil mewah, rumah bertingkat, jam tangan mahal, hingga istri cantik dari keluarga sederhana—semuanya dimilikinya.

Tapi, Andra tidak pernah puas.

Istrinya dulu, wanita polos bernama Nisa, bukan dari kalangan terpandang. Ia hanya lulusan SMA dan dibesarkan dalam keluarga petani. Andra sering mempermalukan Nisa di depan kolega, mencibir latar belakangnya, menyebutnya "tidak tahu etika," bahkan meremehkan makanan yang dimasaknya.

"Orang sepertimu hanya cocok di dapur, bukan di sisiku saat rapat penting," pernah Andra katakan saat Nisa hendak mengantarnya ke acara kantor.

Namun semuanya berubah saat Maya datang.

Maya, sekretaris barunya—pintar, berpenampilan menarik, dan selalu tahu bagaimana membuat Andra merasa hebat. Pelan-pelan, Maya mengisi ruang yang dahulu dihuni Nisa. Rayuannya membuat Andra mabuk. Dalam waktu singkat, ia menggugat cerai Nisa. Ia pikir ia akan hidup lebih bahagia.

Namun, setelah pernikahan keduanya dengan Maya, semuanya berubah cepat. Maya tidak pernah mau menyentuh pekerjaan rumah, selalu meminta uang lebih, dan mudah marah saat tidak dibelikan barang branded. Rumah tangga mereka tak pernah hangat, hanya penuh tuntutan dan pertengkaran.

Lalu badai datang. Perusahaan mengalami kerugian besar karena kesalahan investasi dan penggelapan dana oleh partner bisnisnya. Aset disita. Rumah mewah dijual, mobil dilelang, dan Maya—seperti yang diduga—pergi membawa semua perhiasan dan tabungan yang tersisa.

Kini, Andra menjadi juru parkir di mall tempat orang-orang dengan masa depan cerah berbelanja dengan bahagia.

Hari itu, ia sedang memandu sebuah mobil SUV hitam mengisi ruang parkir ketika matanya menangkap sosok yang tak asing. Ia membeku.

Nisa.

Wanita yang dulu ia hina, ia rendahkan, kini tampak sangat berbeda. Penampilannya anggun dengan setelan blazer mahal berwarna gading, sepatu berhak tinggi, dan tas branded di lengannya. Senyumnya lembut, dan kulitnya tampak terawat. Di tangannya tergantung beberapa kantong belanjaan mahal. Tapi bukan itu yang membuat jantung Andra hampir berhenti.

Pria di samping Nisa—tinggi, gagah, mengenakan jas—merangkul pundaknya dengan santai. Dan yang lebih mengejutkan lagi, wajah pria itu dikenalnya. Pria itu adalah Fikri, salah satu pengusaha properti besar, pemilik mall tempat ia kini bekerja.

Dengan cepat Andra membuang muka. Ia tidak ingin dikenali. Tapi seperti semesta memang ingin menyiksanya, Nisa menoleh. Mata mereka bertemu.

Andra ingin lari. Ingin bersembunyi.

Tapi Nisa malah tersenyum kecil. Bukan senyum mencibir. Bukan juga senyum penuh balas dendam. Itu senyum... simpati.

"Mas Andra?" sapanya pelan, sopan, tanpa nada meremehkan.

Andra mengangguk kikuk, tubuhnya kaku, peluit di tangan gemetar.

"Kau sehat?" tanya Nisa lembut.

Ia tidak bisa menjawab. Tenggorokannya tercekat. Hanya mampu mengangguk pelan. Lalu Fikri menghampiri, mengulurkan tangan ramah, "Selamat sore. Bapak kenal istri saya?"

Istri saya. Dua kata itu menghantam keras dada Andra.

"Iya," sahut Nisa, sebelum Andra sempat bicara. "Kami kenalan lama."

Fikri tersenyum lebar. "Saya beruntung bisa menikahi wanita sebaik dia. Ia luar biasa. Sederhana tapi penuh cinta."

Andra menunduk. Dadanya perih. Ia hanya bisa menatap kaki mereka yang menjauh, suara langkah kaki yang tenang namun menusuk telinga.

Setelah mereka masuk ke dalam mall, Andra berdiri mematung cukup lama. Hari itu, suara peluitnya lebih lirih. Langkahnya lebih berat. Dan hatinya penuh dengan satu hal: penyesalan.

Ia baru sadar, cinta bukan tentang asal keluarga, bukan tentang status, bukan p**a seberapa tinggi pendidikan.

Cinta adalah tentang siapa yang tetap tinggal saat semua orang pergi.

Dan ia telah mencampakkan cinta itu.

Terlambat.

 SesalHujan turun sejak sore. Langit menggantung kelabu, seperti suasana hati Aira yang sudah lama tidak cerah. Di tanga...
04/08/2025


Sesal

Hujan turun sejak sore. Langit menggantung kelabu, seperti suasana hati Aira yang sudah lama tidak cerah. Di tangannya tergenggam secangkir teh hangat yang tak sempat ia teguk, matanya menatap nanar ke arah bingkai foto kecil yang tergantung di dinding ruang tamu yang catnya mulai mengelupas. Di sana, tergambar wajah adiknya, Ayu, tersenyum bahagia dalam balutan kebaya pengantin, berdampingan dengan suaminya yang tampan dan bersahaja.

Aira menarik napas panjang. Bukan napas lega, melainkan napas yang berat, menyimpan beban dan sesal yang tak kunjung reda.

Dulu... ia yang pertama kali jatuh cinta. Ia mengenal Riko di tempat kerjanya yang lama, saat masih menjadi kasir di toko swalayan. Riko begitu manis, perhatiannya membuat Aira merasa seperti wanita paling berharga di dunia. Ia merasa dicintai, dianggap penting. Tanpa ragu, ia membawa Riko p**ang ke rumah, mengenalkannya pada Ayah dan Ibu.

Tapi reaksi orang tuanya jauh dari harapan.

"Anak itu tidak cocok untukmu, Aira," kata Ayah waktu itu. "Wajahnya manis, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tidak bisa Ayah percaya."

Ibu bahkan lebih tegas. "Ibu tidak melihat kesungguhan dalam dirinya. Apa pekerjaannya saja belum jelas. Kau pantas mendapatkan pria yang bisa menjagamu, bukan hanya membual kata-kata manis."

Namun Aira buta. Ia menuduh orang tuanya kolot. Ia merasa mereka tidak memahami hatinya. Ia bahkan menuduh mereka pilih kasih karena Ayu, adiknya, selalu dijodohkan dengan pria-pria mapan sementara ia harus terus membuktikan cintanya.

"Aku mencintai Riko!" kata Aira waktu itu dengan nada tinggi. "Apa salahnya kalau ia belum mapan? Kami bisa berjuang bersama!"

Dan akhirnya, meskipun tanpa restu, mereka menikah. Pernikahan sederhana, hanya dihadiri segelintir orang. Ayah dan Ibu bahkan tidak hadir. Ia menangis malam itu, tapi tetap berpikir bahwa cinta akan membawa mereka bahagia.

Namun kenyataannya jauh berbeda.

Riko ternyata bukan hanya tidak punya pekerjaan, tapi juga tidak punya niat untuk bekerja. Hari-harinya dihabiskan dengan main game, tidur, atau nongkrong di warung kopi. Ketika Aira menegurnya, Riko marah. Ia memaki, membentak, dan kadang—kalau emosi sudah meledak—menampar.

Mulanya Aira berpikir itu hanya sesekali. Tapi hari-hari berikutnya, ia mulai tahu bahwa pria yang dicintainya tidak sedang berjuang bersamanya, tapi justru menjatuhkannya lebih dalam. Riko mulai meminta uang dari hasil kerja Aira menjahit baju. Lalu uang itu dihabiskan untuk judi online.

Setiap bulan, Aira harus mencari cara menutup kekurangan uang belanja. Ia menjahit siang malam, bahkan menerima pesanan kue dari tetangga agar dapur tetap ngebul. Namun uang selalu terasa kurang karena Riko terus meminta, terus kalah, dan terus menjanjikan kemenangan yang tak pernah datang.

Ia ingat suatu malam, saat Ayah datang diam-diam. Membawakan beras, telur, dan beberapa kebutuhan pokok.

"Maafkan Ayah tidak bisa diam saja, Aira," ucap Ayah lirih. "Tapi kau terlihat makin kurus. Kami hanya ingin kau bahagia..."

Aira menangis malam itu. Ia tidak kuat menyangkal kenyataan lagi.

Kini, saat ia menatap foto Ayu, hatinya terasa makin perih. Ayu dulunya bukan tipe yang mudah menurut. Ia juga sempat marah ketika orang tua mereka menjodohkannya dengan teman kuliah Ayah yang punya anak laki-laki seorang PNS. Tapi Ayu menuruti, meskipun setengah hati.

Dan sekarang... Ayu hidup bahagia.

Suaminya sayang, perhatian, dan bertanggung jawab. Mereka tinggal di rumah yang cukup nyaman, punya kendaraan sendiri, dan tabungan pendidikan untuk anak-anak mereka kelak. Ayu tidak pernah terlihat lelah, bahkan kulitnya tetap bersih dan terawat. Tidak seperti Aira yang tiap pagi harus bangun lebih dulu untuk membuat pesanan kue dan malam hari menjahit sampai matanya perih.

Ia menghela nafas pelan. Tangannya meraba pipinya yang kini cekung. Kadang ia bertanya, mengapa harus ia yang tersesat di jalan hidup ini?

Namun jawabannya selalu datang dari satu titik: keputusan.

Ia sendiri yang memilih jalan ini. Ia sendiri yang menolak kata-kata orang tua. Ia sendiri yang yakin bisa mengubah seseorang yang bahkan tak ingin berubah. Ia sendiri yang memperjuangkan cinta yang buta.

Tangisan lirih mengalir di sudut matanya.

Riko kini entah di mana. Sudah seminggu tidak p**ang. Terakhir ia mendengar dari teman Riko, suaminya itu kalah besar dalam taruhan dan kini dikejar hutang. Ia bahkan sempat menjual motor satu-satunya tanpa izin.

Aira menggenggam kuat foto Ayu dan suaminya.

"Maafkan aku, Ayah... Ibu..." bisiknya. "Kalian benar sejak awal."

Hujan masih turun. Tapi kali ini, hujan itu tidak hanya mengguyur atap rumah. Ia juga mengguyur hati yang telah penuh luka dan penyesalan. Hati seorang Aira—yang kini tahu, bahwa cinta tanpa akal sehat bisa menjadi jerat yang sangat menyakitkan.

Address

Aa
Jakarta

Telephone

+6282374211566

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Tukang Halu posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share