Media Inspiratif

Media Inspiratif Kump**an Artikel Inspirasi dan Motivasi
(1)

Seorang kurir harus membayar dend4 500 rb untuk bisa bekerja kembali, meskipun sudah kembalikan dan minta maaf. Karna la...
18/09/2025

Seorang kurir harus membayar dend4 500 rb untuk bisa bekerja kembali, meskipun sudah kembalikan dan minta maaf. Karna lap0ran seseorang yang tidak terima selisih COD nya 700 perak.

Jika tidak bisa memudahkan urusan orang lain, bayarlah pakai uang pas.
Jika tidak bisa memberi, setidaknya jangan menghakimi.
Jika orang melakukan kesalahan, Tegurlah langsung orangnya, jangan sampai memutus rezeki orang lain, mereka hanya sedang berjuang untuk keluarganya.

Abangnya memang salah, tapi dia sudah mencoba meminta maaf.🙏🏻

Semoga ini menjadi pelajaran untuk kita semua kedepannya, pentingnya bekerja dengan jujur, dan untuk abangnya semoga dimudahkan dalam rejekinya yang halal dan berkah🤲🏻🤲🏻

22/08/2025
Baru selesai ijab qobul malah dapat chat dari istri seperti ini "Gimana, Mas, masih sempit kan?" "Iya, beda sama yang di...
22/08/2025

Baru selesai ijab qobul malah dapat chat dari istri seperti ini

"Gimana, Mas, masih sempit kan?"

"Iya, beda sama yang di rumah," jawab pria itu sambil tersenyum.

"Ouh jelas d**g."

Pria itu tersenyum, istri barunya ini sungguh berbeda. Dia cantik dan energik. Selalu memberikan kejutan yang membuat dia merasa puas. Beda dengan istrinya yang di rumah yang hanya menyuguhkan itu-itu saja. Sebagai lelaki dia ingin yang berbeda. Apalagi sekarang ini dia bukan lagi karyawan biasa, gajinya bahkan lebih dari cukup untuk menghidupi dua istri. Dia bosan setiap kali harus menahan keinginannya untuk bercinta karena istri pertamanya sering sakit-sakitan semenjak hamil anak kedua mereka. Di usia Herman yang sekarang ini dia sedang di Fase sedang ingin bercinta hingga jika keinginannya tidak tersalurkan itu membuat masalah yang besar baginya. Lagi p**a Herman yakin Mona tak akan bisa melawan karena selama ini dia hanyalah wanita yang penurut dan lemah yang selalu menggantungkan hidup padanya. Apa yang bisa dilakukan oleh wanita lemah seperti itu?

_______

"Aku mandi dulu ya, Sayang," ucap Melly setelah tertidur. Pertempuran tadi membuat wanita itu lelah.

"Mau aku temani?" Herman mengedipkan sebelah matanya menggoda.

"Nakal ih, nanti mandinya lain cerita kalau kamu ikut," jawabnya yang berlalu begitu saja meninggalkan Herman.

Herman tersenyum sambil menggigit bibirnya. Istri mudanya betul-betul membuatnya candu.

Drt drt

Pria itu kaget tiba-tiba ponselnya berbunyi dan saat dibuka ternyata pesan dari istrinya. Istri pertamanya itu memberikan foto pernikahannya.

"Loh, kok dia tahu aku nikah, tahu dari mana?" gumam Herman.

Sebenarnya dia minta izin ke istrinya untuk pergi ke luar kota guna menyelesaikan suatu pekerjaan. Lalu diam-diam melangsungkan pernikahan keduanya dengan pacarnya dan tak ada satupun keluarganya yang hadir.

[Ibu, kok Mona tahu aku menikah lagi?] Pria itu mengirim pesan kepada ibunya Karena ibunya tahu rencananya.

[Loh, kok tanya ibu. Ya nggak tahu, lagian ngapain Ibu beritahu pernikahan kamu. Gak penting!] jawab ibunya.

[Terus kok dia tahu Bu. Apa mungkin Dina yang ngasih tahu?] Dina adalah adik kandung Herman dan Dia pun tahu pernikahan ini.

[Gak mungkin, lagian Apa urusannya dia ngasih tahu sama Mona]

"Iya juga sih," gumam Herman.

"Kamu wa sama siapa, Mas?" tanya Melly yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dia cemburu melihat suaminya asyik menatap ponsel. Sebagai pelakor dia takut juga kalau Herman sampai berpaling. Tentu tak mudah mencari lelaki tajir seperti Herman.

"Eh, sudah selesai mandinya?" Herman meletakkan ponsel lalu menarik tubuh sang istri untuk duduk di pangkuannya.

"Hmm wangi," ucapnya saat mencium rambut basah istrinya.

"Itu tadi siapa, cewek baru ya!" ketus Melly.

"Bukan, Sayang. Kamu ini kok cemburuan banget. Itu tadi ibu sama Dina dia ngasih selamat ke kita." Herman mencium pundak sang istri. Ingin rasanya Dia mengulang kembali kenikmatan yang baru saja dia lalui.

"Awas kalau kamu bohong!" ancam Melly.

"Enggak." Tangan Herman bergerak cepat menghapus chatnya tadi. Beruntung Melly tidak melihat.

"Nih lihat ponselku," ucap Herman yang langsung memberikan ponselnya.

"Gak usah! Aku percaya kok sama kamu." Wanita itu tersenyum, lalu mengelus p**i suaminya.

"Kita keluar yok cari makan. Aku lapar nih," ucap Herman.

"Ok, aku siap-siap dulu."

Melly segera pergi ke kamar untuk mempersiapkan dirinya sementara Herman segera pergi mandi. Setelahnya Mereka pun pergi ke restoran terdekat.

"Mas, kamu nggak lupa janji kamu kan?"tanya Melly yang membuat Herman menghentikan aktivitas makanya.

"Janji apa?"tanya pria itu.

"Kamu janji setelah kita menikah kamu akan mengajak aku ke rumahmu. Terus ATM kamu aku yang pegang. Pokoknya semua keuangan kamu aku yang atur," ucap Melly yang membuat Herman menggaruk kepala tidak gatal.

Selama ini memang istrinya yang mengatur semua keuangannya dia bahkan tidak tahu Berapa gajinya dan berapa pengeluarannya. Yang dia tahu semuanya beres, istrinya bisa shopping dan juga bisa memberikan jatah pada ibu dan adiknya. Dari situlah Herman mantap untuk menikah lagi.

"Mas, Kok diem aja. Jangan bilang kalau kamu lupa sama janji kamu ya?" Meli menatap tajam ke arah suami barunya.

"Iya beres itu. Lagi p**a Mona mana berani melawan aku," jawab Herman. Baginya Mona hanyalah wanita lemah, dia tidak berpenghasilan dan selalu tergantung kepadanya. Jadi sudah pasti wanita itu akan menerima segala keputusannya.

"Kalau dia menolak?" Melly menatap Herman.

"Halah, nggak mungkin dia menolak keinginanku. Mona itu hanya perempuan kampung, dia itu nggak berpenghasilan dan semuanya tergantung kepadaku. Untuk beli cilok aja dia tidak mampu kalau nggak pakai uangku. Jadi sudah pasti dia Pak mau menerima keinginanku," ucap Herman sombong.

"Kalau dia minta cerai?"

"Nggak mungkin itu. Ya kalau cerai sama aku mau p**ang ke mana, ke kuburan. Orang tuanya itu sudah meninggal jadi nggak mungkin dia mau macam-macam," jawab Herman.

"Berarti kamu masih cinta sama dia?" Melly menatap suaminya, wanita itu cemburu dan kesal dengan jawaban suaminya.

________
"Mas kamu belum jawab pertanyaanku kemarin?"

Herman yang saat itu sedang menyetir mobilnya seketika menoleh ke arah sang istri.

"Pertanyaan apa?"tanya pria itu datar.

"Apa benar kamu masih mencintai istri pertamamu. Sepertinya kamu keberatan Kalau harus cerai darinya?"

"Bukan begitu, istri pertamaku itu kan sekarang lagi hamil. Aku sayang sama anakku," jawab Herman.

Mobil terus melaju hingga sampailah di sebuah rumah tingkat 3 dengan nuansa putih. Ada taman disamping rumah itu. Sebelum turun Herman sudah menyiapkan mentalnya karena pasti istri pertamanya akan mengamuk karena dia menikah diam-diam. Apalagi sekarang dia membawa istri keduanya itu p**ang ke rumah. Sudah pasti Mona akan mengamuk seperti macan yang kehilangan anaknya.

"Ini rumahmu, Mas?"tanya Mona karena memang ini baru pertama kali Herman mengajaknya p**ang ke rumah.

"Iya Ini rumahku dan sekarang menjadi milik kita," jawab pria itu sambil tersenyum. Hatinya berdesir dan jantungnya tidak berhenti berdetak ketika melihat istri pertama yang sudah berdiri untuk menyambutnya di teras.

"Itu Mona kan?"tanya Melly saat turun dari mobil.

"Iya itu Mona,"jawab Herman dengan hati yang resah.

"Tua," komen Melly jutek.

Melly menggandeng tangan Herman seolah tidak ingin melepaskan laki-laki itu lalu mereka berdua pun mendekat ke arah Mona.

"Ouh jadi ini istri kedua kamu, mas? Cantik," ucap Mona datar. Tak ada ekspresi marah yang tadi dibayangkan oleh Herman.

'Loh kok gak marah dia, kok gak ngamuk seperti sinetron ikan terbang. Apa dia sudah tak cinta sama aku. Atau jangan-jangan lelaki di foto itu adalah selingkuhannya?'

Part 2 Baca di Caption https://www.facebook.com/share/r/BzMS1SaFZh7Mf9ZX/?mibextid=qi2Omg

Foto selengkapnya di Kbm

Judul Karma Setelah Mendua

Penulis AuthorPena

Rumah kami berdiri di tepi kebun singkong yang baunya selalu meruap saat hujan turun. Sejak pindah ke kampung ini tiga t...
14/07/2025

Rumah kami berdiri di tepi kebun singkong yang baunya selalu meruap saat hujan turun. Sejak pindah ke kampung ini tiga tahun lalu, aku percaya hidup kami akan selamanya sederhana. Dapur reyot dengan kompor minyak tanah, ruang tamu sempit beralas tikar rotan, dan suami yang setiap pagi pergi menanam cabai di kebun Pak Karsa.

Aku pikir kebahagiaan itu cukup. Sampai pada malam itu, ketika hujan turun dengan ributnya, aku menemukan koper hitam di kolong ranjang—koper yang membuka pintu pada luka yang tak pernah kubayangkan.

Namaku Ratih. Aku istri seorang lelaki pendiam bernama Seno. Kami menikah di bawah pohon randu, tanpa pesta, tanpa seserahan yang mewah. Dalam segala kesederhanaan, aku merasa kami punya cinta yang tulus. Tetapi cinta yang tak disentuh cahaya, rupanya mudah menyembunyikan rahasia.

Malam itu, Seno belum p**ang meski jarum jam sudah lewat pukul sebelas. Angin basah merambat dari jendela yang retak. Aku menunggu di sudut kasur, menggigil bersama kegelisahan. Lalu, entah dorongan apa yang membuatku meraih kunci cadangan di atas lemari. Tanganku bergetar saat membuka koper itu.

Di dalamnya, rapi terlipat setelan jas abu-abu dengan bordir huruf kecil: 3 Naga Group. Sebuah kartu identitas tebal dengan foto Seno mengenakan dasi. Di sudut kartu, tertera: CEO Executive Group.

Aku menelan ludah. Mataku panas. Sebuah ponsel hitam dengan logo eksklusif tergeletak di dasar koper. Jemariku yang basah meraba layarnya, menyalakan deretan pesan yang isinya membuat kepalaku pening.

“Besok rapat direksi. Lokasi: Gedung 3 Naga Tower, Jakarta.”
“Laporan akuisisi perusahaan distribusi sudah final.”
“Jangan lupa, malam gala bersama Gubernur.”

Aku mendekap koper itu, seakan isinya bisa membakar dadaku. Seno—lelaki yang tidur beralas tikar dan berpura-pura jadi buruh tani—ternyata adalah penguasa Group 3 Naga. Nama yang sering kubaca di koran kuning, disebut-sebut sebagai konglomerat baru yang mendominasi provinsi.

Aku tak tahu berapa lama aku terduduk dalam gelap. Aku hanya ingat hujan yang turun semakin deras, menenggelamkan suara langkah Seno yang p**ang.

“Ratih?” suaranya parau ketika mendapati aku dengan koper terbuka di pangkuan. “Kau... kau temukan ini?”

Aku mend**gak. Matanya memancarkan sesuatu yang tak pernah kutahu: ketakutan.

“Apa semua ini bohong?” suaraku pecah. “Hidup sederhana kita... rumah reyot ini... cinta kita... semuanya pura-pura?”

Dia menutup mata, menarik napas panjang, lalu berlutut di hadapanku. Kilatan lampu petir menerangi wajahnya yang basah.

“Tidak semuanya pura-pura,” bisiknya. “Tapi aku memang berbohong. Aku ingin... aku ingin kau mencintaiku bukan karena nama atau uangku. Aku ingin tahu rasanya jadi biasa.”

“Apa kau dengar dirimu sendiri?” tangisku pecah. “Kau menipuku, Seno. Kau membuatku percaya kita sama-sama berjuang dari nol!”

Dia meraih tanganku, tapi aku menepisnya.

“Aku lelah hidup dengan kebohongan.”

Kami terdiam lama. Hujan mereda, meninggalkan bau tanah yang getir. Seno menunduk, dan untuk pertama kalinya, ia tampak lebih tua. Lebih rapuh dari lelaki yang pernah kupercaya bisa jadi rumah.

“Aku berjanji tak akan pernah menyakitimu,” katanya pelan. “Tapi aku takut. Takut kehilanganmu jika kau tahu siapa aku.”

“Kau tak percaya padaku,” kataku dengan suara patah. “Itu yang paling menyakitkan.”

Esok paginya, aku memberanikan diri mendatangi Gedung 3 Naga Tower di Jakarta. Ingin melihat dengan mataku sendiri dunia tempat dia bersembunyi. Gedungnya menjulang seperti ancaman, kaca-kaca mengilap memantulkan wajahku yang asing.

Di lobi, seorang resepsionis wanita membungkuk sopan.

“Selamat pagi, Bu. Anda sudah ditunggu oleh Pak Seno di ruang rapat utama.”

Aku hanya mengangguk. Kakiku serasa berat ketika melewati koridor luas yang berkilau. Di dinding, terpampang foto-foto Seno berdiri di antara pejabat tinggi, senyumnya penuh keyakinan.

Pintu ruang rapat terbuka. Seno berdiri di ujung meja panjang, mengenakan jas abu-abu yang sama persis dengan yang kulihat di koper. Matanya bertemu mataku, dan untuk sejenak, ruangan itu tak lagi megah. Hanya ada kami berdua, dua orang yang saling mencintai dan saling melukai.

“Aku ingin kau tahu,” katanya lirih. “Semua ini tidak mengubah perasaan yang kupunya padamu.”

“Aku butuh waktu,” suaraku serak. “Waktu untuk menerima bahwa hidup kita bukan hanya tentang tikar rotan dan kebun cabai.”

Dia menatapku lama. Ada kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan.

“Aku bersedia menunggu,” katanya. “Seberapa pun lamanya.”

Aku menghela napas panjang. Semua yang kupercaya tentang hidup sederhana telah retak. Tapi di balik retakan itu, mungkin ada kesempatan baru—entah untuk pengampunan, entah untuk perpisahan.

Aku menunduk, menahan air mata yang kembali menggenang.

“Kalau kau sungguh mencintaiku,” bisikku, “jangan pernah berbohong lagi.”

Seno menunduk hormat. Tangannya mengepal di samping tubuhnya.

“Aku bersumpah.”

Langkahku terasa gamang saat keluar dari gedung itu. Matahari pagi menembus kaca tinggi, memantul di ubin marmer yang sedingin kebohongan yang pernah ia simpan.

Aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah hari itu. Barangkali aku akan memaafkannya, barangkali tidak. Tapi setidaknya, aku sudah menyingkap kebenaran yang selama ini bersembunyi di balik wajah suamiku yang lembut.

Dan di jalan p**ang menuju kampung, di dalam taksi yang melaju pelan, aku merasakan sejenis lega. Karena aku akhirnya mengerti: cinta yang dewasa bukan hanya soal kesetiaan, tapi keberanian untuk jujur, meski kebenaran itu sanggup menghancurkan segalanya.

Sejak awal, aku tak pernah menaruh curiga pada Mira. Dia adalah orang yang paling sering duduk di sampingku, mendengarka...
14/07/2025

Sejak awal, aku tak pernah menaruh curiga pada Mira. Dia adalah orang yang paling sering duduk di sampingku, mendengarkan keluh kesahku, menyeka air mataku ketika Arman p**ang larut malam. Dalam pikiranku, Mira adalah saudara yang tak pernah kupunya.

Aku mengenalnya lebih dari sepuluh tahun. Kami kuliah di kampus yang sama, makan di warung yang sama, mengeluh tentang dosen yang sama. Kami tertawa di atas ranjang sempit kos Mira saat malam-malam panjang terasa tak ada habisnya. Saat aku menikah dengan Arman, Mira berdiri di sampingku sebagai pendamping pengantin. Senyum kami merekah di lembaran album yang kini terasa pahit untuk kutatap.

Aku masih ingat malam itu. Hujan deras mengguyur atap rumah. Arman meneleponku, suaranya terdengar letih. Katanya, ia harus rapat mendadak. Aku hanya mengangguk, pura-pura percaya, padahal entah kenapa perutku terasa dikoyak firasat buruk.

“Jangan lupa makan, Mas,” kataku, mencoba terdengar wajar.
“Iya,” jawabnya singkat sebelum sambungan terputus.

Aku memandangi layar ponsel lama sekali, berharap ia menelepon kembali. Tetapi yang datang malah sebuah pesan dari nomor tak dikenal:

“Kalau kau mau tahu kebenarannya, datanglah ke parkiran kantor suamimu. Sekarang.”

Tanganku gemetar saat membaca kalimat itu. Jantungku berdegup sampai telingaku berdenging. Aku tidak tahu siapa pengirim pesan itu, tapi rasa ingin tahuku lebih kuat daripada rasa takut.

Dengan payung di tangan, aku memacu mobil melewati jalanan yang tergenang air. Lampu-lampu kota tampak buram oleh hujan. Setiap detik terasa seperti langkah menuju sesuatu yang akan mengubah hidupku selamanya.

Sesampainya di parkiran, aku melihat mereka. Mira berdiri di samping Arman, basah kuyup tanpa payung. Mereka saling menatap lama, seakan dunia hanya milik berdua. Dan tiba-tiba, Arman meraih Mira dalam pelukannya.

Dalam hitungan detik, segala yang kupikir kuketahui runtuh.

Aku tidak turun dari mobil. Tidak berteriak. Tidak memukul setir. Hanya duduk mematung, menonton dua orang terdekatku menusukku perlahan dengan pengkhianatan. Hujan deras menutupi wajahku di balik kaca. Mungkin itu lebih baik, karena aku tidak ingin siapa pun melihat air mataku mengalir.

Malam itu aku p**ang sendiri, tanpa keberanian menegur siapa pun. Kupikir, jika aku pura-pura tidak tahu, semuanya akan kembali seperti semula. Tapi esoknya, saat Mira datang ke rumah dengan wajah cemas, aku sadar aku tidak bisa berpura-pura lagi.

“Rani… aku bisa jelaskan semuanya,” kata Mira pelan.
“Tidak usah,” potongku. Suaraku terdengar asing di telingaku sendiri—dingin dan kosong.
“Tapi aku…”
“Aku tidak ingin mendengar alasan. Kau hanya perlu menjawab satu hal. Sejak kapan?”

Mira menunduk. Bahunya bergetar. “Sudah hampir setahun.”

Setahun. Dua belas bulan penuh kebohongan, pura-pura, dan pelukan yang tak tulus.

“Kenapa kau datang ke rumahku? Kenapa kau masih duduk di meja makanku?” tanyaku. Tiba-tiba suaraku meninggi. “Kenapa kau pura-pura jadi temanku, Mira?”

Ia terisak, mencoba meraih tanganku, tapi aku mundur. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa jijik disentuh seseorang yang dulu kupanggil sahabat.

“Aku… aku tidak ingin jatuh cinta padanya,” ucapnya. “Tapi semua terjadi begitu saja.”

“Tidak ada yang begitu saja, Mira,” kataku, mataku menatap matanya yang sembab. “Kau memilih setiap langkahnya. Kau memilih setiap kebohongan.”

Arman p**ang lebih awal hari itu. Wajahnya pucat saat melihat Mira ada di ruang tamu. Kami bertiga berdiri dalam jarak yang canggung, seakan tiga orang asing yang kebetulan berkumpul di ruangan yang sama.

“Aku minta maaf,” kata Arman lirih.

Aku menoleh padanya. Seseorang yang kupikir akan melindungiku dari luka justru yang menancapkan pisau paling dalam.

“Maaf?” suaraku bergetar. “Kalian menghancurkan hidupku. Lalu kalian hanya bilang maaf?”

Tak ada yang menjawab.

Malam itu aku berkemas. Aku tidak tahu harus pergi ke mana, hanya tahu aku tidak bisa tinggal di rumah yang temboknya menyimpan terlalu banyak kebohongan.

Sebelum menutup koper terakhir, aku duduk di sisi ranjang. Di sana, kenangan tentang malam-malam ketika aku dan Arman bermimpi tentang masa depan kami masih tergantung di udara. Rasanya seperti sedang menatap rumah yang dibangun dengan susah payah lalu roboh dalam satu sentuhan.

Di meja rias, aku menulis sepucuk surat:

“Aku tidak tahu apakah kau benar-benar mencintaiku, atau hanya takut sendiri. Aku hanya tahu, kau bukan lagi orang yang bisa kupanggil rumah. Aku akan pergi. Jangan mencariku.”

Koperku tidak berat. Mungkin karena separuh hidupku sudah dirampas oleh mereka, yang tersisa hanya serpihan yang kubawa pergi.

Saat kututup pintu rumah untuk terakhir kalinya, aku tidak menoleh. Karena jika aku menoleh, mungkin aku akan memaafkan. Dan aku belum siap memaafkan siapa pun, termasuk diriku sendiri.

19/05/2025

Biar namaku jelek dalam cerita orang, yg penting perutku kenyang tanpa minta sama orang..
Iya kan 😍😜🥴

Address

Jakarta
10150

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Media Inspiratif posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share