14/07/2025
Rumah kami berdiri di tepi kebun singkong yang baunya selalu meruap saat hujan turun. Sejak pindah ke kampung ini tiga tahun lalu, aku percaya hidup kami akan selamanya sederhana. Dapur reyot dengan kompor minyak tanah, ruang tamu sempit beralas tikar rotan, dan suami yang setiap pagi pergi menanam cabai di kebun Pak Karsa.
Aku pikir kebahagiaan itu cukup. Sampai pada malam itu, ketika hujan turun dengan ributnya, aku menemukan koper hitam di kolong ranjang—koper yang membuka pintu pada luka yang tak pernah kubayangkan.
Namaku Ratih. Aku istri seorang lelaki pendiam bernama Seno. Kami menikah di bawah pohon randu, tanpa pesta, tanpa seserahan yang mewah. Dalam segala kesederhanaan, aku merasa kami punya cinta yang tulus. Tetapi cinta yang tak disentuh cahaya, rupanya mudah menyembunyikan rahasia.
Malam itu, Seno belum p**ang meski jarum jam sudah lewat pukul sebelas. Angin basah merambat dari jendela yang retak. Aku menunggu di sudut kasur, menggigil bersama kegelisahan. Lalu, entah dorongan apa yang membuatku meraih kunci cadangan di atas lemari. Tanganku bergetar saat membuka koper itu.
Di dalamnya, rapi terlipat setelan jas abu-abu dengan bordir huruf kecil: 3 Naga Group. Sebuah kartu identitas tebal dengan foto Seno mengenakan dasi. Di sudut kartu, tertera: CEO Executive Group.
Aku menelan ludah. Mataku panas. Sebuah ponsel hitam dengan logo eksklusif tergeletak di dasar koper. Jemariku yang basah meraba layarnya, menyalakan deretan pesan yang isinya membuat kepalaku pening.
“Besok rapat direksi. Lokasi: Gedung 3 Naga Tower, Jakarta.”
“Laporan akuisisi perusahaan distribusi sudah final.”
“Jangan lupa, malam gala bersama Gubernur.”
Aku mendekap koper itu, seakan isinya bisa membakar dadaku. Seno—lelaki yang tidur beralas tikar dan berpura-pura jadi buruh tani—ternyata adalah penguasa Group 3 Naga. Nama yang sering kubaca di koran kuning, disebut-sebut sebagai konglomerat baru yang mendominasi provinsi.
Aku tak tahu berapa lama aku terduduk dalam gelap. Aku hanya ingat hujan yang turun semakin deras, menenggelamkan suara langkah Seno yang p**ang.
“Ratih?” suaranya parau ketika mendapati aku dengan koper terbuka di pangkuan. “Kau... kau temukan ini?”
Aku mend**gak. Matanya memancarkan sesuatu yang tak pernah kutahu: ketakutan.
“Apa semua ini bohong?” suaraku pecah. “Hidup sederhana kita... rumah reyot ini... cinta kita... semuanya pura-pura?”
Dia menutup mata, menarik napas panjang, lalu berlutut di hadapanku. Kilatan lampu petir menerangi wajahnya yang basah.
“Tidak semuanya pura-pura,” bisiknya. “Tapi aku memang berbohong. Aku ingin... aku ingin kau mencintaiku bukan karena nama atau uangku. Aku ingin tahu rasanya jadi biasa.”
“Apa kau dengar dirimu sendiri?” tangisku pecah. “Kau menipuku, Seno. Kau membuatku percaya kita sama-sama berjuang dari nol!”
Dia meraih tanganku, tapi aku menepisnya.
“Aku lelah hidup dengan kebohongan.”
Kami terdiam lama. Hujan mereda, meninggalkan bau tanah yang getir. Seno menunduk, dan untuk pertama kalinya, ia tampak lebih tua. Lebih rapuh dari lelaki yang pernah kupercaya bisa jadi rumah.
“Aku berjanji tak akan pernah menyakitimu,” katanya pelan. “Tapi aku takut. Takut kehilanganmu jika kau tahu siapa aku.”
“Kau tak percaya padaku,” kataku dengan suara patah. “Itu yang paling menyakitkan.”
Esok paginya, aku memberanikan diri mendatangi Gedung 3 Naga Tower di Jakarta. Ingin melihat dengan mataku sendiri dunia tempat dia bersembunyi. Gedungnya menjulang seperti ancaman, kaca-kaca mengilap memantulkan wajahku yang asing.
Di lobi, seorang resepsionis wanita membungkuk sopan.
“Selamat pagi, Bu. Anda sudah ditunggu oleh Pak Seno di ruang rapat utama.”
Aku hanya mengangguk. Kakiku serasa berat ketika melewati koridor luas yang berkilau. Di dinding, terpampang foto-foto Seno berdiri di antara pejabat tinggi, senyumnya penuh keyakinan.
Pintu ruang rapat terbuka. Seno berdiri di ujung meja panjang, mengenakan jas abu-abu yang sama persis dengan yang kulihat di koper. Matanya bertemu mataku, dan untuk sejenak, ruangan itu tak lagi megah. Hanya ada kami berdua, dua orang yang saling mencintai dan saling melukai.
“Aku ingin kau tahu,” katanya lirih. “Semua ini tidak mengubah perasaan yang kupunya padamu.”
“Aku butuh waktu,” suaraku serak. “Waktu untuk menerima bahwa hidup kita bukan hanya tentang tikar rotan dan kebun cabai.”
Dia menatapku lama. Ada kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan.
“Aku bersedia menunggu,” katanya. “Seberapa pun lamanya.”
Aku menghela napas panjang. Semua yang kupercaya tentang hidup sederhana telah retak. Tapi di balik retakan itu, mungkin ada kesempatan baru—entah untuk pengampunan, entah untuk perpisahan.
Aku menunduk, menahan air mata yang kembali menggenang.
“Kalau kau sungguh mencintaiku,” bisikku, “jangan pernah berbohong lagi.”
Seno menunduk hormat. Tangannya mengepal di samping tubuhnya.
“Aku bersumpah.”
Langkahku terasa gamang saat keluar dari gedung itu. Matahari pagi menembus kaca tinggi, memantul di ubin marmer yang sedingin kebohongan yang pernah ia simpan.
Aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah hari itu. Barangkali aku akan memaafkannya, barangkali tidak. Tapi setidaknya, aku sudah menyingkap kebenaran yang selama ini bersembunyi di balik wajah suamiku yang lembut.
Dan di jalan p**ang menuju kampung, di dalam taksi yang melaju pelan, aku merasakan sejenis lega. Karena aku akhirnya mengerti: cinta yang dewasa bukan hanya soal kesetiaan, tapi keberanian untuk jujur, meski kebenaran itu sanggup menghancurkan segalanya.