19/11/2025
Di negeri yang katanya gemah ripah,
jalan berlubang disebut wisata petualangan,
harga pangan naik disebut tanda kemakmuran,
dan korupsi dianggap tradisi turun-temurun
yang mesti dijaga dengan bangga.
Para koruptor tersenyum di layar kaca,
dengan jas rapi dan bahasa manis ala malaikat,
padahal tangan mereka
lebih lengket dari gula merah dijemur badai.
Mereka bilang: “Demi rakyat!”
Ah, rakyat yang mana?
Rakyat imajiner mungkin—
yang hanya hidup dalam pidato dan baliho.
Sementara itu,
kita, manusia biasa,
duduk di bangku patah bernama kenyataan,
menonton negara perlahan runtuh
seperti gedung tua tanpa dana renovasi—
karena dana itu sudah lama
terselip di kantong para “wakil rakyat”.
Tetapi tenang saja, katanya Indonesia masih hebat:
Kita juara dalam berita korupsi,
unggul dalam skandal tak bertepi,
dan pakar dalam menyembunyikan bukti.
Kalau ada lomba nations paling sabar,
kita pasti nomor satu—
karena sudah terlalu sering
dipaksa menelan pil pahit
dengan label “demi masa depan”.
Ah, negeri ini masih berdiri,
bukan karena para pemimpinnya kuat,
tapi karena rakyatnya terlalu tangguh
untuk menyerah pada kelicikan.
Dan itu, ironisnya,
adalah satu-satunya alasan
mengapa Indonesia belum benar-benar hancur
meski dikeruk siang malam
oleh tangan-tangan yang tak pernah kenyang.