Hendar Suhendar

Hendar Suhendar some fun kisah kehidupan

16/10/2025

hari ini panen lagi

Cabe di dalam rumah kaca
15/10/2025

Cabe di dalam rumah kaca

15/10/2025

bismillahirrahmanirrahim semoga berkah aamiin ya rabbal alamin

Tanaman tomat 8 tahun yang lalu
15/10/2025

Tanaman tomat 8 tahun yang lalu

15/10/2025

pekerjaan di kampung

15/10/2025

Sesederhana ini kalau perempuan 😅 apalagi kalau pakai gepokan merah-merah yg ada angka nya, adem 😅

Bab 2: Kontrak dengan Si CerobohMata Joon membelalak, seolah Maya baru saja menawarkan untuk membeli pulau pribadi bersa...
14/10/2025

Bab 2: Kontrak dengan Si Ceroboh

Mata Joon membelalak, seolah Maya baru saja menawarkan untuk membeli pulau pribadi bersamanya. "K-Kesepakatan?"

"Ya," kata Maya, mencoba terdengar seperti seorang negosiator ulung, meski sebenarnya dia hanya seorang wanita sial yang sedang memegang erat-erat jimat keberuntungannya yang hidup. "Kamu butuh subjek latihan. Aku butuh... eh... variabel keberuntungan." Itu terdengar lebih keren daripada 'aku butuh kamu untuk mengusir sialku'.

Joon mengerutkan kening, prosesornya yang actor-method-centric jelas sedang bekerja keras. "Variabel keberuntungan?"

"Iya. Intinya, kamu boleh terus 'melatih skill stalker-mu' dengan mengikutiku—"

Wajah Joon langsung berseri. "Sungguh?!"

"—TAPI," potong Maya, mengacungkan jari telunjuk, "dengan syarat-syarat ketat!"

Dia mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi notes. Joon dengan patuh mengeluarkan buku sketsanya yang sama-sama berantakan, siap mencatat seperti murid yang baik.

"Pasal 1: Jarak Aman." Maya membacanya dengan suara lantang. "Kamu harus menjaga jarak minimal... 5 meter! Tidak ada teropong, tidak ada penyadapan, tidak ada penyusupan ke dalam ventilasi apartemenku!"

Joon mengangguk-angguk cepat sambil mencoret-coret. "Jarak 5 meter. Tidak ada teropong. Tidak ada penyadapan. Tidak ada ventilasi. Oke."

"Pasal 2: Tidak Mengganggu." lanjut Maya. "Kamu tidak boleh membuatku malu di depan umum. Tidak boleh tiba-tiba bersembunyi di balik pot tanaman yang terlalu kecil, tidak boleh memakai penyamaran yang jelas-jelas aneh, dan yang paling penting—" dia menatapnya tajam, "—tidak boleh menyebabkan keributan yang melibatkan pihak berwajib."

Joon terbatuk. "Saya berjanji akan lebih... low profile."

"Pasal 3: Kompensasi." Ini bagian pentingnya. "Sebagai imbalan karena telah menjadikan hidup dan rutinitasku sebagai laboratorium penelitianmu, kamu harus membelikanku kopi setiap pagi. Americano, grande, es, tanpa gula."

Wajah Joon berbinar. "Itu bisa menjadi bagian dari latihan! Menyamar sebagai pembeli kopi rutin!" Dia mencatat dengan semangat. "Sempurna!"

Maya menghela napas. Pria ini benar-benar tidak punya tompan "off" untuk mode aktingnya.

"Baik," kata Joon, menatap catatannya dengan serius. "Saya setuju dengan semua syaratnya. Kontrak ini berlaku mulai besok."

"Bagus," kata Maya, merasa sedikit lega sekaligus merasa seperti orang gila. "Sekarang, tolong jangan ikuti aku pulang malam ini. Aku butuh istirahat dari... kehadiranmu."

Joon langsung terlihat kecewa, seperti anak anjing yang dilarang ikut jalan-jalan. "Tapi... malam adalah waktu terbaik untuk latihan pengamatan bayangan! Pencahayaan yang redup, bayangan yang panjang—"

"Tidak!" potong Maya. "Pulang. Sekarang."

Dengan wajah sedih yang dilebih-lebihkan, Joon akhirnya membungkuk dan berbalik pergi. Maya memastikan dia benar-benar pergi sebelum akhirnya berjalan pulang dengan perasaan campur aduk. Apa yang baru saja dia lakukan?

---

HARI BERIKUTNYA - SENIN (Lagı)

Maya tiba di halte bus dengan perasaan was-was. Apakah Joon akan menepati janjinya? Ataukah ini semua hanya mimpi aneh?

Tepat saat bus datang, dia melihatnya. Joon, berdiri persis 5 meter darinya, menyamar sebagai... seorang pejalan kaki yang sedang sangat tertarik dengan peta kota yang dia pegang terbalik. Dia memakai kacamata bingkai tebal dan scarf padahal cuaca cukup hangat.

Maya memutuskan untuk mengabaikannya. Dia naik bus, dan keajaiban terjadi. Ada satu kursi kosong persis di dekat jendela! Dia jarang sekali dapat tempat duduk.

Sepanjang perjalanan, dia melihat Joon melalui jendela. Pria itu dengan canggung berlari kecil mengikuti bus, berusaha "menyamar" sebagai pelari yang kebetulan searah dengan rute bus. Napasnya sudah terengah-engah saat Maya turun di halte kantornya.

Sesampainya di kantor, ada sebuah Americano grande, es, tanpa gula, sudah menunggu di mejanya. Tertempel notes: "Observasi: Subjek tampak kurang tidur. Kemungkinan akibat negosiasi kontrak semalam. - J"

Maya tersenyum kecut. Setidaknya dia dapat kopi gratis.

Siang hari, saat dia hendak makan siang di kantin, dia melihat Joon lagi. Kali ini, dia menyamar sebagai tukang kebun yang sedang memangkas tanaman hias di lobi kantor. Masalahnya, tanaman yang dia "pangkas" itu adalah tanaman plastik. Dan dia memangkasnya dengan gunting kuku.

Maya berjalan cepat, berharap tidak ada yang memperhatikan.

Sayangnya, Chanyeol, si rekan kerja yang usil, memperhatikan.

"Wah, Maya, ada tukang kebun baru ya? Tampan sekali," bisik Chanyeol. "Dia dari tadi melirik ke arahmu loh."

"Ah, masa?" jawab Maya sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya.

"Tapi aneh ya," lanjut Chanyeol, "kenapa dia memangkas tanaman plastik pakai gunting kuku?"

Maya mendesah dalam hati. Ini akan menjadi minggu yang panjang.

---

HARI RABU - BENCANA TEROPONG 2.0

Meeting penting lainnya. Presentasi klien. Mr. Kim sudah siap dengan muka galaknya.

Maya nervous. Dia melirik ke jendela, berharap melihat Joon si jimat keberuntungan.

Dan dia ada di sana. Kali ini, dia menyamar sebagai seorang turis. Dia memakai kaus "I ♡ SEOUL", topi safari, dan... masih membawa teropongnya itu! Dia mengarahkannya ke ruang meeting.

Klien, seorang ibu paruh baya, mengikuti arah pandangan Maya. Matanya berbinar.

"Oh, lihat itu! Ada turis manis di luar!" katanya, melambai-lambaikan tangan pada Joon.

Joon, yang ketahuan, membeku seperti patung. Daripada melarikan diri, dia malah membalas lambaian tangan itu dengan kaku, seperti robot yang baru belajar bersosialisasi.

Mr. Kim mengernyit. "Apa yang terjadi?"

"Saya... saya pikir dia penggemar saya!" sahut si klien dengan girang. "Wah, produk kita pasti sudah terkenal sampai ke mancanegara! Deal, Pak Kim! Saya tambah pesanannya 50%!"

Mr. Kim terkesima, lalu menepuk punggung Maya. "Luar biasa, Maya! Bahkan strategi marketing di balik layar sudah kamu pikirkan!"

Maya hanya bisa terduduk, pusing. Keberuntungannya datang dengan harga yang sangat mahal bagi harga dirinya.

---

HARI JUMAT - AKHIR YANG (SANGAT) MEMALUKAN

Maya memutuskan untuk belanja mingguan. Joon, tentu saja, mengikutinya. Hari ini penyamarannya adalah "pembeli yang bingung". Dia berkeliaran di lorong yang sama dengan Maya, memeriksa setiap produk dengan intensitas yang tidak wajar, seolah-olah sedang memilih berlian dan bukan sekaleng kacang panggang.

Tragedi terjadi di lorong susu dan yogurt.

Saat Maya membungkuk untuk mengambil yogurt favoritnya, Joon, yang sedang "diam-diam" mengamatinya dari balik rak, tanpa sengaja mendorong sebuah menara kaleng susu yang disusun promosi.

BRUKK! KRASHH!

Ratusan kaleng susu berguliran ke lantai, menciptakan banjir putih yang menyebar ke seluruh lantai.

Joon berdiri di tengah kekacauan itu, wajahnya pucat pasi, dengan sebotol saus tomat di tangannya yang entah dari mana datangnya.

Manajer supermarket datang dengan wajah merah padam. "Tuan! Apa yang terjadi?!"

Joon, panik, bukannya minta maaf, malah masuk ke dalam karakter. Dia berdiri tegak, menatap manajer itu dengan mata tajam (versinya), dan berkata dengan suara berat, "Ini adalah... kecelakaan. Sangat mencurigakan. Saya sedang dalam penyelidikan."

Maya memutuskan ini sudah cukup. Dia mengambil beberapa item belanjaannya, berjalan melewati danau susu yang sedang meluas, dan menarik lengan Joon.

"Kita pergi. Sekarang," desisnya.

Dia menarik Joon yang masih kebingungan keluar dari supermarket, meninggalkan kekacauan dan tatapan heran puluhan orang.

Saat mereka sampai di luar, Maya melepaskan napas panjang. Joon melihatnya dengan wajah penuh penyesalan.

"Maya-ssi, saya... saya sangat menyesal. Saya merusak kontrak. Saya menyebabkan keributan."

Maya memandangnya. Rambutnya acak-acakan, kacamatanya miring, dan ada noda susu di celananya. Dia terlihat begitu konyol dan tak berdaya.

Dan tiba-tiba, Maya tidak bisa menahannya lagi. Dia tertawa. Tertawa lepas, terbahak-bahak, melepaskan semua stres dan kekonyolan minggu ini.

Joon awalnya bingung, lalu akhirnya ikut tersenyum, malu-malu.

"Mungkin," kata Maya, usai tertawa, sambil mengusap air mata di sudut matanya, "kamu harus latihan jadi aktor komedi, bukan detektif."

Joon menggaruk kepalanya. "Tapi peran detektif ini sangat menantang..."

"Percayalah," kata Maya, masih tersenyum. "Dengan bakat alamimu menyebabkan kekacauan, dunia komedi sedang menantimu."

Mereka berjalan berdampingan, meninggalkan supermarket. Maya menyadari sesuatu. Meski minggu ini penuh dengan momen memalukan dan hampir membuatnya dipecat... ini adalah minggu paling tidak membosankan dalam hidupnya.

Dan mungkin, hanya mungkin, keberuntungan sejatinya bukanlah Joon yang mengikutinya, tapi kekacauan absurd yang dia bawa ke dalam hidupnya yang biasa-biasa saja. Kekacauan yang, entah bagaimana, justru membuatnya merasa... hidup.

Bersambung

Bab 1: Kutukan dan Sebuah Kardus KopiHari ini adalah hari dimana nasib sial Maya mencapai level legendary.Pertama, alarm...
14/10/2025

Bab 1: Kutukan dan Sebuah Kardus Kopi

Hari ini adalah hari dimana nasib sial Maya mencapai level legendary.

Pertama, alarm di ponselnya tidak berbunyi. Kedua, air panas di apartemennya mati di tengah-tengah dia keramas. Ketiga, dan yang paling tragis, mesin pembuat kopi portabel kesayangannya—satu-satunya penghibur di pagi yang kelam—mengeluarkan suara gerinda yang menyedihkan sebelum akhirnya mati suri, meninggalkan Maya dengan setengah cangkir kopi berwarna air keruh.

"Dasar pengkhianat," gerutnya, menatap mesin kopi itu dengan mata berkabut.

Dia berangkat dengan perasaan sudah kalah. Di halte bus, tepat saat dia menginjakkan kaki, bus yang ditunggunya melaju pergi, seolah mengejeknya. Hujan mulai rintik-rintik, dan tentu saja, payungnya tertinggal di rumah. Ini baru hari Senin.

Kantor tempatnya bekerja, "Penerbit Bintang Kecil," adalah kubikel abu-abu lainnya dalam hidupnya. Sebagai asisten editor junior, tugasnya adalah menyortir naskah yang 90% isinya buruk, mengatur jadwal meeting bosnya yang galak, Mr. Kim, dan menjadi kambing hitam untuk segala kesalahan, besar atau kecil.

"MAYA!" teriak Mr. Kim dari balik pintu kacanya, membuatnya melompat. "Kopi! Dan laporan penjualan minggu lalu, sekarang!"

Maya bergegas, tangannya menggenggam cangkir kopi instan yang dia buat di dapur kantor—pengganti yang menyedihkan. Saat berbalik, sikutnya tanpa sengaja menyenggol tumpukan naskah di meja rekan kerjanya, Chanyeol.

"Aduh, Maya, hati-hati!" keluh Chanyeol, berusaha menangkap naskah-naskah yang beterbangan.

"Aku minta maaf!" Maya membungkuk, pipinya memerah. Dia berbalik lagi, dan kali ini, cangkir kopi di tangannya mendarat sempurna di kemeja putih bersih Mr. Kim yang baru saja keluar dari ruangannya.

Keheningan yang mencekam menyelimuti ruang kerja.

Mr. Kim menghela napas panjang, dramatis, matanya menyipit. "Maya. Ruang saya. Sekarang."

Itu adalah teguran terpanjang dan paling memalukan dalam sejarah karier Maya. Intinya: dia tidak kompeten, ceroboh, dan satu kesalahan lagi bisa berarti surat pemutusan hubungan kerja.

Maya kembali ke mejanya dengan semangat yang hancur lebur. Dia menatap layar komputernya yang kosong, merasa dirinya adalah manusia paling sial di Seoul. Mungkin di seluruh Korea Selatan.

Sore itu, nasib buruknya berlanjut. Hujan turun lebat saat jam pulang. Tanpa payung, Maya memutuskan untuk berteduh di sebuah kafe kecil di seberang kantor. Dia memesan Americano—sebagai bentuk perkabungan untuk mesin kopinya—dan duduk di sudut paling belakang.

Dan di situlah dia pertama kali melihatnya.

Seorang pria. Dia duduk di seberang ruangan, mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans. Dia tidak terlihat mencolok, tapi ada sesuatu yang... familiar. Pria itu sedang membaca buku, tapi tatapannya, sesekali, terangkat dan melayang ke arahnya. Bukan tatapan iseng, tapi tatapan fokus, seperti seorang ilmuwan yang mengamati spesies langka.

Maya mengabaikannya. Kebetulan, pikirnya. Seoul adalah kota besar, tapi wajah bisa terlihat familiar.

Keesokan harinya, pria itu muncul lagi. Kali ini, dia ada di halte bus yang sama, berdiri beberapa meter darinya, seolah-olah sedang memeriksa jadwal bus dengan sangat serius. Tapi Maya bisa merasakan sorot matanya.

"Jangan-jangan ini cuma paranoia," bisiknya pada diri sendiri.

Hari Rabu, kekonyolan mencapai puncaknya. Saat meeting penting dengan klien, Maya gugup. Presentasinya berantakan. Mr. Kim sudah mulai mengeluarkan keringat dingin. Tiba-tiba, dari balik jendela ruang meeting, dia melihat pria hoodie itu lagi! Dia berdiri di seberang jalan, memegang teropong? Teropong?!

Maya hampir tersedak air minumnya. Tapi anehnya, tepat saat dia melihat pria itu, klien yang selama ini cemberut tiba-tiba berkata, "Wah, ide yang menarik sekali! Bisa kita kembangkan."

Mr. Kim terkesima. Maya juga.

Meeting itu berakhir dengan kontrak yang ditandatangani. Mr. Kim, untuk pertama kalinya, menepuk bahu Maya. "Bagus, Maya. Akhirnya kamu menunjukkan potensimu."

Maya bingung. Dunia ini tidak masuk akal.

Fenomena aneh terus berlanjut. Setiap kali pria hoodie itu muncul—di supermarket, di depan bioskop, di taman dekat apartemennya—sesuatu yang baik terjadi pada Maya. Rekan kerja yang menyebalkan memintanya maaf, naskah yang dia ajukan tiba-tiba disetujui, bahkan dia menemukan uang 50.000 won terjatuh di halte bus.

Dia mulai mencatatnya di notes ponsel:

Senin: Pria Hoodie di kafe -> Tidak dimarahi Mr. Kim (keajaiban kecil).
Selasa: Pria Hoodie di halte bus -> Dapat tempat duduk di bus yang penuh.
Rabu: Pria Hoodie dengan teropong -> Deal kontrak besar!
Kamis: Pria Hoodie di supermarket -> Diskon 70% untuk steak!

Polanya jelas. Pria itu adalah... jimat keberuntungannya?

Ini gila. Sangat tidak logis. Tapi hidup Maya yang selama ini dipenuhi kesialan tiba-tiba mendapat warna. Dia tidak lagi takut pergi ke kantor. Dia bahkan mulai memakai sepatu favoritnya, berharap pria itu akan muncul dan menyelamatkannya dari noda saus toba.

Sampai akhirnya, pada hari Jumat, dia memutuskan untuk melakukan sesuatu. Dia keluar dari kantor lebih awal dan berjalan ke arah taman, tempat dia biasanya melihat pria itu di akhir pekan. Jantungnya berdebar kencang. Ini bukan lagi rasa takut, tapi sebuah antisipasi liar.

Dan benar, pria itu ada di sana. Duduk di bangku, memegang buku sketsa. Kali ini, dia tidak menyamar. Tatapan mereka bertemu.

Maya menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan semua keberanian yang tersisa dari seminggu penuh "keberuntungan" ini. Dia melangkah mendekat.

"Permisi," katanya, suaranya sedikit gemetar.

Pria itu menatapnya, matanya membesar, seperti rusa yang terkena sorot lampu mobil. Dia menjatuhkan buku sketsanya.

"Apakah... apakah Anda mengikuti saya?" tanya Maya, mencoba terdengar tegas.

Pria itu, yang ternyata memiliki wajah yang cukup tampan dengan mata yang lugu, salah tingkah. Dia membungkuk mengambil buku sketsanya dengan canggung, hampir menjatuhkan kacamatanya.

"Saya... ini bukan seperti yang kau kira!" bantunya, suaranya lebih tinggi dari yang diduga Maya. "Saya... sedang... melakukan penelitian!"

Maya menyilangkan tangannya. "Penelitian? Untuk apa? 'Tingkah Laku Manusia Sial di Habitat Aslinya'?"

"Bukan!" sanggahnya cepat. Dia menarik napas. "Nama saya Jeon Joon. Saya... seorang aktor." Dia menjulurkan tangannya, lalu menariknya kembali, bingung. "Dan saya sedang mempersiapkan peran untuk film baru. Sebagai seorang detektif bayangan. Seorang stalker yang profesional."

Maya berdiri membeku, memproses informasi itu.

"Anda... memilih saya?" tanyanya, tidak percaya. "Kenapa?"

Joon tersipu malu. "Karena... wajah Anda... biasa. Mudah dilupakan. Sempurna untuk berbaur dengan kerumunan. Sangat cocok untuk latihan observasi saya."

Maya mendecak. Dia di-stalk, dan alasannya adalah karena wajahnya terlalu biasa? Ini adalah penghinaan tertinggi sekaligus hal paling konyol yang pernah dia dengar.

Tapi sebelum dia bisa marah, Joon menunduk dalam-dalam, hampir membungkuk 90 derajat.

"MOHON MAAF! Saya tahu ini tidak profesional dan menyeramkan! Saya akan berhenti sekarang juga! Silakan laporkan saya jika Anda mau!"

Maya melihatnya. Pria ini, Jeon Joon, bukanlah penjahat berbahaya. Dia hanya... seorang idiot yang terlalu bersemangat. Dan di balik kekonyolannya, dia adalah sumber dari semua "keberuntungan" Maya selama seminggu terakhir.

Jika dia mengusir Joon, hidupnya akan kembali sial. Tapi jika dia membiarkannya... dia akan membiarkan seorang "stalker bayaran" terus mengikutinya.

Dia melihat mata Joon yang penuh penyesalan dan ketulusan yang polos. Lalu dia melihat sekeliling taman yang cerah, mengingat steak diskon 70%-nya, dan kontrak yang berhasil dia dapatkan.

Sebuah ide gila muncul di kepalanya.

Dia melipat tangannya. "Oke. Mari kita buat kesepakatan."

(Bersambung)

13/10/2025

rejeki ngonten

😭😭
01/10/2025

😭😭

Address

Jakatra

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Hendar Suhendar posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Hendar Suhendar:

Share