14/10/2025
Bab 2: Kontrak dengan Si Ceroboh
Mata Joon membelalak, seolah Maya baru saja menawarkan untuk membeli pulau pribadi bersamanya. "K-Kesepakatan?"
"Ya," kata Maya, mencoba terdengar seperti seorang negosiator ulung, meski sebenarnya dia hanya seorang wanita sial yang sedang memegang erat-erat jimat keberuntungannya yang hidup. "Kamu butuh subjek latihan. Aku butuh... eh... variabel keberuntungan." Itu terdengar lebih keren daripada 'aku butuh kamu untuk mengusir sialku'.
Joon mengerutkan kening, prosesornya yang actor-method-centric jelas sedang bekerja keras. "Variabel keberuntungan?"
"Iya. Intinya, kamu boleh terus 'melatih skill stalker-mu' dengan mengikutiku—"
Wajah Joon langsung berseri. "Sungguh?!"
"—TAPI," potong Maya, mengacungkan jari telunjuk, "dengan syarat-syarat ketat!"
Dia mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi notes. Joon dengan patuh mengeluarkan buku sketsanya yang sama-sama berantakan, siap mencatat seperti murid yang baik.
"Pasal 1: Jarak Aman." Maya membacanya dengan suara lantang. "Kamu harus menjaga jarak minimal... 5 meter! Tidak ada teropong, tidak ada penyadapan, tidak ada penyusupan ke dalam ventilasi apartemenku!"
Joon mengangguk-angguk cepat sambil mencoret-coret. "Jarak 5 meter. Tidak ada teropong. Tidak ada penyadapan. Tidak ada ventilasi. Oke."
"Pasal 2: Tidak Mengganggu." lanjut Maya. "Kamu tidak boleh membuatku malu di depan umum. Tidak boleh tiba-tiba bersembunyi di balik pot tanaman yang terlalu kecil, tidak boleh memakai penyamaran yang jelas-jelas aneh, dan yang paling penting—" dia menatapnya tajam, "—tidak boleh menyebabkan keributan yang melibatkan pihak berwajib."
Joon terbatuk. "Saya berjanji akan lebih... low profile."
"Pasal 3: Kompensasi." Ini bagian pentingnya. "Sebagai imbalan karena telah menjadikan hidup dan rutinitasku sebagai laboratorium penelitianmu, kamu harus membelikanku kopi setiap pagi. Americano, grande, es, tanpa gula."
Wajah Joon berbinar. "Itu bisa menjadi bagian dari latihan! Menyamar sebagai pembeli kopi rutin!" Dia mencatat dengan semangat. "Sempurna!"
Maya menghela napas. Pria ini benar-benar tidak punya tompan "off" untuk mode aktingnya.
"Baik," kata Joon, menatap catatannya dengan serius. "Saya setuju dengan semua syaratnya. Kontrak ini berlaku mulai besok."
"Bagus," kata Maya, merasa sedikit lega sekaligus merasa seperti orang gila. "Sekarang, tolong jangan ikuti aku pulang malam ini. Aku butuh istirahat dari... kehadiranmu."
Joon langsung terlihat kecewa, seperti anak anjing yang dilarang ikut jalan-jalan. "Tapi... malam adalah waktu terbaik untuk latihan pengamatan bayangan! Pencahayaan yang redup, bayangan yang panjang—"
"Tidak!" potong Maya. "Pulang. Sekarang."
Dengan wajah sedih yang dilebih-lebihkan, Joon akhirnya membungkuk dan berbalik pergi. Maya memastikan dia benar-benar pergi sebelum akhirnya berjalan pulang dengan perasaan campur aduk. Apa yang baru saja dia lakukan?
---
HARI BERIKUTNYA - SENIN (Lagı)
Maya tiba di halte bus dengan perasaan was-was. Apakah Joon akan menepati janjinya? Ataukah ini semua hanya mimpi aneh?
Tepat saat bus datang, dia melihatnya. Joon, berdiri persis 5 meter darinya, menyamar sebagai... seorang pejalan kaki yang sedang sangat tertarik dengan peta kota yang dia pegang terbalik. Dia memakai kacamata bingkai tebal dan scarf padahal cuaca cukup hangat.
Maya memutuskan untuk mengabaikannya. Dia naik bus, dan keajaiban terjadi. Ada satu kursi kosong persis di dekat jendela! Dia jarang sekali dapat tempat duduk.
Sepanjang perjalanan, dia melihat Joon melalui jendela. Pria itu dengan canggung berlari kecil mengikuti bus, berusaha "menyamar" sebagai pelari yang kebetulan searah dengan rute bus. Napasnya sudah terengah-engah saat Maya turun di halte kantornya.
Sesampainya di kantor, ada sebuah Americano grande, es, tanpa gula, sudah menunggu di mejanya. Tertempel notes: "Observasi: Subjek tampak kurang tidur. Kemungkinan akibat negosiasi kontrak semalam. - J"
Maya tersenyum kecut. Setidaknya dia dapat kopi gratis.
Siang hari, saat dia hendak makan siang di kantin, dia melihat Joon lagi. Kali ini, dia menyamar sebagai tukang kebun yang sedang memangkas tanaman hias di lobi kantor. Masalahnya, tanaman yang dia "pangkas" itu adalah tanaman plastik. Dan dia memangkasnya dengan gunting kuku.
Maya berjalan cepat, berharap tidak ada yang memperhatikan.
Sayangnya, Chanyeol, si rekan kerja yang usil, memperhatikan.
"Wah, Maya, ada tukang kebun baru ya? Tampan sekali," bisik Chanyeol. "Dia dari tadi melirik ke arahmu loh."
"Ah, masa?" jawab Maya sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Tapi aneh ya," lanjut Chanyeol, "kenapa dia memangkas tanaman plastik pakai gunting kuku?"
Maya mendesah dalam hati. Ini akan menjadi minggu yang panjang.
---
HARI RABU - BENCANA TEROPONG 2.0
Meeting penting lainnya. Presentasi klien. Mr. Kim sudah siap dengan muka galaknya.
Maya nervous. Dia melirik ke jendela, berharap melihat Joon si jimat keberuntungan.
Dan dia ada di sana. Kali ini, dia menyamar sebagai seorang turis. Dia memakai kaus "I ♡ SEOUL", topi safari, dan... masih membawa teropongnya itu! Dia mengarahkannya ke ruang meeting.
Klien, seorang ibu paruh baya, mengikuti arah pandangan Maya. Matanya berbinar.
"Oh, lihat itu! Ada turis manis di luar!" katanya, melambai-lambaikan tangan pada Joon.
Joon, yang ketahuan, membeku seperti patung. Daripada melarikan diri, dia malah membalas lambaian tangan itu dengan kaku, seperti robot yang baru belajar bersosialisasi.
Mr. Kim mengernyit. "Apa yang terjadi?"
"Saya... saya pikir dia penggemar saya!" sahut si klien dengan girang. "Wah, produk kita pasti sudah terkenal sampai ke mancanegara! Deal, Pak Kim! Saya tambah pesanannya 50%!"
Mr. Kim terkesima, lalu menepuk punggung Maya. "Luar biasa, Maya! Bahkan strategi marketing di balik layar sudah kamu pikirkan!"
Maya hanya bisa terduduk, pusing. Keberuntungannya datang dengan harga yang sangat mahal bagi harga dirinya.
---
HARI JUMAT - AKHIR YANG (SANGAT) MEMALUKAN
Maya memutuskan untuk belanja mingguan. Joon, tentu saja, mengikutinya. Hari ini penyamarannya adalah "pembeli yang bingung". Dia berkeliaran di lorong yang sama dengan Maya, memeriksa setiap produk dengan intensitas yang tidak wajar, seolah-olah sedang memilih berlian dan bukan sekaleng kacang panggang.
Tragedi terjadi di lorong susu dan yogurt.
Saat Maya membungkuk untuk mengambil yogurt favoritnya, Joon, yang sedang "diam-diam" mengamatinya dari balik rak, tanpa sengaja mendorong sebuah menara kaleng susu yang disusun promosi.
BRUKK! KRASHH!
Ratusan kaleng susu berguliran ke lantai, menciptakan banjir putih yang menyebar ke seluruh lantai.
Joon berdiri di tengah kekacauan itu, wajahnya pucat pasi, dengan sebotol saus tomat di tangannya yang entah dari mana datangnya.
Manajer supermarket datang dengan wajah merah padam. "Tuan! Apa yang terjadi?!"
Joon, panik, bukannya minta maaf, malah masuk ke dalam karakter. Dia berdiri tegak, menatap manajer itu dengan mata tajam (versinya), dan berkata dengan suara berat, "Ini adalah... kecelakaan. Sangat mencurigakan. Saya sedang dalam penyelidikan."
Maya memutuskan ini sudah cukup. Dia mengambil beberapa item belanjaannya, berjalan melewati danau susu yang sedang meluas, dan menarik lengan Joon.
"Kita pergi. Sekarang," desisnya.
Dia menarik Joon yang masih kebingungan keluar dari supermarket, meninggalkan kekacauan dan tatapan heran puluhan orang.
Saat mereka sampai di luar, Maya melepaskan napas panjang. Joon melihatnya dengan wajah penuh penyesalan.
"Maya-ssi, saya... saya sangat menyesal. Saya merusak kontrak. Saya menyebabkan keributan."
Maya memandangnya. Rambutnya acak-acakan, kacamatanya miring, dan ada noda susu di celananya. Dia terlihat begitu konyol dan tak berdaya.
Dan tiba-tiba, Maya tidak bisa menahannya lagi. Dia tertawa. Tertawa lepas, terbahak-bahak, melepaskan semua stres dan kekonyolan minggu ini.
Joon awalnya bingung, lalu akhirnya ikut tersenyum, malu-malu.
"Mungkin," kata Maya, usai tertawa, sambil mengusap air mata di sudut matanya, "kamu harus latihan jadi aktor komedi, bukan detektif."
Joon menggaruk kepalanya. "Tapi peran detektif ini sangat menantang..."
"Percayalah," kata Maya, masih tersenyum. "Dengan bakat alamimu menyebabkan kekacauan, dunia komedi sedang menantimu."
Mereka berjalan berdampingan, meninggalkan supermarket. Maya menyadari sesuatu. Meski minggu ini penuh dengan momen memalukan dan hampir membuatnya dipecat... ini adalah minggu paling tidak membosankan dalam hidupnya.
Dan mungkin, hanya mungkin, keberuntungan sejatinya bukanlah Joon yang mengikutinya, tapi kekacauan absurd yang dia bawa ke dalam hidupnya yang biasa-biasa saja. Kekacauan yang, entah bagaimana, justru membuatnya merasa... hidup.
Bersambung