10/03/2025
Puasa, Suara Sunyi dari Perut Lapar: Kritik Al-Qur'an terhadap Kemewahan Digital
Oleh : Mukhlis Zarkasdi
Bulan Ramadhan, jutaan manusia menahan lapar dalam diam. Tetapi di balik kesunyian itu, ada pesan yang sering kali tenggelam: puasa adalah protes paling sunyi terhadap dunia yang semakin tidak adil.
Puasa, sebagaimana dititahkan Al-Qur'an (QS. Al-Baqarah: 183), bukan sekadar ritual spiritual. Ia adalah mekanisme pendidikan sosial yang membangunkan kesadaran bahwa lapar bukan hanya urusan individu, melainkan permasalahan kolektif. Namun di era digital, makna itu perlahan dikaburkan oleh budaya konsumsi yang justru semakin menebalkan dinding ketidakadilan.
Ironi di Meja Makan Digital
Hari ini, dunia tak pernah kehabisan makanan, hanya saja makanan lebih sering berakhir di linimasa daripada di meja makan orang miskin.
Sementara perut-perut lapar menunggu iftar di desa-desa dan sudut kota, timeline media sosial dijejali parade hidangan mewah dengan caption sederhana: "Alhamdulillah, buka puasa hari ini."
Di sisi lain, algoritma digital terus melipatgandakan konten berbuka bersama, tontonan orang makan berlebihan yang ironisnya paling banyak dinikmati oleh mereka yang perutnya sedang kosong.
Barangkali inilah dosa sosiologis era modern: kemiskinan dipertontonkan, kemewahan dirayakan, dan empati hanya menjadi komoditas di ruang digital.
Al-Qur'an telah memperingatkan ironi ini sejak 14 abad lalu dalam Surah Al-Ma'un โtentang orang-orang yang rajin beribadah, tetapi membiarkan lapar bertahan di rumah-rumah tetangganya. Di dunia digital hari ini, bentuknya mungkin berbeda, tetapi substansinya tetap sama: riak kesalehan virtual yang berbanding terbalik dengan solidaritas sosial.
Lapar sebagai Revolusi Sunyi
Puasa adalah protes diam-diam yang menohok kerakusan manusia.
Di saat dunia kapitalisme mengagungkan perut kenyang dan gaya hidup konsumtif, Islam justru mewajibkan lapar sebagai jalan menuju takwa. Tapi apakah lapar yang kita rasakan hari ini benar-benar membangunkan empati, atau sekadar jeda sementara sebelum festival konsumsi kembali dimulai?
Jika lapar tak melahirkan kepedulian, maka puasa hanya menjadi jeda sementara dalam siklus hedonisme.
Al-Qur'an menempatkan lapar sebagai bahasa solidaritas yang melintasi batas kelas sosial. Rasulullah SAW menegaskan bahwa siapa yang kenyang sementara tetangganya lapar, maka ia bukan bagian dari umatnya. Tetapi di era digital, solidaritas itu terlalu sering tergantikan oleh donasi berbasis aplikasi, di mana empati diklik, lalu dilupakan.
Puasa menuntut kita untuk melampaui itu, bukan sekadar memberi, tetapi merasa lapar bersama. Lapar yang disadari adalah bentuk perlawanan paling radikal terhadap sistem sosial yang membiarkan segelintir orang kenyang di atas kelaparan orang banyak.
Kritik Sunyi terhadap Kapitalisme Digital
Ironi terbesar puasa hari ini adalah ketika ia justru terjebak dalam perangkap kapitalisme. Ramadhan yang sejatinya momen spiritual, telah berubah menjadi pasar global. Dari paket iftar eksklusif hingga euforia belanja online bertajuk Ramadhan Sale. Iklan-iklan digital mendorong kita untuk menghabiskan lebih banyak dalam bulan di mana kita justru diperintahkan untuk menahan diri.
Sementara Al-Qur'an menyerukan "la'allakum tattaqun" agar kita menjadi manusia bertakwa, sistem kapitalisme digital membisikkan mantra sebaliknya: "la'allakum tasytarun" agar kita menjadi manusia yang terus berbelanja.
Dalam sunyi perut yang kosong, Al-Qur'an sesungguhnya sedang menawarkan revolusi diam-diam, melawan kerakusan sistemik yang memanfaatkan lapar sebagai komoditas baru.
Kenyang yang Revolusioner
Puasa seharusnya menjadi bahasa protes yang meruntuhkan tembok ketidakadilan. Jika 1,8 miliar muslim di dunia setiap Ramadhan berbagi satu kali buka puasa kepada mereka yang lapar, dunia akan mengenal revolusi sosial tanpa satu pun slogan.
Namun revolusi itu hanya mungkin jika puasa tidak berhenti pada ritual individu, tetapi menjelma menjadi kesadaran kolektif. Lapar yang kita rasakan seharusnya menjadi panggilan untuk menuntut sistem sosial yang lebih adil, bukan sekadar alasan untuk berburu takjil di marketplace.
Puasa adalah bahasa Tuhan yang paling sunyi, tetapi juga paling revolusioner. Ia mengajarkan bahwa dunia yang lebih adil hanya mungkin lahir dari perut-perut yang memilih kosong.
Saatnya Membiarkan Lapar Bicara
Di dunia yang semakin gaduh oleh pameran kekayaan dan hedonisme digital, puasa menawarkan bentuk perlawanan paling radikal: diam, lapar, dan berbagi.
Jika Ramadhan tahun ini hanya membuat kita kenyang, tetapi tak membuat kita lebih peduli, barangkali kita sedang menjalankan puasa yang sunyi, tetapi tanpa suara.
Namun jika lapar yang kita rasakan menjadi pemantik solidaritas sosial, maka puasa telah menemukan makna sejatinya: revolusi diam-diam melawan ketidakadilan.
Mungkin sudah saatnya kita bertanya,
"Apakah perut kita benar-benar kosong, atau justru empati kita yang sudah lama kering?"
Sorotan Sorotan Berita Viral AlQuran dan Al Hadist ALQUR'AN TERJEMAH INDONESIA าLENGKAPา Sholawat penyejuk hati