25/10/2025
Pernyataan KPK yang meminta Mahfud MD melaporkan secara resmi dugaan korupsi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) terdengar aneh sekaligus memprihatinkan. Mengapa? Karena seolah-olah penegakan hukum bergantung pada laporan individu, bukan pada data resmi negara yang sudah terbuka.
Padahal, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak tahun 2022 sudah merilis temuan lengkap soal penyimpangan proyek kereta cepat. Itu dokumen resmi negara. Ada potensi kerugian negara, ada pembengkakan biaya (cost overrun) yang janggal, ada pelanggaran tata kelola, bahkan ada indikasi penyalahgunaan kewenangan terkait penjaminan negara dan skema pembiayaan melalui BUMN.
Artinya: kalau KPK serius, bahan awal penyelidikan sudah ada. Bukti permulaan bukan harus datang dari Mahfud—cukup baca Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. Dalam logika hukum, korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). KPK memiliki kewenangan menyelidiki tanpa menunggu laporan, apalagi untuk perkara strategis yang menyangkut uang negara ratusan triliun seperti proyek kereta cepat.
Jadi wajar jika publik bertanya: Kenapa KPK meminta masyarakat membuktikan dulu. Kenapa lembaga antirasuah menunggu laporan, padahal alat bukti audit BPK sudah ada? Apakah ini indikasi keengganan menyentuh kasus besar? BPK bukan lembaga kecil. Laporannya mengikat secara hukum dan menjadi alat bukti resmi dalam proses penegakan hukum menurut UU.
BPK mencatat:
• Pembengkakan biaya ratusan triliun
• Perubahan skema bisnis dan pendanaan yang berpotensi membebani APBN
• Penyimpangan prosedur pengadaan
• Keputusan yang tidak sesuai prinsip kehati-hatian keuangan negara
Kalau ini bukan pintu masuk untuk penyelidikan, lalu apalagi?
Penutup
KPK tidak perlu menunggu Mahfud, saya, Anda, atau siapa pun membuat laporan. KPK hanya perlu membaca laporan BPK, lalu bekerja sesuai mandat UU: usut, bongkar, dan bersihkan permainan di balik proyek yang sejak awal penuh kejanggalan ini. Kalau audit resmi negara saja diabaikan, di mana lagi rakyat harus mencari keadilan anggaran publik?
Erizeli Jely Bandaro