25/10/2025
Lapar, di negeri ini, sering disederhanakan jadi urusan perut. Padahal ia adalah kisah panjang tentang tanah, kuasa, dan siapa yang berhak menentukan apa yang layak dimakan. Ia adalah narasi politik paling tua, tentang siapa yang menanam, siapa yang memanen, dan siapa yang memonopoli rasa kenyang.
Di balik setiap piring nasi, tersimpan sejarah panjang kebijakan yang tak pernah benar-benar berpihak. Pangan lokal, yang dulu jadi lambang ketahanan dan keberagaman, perlahan tergusur oleh satu warna tunggal bernama beras. Dan dari situlah, lahir romantika rasa lapar yang sebenarnya, lapar bukan karena tak ada makanan, tapi karena makna pangan itu sendiri telah direbut dari tangan rakyat.
Mungkin banyak dari kita belum menonton video pendek berjudul “Surat dari Sofia untuk Presiden Prabowo.” Atau bahkan belum pernah mendengar, namanya Sofia, seorang anak dari sekolah rakyat di wilayah timur Indonesia. Dalam video itu, Sofia bercerita dengan polos bahwa di rumah, setiap hari ia hanya makan nasi putih dengan garam. Kadang, jika beruntung, ibunya menambahkan rebusan daun ubi. Satu piring sederhana yang bagi sebagian orang mungkin tampak sepele, tapi bagi Sofia, itu adalah perjuangan. Kini setelah ia masuk sekolah rakyat, ia bisa makan nasi lengkap dengan lauk-pauk. Dan itu, katanya, terasa seperti mimpi. Sebuah mimpi sederhana, bisa makan dengan layak.
Tidak ada yang salah dari video itu. Justru menghangatkan hati melihat seorang anak kecil tersenyum di depan piring nasinya. Tapi ada yang perlu kita renungkan, kenapa negara sering membingkai pangan sebagai bentuk kemurahan hati pemimpin kepada rakyat, bukan sebagai hak dasar manusia yang seharusnya dijamin sejak lahir? Pernahkah kita sejenak memikirkan hal itu?
Setiap kali pemangku kebijakan menyerahkan bantuan beras, sorotan kamera pun ramai. Ucapan bantuan pangan untuk rakyat mengudara di televisi. Tapi kita jarang mendengar narasi sebaliknya, bahwa makan dengan layak, tinggal dengan layak, hidup dengan bermartabat, bukanlah hadiah, melainkan hak. Dalam paradigma seperti ini, rakyat selalu menjadi objek penerima, bukan subjek penentu. Padahal rakyatlah yang menanam, rakyatlah yang menghidupi bumi ini, dan rakyatlah yang paling tahu bagaimana menjaga tanah agar tetap hidup. Mereka tidak butuh belas kasihan, mereka butuh keadilan. Keadilan untuk bisa makan dari hasil kerja mereka sendiri, bukan dari belas kasih pemangku kebijakan.
Anak-anak di Indonesia timur, seperti Sofia dan teman-temannya, atau bahkan kita saat ini yang di Jawa, kita bukan sekadar korban kemiskinan. Kita adalah hasil dari kolonialisasi pangan yang diwariskan negara sejak dulu kala. Sejak era 1970-an, beras dijadikan simbol kemajuan nasional. Melalui program Bimbingan Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas), petani di seluruh Indonesia didorong menanam padi dengan bibit unggul bersubsidi.
Kedengarannya hebat, bukan? Tapi di baliknya, ada logika ekonomi yang menjerat, benih yang diberikan tidak bisa ditanam kembali, sehingga setiap musim tanam petani harus membeli benih baru. Pupuk dan pestisida kimia menjadi kewajiban, tanah kehilangan kesuburannya, dan keanekaragaman hayati perlahan hilang. Menurut laporan Pikul Kupang (2024), kebijakan itu mengubah wajah pertanian Indonesia dari beragam menjadi seragam. Dari biji-bijian lokal menjadi padi monokultur. Dari petani yang mandiri menjadi petani yang bergantung. Lihat saja petani sekarang, beli benih tiap musim, pupuk mengandalkan subsidi, lagi-lagi bantuan pemerintah. Dia yang menyebabkan dia p**a yang jadi pahlawan.
Dan sejak itu p**a, kita diajarkan bahwa makanan pokok bangsa ini adalah beras, seolah tak ada pilihan lain. Padahal negeri ini pernah berdiri di atas ratusan jenis pangan lokal: sagu, sorgum, jagung, umbi-umbian, kelor, dan talas.
“Belum Makan Kalau Belum Makan Nasi” Kalimat itu begitu lekat di kepala kita. Terdengar sederhana, tapi sesungguhnya adalah bentuk hegemoni yang paling halus. Ia mengubah cara pikir, cara pandang, bahkan identitas bangsa. Dulu, kita bangga menjawab di buku pelajaran SD, “Makanan pokok penduduk Papua adalah sagu.” Kini, sagu dianggap makanan orang miskin. Ubi dianggap kuno. Dan beras, yang bahkan tak tumbuh alami di banyak wilayah timur, menjadi tolok ukur kesejahteraan. Di Papua dan NTT, makanan instan dan beras bantuan menggantikan ubi dan sagu. Padahal keduanya lebih mudah ditanam, lebih bergizi, dan tahan terhadap perubahan iklim. Tapi di negeri yang lapar akan simbol modernitas, logika kesederhanaan itu kalah oleh citra.
Seperti yang pernah ditulis Franz Magnis-Suseno, penjajahan modern tidak lagi datang dengan senjata, melainkan dengan piring makan dan pasar. Kita tak lagi dijajah dengan kekerasan, tapi dengan selera. Beras harus premium, alhasil beras pun dioplos. Itulah perang pangan kita sekarang.
Kini yang tumbuh bukan lagi pangan, tapi ketergantungan. Dulu, bangsa ini bisa hidup dari hasil bumi yang beragam.Kini, kita sibuk impor beras, gandum, dan kedelai, padahal tanah kita subur, laut kita luas, dan langit kita penuh rahmat. Bukan karena kita tak mampu, tapi karena sistem yang membuat kita lupa pada akar sendiri. Dari masa Orba hingga kini, proyek demi proyek datang silih berganti, semuanya memakai nama yang manis, swasembada, ketahanan pangan, food estate. Tapi hasilnya sama, lahan rakyat tergusur, hutan dibuka, dan masyarakat adat kehilangan tanah warisannya. Tempo (2023) mencatat, sebagian besar proyek food estate di Indonesia gagal karena minim kajian lingkungan dan air. Alih-alih menumbuhkan pangan, justru menumbuhkan kerentanan baru, longsor, kekeringan, dan kehilangan sumber kehidupan.
Tulisan ini tidak untuk menyalahkan siapa pun, tidak si A, tidak si B, tidak si Z. Tapi untuk mengajak kita merenung, sejak kapan kita membiarkan makna pangan direduksi jadi sekadar soal perut? Pangan sejatinya adalah bagian dari identitas, dari budaya, dan dari hubungan spiritual dengan tanah. Ketahanan pangan tidak datang dari proyek besar, tapi dari penghormatan terhadap apa yang tumbuh alami di bumi kita sendiri.
Tuhan sudah menciptakan setiap daerah dengan karunia masing-masing. Di timur, Ia menumbuhkan sagu yang tahan panas dan kelor yang kaya gizi. Di selatan, ada ubi dan jagung yang tumbuh tanpa perlu banyak air. Lalu mengapa kita memaksa tanah menumbuhkan padi di tempat yang bukan habitatnya Manusia, katanya, makhluk paling berakal. Tapi kadang akal itulah yang menjerumuskan, ketika nafsu lebih besar dari syukur.
Mungkin, Sofia dan kawan-kawannya kini bisa makan lebih baik di sekolah rakyat. Tapi kedaulatan pangan tidak lahir dari bantuan beras. Ia tumbuh dari tanah, dari pengetahuan, dan dari tangan masyarakat yang menjaga bumi. Apakah orang tua Sofia akan terus makan nasi dan garam sementara anaknya makan nasi dan ayam? Apakah kesenjangan itu akan terus diwariskan, seperti nasib yang tak kunjung berubah?
Atau mungkinkah, suatu hari nanti, Sofia bisa duduk bersama ibunya, menikmati ubi rebus, sayur kelor, dan ikan asin hasil laut mereka sendiri, tanpa merasa malu, tanpa merasa tertinggal? Itulah romantika rasa lapar yang sesungguhnya, bukan lapar karena tak makan, tapi lapar akan keadilan dan kedaulatan.
Tulisan ini bukan untuk menyalakan api kebencian. Bukan untuk menghujat pemerintah, bukan p**a untuk menolak kemajuan. Kita hanya diajak untuk melihat dengan jernih, bahwa pangan bukan sekadar proyek, tapi nafas kehidupan. Kita semua, rakyat, petani, nelayan, pemimpin, dan pemangku kebijakan, punya peran masing-masing. Pemangku kebijakan harus mendengar suara tanah, bukan hanya suara investor. Rakyat harus menjaga dan menanam kembali yang hilang. Dan kita semua harus belajar kembali, bahwa kenyang tidak harus seragam.
Mari bergerak bersama, bukan untuk marah, tapi untuk sadar. Sadar bahwa perubahan tidak lahir dari kemarahan, tapi dari kesadaran yang tumbuh pelan-pelan, seperti benih yang menembus tanah, mencari cahaya.
Sebab di balik rasa lapar, selalu ada harapan yang menunggu untuk tumbuh.
---
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik. Tulisan terinspirasi dari akun pikul_kupang, yang telah dikembangkan.