16/10/2025
1. Orang-orang tahu gak yaaa
Di sebuah pesantren di pelosok desa, ada seorang wali santri sowan sambil membawa tiga ikat kangkung. Sambil air matanya menitik dia berkata, "Maturnuwun sanget bu Nyai, tiga tahun lare kulo teng mriki, mboten mbayar nopo-nopo. Kulo pikir lek tiyang alit mboten mungkin saget mondokne lare. Tapi njenengan tampi. Mangkeh nek kulo gadah yotro, kulo cicil alon-alon, nggih, Bu Nyai.
Lalu bu Nyai tersebut sambil tersenyum berkata, "Mboten usah dipikir, Buk. Nek wonten arto njenengan tabung kagem njenengan kiyambak. Seng penting njenengan sehat. Seng penting larene krasan teng mriki, purun ngaji."
2. Orang-orang tahu ga yaa
Ada banyak bu Nyai yang kalau santrinya menghadap, tidak diizinkan duduk bersimpuh di bawah. Kalau santri itu ngeyel, bu Nyai akan menariknya dan mendudukkannya di kursi.
Bukan di seberangnya, tapi tepat di sampingnya. Lalu Bu nyai merangkul pundaknya, menatap matanya, dan bertanya, "Sampeyan sehat a mba? Kok koyo sedih kenopo? Ndang crito o."
Lalu santri tersebut tangisnya tumpah mengingat betapa berat hari-hari yang dilalui. Betapa banyak beban di hatinya.
Bu nyai mendengarkan dengan baik, menerima tangisnya, mendoakannya, dan santri tersebut merasa tidak pernah sendiri lagi.
3. Orang-orang tahu ga yaa
Ada seorang santri broken home dan nyaris putus asa karena baginya dunia tidak adil. Lalu di suatu pagi setelah setoran ngaji, bu nyai bertanya tentang hidup dan hatinya, lalu sambil tersedu si anak bercerita semua yang dia alami.
Bu Nyai sambil air matanya menganak sungai berkata, "Abot ya Nak tibae dadi sampeyan?"
Anak itu mengangguk lemah dan semakin tersedu karena merasa itulah pertama kalinya ada seseorang memahami perasaannya.
Hati anak itu yang tadinya sesak menjadi jembar setelah Bu Nyai berkata; "Wes ojok sedih. Sek onok Aku. Mulai saiki Ibukmu Aku."
🥹
4. Orang-orang tau gak yaa
Ada seorang bu Nyai yang berkata kepada tamu jauh yang memuji betapa megah dan luas pesantrennya, dan betapa kaya raya beliau.
"Nggih, pondok niki megah, leres. Alhamdulillah. Tapi nek njenengan ngendikan kulo niki sugih, mboten. Sak estu taseh sugihan njenengan. Kulo niki teng mriki mpun mboten gadah nopo-nopo, tanah dan bangunan hektaran niki sedanten gadane pondok, wong sampun kami wakafkan semuanya ke pondok. Kami cuma punya satu kamar yang kami tempati, sak estu ingkang hak kami hanya kamar mawon, bahkan bangunan di atas kamar kami nggih gadane pondok, wong niku kamare lare-lare. Kulo niki namung pekatik, kulo namung nunut gadane pondok"
🥹
5. Orang-orang tahu gak yaa
Ada bu Nyai yang punya lemari khusus berisi barang-barang untuk dihadiahkan kepada santrinya yang sowan.
Kalau ke luar kota, dan mampir belanja, beliau akan mborong sembarang kalir, daster, jilbab, seprei, dan lainnya, tapi bukan buat dirinya sendiri. Kadang diminta putra putrinya pun malah diamuki, karena itu 'jagan' buat disimpan untuk santrinya.
Ikatan bu Nyai dengan para santri tidak sebatas ketika di pondok. Setelah jadi alumni malah tambah akrab.
Nanti ketika santri itu sowan dan ngaturi amplop, beliau menerima itu untuk menjaga perasaan santrinya, dan bilang menerimanya untuk pembangunan pondok, bukan untuk dirinya sendiri.
Lalu sambil memeluk santrinya, beliau ngasih tali asih tadi , trus nyangoni, "iki gaenen tumbas bakso ambek bojomu yaaa."
Bu Nyai tertawa lebar dan santrinya menerimanya penuh haru karena merasa dicintai.
6. Orang-orang tau gak yaa
Ada bu Nyai yang diam-diam mengamati bakat masing-masing santrinya, dan merasa wajib mengembangkan bakat itu untuk kemudahan hidup santrinya kelak.
"Mbak, sampeyan seneng nulis ta? Akeh pora kancamu seng seneng nulis? Ta celukne guru cek tambah pinter ya?"
Lalu Bu Nyai bilang kepada pengurus, "Tulung arek-arek putri sering gawekno pelatihan ya, mbuh nulis, mbuh masak, mbuh kerajinan tangan, mbuh rias. Jahit ya gak popo. Trus kursus bahasa Inggris dan publik speaking iku ya penting. Pokok santriku kabeh terutama seng wedok wedok ojo mek iso ngaji tok. Mene-mene kudu survive kabeh. Santriku suk mben kudu penak kabeh uripe. Kuabeh kudu penak. Ojo onok santriku seng nelongso."
Ya Allah bu nyai🥹
7. Orang-orang tau ga ya?
Ada seorang Kiai dan bu Nyai yang menghardik anak kandungnya sendiri sampai menangis teriak-teriak karena anaknya yang masih kecil itu berkata dan berlaku tidak sopan kepada mbak-mbak yang momong dia. "Mbak-mbak itu mondok kesini untuk ngaji. Dia nemeni kamu karena hatinya baik. Itu bukan tugasnya. Kamu harus tau tata krama. Ayo minta maaf, tidak boleh diulangi marah marah kayak gitu.
Santrinya menunduk dan lega karena merasa dibela.
8. Orang-orang tau ga ya?
Ada banyak kiai yang walaupun di depannya setiap waktu daharan enak enak tersaji, beliau tetap puasa sunnah bahkan di usia senjanya.
Boso jowone cegah dahar, lawan guling.
Ketika ditanyakan kepada bu Nyai, kenapa dari muda bahkan sudah sepuh masih terus berpuasa, bu Nyai menjawab, "Terose Abah, kagem nirakati santri-santrine."
(Nggih Leres, kami ini ndableg dan gak pernah bisa berdoa sendiri.)
🥹
9. Orang-orang tau ga ya?
Ada banyak kiai yang tetep kerso mendatangi rumah santrinya di pelosok, dengan medan yang teramat sulit, tapi wajahnya tetap bungah.
Tidak satupun kalimatnya mengecilkan hati santrinya yang sedang belajar menapaki hidup.
Di halaman rumah, sambil menepuk bahu santrinya beliau berkata, "ditlateni ae, Nang, saiki mek ono cah telu ngaji, gak popo kui, seng penting ilmune manfaat, mengko suwe-suwe nang kene lak ewon santrimu."
Lalu santri tersebut menangis sampai relung hati.
🥹
Kami punya kedekatan yang sulit dijelaskan. Beliau-beliau itu sudah cinancang ing jantung. Tertambat di hati.
Tidak jarang, hanya dengan meraih tangannya dan bersalaman, air mata kami berderai derai, sebab kami tahu, dari segala kerumitan dan keruwetan hidup ini, ada sepasang telapak tangan yang tak henti-hentinya mendoakan kami. Itulah tangan beliau.
Kadang hanya melihat beliau tersenyum, itu sudah cukup jadi obat duka lara kami. Tergambar jelas di wajah kami suara lembut beliau ketika kami masih santri baru dulu, " Ojo sedih, mulai saiki wong tuamu aku." Sejak saat itu kami tahu, kami tidak pernah sendiran berdiri.
Kadang hanya melihat sosok beliau dari kejauhan, itu sudah cukup menguatkan lagi langkah kami yang goyah. Kami mengingat dengan baik saat sowan pamit boyong dan beliau berkata, "Mugi-mugi hassil maqsud, Nak."
Tenang, badai memang berlalu lalang, tapi doa beliau pasti menyertai. Itu yang kami yakini.
Kadang saat sedang usaha kami menemukan jalan buntu, suara beliau saat ngaji terdengar lantang di ingatan, "Tenang, gusti Allah Sugih."
Kami sangat dekat. Kadang kedekatan itu melebihi kedekatan kepada orang tua kami sendiri. Kedekatan itu cuma kami yang tahu.
Kami sadar, kami ini bukan trahing kusuma, bukan rembesing madu, bukan wijiling atapa. Bukan anaknya siapa-siapa. Karena kasih sayang beliau, kami jadi serupa cikal apupus alimar, tunas kelapa berdaun sutra, mendapat banyak keberuntungan.
Di pesantren, kami menyebutnya keberkahan, keberkahan itu bukan harta benda, keberkahan itu ziyadatul khair, bertambahnya kebaikan. Keberkahan adalah rasa tenang.
Kamu tidak mungkin tahu.
Masiyo omonganmu koyo bisa njara langit, masiyo caturanmu ora karoan bangkot pucuke, byung byung koyo tawon kambu, itu sama sekali tidak membuat cinta kami berkurang.
Kami dengarkan, kami akan bebenah, tapi cinta kami tidak akan berkurang. Kami tetap bahagia tapi tidak akan kehilangan kewaspadaan.
Walaupun disesep getihe, dimamah balunge, mau dilemahkan dari dalam, kami tetep bangga jadi santri, kami tetep mencintai guru-guru kami.
Seterusnya. Selama-lamanya.