01/11/2025
Bab 3
Larasati memberanikan diri menuruni tangga. Suaranya ber getar ketika bertanya.
“M—maaf … kamu siapa? Cari siapa ke sini?”
Perempuan itu berdiri perlahan. Senyumnya tak surut.
“Namaku Sartika.” Ia melangkah mendekat, suaranya lembut tapi penuh percaya diri. “Aku datang untuk menemui Rauf. Aku … ke;kasih masa kecilnya.”
Jan tung Larasati seperti dihan tam batu. Matanya mem belalak, kakinya mun dur setapak tanpa sadar. “Kekasih …?”
Sartika mengangguk pelan, tatapannya melayang ke arah poto keluarga yang tergan tung di dinding. Poto Rauf bersama Amira saat pernikahan mereka. “Dulu aku dan Rauf saling mencintai. Tapi takdir memisahkan kami. Dan sekarang … karena istrinya sudah meni nggal, aku datang untuk memperjuangkan cinta itu kembali.”
Kata-kata itu mena mpar keras hati Larasati. Tangannya gemetar, wajahnya memucat.
"Jadi … selama ini Mbak Amira hanya peng;ganti? Lalu aku? Aku juga … hanya pengganti dari peng ganti?" pikirnya
Ia meremas jemari sendiri. Kepalanya terasa berat.
Sartika mena tapnya lekat-lekat. “Kalau boleh tahu … kamu ini siapa?”
Larasati mem buka mulu tnya, ingin berkata kalau ia istri Rauf sekarang, tapi lida hnya kelu. Ada sesuatu yang meng;ganjal. Ia hanya mampu terbata. “A—aku.”
Belum sempat ia melanjutkan, suara langkah cepat terdengar. Bu Sari muncul dari arah dapur, matanya langsung melebar begitu melihat Sartika. Wajahnya merah padam menahan emosi.
“Kamu?!” teriak Bu Sari, lalu melangkah cepat dan langsung men dorong bahu Sartika. “Mau apa kamu datang ke sini?! Jangan ganggu menantuku!”
Sartika terkejut. “Menantu?!” Alisnya berkerut dalam. Ia menoleh pada Larasati, lalu kembali ke arah Bu Sari. “Bukankah Amira sudah meni;nggal?”
Napas Bu Sari memburu, matanya ta jam. “Ya, Amira memang sudah meni nggal. Dan sekarang, Larasati menggantikannya. Dia istri Rauf. Dia menantuku!”
Perasaan Larasati seketika ter cabik-ca bik. Kata pengganti itu menusuk telinganya, menem bus jan tungnya. Ia menunduk, air mata hampir jatuh. Dengan tergesa, ia berlari ke lantai atas, masuk ke kamar.
---
Di ka mar, Larasati meringkuk di pembaringan. Bahunya bergetar hebat. Ia memeluk lutut, menatap kosong pada kedua bayi yang tertidur di ayunan. Napasnya terputus-putus, air mata jatuh tanpa bisa dibendung.
“Pengganti … aku cuma pengg;anti …,” bisiknya lirih.
Sementara itu, di bawah, suasana semakin memanas. Sartika meng angkat dagu. “Kamu ini stres, Bu Sari. Menikahkan adik Amira dengan Rauf? Itu … gila! Siapa yang waras akan melakukan itu?”
Bu Sari mendengus marah, lalu tiba-tiba menampar p**i Sartika keras. Plak!
“Yang s tres itu kamu, Sartika! Kamu berusaha membuat dirimu mirip dengan Amira. Rambutmu, pakaianmu, bahkan caramu bicara. Jangan kira aku nggak sadar. Bagaimanapun kamu meniru, kamu nggak akan pernah bisa mengg antikan Amira!”
Wajah Sartika memerah, tapi matanya berkilat penuh amarah. “Seharusnya Rauf menikahiku, bukan Amira! Dulu Amira merebut Rauf dariku. Dan sekarang setelah Amira tiada … giliran adiknya yang merebut Rauf dariku!”
Bu Sari terdiam sejenak, lalu matanya menatap taj am menusuk. “Tidak ada yang merebut Rauf darimu, Sartika. Karena dari awal, Rauf bukan milikmu.”
Sartika ter nganga, wajahnya pucat karena kalimat itu. Bu Sari menunjuk pintu dengan tegas.
“Pergi dari rumah ini sekarang juga! Aku nggak mau lihat wajahmu lagi.”
Sartika men;dengus, lalu mengambil tasnya dengan kasar. “Kalian akan menyesal.” Dengan langkah meng hentak, ia keluar dan membanting pintu.
Bu Sari meng hela na;pas berat. Ia menatap tangga yang sepi, berharap Larasati baik-baik saja. Perlahan ia naik, lalu mengetuk pintu kamar. “Laras … Nak, Ibu masuk ya?”
Tak ada jawaban. Bu Sari mencoba memutar gagang, tapi pintu terkunci. Ia menempelkan telinganya, hanya terdengar suara samar Larasati terisak.
Hatinya pi;lu. “Mungkin dia butuh waktu …,” gumamnya lirih. Ia pun memutuskan kembali ke kamarnya, memberi ruang bagi menantu mudanya itu.
---
Waktu berjalan. Matahari tenggelam, lampu-lampu rumah mulai dinyalakan. Jam dinding me nunjuk pukul tujuh malam ketika suara pintu depan ter buka. Abdul Rauf baru saja pulang dari barak.
Tubu hnya lelah, wajahnya kaku. Ia melepas sepatu dan menaruh topinya di gantungan. Aroma masakan tercium samar dari dapur. Alisnya berkerut.
Ia melangkah ke dapur, mendapati ibunya sedang menyiapkan makanan di meja.
“Ibu? Kenapa masak sendiri? Mana Laras?” tanya Rauf dengan suara datar.
Bu Sari meno leh, tersenyum tipis meski wajahnya masih menyimpan letih. “Laras sedikit lelah. Seharian dia mengurus dua ba yi, jadi biar Ibu yang masak.”
Rauf terdiam sejenak. Ia hanya mengangguk pelan, tak banyak komentar. Namun, dari sorot matanya, jelas ada sesuatu yang meng;ganjal.
Setelah makanan tersaji, Bu Sari menoleh pada putranya. “Rauf, coba panggil Laras. Ajak dia makan bersama kita.”
Tanpa berkata banyak, Rauf menurut. Ia me naiki tangga, langkahnya mantap. Pintu kamar ia buka perlahan setelah mengetuk singkat.
Di dalam, Larasati berdiri di dekat jendela. Tubu;hnya te gak tapi rapuh, matanya kosong menatap langit malam.
Rauf sempat ter paku melihatnya. Ada kesepian dalam tatapan itu yang bahkan ia sendiri sulit pahami.
“Laras ... ayo makan. Ibu sudah masak.” suaranya berat, datar, seperti biasa.
Larasati menoleh pelan. Pandangannya jatuh pada wajah Rauf. Seketika, kata-kata Sartika tadi terngiang lagi. “Amira merebut Rauf dariku ....”
Dalam hati Larasati menjerit. “Jadi benar … Mbak Amira dulu hanya pengganti Sartika. Dan aku … aku ini apa? Aku juga cuma pengganti. Pengganti dari pengganti.”
Tatapannya tak lepas dari wajah Rauf. Ia ingin mencari jawaban, tapi yang ia temukan hanya dingin yang sama.
Rauf mengernyit. “Kenapa lihat aku begitu?”
Larasati mundur setapak. Tangannya mengepal. “Stop, Kapten … cukup. Aku kecewa sama kamu.”
Rauf membeku, matanya sedikit melebar. “Kecewa? Apa maksudmu?”
Larasati me nggigit bibirnya, air mata mulai mengalir. Ia menggeleng cepat. “Sudahlah … aku nggak mau bahas.”
Rauf menatapnya dalam, jelas kebingungan. Namun, ia memilih tak bertanya lebih jauh. Bahunya ditarik tegang, suaranya kembali dingin.
“Ibu yang minta aku memanggilmu makan. Kalau kamu nggak mau, terserah. Yang penting aku sudah sampaikan.”
Ia berbalik, melangkah keluar ka mar tanpa menunggu jawaban.
Sementara Larasati tetap berdiri di sana, air matanya jatuh semakin deras. Pandangannya kembali pada langit malam, hatinya terasa kosong. Air matanya pun menetes.
------
Tamat di KBM
Judul : Terpaksa Turun Ran jang (Dinikahi Kakak Ipar)