10/10/2025
1. “Mengamankan 300 Triliun APBN”
Tapi, “mengamankan” itu definisinya bagaimana? Apakah yang diklaim 300 triliun itu telah benar-benar masuk ke kas negara? Atau itu angka potensial yang belum diverifikasi audit independen? Dan kalau sudah “aman”, kenapa kita masih mendengar laporan proyek mangkrak, korupsi lokal, anggaran tersendat di daerah?
Tanpa audit publik yang transparan dan penjelasan rinci, klaim “300 triliun aman” bisa jadi lebih retorika daripada fakta.
2. “Surplus Produksi Beras”
Tapi, surplus di tingkat nasional belum tentu sampai ke pinggiran desa atau wilayah terpencil. Apakah surplus ini menyebabkan harga beras stabil, atau malah petani dipaksa jual murah karena rantai distribusi dikuasai pedagang besar? Dan kenapa, meskipun surplus, impor beras masih muncul di laporan tertentu? Apakah surplus itu diukur dengan cara yang sama di semua provinsi?
Harus diperiksa: surplus itu apakah “logistik nasional” atau hanya “surplus di area utama”, sementara daerah lain tetap defisit.
3. “MBG menjangkau 20 juta penerima manfaat”
Ironinya, sejak diluncurkan, MBG juga mencatat banyak kasus keracunan massal. Di Kalimantan Selatan, misalnya, 130 siswa keracunan dilaporkan usai makan MBG.
Di banyak daerah lainnya, ditemukan belatung dalam paket MBG, serpihan kaca, ikan hiu goreng (yang kandungan merkuri-nya dipertanyakan) — laporan semacam ini muncul di media lokal dan analisis kritis.
Menurut catatan JPPI, hingga September 2025 terdapat 6.452 kasus keracunan MBG yang dilaporkan masyarakat.
Jadi, “menjangkau 20 juta” bukan otomatis berarti aman, berkualitas, dan dapat dipercaya.
4. “Realisasi investasi semester I 2025 = Rp942 triliun”
Tapi, berapa dari investasi itu yang betul-betul proyek nyata di lapangan (pabrik, infrastruktur, tenaga kerja)? Jangan sampai hanya janji MoU, potongan dokumen Izin, tanpa realisasi di tanah.
Selain itu, investor bisa datang hanya ke kota-kota besar; daerah terpencil mungkin tidak merasakan apa-apa.
Dan apakah “investasi” itu bersih (deduct ekspor modal) atau bruto? Kita butuh laporkan jenis-jenis investasi: FDI, domestik, infrastruktur publik, dan seberapa besar efeknya terhadap penciptaan lapangan kerja. Tanpa transparansi jenis dan realisasi lapangan nyata, angka 942 triliun bisa menjadi “angka headline” kosong.
5. “100 Sekolah Rakyat telah berdiri”
Tapi, “berdiri” bagaimana? Bangunan benar-benar ada, guru ditempatkan, siswa aktif, atau hanya sekadar pengumuman resmi?
Apakah sekolah tersebut memiliki fasilitas layak (air bersih, WC layak, listrik, buku)?
Dan apakah sekolah rakyat ini menjadi solusi untuk daerah tertinggal, atau hanya di wilayah yang sudah relatif berkembang?
Klaim jumlah saja tidak cukup — harus ada data kualitas dan bagaimana sekolah‐sekolah itu menyentuh siswa di wilayah yang paling membutuhkan.
6. “Gaji guru ASN meningkat, tunjangan guru non-ASN diperkuat”
Namun kenyataannya, kenaikan mungkin tidak merata. Guru di daerah terpencil seringkali masih jauh dari “kenaikan ideal”.
Untuk guru non-ASN (honorer, guru sukarela), tunjangan diperkuat—tapi faktor birokrasi, kualifikasi, penyaluran dana sering menjadi hambatan. Apakah semua guru non-ASN benar-benar terdata dan mendapatkan tunjangan? Ada laporan sebagian menerima terlambat, sebagian tidak.
Jadi survei lapangan diperlukan: apakah guru di pedalaman merasakan dampak nyata, atau hanya guru di kota besar yang “disorot”.
7. “Pembangunan 80.000 Koperasi Desa Merah Putih”
Namun koperasi selama ini dikenal rentan pada tata kelola lemah, kapasitas manajemen terbatas, potensi kredit macet, dan penyalahgunaan dana lokal.
Jangan sampai koperasi ini hanya jadi slogan, “koperasi siluman” yang hanya berwajah koperasi tapi di belakangnya bukan melayani anggota pedesaan.
Koperasi yang sehat memerlukan pengawasan, pembinaan, transparansi akut — kalau tidak, dana besar bisa bocor lewat celah-celah lokal.
Saya skeptis: dari 80.000 koperasi, berapa persen yang benar-benar aktif dan produktif? Apakah mereka sudah menyentuh rakyat kecil, bukan cuma menjadi koperasi kosong?