07/12/2025
Hujan jatuh tanpa jeda,
tapi yang runtuh duluan adalah harapan warga.
Sungai yang dulu nyanyiin damai,
kini bawa kayu, luka, dan cerita yang pahit sampai ke hilir.
Rumah hanyut, suara anak kecil hilang,
ibu-ibu memanggil nama yang tak lagi dijawab angin malam.
Dan kita menangis…
di tanah yang dulu subur, kini penuh getir.
Air bah bawa pergi hari kemarin,
meninggalkan sisa detik yang nyangkut di atap rumah.
Kenapa bumi harus disiksa lebih dulu
baru kita sadar… dia cuma minta dijaga?
Di Aceh Utara, atap rumah jadi pelarian,
tapi siapa yang menampung hati yang ikut tenggelam?
Jalan patah, jembatan seperti menyerah,
desa-desa terdiam, sinyal pun tak sempat pamit.
Di antara karung bantuan dan doa panjang,
ada bapak yang duduk menatap lumpur,
membayangkan ladang yang tak akan sama lagi besok pagi.
Jika hutan bisa bicara,
mungkin dia sudah teriak sebelum longsor datang.
Jika sungai punya rasa,
mungkin dia juga capek menahan beban yang bukan salahnya.
Tuhan, kuatkan langkah yang tersisa,
karena air mata kami sudah jadi bagian dari arus.
Dan kita menangis…
bukan karena tak kuat,
tapi karena terlalu sayang pada tanah ini.
Sumatera berdarah, tapi masih bernapas—
biarkan kami bangun lagi,
meski dengan tangan gemetar dan hati yang sobek separuh.
Angin malam bawa sisa doa,
semoga esok tak lagi muram.
Tapi kalau pun masih hujan,
kami tetap berdiri…
walau dengan dada yang basah oleh air mata sendiri.