03/08/2025
Fitnah di Zaman Revolusi Media Sosial: Sebuah Tinjauan Tasawuf
____________
Di tengah gempuran revolusi media sosial saat ini, dunia seperti berlari terlalu cepat. Informasi menyebar dalam hitungan detik, dan batas antara fakta dan fitnah menjadi kabur. Banyak orang tak sadar sedang menanam benih fitnah hanya lewat satu klik: membagikan berita yang belum tentu benar, mengomentari aib orang lain, atau menyebarkan kabar yang mengandung hasad, ghibah, dan su’udzon. Fenomena ini bukan sekadar masalah sosial—dalam pandangan tasawuf, ini adalah cerminan krisis spiritual yang dalam.
Fitnah dalam Perspektif Tasawuf 😡😖😤
Dalam tasawuf, fitnah tidak hanya dilihat sebagai kejahatan sosial, tetapi juga sebagai kegelapan hati (zulmat al-qalb). Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa lisan (dan hari ini: jari dan gawai) adalah pintu paling besar menuju kebinasaan. Apa yang keluar dari mulut atau tersebar melalui tangan, mencerminkan apa yang tertanam dalam hati.
Seorang salik (penempuh jalan spiritual) diajarkan untuk menjaga lidah dan mata hati. Ketika dunia maya memberi ruang bebas bagi lisan digital, maka latihan tasawuf menuntut kontrol batin yang lebih dalam lagi. Syekh Abdul Qadir al-Jilani pernah berkata, “Lidah adalah anak panah hati. Jika hatimu busuk, lidahmu akan melukai banyak orang.”
Media Sosial dan Penyebaran Fitnah 😡🤬😮💨🤫😖🤑🤢
Revolusi media sosial telah menciptakan echo chamber yang memperkuat hawa nafsu: kebutuhan untuk diakui, untuk dianggap tahu, atau bahkan untuk melampiaskan rasa iri dan dendam. Di sinilah fitnah menemukan panggung megahnya—tanpa perlu bukti, tanpa pertanggungjawaban, dan seringkali tanpa rasa malu.
Menurut Ibn ‘Ajibah, seorang sufi Maroko abad ke-18, fitnah adalah tanda dari hati yang belum mengenal kehadiran Tuhan secara hakiki. “Orang yang hatinya dipenuhi Allah tidak akan sibuk dengan urusan aib makhluk,” tulisnya dalam Bahr al-Madid. Di zaman media sosial, makna ini menjadi sangat relevan. Seorang sufi tidak akan mudah terprovokasi atau ikut menyebarkan fitnah, karena dia memandang dunia dengan pandangan kasih dan kebeningan.
Ulama Sufi Modern dan Tantangan Digital
Syekh Muhammad al-Yaqoubi, seorang sufi dan ulama kontemporer dari Suriah, dalam salah satu ceramahnya mengingatkan bahwa “media sosial adalah medan jihad baru bagi jiwa.” Ia menekankan pentingnya tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa) agar seseorang tidak menjadi budak dari notifikasi, like, dan komentar yang berujung pada riya dan ghibah. Menurutnya, klik yang sembrono bisa lebih berbahaya dari pedang, karena menyebar lebih luas dan menancap lebih dalam di hati manusia.
Begitu p**a Habib Umar bin Hafidz, ulama sufi dari Yaman, sering mengingatkan murid-muridnya tentang bahaya menyebarkan berita dusta. “Setiap kata yang keluar dari mulut atau jarimu akan ditanya kelak, karena Allah Maha Mendengar dan Melihat,” katanya. Ia mengajarkan bahwa diam adalah salah satu bentuk ibadah jika di hadapan kebatilan dan fitnah yang tak kita ketahui kebenarannya.
Menjadi Salik di Dunia Digital 👳🏻♀️👳🏻♀️👳🏻♀️💡
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh fitnah ini, tasawuf menawarkan jalan sunyi: memperlambat, merenung, dan mengembalikan kesadaran bahwa setiap aktivitas digital pun punya nilai spiritual. Seorang salik diajarkan untuk menyaring informasi seperti menyaring makanan—apa yang dimakan hatinya, akan membentuk jiwanya.
Zikir, tafakur, dan khalwat digital—yaitu menyendiri sejenak dari dunia maya—menjadi latihan spiritual baru yang dibutuhkan. Dunia boleh gaduh, tapi hati seorang salik harus tetap tenang, tidak mudah tersulut, dan tak terbawa arus kebencian.
----------
Fenomena fitnah di zaman media sosial bukan sekadar tantangan sosial, tapi juga ujian spiritual. Dalam pandangan tasawuf, ini adalah peluang untuk mengenali penyakit hati, menumbuhkan kesadaran batin, dan memperkuat adab ruhani. Sebab di balik setiap fitnah, ada ujian cinta: apakah kita memilih hawa nafsu, atau memilih Allah?
“Siapa yang menjaga lisannya, Allah akan menjaga hatinya. Dan siapa yang menjaga hatinya, Allah akan menjaganya dari kebinasaan.”
(Imam al-Ghazali)