27/04/2025
Kakakku meno lak gadis yang dijodohkan dengannya karena j elek dan tidak bisa merawat diri. Namun, ketika aku bertemu dengannya ternyata gadis itu....
---
"Rayyan, kamu yakin mau nikah sama Maryam?" Nada suara Ammar penuh dengan eje kan. "Mas aja nggak mau nikah sama dia. Waktu terakhir kali Mas ketemu sama dia, mukanya j elek, kulitnya kusam, enggak ada pesonanya sama sekali. Beda sama Bianca, istri Mas, yang selalu terawat dan elegan. Kamu itu kayak mungut sampah yang udah Mas buang di tong sampah!"
Pagi itu, di ruang istirahat pilot, aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan ketegangan yang merayap di udara. Ammar menatap Rayyan dengan ekspresi tak percaya, sementara adiknya itu tetap tenang, menyesap kopinya tanpa sedikit pun goyah.
Rayyan meletakkan cangkirnya perlahan, matanya menatap tajam kakaknya. "Mas, jangan ngomong gitu! Seperti apa pun rupa Maryam, dia tetap manusia, sama seperti kita. Enggak pantas dih
ina!"
Ammar tertawa sinis. "Siapa yang menghi
na? Mas cuma bilang kenyataan. Ayolah, Ray. Masa pilot keren kayak kamu punya istri sejelek Maryam? Pramugari di maskapai kita itu banyak yang jauh lebih cantik, yang bener-bener punya 'spek bidadari'."
Rayyan menghela napas, mencoba mengendalikan e mosinya. "Mas, Mas selalu lihat orang dari fisiknya aja, tapi aku enggak. Maryam itu baik. Hatinya baik. Itu yang lebih penting."
Ammar mendengus, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Oh Tuhan … Rayyan, kamu jangan bilang kalau kamu beneran jatuh cinta sama dia?" Matanya menyipit penuh selidik. "Sudahlah, tolak saja Maryam. Enggak usah sok pahlawan. Kalau perlu, Mas yang ngomong sama Papa. Nanti Mas carikan kamu pramugari cantik yang lebih pantas jadi istri kamu."
Rayyan berdiri, menatap Ammar dengan sorot penuh keteguhan. "Enggak perlu, Mas. Aku enggak butuh pramugari cantik atau pilihan Mas. Aku tetap akan menikah dengan Maryam."
Dia meraih kopinya yang masih tersisa, meneguknya hingga habis, lalu merapikan jas pilotnya. "Aku harus siap-siap terbang. Kita lanjut nanti aja kalau Mas masih mau bahas ini."
Ammar hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir. "Dasar b odoh," gumamnya, menatap kepergian adiknya. "Apa sih bagusnya Maryam sampai bikin kamu rela buang kesempatan dapat wanita jauh lebih cantik?"
Namun di balik keke salannya, terselip rasa ge lisah. Dia tak mengerti mengapa Rayyan begitu teguh. Apa mungki ada sesuatu tentang Maryam yang selama ini dia lewatkan?
"Ah, sudahlah! Mending aku terbang juga. Pulang nanti pasti sudah disambut oleh istriku yang cantik dan selalu membahagiakan suaminya."
Di ruang makan keluarga Faris, suasana sarapan yang seharusnya hangat berubah menjadi perdebatan yang semakin memanas.
Ammar menaruh gelasnya dengan sedikit k asar, wajahnya penuh dengan ekspresi j ijik. "Bi, aku mohon, carikan Rayyan calon istri yang cantik. Banyak pramugari di maskapai kita yang jauh lebih layak. Mas enggak bisa bayangin adik yang mas sayangi ini menikah sama perempuan j elek seperti Maryam. Gila aja kalau dia sampai jadi bagian dari keluarga kita."
Rayyan menghela napas panjang, meletakkan sendoknya dengan tenang, tetapi sorot matanya tajam. "Mas, aku sudah bilang, aku enggak mau dijodoh-jodohkan sama Mas. Pernikahanku sudah diatur dan tinggal satu bulan lagi. Aku juga sudah mantap dengan pilihanku."
Bianca, istri Ammar, ikut menimpali. Wajahnya sedikit meri ngis seakan membayangkan sesuatu yang menj ijikkan. "Rayyan, Mbak juga pengen kamu punya istri yang cantik. Apa kamu enggak mikir? Tiap hari kamu harus lihat dia, bangun tidur dia yang pertama kamu lihat. Kalau wajahnya enggak enak dipandang, apa enggak nyesek?"
Rayyan menatap kakak iparnya dengan sorot mata t ajam, rahangnya mengeras. "Mbak, yang mau menikah itu aku, bukan kalian. Kenapa kalian yang lebih pusing?"
Ammar mendengus, wajahnya semakin merah. "Kamu keras kepala banget, Rayyan! Nanti kalau kamu nyesel, jangan pernah datang ke aku! Udah, Sayang, kita enggak usah buang waktu nasehatin dia. Biar aja dia sadar sendiri!"
Rayyan mengepalkan tangannya di bawah meja. A marahnya ditahan, tapi dalam da danya mendidih. Betapa sakitnya mendengar saudaranya sendiri mengh ina calon istrinya. Namun, dia tidak akan goyah. Tidak peduli seberapa besar peno lakan dari keluarganya, dia akan tetap menikahi Maryam.
Setelah sarapan, Rayyan menemui ibunya kamar. Sang ibu, Zahra, yang sedang merapikan kamar, menatapnya dengan tatapan penuh selidik.
"R ibut lagi sama Masmu gara-gara Maryam?" tanyanya lembut, tapi matanya tajam.
Rayyan menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Iya, Ma. Seperti biasa, Mas Ammar enggak setuju sama pernikahan ini. Katanya aku bakal nyesel."
Zahra berhenti melipat selimut. "Kamu enggak meny esal kan dengan keputusanmu menikah dengan Maryam?"
Rayyan menatap ibunya, mencoba meyakinkan, tapi ada sesuatu di balik matanya yang sulit dibaca. "Enggak kok, Ma. Aku enggak meny esal sama sekali."
Zahra menarik napas dalam. Dia tahu putranya ke ras kepala, tetapi sebagai seorang ibu, dia bisa merasakan ada hal yang dipendam Rayyan.
"Mumpung masih ada waktu," lanjutnya hati-hati, "kalau kamu berubah pikiran, Mama masih bisa bilang ke Papa supaya membatalkan perjodohan kalian."
Rayyan mene gang seketika. Matanya menatap Zahra dengan sorot tak terduga. "Enggak usah, Ma." Suaranya terdengar lebih tegas dari yang ia maksudkan. "Kita sudah janji sama keluarga itu, kan? Janji itu harus ditepati."
Zahra tersenyum tipis, tetapi sorot matanya tetap menyelidik. Dia mengenal putranya lebih dari siapa pun. "Ya sudah." Nada suaranya terdengar seperti menyerah. "Kamu jadi ketemu Maryam hari ini?"
Rayyan mengangguk. "Jadi, Ma. Aku mau fitnes dulu, baru nanti dari sana aku ketemu sama Maryam."
"Hati-hati di jalan." Zahra menatapnya lekat-lekat. "Salam buat Maryam ya."
Rayyan tersenyum kecil sebelum melangkah pergi. "Iya, Ma. Aku pamit dulu ya, Ma." Rayyan mencium tangan sang ibu lalu meninggalkan rumah dengan mobilnya menuju tempat fitnes.
Rayyan keluar dari ruang ganti dengan langkah tergesa, tetapi da danya terasa se sak oleh debaran jantungnya sendiri. Keringat bekas latihan belum sepenuhnya kering. Namun, pikirannya sudah penuh dengan bayangan Maryam. Benarkah dia j elek seperti kata Mas Ammar?
Akhirnya, Rayyan tiba di kafe. Langkahnya semakin cepat saat mendekati pintu kafe. Tangannya berkeringat saat hendak menarik gagang pintu. Lalu, matanya menangkap sosok di dekat jendela.
Seorang wanita duduk di sana, membelakangi cahaya, membuat wajahnya sulit dikenali. Apa dia Maryam?
Baca kelanjutannya di KBM App
Judul : Bidadari yang Kau Tolak
Bidadari yang Kau Tolak - Agniya14
Kakakku menyesal sudah menolak gadis yang dijodohkan dengannya. Dia kira gadis itu berwajah jelek da...
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah: